Anda di halaman 1dari 23

Zakat Dan Wakaf Perspektif Dalam Hukum Positif Negara

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Pembelajaran Legal Drafting


Dosen Pengapu : Tutik Nurul Jannah, SHI, MH

Makalah Disusun Oleh :

Bayu Ahmada (20.22.00016)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN ZAKAT DAN WAKAF

FAKULTAS SYARI'AH DAN EKONOMI ISLAM

INSTITUT PESANTREN MATHALI’UL FALAH

PATI

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk

untuk beribadat menurut agamanya masing-maasing. Penerimaan zakat merupakan kewajiban

umat Islam Indonesia yang mampu dan hasil pengumpulan zakat merupakan sumber dana

potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Zakat merupakan pranata

keagamaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan

memperhatikan masyarakat yang kurang mampu. Upaya penyempurnaan sistem pengelolaan

zakat perlu ditingkatkan agar pelaksanaan zakat lebih berhasil guna dan berdaya guna serta

dapat dipertanggungjawabkan.wakaf pada prinsipnya adalah milik umat, dengan demikian

manfaatnya juga harus dirasakan oleh umat dan oleh karena itu pada tataran idealnya maka

harta wakaf adalah tanggung jawab kolektif guna menjaga keeksisannya. Dengan demikian

maka keberadaan lembaga yang mengurusi harta wakaf mutlak diperlukan sebagaimana yang

telah dilakukan oleh sebagian negaranegara Islam. Indonesia masih terkesan lamban dalam

mengurusi wakaf sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam dan menempati ranking

pertama dari populasi umat Islam dunia. Implikasi dari kelambanan ini menyebabkan

banyaknya harta-harta wakaf yang kurang terurus dan bahkan masih ada yang belum

dimanfaatkan. Mendasarkan pertimbangan tersebut di atas, pemerintah telah menerbitkan

Undang-Undang Nomor Junaidi Abdullah dan Nur Qodin 40 Jurnal Zakat dan Wakaf 41

Tahun 2004 tentang Wakaf. Lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf

tersebut, memberikan setitik harapan bagi perkembangan dinamis wakaf di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tersebut mengamanatkan pemerintah untuk

memberikan pembinaan terhadap lembaga wakaf di Indonesia agar dapat berperan


meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum. Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun

2004 tersebut fungsi pembinaan ini tidak dijalankan sendiri oleh pemerintah, melainkan

melibatkan unsur-unsur dalam masyarakat melalui Badan Wakaf Indonesia (BWI).

Negara Indonesia memiliki masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Kondisi yang

demikian ini tentunya menjadikan masalah pengelolaan wakaf, menjadi suatu masalah yang

sangat urgen dan sangat rentan. Selain itu, kadang-kadang muncul permasalahan perebutan

hak kepemilikan tanah wakaf antara nadzir dengan ahli waris wakif bahkan ada oknum yang

telah berani secara melawan hukum untuk memindahtangankan atau mengalihkan

kepemilikannya kepada pihak lain. Permasalahan tersebut membutuhkan penanganan serta

penegakan hukum baik secara litigasi maupun non-litigasi agar berkepastian hukum, keadilan

dan kemanfaatan hukum. Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana dalam Pasal 1

ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) 1945, sehingga semua

aktifitas di Negara kita diatur oleh hukum.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Zakat Dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia?

2. Bagaimana wakaf menurut hukum positif?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Zakat Dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia.

Kalau kita bicara dunia Islam, maka kita dapat menemukan tiga kelompok negara
yaitu:
1) Kelompok Negara yang memberlakukan satusatunya sumber hukum adalah
Syari’ah, ini terdapat di Negara-negara yang terletak di timur Tengah misalnya Saudi
Arabia. Dengan demikian zakat di kelompok Negara-negara tersebut secara politik
Hukum diberlakukan .
2). Kelompok Negara yang membatalkan Syari’ah. Jadi di Negara tersebut hanya
memberlakukan hukum sebagai satu-satunya sumber misalnya di Negara Turki. Jadi
dengan demikian zakat tidak mendapat tempat dalam politik hukum ketatanegaraan di
Negara Turki.
3). Kelompok ketiga Negara yang menganut jalan kompromi. Jadi dengan
demikian di Negara-negara yang menganut jalan kompromi zakat mendapat tempat
dalam politik hukumnya, dan disampimng itu Negara tersebut memberlakukan Pajak.
Misalnya Indonesia, Malaysia, Mesir, Maroko, Al Jazair, dan lain-lain.

B. Zakat Dalam Prespektif Hukum Tata Negara

Kalau kita perhatikan obyek Hukum Tata Negara adalah Negara. Maka zakat di
Indonesia mendapat tempat dalam Hukum Tata Negara Indonesia, dengan demikian
Negara turut campur dalam pengelolaan zakat. Hal ini terbukti dengan dibuatnya
beberapa peraturan perundang-undangan misalnya Undang-undang nomor 23 Tahun
2011 tentang pengelolaan zakat.

C. Zakat Dalam Perspektif Tindak Pidana

Apabila seseorang yang tidak mau membayar zakat dapat dikategorikan tindak
pidana sama halnya dengan seseorang yang tidak mau membayar pajak. Kalau kita lihat
dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 Bab IX tentang sanksi pasal 39 sampai
dengan pasal 42 maka pelanggaran terhadap pengelolaan zakat merupakan tindak pidana
. Akan tetapi kalau kita analisis ternyata yang terkena tindak pidana hanya diberlakukan
kepada pengelola zakat, sedangkan wajib zakat yang terkena Nomor Pokok Wajib Zakat
( NPWZ ) apabila tidak membayar zakat tidak dikenakan sanksi.

D. Zakat Dalam Perspektif Konsep Negara Hukum Dalam Arti Materiil

Tipe Negara hukum ini sering juga disebut pula Negara Hukum dalam arti luas
atau disebur pula Negara Hukum Modern. .Negara dalam pengertian ini bukan saja
menjaga keamanan semata-mata tetapi secara aktif turut serta dalam urusan
kemasyarakatan demi kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu pengertian Negara hukum
dalam arti materiil atau luas sangat erat hubungannya dengan pengertian Negara
kesejahteraan ( Welfare State ). Jadi dengan demikian zakat dalam konsep Negara
hukum arti materiil harus diatur oleh Negara guna mencapai dan mewujudkan Negara
Kesejahteraan karena dengan pengelolaan zakat yang berdaya guna dan berhasil guna
Negara kesejahteraan dapat kita wujudkan sehingga tercapai Negara yang adil makmur

E. Zakat Dalam Perspektif Hukum Internasional

Kalau kita bicara Hukum Internasional, kita tidak akan terlepas membicarakan
mengenai subyek Hukum internasional ,salah satunya adalah lembaga Internasional.
Menurut Prof Dr. Mochtar Kusumaartmadja ,S.H.,LL.M dikenal dengan istilah
Organisasi Intenasional. Organisasi Internasional merupakan subyek hukum
internasional. Dengan demikian perlu adanya Lembaga Zakat Internasional yang
mengelola seluruh negara-negara mayoritas Islam. Oleh karena zakat juga bersifat
Universal yang artinya bahwa zakat berlaku tidak hanya di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia tetapi berlaku juga di negara negara yang mayoritas beragama Islam
Zakat dan Peraturan Perundang-undangan Zakat sebagai kewajiban umat Islam
memiliki dasar hukum yang kuat . Di samping itu dana yang terkumpul melalui zakat
sangat potensial sebagai sarana jaminan sosial berupa bantuan sosial kepada masyarakat
yang membutuhkan.
Di pihak lain sudah jelas pula bahwa Negara Indonesia merupakan Negara
Kesejahteraan atau Negara Pengurus yang mempunyai tanggungjawab dan kewajiban
untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat atau mengurus agar masyarakat sejahtera.
Dalam rangka menciptakan kesejahteraan tersebut maka pemerintah mempunyai
wewenang diantaranya membuat pengaturan tentang zakat dalam membuat undang-
undang zakat dengan peraturan pelaksanaannya. Berkaitan dengan hal ini maka
pemerintah telah mengeluarkan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
pengelolaan zakat. Pertanyaannya mengapa undang-undang tentang pengelolaan zakat
tidak undang-undang zakat yang tentu akan mengatur lebih lengkap segala hal yang
berkaitan dengan zakat termasuk pengelolaannya. Tentu saja Undang-undang tersebut
hanya berlaku bagi umat Islam. Diharapkan undang-undang dimaksud berisi asas dan
kaidah yang mendorong masyarakat untuk berubah menjadi masyrakat yang sadar atas
kewajiban mengeluarkan zakatnya lebih tinggi. Sebagaimana diuraikan hukum berperan
sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat .
Selanjutnya Pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Agama RI Nomor 581
tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat. Keputusan Menteri dimaksud sebagai peraturan pelaksana dari
undang-undang pengelolaan zakat. Hemat saya (pendapat Prof Dr. Man Suparman, S.H.,
S.U.) peraturan pelaksana dari suatu undang-undang adalah berupa peraturan
pemerintah dan tidak berupa keputusan menteri. Di samping itu kekuatan mengikat
suatu keputusan menteri sangat berbeda dengan kekuatan mengikat suatu peraturan
pemerintah. Mengenai pengelolaan zakat dapat dilakukan oleh pemerintah atau lembaga
swasta di bawah pengawasan pemerintah .dalam Undang-undang pengelolaan zakat
disebutkan bahwa pengelolaan zakat dilakukan oleh Badan Amil Zakat ( BAZ ) yang
dibentuk oleh pemerintah. Dalam hal ini perlu mendapat kejelasan apakah badan amil
zakat tersebut merupakan lembaga pemerintah atau lembaga swasta ? Hal ini penting
karena diantara lembaga swasta dan lembaga pemerintah terdapat akibat hukum yang
berbeda . Ditetapkannya lembaga pengelola zakat ini adalah suatu hal yang tepat untuk
adanya kejelasan dan kepastian hukum apabila lembaga pengelolaan zakat ini kelak
menerima sumbangan dari misalnya pemerintah/ daerah ,tidak ada masalah sepanjang
sumbangan tersebut memenuhi aturan hukum positif yang berkaitan . Dengan demikian
kita perlu mendorong dikeluarkannya peraturan pemerintah tentang zakat sehingga
dalam pengelolaan zakat ini pemerintah lebih banyak berperan dalam mewujudkan
keadilan dan kemakmuran yang pada gilirannya tercapai Negara Hukum Modern yaitu
Negara Kesejahteraaan.

F. Zakat Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM)

1). Dalam Universal Declaration Of Human Right yang ditanda tangani oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam Artikel
disebutkan tentang Freedom from Religion. Yang selengkapnya article 18 yaitu : “
Everyone has right to freedom of thought, conscience his religion this right includes
freedom to change his religion or belief,and freedom either alone or in community with
others,and in public orprivate. I to manifest his religion on or belief in teaching practice,
worship and observance. “
2). Dalam Universal Islamic Declaration Human Right. Kalau kita analisis
masalah zakat dalam Universal Islamic declaration human right sudah barang tentu
dalam deklarasi ini yang dikeluarkan pada tanggal 21 Zulqaidah 1981 sebagai dasar
berlakunya zakat dan yang melarangnya merupakan pelangggaran Hak Asasi Manusia.
Untuk khususnya dapat kita lihat dalam pembukaan deklarasi ini yang berdasarkan Al
Qur’an dan Al Hadits dimana jelas mengatur masalah zakat yaitu dalam Surat Al
Baqarah dan At Taubah. Selain itu diatur dalam right to justice yang menyatakan dalam
point (a) yaitu : “ Every person has the right to be treated in accordance with the law and
only in accordance with the law ”
3). Hak Asasi Manusia di Indonesia. Payung berlakunya ( Umbrella Provision )
Hak Asasi Manusia di Indonesia berdasarkan UndangUndang Dasar 1945, sedangkan
masalah zakat sesuai dengan penerapan Hak Asasi Manusia dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 alinea kesatu sampai alinea keempat dan pasal 29 Undang-Undang
Dasar 1945.

G. Wakaf Menurut Hukum Positif

1. Pengertian wakaf
Pengertian wakaf menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
adalah sebagai berikut :

a. Wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam

Dalam rumusan yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dimana

disebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan

hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk

selama-lamanya guna kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. (Pasal 215

ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI)). Peraturan Pemerintah No.28 tahun 1977

Wakaf adalah perbuatan hukum seorang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan kelembagaannya untuk
selama-lamanya untuk kepentingan atau keperluan umat lainnya sesuai ajaran Islam.
b. Undang-undang Wakaf Nomor 41 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2006
Di dalam Pasal 1 ayat 1 Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 42
Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf, bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian dari harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah.
2. Dasar Hukum Wakaf

Dasar hukum wakaf menurut peraturan yang berlaku di Indonesia diatur dalam

beberapa perundang-undangan berikut ini :

1) Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.

2) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Tata Cara Perwakafan


Tanah Milik.
3) Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Perincian Terhadap
Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 Tata Cara Perwakafan Tanah Milik.
4) Instruksi Bersama Menteri Agama Republik Indonesia dan Kepala

Badan Pertahanan Nasional Nomor 4 Tahun 1990 tentang Sertifikasi

Tanah Wakaf.

5) Badan Pertahanan Nasional Nomor 360.1-2782 tentang Pelaksanaan

Penyertifikatan Tanah Wakaf.

6) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam.

7) Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

8) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.42 Tahun 2006 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

3. Rukun dan Syarat Wakaf


a. Rukun Wakaf

Wakaf dinyatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya.

Adapun rukun wakaf ada empat, yaitu :

1) Waqif (orang yang berwakaf)

2) Mauquf bih (harta wakaf)

3) Mauquf ‘alaih (tujuan wakaf)

4) Shighat (pernyataan atau ikrar waqif sebagai suatu kehendak untuk

mewakafkan sebagian harta benda miliknya).

Namun, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 pada Pasal 6 menambahai

rukun wakaf dengan :

5) Nadzir (pengelola wakaf)

6) Jangka Waktu Wakaf

b. Syarat-syarat Wakaf

Dari tiap rukun wakaf diatas, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Syarat Waqif (orang yang berwakaf)

Orang yang mewakafkan (waqif) disyaratkan memiliki kecakapan

hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam membelanjakan hartanya.

Kecakapan bertindak disini meliputi empat kriteria, yaitu :

a. Merdeka
b. Berakal sehat

c. Dewasa (baliqh)

d. Tidak dibawah pengampuan


Pada pasal 8 Undang-Undang No.41 Tahun 2004 dikemukakan bahwa waqif

perorangan dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan dewasa, berakal

sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan pemilik sah harta benda

wakaf. Sedangkan bagi waqif yang berasal dari organisasi dapat melakukan wakaf

apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf

milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.

Kemudian bagi waqif yang berasal dari badan hukum dapat melakukan

wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk memenuhi harta benda

wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran badan hukum yang

bersangkutan.

Syarat-syarat waqif adalah sebagai berikut ini :

1) Waqif yang menentukan macam wakaf dan tujuannya

2) Waqif tidak boleh mengubah status masjid menjadi wakaf langsung

3) Waqif tidak boleh mengubah status wakaf abadi menjadi wakaf

sementara, akan tetapi boleh sebaliknya

4) Waqif diperbolehkan membuat syarat agar bisa memanfaatkan wakaf

bagi dirinya, istri dan anak-anaknya

Hak-hak waqif antara lain :

a) Hak menambah orang baru yang berhak mendapatkan manfaat wakaf

dan menambah tujuan-tujuan baru, baik ditetapkan untuk sementara

maupun selamanya

b) Hak mengeluarkan sekelompok orang yang berhak mendapatkan

manfaat wakaf dan menambah tujuan-tujuan baru, baik ditetapkan


untuk sementara maupun selamanya

c) Hak mengubah bagian orang-orang yang mendapatkan manfaat wakaf,

baik dengan cara mengurangi atau menambah

d) Hak menambah modal wakaf

e) Hak menetapkan syarat mendapat manfaat wakaf bagi dirinya, istri dan

anak-anaknya, baik sebagian dari pendapatan wakaf maupun secara

keseluruhan

f) Hak menetapkan sebagian pendapatan wakaf untuk menambah modal

wakaf dan secara bersama turut diinvestasikan

g) Hak memilih nazhir dan cara memilihnya serta menggantinya

h) Hak menukar benda wakaf dengan benda wakaf lainnya

i) Menurut Abu Hanifah, waqif berhak untuk menarik kembali wakafnya,

karena menurutnya wakaf tidak berupa keharusan

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 217 ayat 1 menjelaska bahwa

“Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa

dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan

perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya

dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dalam

Pasal 7 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, bahwa Waqif

meliputi:

a. Perseorangan

b. Organisasi

c. Badan Hukum

Dalam pasal 8 Undang-Undang No.41 Tahun 2004 Tentang Wakaf menyebutkan,


bahwa :

1) Perseorangan adalah apabila memenuhi persyaratan dewasa, berakal

sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, Pemilik sah harta

benda wakaf

2) Organisasi adalah apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk

mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan

anggaran saran organisasi yang bersangkutan

3) Badan hukum adalah apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk

mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan

anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan

Pada Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Pelaksanaan Undang-

Undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf Pasal 1 ayat 2 disebutkan Waqif

adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya

2. Syarat Mauquf bih (harta wakaf)

Syarat yang harus dipenuhi harta benda wakaf adalah sebagai berikut :

a. Benda wakaf dapat dimanfaatkan untuk jangka panjang, tidak habis

sekali pakai

b. Benda wakaf dapat berupa milik kelompok atau badan hukum

c. Benda wakaf merupakan benda milik yang sempurna. Ia terbebas dari

segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa Benda itu tidak dapat

diperjual belikan, dihibahkan atau dipergunakan selain wakaf

Pada awal permulaan wakaf disyari’atkan yakni pada zaman Rasul, sifat dari harta

benda wakaf ialah harta yang tahan lama dan bermanfaat seperti tanah dan kebun. Tetapi

kemudian para ulama berpendapat bahwa harta selain tanah dan kebun pun dapat
dimanfaatkan asal bermanfaat dan tahan lama.

Dalam KHI pasal 217 ayat 3 menyatakan bahwa :

Benda wakaf sebagaimana dalam 215 ayat 4 harus merupakan benda milik yang

bebas segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan sengketa.

Dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf, bahwa :

Harta benda wakaf terdiri dari :

1) Benda tidak bergerak, meliputi :

a) Harta atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar

b) Bangunan atau bagian bangunan yang terdiri di atas sebagaimana

dimaksud pada huruf 1

c) Tanaman dan benda yang berkaitan dengan tanah

d) Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan syari’ah

dan peraturan perundang-undangan yang berlaku

e) Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku

2) Benda bergerak adalah harta yang tidak bisa habis karena dikonsumsi,

meliputi :

a) Uang

b) Logam mulia

c) Surat berharga

d) Kendaraan

e) Hak atak kekayaan intelektual

f) Hak sewa

g) Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan


perundang-undangan yang berlaku seperti buku dan kitab

Dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Pelaksanaan Undang- Undang No.

41 Tahun 2004 tentang wakaf Pasal 15, jenis harta benda wakaf meliputi :

1) Benda tidak bergerak

2) Benda bergerak selain uang

3) Benda bergerak berupa uang


Dalam Pasal 22 Undang-undang No 41 Tahun 2004, disebutkan : Untuk mencapai
tujuan dan fungsi wakaf, harta benda hanya dapat diperuntukkan bagi
a. Sarana dan kegiatan ibadah

b. Sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan

c. Bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa

d. Kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan

syariah dan peraturan perundang-undangan


3. Tujuan dan Fungsi Wakaf

Wakaf dalam implementasi di lapangan merupakan amal kebajikan,

baik yang mengantarkan seorang muslim kepada inti tujuan dan pilihannya,

baik tujuan umum maupun khusus.

a. Tujuan Umum :

Adapun tujuan umum wakaf adalah bahwa wakaf memiliki fungsi sosial. Allah

memberikan manusia kemampuan dan karakter yang beraneka ragam. Dari sinilah,

kemudian timbul kondisi dan lingkungan yang berbeda diantara masing- masing

individu. Ada yang miskin, kaya, cerdas, bodoh, kuat dan lemah. Dibalik semua itu,

tersimpan hikmah. Dimana, Allah memberikan kesempatan kepada yang kaya

menyantuni yang miskin, yang cerdas membimbing yang bodoh dan yang kuat

menolong yang lemah. Yang demikian merupakan wahana bagi manusia untuk

melakukan kebajikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah, sehingga

interaksi antar manusia saling terjalin.

b. Dari perbedaan kondisi sosial tersebut, sudah sewajarnya memberi pengaruh


terhadap bentuk dan corak pembelajaran harta kekayaan. Ada pembelanjaan
yang bersifat mengikat (wajib), ada juga yang bersifat sukarela (sunnah), ada
yang bersifat tetap (paten), dan ada juga yang sekedar memberi manfaat (tidak
paten). Namun demikian yang paling utama dari semua cara tersebut, adalah
mengeluarkan harta secara tetap dan langgeng, dengan sistem yang teratur serta
tujuan yang jelas. Disitulah peran wakaf yang menyimpan fungsi sosial dalam
masyarakat dapat diwujudkan.

c. Tujuan Khusus :

Sesungguhnya wakaf mengantarkan kepada tujuan yang sangat penting, yaitu

pengkaderkan, regenerasi, dan pengembangan sumber daya manusia. Sebab, manusia

menunaikan wakaf untuk tujuan berbuat baik, semuanya tidak keluar dari koridor
maksud-maksud syari’at Islam, diantaranya :

1) Semangat keagamaan, yaitu beramal karena untuk keselamatan hamba pada hari

akhir kelak. Maka, wakafnya tersebut menjadi sebab keselamatan, penambahan

pahala, dan pengampunan dosa.

2) Semangat sosial, yaitu kesadaran manusia untuk berpartisipasi dalam kegiatan

bermasyarakat. Sehingga, wakaf yang dikeluarkan merupakan bukti partisipasi

dalam pembangunan masyarakat.

3) Motivasi keluarga, yaitu menjaga dan memelihara kesejahteraan orang- orang

yang ada dalam nasabnya. Seseorang mewakafkan harta bendanya untuk

menjamin kelangsungan hidup anak keturunannya, sebagai cadangan disaat-saat

mereka membutuhkannya.

4) Dorongan kondisional, yaitu terjadi jika ada seseorang yang ditinggalkan

keluarganya, sehingga tidak ada yang menanggungnya, seperti seorang

perantau yang jauh meninggalkan keluarga. Dengan sarana wakaf, si waqif bisa

menyalurkan hartanya untuk menyantuni orang-orang tersebut. Tujuan wakaf

dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf

Pasal 4 menyatakan bahwa :

Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya.


Sedangkan fungsi wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 216 adalah:
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan

tujuannya. Menurut Pasal 5 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 bahwa wakaf

berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk

kepentingan ibadah dan untuk mewujudkan kesejahteraan umum. Jadi fungsi wakaf

menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 216 dan Pasal 5 Undang-Undang No. 41 Tahun

2004 dimaksudkan dengan adanya wakaf terciptanya sarana dan prasarana bagi

kepentingan umum sehingga terwujudnya kesejahteraan bersama baik dalam hal ibadah
ataupun dalam hal mu’amalah. Dengan demikian orang yang kehidupannya dibawah

garis kemiskinan dapat tertolong kesejahteraannya dengan adanya wakaf. Kemudian

umat Islam yang lainnya dapat menggunakan benda wakaf sebagai fasilitas umum

sekaligus dapat mengambil manfaatnya.

4. Syarat Shighat (ikrar)

Ikrar wakaf ialah pernyataan kehendak waqif yang diucapankan secara lisan dan

atau tulisan kepada Nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya.

Para fuqaha’ telah menetapkan syarat-syarat shighat (ikrar), sebagai berikut :

a. Shighat harus mengandung pernyataan bahwa wakaf itu bersifat kekal (ta’bid).

Untuk itu wakaf yang dibatasi waktunya tidak sah. Lain halnya mazhab Maliki

yang tidak mensyaratkan ta’bid sebagai syarat sah wakaf.

b. Shighat harus mengandung arti yang tegas dan tunai


c. Shighat harus mengandung kepastian, dalam arti suatu wakaf tidak

boleh diikuti oleh syarat kebebasan memilih

d. Shighat tidak boleh dibarengi dengan syarat yang membatalkan,

seperti mensyaratkan barang tersebut untuk keperluan maksiat.

Uraian tentang ikrar wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 223

menyatakan bahwa:

1) Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf

dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan ikrar

wakaf.

2) Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.

3) Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap

sah jika dihadiri dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang

saksi.

4) Dalam melakukan Ikrar seperti dimaksudkan ayat (1) pihak yang


mewakafkan diharuskan menyertakan kepada Pejabat yang tersebut dalam

pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai berikut :

a) Tanda bukti kepemilikan harta benda

b) Jika benda yang diwakafkan berupa benda tidak bergerak, maka harus disertai

surat keterangan dari Kepala Desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang

menerangkan pemilikan benda tidak bergerak dimaksud

c) Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak

bergerak yang bersangkutan

Setiap pernyataan/ikrar wakaf dilaksanakan oleh waqif kepada nadzir dihadapan

Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) dengan disaksikan oleh 2 orang saksi.

Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) berdasarkan Peraturan Menteri Agama

Nomor 1 Tahun 1979 maka Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) ditunjuk sebagai

PPAIW.

Adapun syarat menjadi saksi dalam ikrar wakaf adalah :

a. Dewasa

b. Beragama Islam

c. Berakal sehat

d. Tidak terlarang melakukan perbuatan hukum

Dalam hal waqif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat

hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf, karena alasan yang dibenarkan oleh hukum, waqif

dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi.

5. Syarat Nadzir

Pada Pasal 6 ayat (1) dalam UU Nomor 41/ 2004 dicantumkan Nadzir

sebagai salah satu unsur atau rukun wakaf. Nadzir dapat berupa perorangan,

organisasi atau badan hukum. Adapun, syarat yang harus dipenuhi bagi Nazhir
perorangan, yakni :

a. WNI

b. Beragama Islam

c. Dewasa

d. Amanah

e. Mampu secara jasmani dan rokhani

f. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum

Apabila Nadzir berbentuk organisasi maka syarat yang harus dipenuhi selain

pengurus organisasi memenuhi persyaratan Nadzir perorangan, organisasi itu harus

bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan dan atau keagamaan Islam. Jika

berbentuk badan hukum, maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum

Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Serta badan hukum tersebut bergerak dibidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan

atau keagamaan Islam. Tentunya pengurus badan hukum yang bersangkutan tetap

memenuhi persyaratan Nadzir perorangan. Sedangkan pada KHI pasal 215 (4) syarat

nadzir perorangan ditambah dengan adanya ketentuan nadzir bertempat tinggal di

kecamatan tempat letak benda diwakafkan. Kewajiban nadzir atas benda wakaf diatur

dalam pasal 220 KHI jo pasal 7 PP No.28 Tahun 1977 sebagai berikut :

1. Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan bertanggungjawab atas kekayaan

wakaf serta hasilnya dan pelaksanaan perwakafan sesuai dengan tujuannya

menurut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh mentri agama.

2. Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menjadi

tanggung jawabnya sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) kepada kepala

Kantor Urusan Agama kecamatan setempat dengan tembusan kepada Majelis


Ulama kecamatan dan Camat setempat. Penjelasan dalam pasal 222 Kompilsi

Hukum Islam dan pasal 8 PP No. 28 Tahun 1977 dinyatakan “nadzir berhak

mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditentukan

berdasarkan kelayakan atas saran Majelis Ulama Kecamatan dan Kantor Urusan

Agama (KUA) kecamatan setempat”. Kemudian yang berhak menentukan

nadzir wakaf adalan waqif. Mungkin ia sendiri menjadi nadzir, mungkin

diserahkan kepada orang lain baik perorangan maupun organisasi. Namun agar

perwakafan dapat terselenggara dengan sebaik- baiknya, maka pemerintah

berhak campur tangan mengeluarkan berbagai peraturan mengenai perwakafan,

termasuk menentukan nadzirnya melalui persetujuan PPAIW (Pejabat Pembuat

Akta Ikrar Wakaf).

Tabel 1

Perbandingan Wakaf Menurut Hukum Positif

Peraturan
Kompilasi Hukum Undang-Undang No.
Pemerintah No.28
Islam 41 Tahun 2004
Tahun 1977
Wakaf adalah
Wakaf adalah perbuatan
Wakaf adalah perbuatan perbuatan hukum
hukum wakif untuk
hukum seorang atau badan seorang atau badan
memisahkan dan/atau
hukum yang memisahkan hukum yang
menyerahkan sebagian dari
sebagian dari harta memisahkan sebagian
harta benda miliknya untuk
kekayaannya yang berupa dari harta kekayaannya
Pengertian dimanfaatkan selamanya
tanah milik dan yang berupa tanah
atau jangka waktu tertentu
kelembagaannya untuk milik dan
sesuai dengan
selama-lamanya untuk kelembagaannya untuk
kepentingannya guna
kepentingan atau selama-lamanya untuk
keperluan ibadah dan/atau
keperluan umat lainnya kepentingan atau
kesejahteraan umum
sesuai ajaran Islam keperluan umat
menurut syari’ah
lainnya
sesuai ajaran Islam
Waqif, penerima wakaf,
Rukun dan Syarat Waqif, penerima wakaf,
Waqif, penerima
benda wakaf, ikrar wakaf,
wakaf, benda wakaf,
benda wakaf, ikrar wakaf pengelola wakaf dan
ikrar wakaf
jangka waktu wakaf
Wakaf bertujuan
Wakaf bertujuan Wakaf bertujuan
memanfaatkan harta
memanfaatkan harta benda memanfaatkan harta benda
benda wakaf sesuai
wakaf sesuai dengan wakaf sesuai dengan
dengan fungsinya
Tujuan dan fungsinya fungsinya
wakaf berfungsi
wakaf berfungsi wakaf berfungsi
mewujudkan potensi
mewujudkan potensi dan mewujudkan potensi dan
Fungsi manfaat ekonomi harta
dan manfaat ekonomi
manfaat ekonomi harta
harta benda wakaf
benda wakaf untuk benda wakaf untuk
untuk kepentingan
kepentingan ibadah dan kepentingan ibadah dan
ibadah dan untuk
untuk mewujudkan untuk mewujudkan
mewujudkan
kesejahteraan umum kesejahteraan umum
kesejahteraan umum

Sumber :

• Kompilasi Hukum Islam

• Peraturan Pemerintah No.28 tahun 1977

• Undang-Undang No. 41 tahun 2004

Tabel di atas menggambarkan antara perbedaan dan persamaan wakaf dari

Undang-Undang yang berlaku di Indonesia. Pada bagian pengertian dalam Kompilasi

Hukum Islam dan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 memiliki kesamaan

definisi. Namun, pada Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Wakaf bisa dilakukan

dengan jangka waktu. Dari rukun dan syarat wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam dan

Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 memiliki kesamaan unsur, sedangkan pada

Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 unsur di tambah dengan nadzir dan jangka waktu

pada ikrarnya.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Hukum Islam di Indonesia mulai berkembang khususnya dalam bidang


Ekonomi Islam hal ini dirasakan dengan lahirnya lembaga-lembaga Ekonomi
Islam .Salah satu wujud dari penegakkan Ekonomi Islam ( Islamic of law
enforcement ) dapat dilakukan dengan penegakkan hukum di bidang zakat.
Penegakkan Hukum Zakat merupakan salah satu indikator untuk dapat mewujudkan
Negara hukum yang menuju Negara Kesejahteraan di Indonesia .
Hukum Perwakafan dan Hukum Kewarisan hanya berlaku bagi
pemeluk agama Islam dan merupakan bagian penting dari Hukum Islam.
Kedudukan Kompilasi Hukum Islam sebagai bagian dari hukum positif berkaitan
dengan Kewenangan Peradilan Agama untuk mana peradilan bagi orang-orang
beragama Islam dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara
yang diajukan dengan menggunakan Kompilasi hukum Islam sebagai pedoman,
sehingga terdapat kesamaan persepsi dikalangan para hakim mengingat
umat Islam pun masih terdiri atas berbagai mashab maupun sekte
tertentu

DAFTAR PUSTAKA

• Ahmad Rofi. 2001. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Gama Media,


Yogyakarta.
• Sri Soemantri. 1984. Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Rajawali , Bandung.
• Sf, Marbun dkk, 2002. Dimensi-dimensi Hukum Administarasi Negara, UII Press,
Yogyakarta.
• Mochtar Kusumaatmadja. 1990. penganatar hukum Internasional , Binacipta,
Bandung.
• Man Suparman S. 2003. Aspek Hukum dalam Pengembangan Potensi Zakat bagi
peningkatan Kesejahteraan Masyrakat, makalah dalam seminar Sehari ,Forum Peduli
Zakat, Bandung.
• Elsa Kartika Sari. 2007. Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, rasindo, jakarta.
• Farida Prihatini. 2005. Hukum Islam Zakat dan Wakaf, Papas Sinar Kinanti dan
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Jakarta.
• Hadi Setya Tunggal. 2005. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf, Harvarindo, Jakarta.
• Depag. 2005. Fikih Wakaf, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, jakarta.
• Muhyiddin Mas Rida, 2005, Manajemen Wakaf Produktif, Khalifa, Jakarta.
• Abdul Hakim. 2005. Hukum Perwakafan di Indonesia, Ciputat Press, Ciputat.
• Muhammad Abid Abdullah Al-Kabsi. 2004. Hukum Wakaf, IIMan Press, Depok.
• Depag Republik Indonesia. 1997. Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam, Depag,
Jakarta.
• Hadi Setya Tunggal. 2005. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf, Harvarindo, Jakarta.
• Muhammad Daud Ali. 1989. System Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, UI press,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai