Anda di halaman 1dari 7

PAJAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN HUBUNGANNYA DENGAN

PENERAPAN PAJAK DI INDONESIA

Besse Husna Munawwarah, Irwan, Muh. Akil Adnan


90400119058, 90400119060, 90400119048
Perpajakan Kelas B, Kelompok 2.

Abstract, Taxes are payments from the private sector, based on laws and benefits to
finance public expenditures. At the time of the Prophet tax collection was not applied,
judging from the unavailability of hadiths regarding the case. Taxes that are required of
non-Muslims as security guarantees. This study uses a literature study with the tax
method in an Islamic perspective and its application with the application of taxes in
Indonesia. In the life of a pluralistic society such as in Indonesia, this becomes an
increasingly dilemmatic situation where on the one hand it is necessary to apply Islamic
law in its entirety, and on the other hand it is seen as necessary to apply it as an effort to
fulfill the interests of the state in building the welfare of its people. Taxes are obligatory
only on wealthy Muslims.

Keywords: Tax, Islamic Perspective, Indonesia

Abstrak, Pajak adalah penyerahan pembayaran dari sektor swasta kepada negara,
berdasarkan Undang-Undang dan gunanya untuk membiayai pengeluaran umum. Pada
masa Nabi saw. tidak diterapkan pemungutan pajak dilihat dari ketidaktersediaan
hadis-hadis tentang perkara tersebut. Pajak sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang
non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Penelitian
ini menggunakan studi kepustakaan dengan metode kualitatif dalam pajak dalam
perspektif islam dan hubungannya dengan penerapan pajak di Indonesia. Di dalam
kehidupan masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia, hal ini senantiasa menjadi
dilema dimana di satu sisi menghendaki diterapkannya syariat Islam secara utuh, dan di
sisi lain pajak dipandang perlu untuk diberlakukan sebagai upaya memenuhi
kepentingan negara dalam membangun kesejahteraan seluruh masyarakatnya. Pajak
diwajibkan hanya kepada kaum muslimin yang kaya.

Kata Kunci: Pajak, Perspektif Islam, Indonesia

PENDAHULUAN
Pajak merupakan hal penting bagi setiap Negara karena merupakan pendapatan
utama bagi negara yang tentunya sangat berpengarug terhadap kas Negara disamping
adanya pendapatan dibidang yang lain. Selain berpengaruh pada pendapatan Negara,
tentunya pajak pun turut andil dalam mewujudkan pembangunan. Dalam kehidupan
bernegara bagi seorang Muslim, ketaatan mematuhi kewajiban membayar pajak yang
sudah ditetapkan pemerintah, sama halnya dengan kewajibkan untuk mengeluarkan
zakat yang diperintahkan agama, meskipun pada masa Rasulullah dan Khulafaurrosidin
zakat dikenakan kepada penduduk yang beragama Islam, sedang pajak dikenakan
kepada penduduk non muslim. Tidak ada penduduk yang terkena kewajiban rangkap
berupa zakat dan pajak (Turmudi 2015).
Pajak adalah penyerahan pembayaran dari sektor swasta kepada negara,
berdasarkan Undang-Undang dan gunanya untuk membiayai pengeluaran umum.
Pengambilan daya beli dari sektor swasta oleh negara dalam bentuk pajak meletakkan
beban secara langsung yang dirasakan oleh rakyat yang ikut serta dalam lalu lintas
tukar menukar. Para ahli ekonom memusatkan perhatian mereka dalam hal pengalihan
beban pajak oleh para wajib pajak kepada subjek ekonomi lain dengan jalan
pembentukkan harga dalam lalu lintas tukar menukar (Gazali 2015).
Pajak mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya (mu’amalah), oleh
karena itu pajak merupakan bagian dari syari’at. Tanpa adanya aturan-aturan yang jelas
dalam syariat mengenai perpajakan, maka pajak dapat menjadi alat penindas oleh
penguasa kepada rakyat. Hanya syariat yang dapat memutuskan permasalahan
mengenai pajak. Barang siapa yang tidak memutus syariat apa yang ditetapkan Allah
SWT maka ia adalah dzalim (Fikri dan Thamrin 2021).
Pajak yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat melalui
perbaikan dan penambahan pelayanan publik, mengalokasikan pajak tidak hanya untuk
rakyat pembayar pajak, tetapi juga untuk kepentingan rakyat yang tidak wajib
membayar pajak. Dan Islam sebagai sistem kehidupan, mengatur hubungan manusia
dengan Allah SWT (Al-Ibadat), dan hubungan manusia dengan makhluk (AlMuamalah)
dalam seluruh aspek ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan Negara.
Prinsip ajaran Islam pada dasarnya memecahkan semua masalah kehidupan yang tidak
bertentangan dengan fitrah manusia. Ajaran Islam merupakan dasar semua perbaikan
sosial, yang tidak hanya terbatas pada secara makro sesuatu perekonomian tidak
terlepas dari peran pemerintah, dimana menurut Maududi pemerintah tidak
menggunakan kekerasan dalam memimpin suatu Negara, kembali pada subjek masalah
pajak dan zakat. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-
Undang sehingga dapat dipaksakan dengantiada mendapat balas jasa secara langsung,
sedangkan zakat ialah nama atau sebutan dari sesuatu hak Allah Ta’ala yang
dikeluarkan seseorang kepada fakir miskin (Hr 2021). Dalam penelitian ini penulis akan
membahas bagaimana pajak dalam perspektif islam dan hubungannya dengan
penerapan pajak di Indonesia.

TINJAUAN LITERATUR
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pajak adalah iuran yang
wajib dibayar oleh rakyat sebagai sumbangan kepada negara.12 Di Indonesia pajak ini
bermacam-macam menurut apa yang dipakai sebagai dasar pungutannya, seperti pajak
bumi dan bangunan, pajak kendaraan, pajak penghasilan, dan sebagainya (Fitriani
2013).
Dalam UU No.28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), menyebutkan definisi pajak
sebagai kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (Haskar 2020).
Negara Kesatuan Republik Indonesia mengartikan pajak sebagai kontribusi wajib
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
sedangkan At-Tuwajiri (125, 2012) menjelaskan pengertian zakat secara bahasa sebagai
berkembang dan bertambah, sedangkan zakat secara istilah berarti hak wajib pada
harta tertentu untuk golongan tertentu di waktu tertentu. Pengelolaan pajak di
Indonesia saat ini dibagi menjadi dua, pertama pemerintah pusat, dalam hal ini diwakili
oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), mengelola Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan
Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Meterai, dan Pajak Bumi dan Bangunan-
P3, sedangkan pajak lainnya seperti Pajak Bumi dan Bangunan-P2, BPHTB, Pajak
Restoran, dan sebagainya dikelola oleh Pemerintah Daerah (Ramadhan 2017).
Pajak memiliki fungsi sebagai berikut
1. fungsi Anggaran berfungsi sebagai salah satu sumber dana bagi pemerintahan
untuk membiayai pengeluaran.
2. Fungsi Mengatur sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan
pemerintah dalam bidang sosial ekonomi.
3. Fungsi stabilitas untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan stabilitas harga
sehingga inflasi dapat dikendalikan.
4. Fungsi Redistribusi Pendapatan (Sari, Fasa, dan Suharto 2021).
Pajak merupakan hal yang hanya menyangkut urusan duniawi (Tahir 2015). Pada
masa pemerintahan Rasulullah pajak yang diterapkan berupa pajak tanah (kharaj),
pajak atas jaminan keamanan yaitu pajak yang dipungut dari non-muslim yang
meminta perlindungan/keamanan dibawah pemerintahan muslim (jizyah), dan pajak
perdagangan atau bea cukai (usyr). Di Indonesia ketentuan-ketentuan membayar pajak
diatur dalam undang-undang dasar 1945 dimana sebagian isinya seperti yang dijelaskan
diatas. Secara umum, pengelolaan pajak di indonesia terbagi atas dua bagian yaitu pajak
pusat dan pajak daerah. Pajak pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah
Pusat, dalam hal ini berada di bawah naungan Direktorat Jendral Pajak-Departemen
Keuangan. Pajak daerah adalah pajak yang dipungut dan dikelola oleh pemerintah
daerah (Hidayatulloh 2019).

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan dengan metode kualitatif dalam
pajak dalam perspektif islam dan hubungannya dengan penerapan pajak di Indonesia
berencana untuk memberikan penjelasan yang sistematis pada gagasan pemeriksaan
subjektif yang berbeda dalam pajak, penyelidikan informasi dalam eksplorasi grafis
subjektif, langkah-langkah dan kualitas serta kelemahan dalam pemeriksaan subjektif
itu sendiri. Eksplorasi ini dilakukan berdasarkan strategi dalam penulisan dari sumber
jurnal-jurnal yang disurvei yang diidentifikasi dengan pemeriksaan grafis subjektif.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pajak dalam Perspektif Islam
Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara (Fidiana 2015). Pada masa
Nabi saw. tidak diterapkan pemungutan pajak dilihat dari ketidaktersediaan hadis-hadis
tentang perkara tersebut (Luthfi dan Asse 2019). Berkaitan dengan pemanfaatan
kekayaan duniawi tadi, Allah Swt. menegaskan bahwa manusia hanya diberi amanah
untuk mengolah dan mengelolanya sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah Swt.
Konsekuensinya:
1. Tidak seorangpun dapat menjadi pemilik mutlak harta kekayaan. Setiap pemilikan
harta kekayaan dibatasi oleh hak-hak Allah Swt. dan hak-hak orang lain,
termasuk pemanfaatannya agar tidak boros dan tidak kikir.
2. Masyarakat melalui “wakil-wakilnya” dapat mengatur tatacara pemanfaatan harta
kekayaan yang mengarah pada kemakmuran bersama.
3. Masyarakat, untuk kepentingan umum, dapat mengambil harta milik pribadi
apabila kemaslahatan umum menghendakinya dengan syarat pemiliknya
mendapat penggantian yang wajar (tidak menzhalimi) (Abdullah 2018).
Sementara itu, adanya perbedaan dalam penghidupan (harta) manusia yang telah
diatur oleh Allah Swt. dengan tujuan liyattakhidzu ba’dhan sukhriyya (agar sebagian
mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain), yang maksudnya adalah agar setiap
manusia satu sama lain saling memberi, saling mempermudah, dan saling membantu
satu sama lain, termasuk dalam hal harta. Jadi, baik mereka yang berkecukupan
maupun yang berkekurangan diperintahkan Allah Swt. untuk saling membantu
meringankan beban kehidupannya. Penerapan sistem pajak pada suatu bangsa/kaum
dalam ajaran Islam dapat dilakukan dengan catatan bahwa zakat harus diberlakukan
sepenuhnya kepada warga muslim dan pajak diberlakukan sepenuhnya kepada warga
non muslim. Sistem pajak tidak diperbolehkan diterapkan kepada kaum muslim dengan
dasar bahwa penarikan atau pembayaran pajak kepada atau dari kaum muslim tidak
ada dasar hukum syariah-nya. Bahkan, menurut Ali (2010) mengemukakan bahwa
pajak diharamkan karena sistem perpajakan ini dibebankan kepada masyarakat secara
umum, terutama kepada kaum muslim. Pendapat ini didasarkan pada salah satu hadits
Rasulullah saw. yang diriwayatkan Ahmad:
Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka (HR Ahmad 4/109,
Abu Dawud kitab Al Imarah: 7 dalam Ali, 2010). Selain itu, Ali (2010) pun mendasarkan
pendapatnya ini pada sebuah hadits yan diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud:
Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, ‘Maslamah bin Makhlad
(gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada
Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu’, maka ia berkata: ‘Sesungguhnya para
penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka’ (HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930).
Masdar Farid Mas’udi mengasumsikan bahwa umat Islam yang telah membayar
pajak, tidak wajib lagi membayar zakat. Hal itu karena pajak yang dibayarkan itu telah
diniatkan sebagai zakat. Sebab, bagi Masdar, secara batin zakat adalah komitmen
spiritual manusia kepada Tuhannya, sedangkan secara lahir, zakat itu merupakan pajak
yang merupakan komitmen sosial sesama manusia. Zakat dan pajak, dengan demikian
adalah hal yang identik; ibarat zakat adalah ruh, dan pajak sebagai raga yang bersama-
sama embodied. Jadi, jika bagi Muslim, pajak berfungsi sebagai zakat, bagi non-Muslim
pajak itu adalah pajak (Wahid 2016).
Pajak sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan
Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan
kepada kaum muslimin, para ulama dari zaman sahabat, tabi’in hingga sekarang
berbeda pendapat di dalam menyikapinya. Di dalam kehidupan masyarakat yang
majemuk seperti di Indonesia, hal ini senantiasa menjadi dilema dimana di satu sisi
menghendaki diterapkannya syariat Islam secara utuh, dan di sisi lain pajak dipandang
perlu untuk diberlakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan negara dalam
membangun kesejahteraan seluruh masyarakatnya. Pemberlakuan pajak bagi kaum
muslim di Indonesia seperti yang diterapkan saat ini, apakah termasuk hal yang
diharamkan dalam Islam? Berkenaan dengan hal ini, terdapat pendapat-pendapat yang
berbeda di kalangan para ulama. Satu pihak tidak memperbolehkan dengan dasar
hadits dan dalil-dalil yang telah dikemukakan di atas serta beberapa hadits dan dalil
lainnya, di lain pihak memperbolehkan diberlakukannya pengambilan pajak dari kaum
muslim.
Pendapat yang kedua ini di antaranya dikemukakan oleh al-Juwaini dalam kitab
Ghiyats al-Umam, Imam al-Ghazali di dalam al-Mustashfa I/426, Imam asy-Syathibi di
dalam al-I’tishom II/358, dan Ibnu Abidin dalam Hasyiyah Ibnu Abidin II/336- 337 (Abu
Fawaz, 2014). Dalil-dalil syar’i yang melandasi pendapat ini di antaranya adalah firman
Allah Swt. dalam Q.S. Al-Baqarah: 117 dimana dalam ayat ini, Allah Swt. mengajarkan
tentang kebaikan hakiki dan agama yang benar dengan mensejajarkan antara: (1)
Pemberian harta yang dicintai kepada kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, musafir,
orang yang meminta-minta dan memerdekakan hamba sahaya, dengan (2) Iman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, mendirikan sholat, menunaikan
zakat, dan menepati janji, dan lain-lainnya. Point-point dalam kelompok pertama,
bukannya hal yang sunnah, tapi termasuk pokok-pokok yang hukumnya fardhu, karena
disejajarkan dengan hal-hal yang fardhu, dan bukan termasuk zakat, karena zakat
disebutkan tersendiri juga. Meski demikian, dalam penerapan pengambilan pajak ini
harus memenuhi beberapa persyaratan, seperti yang dijelaskan Abu Fawaz (2014),
yakni:
Pertama: Negara komitmen dalam penerapan syariat Islam; kedua: Negara sangat
membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum, seperti pembelian alat-alat
perang untuk menjaga perbatasan negara yang sedang dirongrong oleh musuh; ketiga:
Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh negara, baik dari zakat, jizyah, al
‘usyur, kecuali dari pajak; keempat: Harus ada persetujuan dari para ulama dan tokoh
masyarakat; kelima: Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari orang kaya saja,
dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus adil dan
merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat tertentu, apalagi yang mengandung
unsur dosa dan maksiat; keenam: Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan
secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika negara dalam keadaan
genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja; ketujuh: Harus dihilangkan
dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja;
kedelapan: Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu
itu saja. (Lihat syarat-syarat ini secara lengkap dalam Abhats Fiqhiyyah Fi Qadhaya Az-
Zakat Al-Mu’ashirah II/621-623) (Abdullah 2018).
Berdasarkan syarat-syarat tersebut, tersirat bahwa kalaupun terpaksa
diterapkannya pemungutan pajak oleh negara terhadap kaum muslim, maka
penerapannya haruslah adil. Keadilan dalam Islam merupakan konseptualisasi
pembentukan nilai moral dan sosial yang menunjukan keadilab, keseimbangan dan
kesederhanaan, implikasinya bagi pelaku individual ialah petama-tama bahwa seseorang
tidak seharusnya melanggar batasan orang lain, dan kedua seseorang harus
memberikan kepada orang lain juga dirinya sendiri apa-apa yang menjadi haknya.
Diperbolehkannya memungut pajak menurut para ulama tersebut di atas, alasan
utamanya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat, karena dana pemerintah
tidak mencukupi untuk membiayai berbagai “pengeluaran”, yang jika pengeluaran itu
tidak dibiayai, maka akan timbul kemadharatan. Sedangkan mencegah kemudaratan
adalah juga suatu kewajiban. Sebagaimana kaidah ushul fiqh: Ma layatimmu al-wajibu
illa bihi fahuwa wajibun (Suatu kewajiban jika tidak sempurna kecuali dengan sesuatu,
maka sesuatu itu hukumnya wajib). Semua khulafa ar-Rasyidin, terutama Umar, Ali,
dan Umar bin Abdul Aziz dilaporkan telah menekankan bahwa pajak harus
dikumpulkan dengan keadilan dan kemurahan, tidak diperbolehkan melebihi
kemampuan rakyat untuk membayar, juga jangan sampai mengakibatkan mereka tidak
mampu memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (Abdullah 2018).
0
Pajak dalam Islam dan Hubungan dengan Pajak di Indonesia
Pajak merupakan salah satu bentuk pendapatan Negara dan yang harus
diperhatikan oleh pemerintah adalah pengelolaannya harus ditujukan untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan Negara. Sedangkan pajak menurut Pasal
23A UUD Negara RI Tahun 1945, merupakan wewenang penuh pemerintah untuk
mengambilnya dari rakyat dan dikelola serta distribusiannya, sesuai dengan
penggunaaanya. Adapun prinsip penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah
dalam pengelolaan pajak, dipergunakan untuk:
1. Pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik.
2. Pembangunan hukum.
3. Mensejahterakan masyarakat dan memberantas kemiskinan.
4. Pertahanan dan keamanan Negara.
5. Pendidikan.
Ulama berpendapat tentang kewajiban taat kepada ulil amri ini wajib selama tidak
mengajak kepada maksiat atau kekufuran yang nyata. `Pajak juga diperbolehkan setelah
zakat ditunaikan, atau dengan kata lain, bayar zakat dulu baru kemudian pajak
dipungut. Kewajiban pajak bukan karena adanya harta melainkan karena adanya
kebutuhan mendesak, sedangkan baitul mal kosong atau tidak mencukupi.
Pemberlakuan pajak adalah situasional, tidak harus terus menerus. Ia bisa saja
dihapuskan bila baitul maal sudah terisi kembali. Pajak diwajibkan hanya kepada kaum
muslimin yang kaya. Karena sistem perpajakan dalam Islam memiliki peran penting
dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pajak yang ditetapkan dalam hukum
Islam adalah pajak yang ditentukan oleh Negara. Karena Negara memerlukan
pendanaan untuk membiayai sektor investasi, manajemen dan membangun sistem
ekonomi yang sehat dan kuat. Sementara, dana yang didapat dari zakat tidak
mencukupi, sehingga diperlukan dana dari sektor lain, yaitu pajak. Pajak ditetapkan
untuk memenuhi kebutuhan dana bagi negara. Suntikan dana dari pajak berarti
distribusi kekayaan dan pendapatan terisi kembali di tengah masyarakat dengan cara
yang lebih adil yang diawasi dan dikelola oleh negara (Solekhan 2016).
Bagi masyarakat Indonesia, tampaknya kesadaran akan zakat ini masih sangat
kecil. Rasa cinta terhadap harta jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengabdian dan
ketaatan kepada Allah Swt. sehingga tampak begitu sulit untuk mengeluarkan zakat,
terutama zakat harta yang seharusnya dipenuhi dan dilaksanakan. Jika memperhatikan
jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 70 persennya adalah umat Islam, maka
seharusnya kebutuhan anggaran pembangunan negara untuk kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat dapat terpenuhi dari dana zakat warga negaranya.
Berdasarkan hasil penelitian BAZNAS, Potensi zakat nasional pada tahun 2015
diproyeksikan mencapai angka Rp. 286 triliun (Baznas, 2016, hlm. 6). Jika angka ini
terpenuhi, maka tentunya kebutuhan anggaran negara dapat tertanggulangi. Namun
pada kenyataannya, data aktual penghimpunan zakat, infaq dan sedekah nasional oleh
OPZ resmi pada tahun 2015 baru mencapai Rp. 3,7 triliun yang berarti hanya 1,3 % dari
potensi zakat nasional. Ini membuktikan bahwa begitu kecil ketersediaan anggaran jika
pemerintah mengandalkan sumber pendapatan negara dari zakat, dan mungkin hal ini
pula lah yang menyebabkan masih dipertahankannya sistem pemberlakuan pajak bagi
seluruh warga negara di Indonesia, termasuk kaum muslim.
Sementara itu, dalam perspektif Islam pemberlakuan pajak harus diterapkan
hanya kepada kaum non muslim, namun terpaksa pajak ini diberlakukan pemerintah
kepada seluruh masyarakat. Dengan kondisi ini, maka kaum muslim pun memikul
beban kewajiban kepada pemerintah untuk untuk turut membayar pajak. Jika sistem
pajak oleh pemerintah ini dipandang sebagai suatu kezaliman kepada kaum muslim
sebagaimana dikemukakan dalam pendapat para ulama yang mengharamkan pajak,
apakah kaum muslim diperbolehkan untuk melakukan perlawanan? Maka jawabannya
adalah bahwa dalam keadaan demikian, kaum muslimin tidak boleh melakukan
perlawanan atau pemberontakan demi untuk menghindari kemudharatan yang lebih
besar. Dan jika harta mereka diambil penguasa secara paksa sebagai pajak, maka
berlaku bagi mereka hukum orang yang terpaksa melakukan sesuatu yang haram dan
tidak dianggap sebagai dosa. Sementara itu, Syaikh Shalih Al-Fauzan Hafidzahullah
memberi alasan yang sangat tepat dalam masalah ini. Beliau mengatakan bahwa
melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar atas
kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan mengambil harta
kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya,
seperti akan berakibat terpecahnya persatuan kaum muslimin, dan memudahkan kaum
kafir menguasai kaum muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu) (Abdullah
2018).

KESIMPULAN
Pajak adalah penyerahan pembayaran dari sektor swasta kepada negara,
berdasarkan Undang-Undang dan gunanya untuk membiayai pengeluaran umum. Pada
masa Nabi saw. tidak diterapkan pemungutan pajak dilihat dari ketidaktersediaan
hadis-hadis tentang perkara tersebut. Pajak sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang
non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka
ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum muslimin, para ulama dari zaman
sahabat, tabi’in hingga sekarang berbeda pendapat di dalam menyikapinya. Di dalam
kehidupan masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia, hal ini senantiasa menjadi
dilema dimana di satu sisi menghendaki diterapkannya syariat Islam secara utuh, dan di
sisi lain pajak dipandang perlu untuk diberlakukan sebagai upaya memenuhi
kepentingan negara dalam membangun kesejahteraan seluruh masyarakatnya. Pajak
diwajibkan hanya kepada kaum muslimin yang kaya. Karena sistem perpajakan dalam
Islam memiliki peran penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dengan
kondisi ini, maka kaum muslim pun memikul beban kewajiban kepada pemerintah
untuk untuk turut membayar pajak. Jika sistem pajak oleh pemerintah ini dipandang
sebagai suatu kezaliman kepada kaum muslim sebagaimana dikemukakan dalam
pendapat para ulama yang mengharamkan pajak, apakah kaum muslim diperbolehkan
untuk melakukan perlawanan? Maka jawabannya adalah bahwa dalam keadaan
demikian, kaum muslimin tidak boleh melakukan perlawanan atau pemberontakan demi
untuk menghindari kemudharatan yang lebih besar. Dan jika harta mereka diambil
penguasa secara paksa sebagai pajak, maka berlaku bagi mereka hukum orang yang
terpaksa melakukan sesuatu yang haram dan tidak dianggap sebagai dosa.

DAFTAR PUSTAKA
Artikel Jurnal:
Abdullah, Mulyana. 2018. “MENYIKAPI PEMBERLAKUAN ZAKAT DAN PAJAK DALAM
PERSPEKTIF ISLAM.” taklim 593.

Fidiana, Fidiana. 2015. “KEPATUHAN PAJAK DALAM PERSPEKTIF NEO ASHABIYAH.”


EKUITAS (Jurnal Ekonomi dan Keuangan) 19(2):260–75. doi:
10.24034/j25485024.y2015.v19.i2.89.

Fikri, Muhammad, dan Husni Thamrin. 2021. “Revitalisasi Konsep Pajak Dalam
Perspektif Islam.” JURNAL TAMADDUN UMMAH 1(2):26–34.

Fitriani, Rahma. 2013. “ZAKAT DAN PAJAK: PERSPEKTIF ISLAM.” Al-Mabsut : Jurnal
Studi Islam Dan Sosial 6(1):123–35.

Gazali, Gazali. 2015. “PAJAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF.”
Mu’amalat: Jurnal Kajian Hukum Ekonomi Syariah 7(01):84–102.
Haskar, Edi. 2020. “HUBUNGAN PAJAK DAN ZAKAT MENURUT PERSPEKTIF ISLAM.”
Menara Ilmu 14(2). doi: 10.31869/mi.v14i2.1879.

Hidayatulloh, M. Haris. 2019. “Peran Zakat Dan Pajak Dalam Menyelesaikan Masalah
Perekonomian Indonesia.” Al-Huquq: Journal of Indonesian Islamic Economic Law
1(2):102–21.

Hr, Musfirah. 2021. “Zakat Dan Pajak Dalam Perspektif Hukum Islam.”

Luthfi, Khaidir, dan Ambo Asse. 2019. “Pajak Dalam Perspektif Hadis Nabi Saw.” Laa
Maisyir : Jurnal Ekonomi Islam 6(1):16–29.

Ramadhan, Muhammad Rheza. 2017. “INTEGRASI PAJAK DAN ZAKAT DI INDONESIA.”


ISLAMICONOMIC: Jurnal Ekonomi Islam 8(1).

Sari, Novita, Muhammad Iqbal Fasa, dan Suharto Suharto. 2021. “KEBIJAKAN PAJAK
DALAM MEMBANTU PEREKONOMIAN PADA MASA RESESI EKONOMI
BERDASARKAN PERSPEKTIF ISLAM.” Holistic Journal of Management Research
6(2):1–14.

Solekhan, Mohammad. 2016. “PAJAK DAN ZAKAT DILIHAT DARI HUKUM ISLAM.” Jurnal
Ilmiah Hukum Dan Dinamika Masyarakat 10(1).

Tahir, Masnun. 2015. “INTEGRASI ZAKAT DAN PAJAK DI INDONESIA DALAM TINJAUAN
HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM.” AL-’ADALAH 12(1):507–24. doi:
10.24042/adalah.v12i1.204.

Turmudi, Muhamad. 2015. “Pajak Dalam Perspektif Hukum Islam (Analisa Perbandingan
Pemanfaatan Pajak dan Zakat).” Al-’Adl 8(1):128–42.

Wahid, Moh Abdur Rohman. 2016. “INTEGRASI PAJAK DAN ZAKAT DI INDONESIA
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF.” el-Jizya : Jurnal Ekonomi
Islam 4(1):27–58.

Pajak B Kelompok 2

Nama dan Hasil Kerja:

1. Besse Husna Munawwarah : Menulis Hasil dan Pembahasan, Metode Penelitian,


Abstrack.
2. Irwan : Menulis Hasil dan Pembahasan, Pendahuluan, Tinjauan Literatur, Daftar
Pustaka
3. Muh.Akil Adnan : Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan ,

Anda mungkin juga menyukai