Anda di halaman 1dari 19

PEMUSATAN PENGELOLAAN ZAKAT, MEMBANGUN POTENSI

EKONOMI UMAT

Musafir

Abstrak

Diskursus ini menunjukkan kontestasi antara masyarakat sipil dan negara, di mana terdapat
kecenderungan pemerintah yang ingin mengambil peran dalam pengelolaan zakat dari
masyarakat umum dan masyarakat sipil yang mempertahankan pengelolaan zakat agar tidak
diambil alih oleh pemerintah. Makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi sistem
sentralisasi yang akan diterapkan dalam perubahan Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999
tentang pengelolaan zakat. Kesimpulan yang dapat diberikan terhadap implementasi sistem
pengelolaan sentralisasi zakat, infak, dan shodaqoh adalah sentralisasi memungkinkan
koordinasi baik dalam penggalangan dana maupun penyebarannya. Oleh karena itu,
diharapkan penggunaan yang lebih maksimal. Namun, harus ada pemisahan peran yang
jelas antara pemerintah dan sektor swasta dalam pengelolaan zakat, infak, dan shodaqoh.
Pemerintah bertindak sebagai regulator dan pengawas. Sementara lembaga pengelolaan
zakat memperkuat posisinya dengan diberikan kewenangan yang lebih luas untuk
peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Kata Kunci: Zakat, Sentralisasi

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Praktik pengelolaan zakat dalam sejarah Indonesia berakar dari praktek yang ada
dalam dunia Islam sejak abad ke-13 hingga ke-17 Masehi. Pada masa kolonial, pengelolaan
zakat diserahkan kepada masyarakat, sementara negara kolonial berusaha menghindari
campur tangan. Dengan berkembangnya pesantren, madrasah, dan organisasi civil society
Islam, filantropi berkembang secara alami. Filantropi memberikan sumbangan besar untuk
kemerdekaan Republik Indonesia pada masa kemerdekaan, seperti di Aceh, di Pulau Jawa,
dan beberapa daerah lainnya. Pada masa orde lama, negara hanya memberikan supervisi
dalam pengelolaan zakat. Sedangkan pada masa orde baru, negara mulai terlibat dalam
pengelolaan zakat melalui baziz. Filantropi Islam di Indonesia tidak lepas dari peran
lembaga-lembaga yang dikelola oleh masyarakat seperti Lembaga Amil Zakat (LAZ), serta
lembaga-lembaga di bawah ormas seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.1

1
Anonimous, Polemik Pengelolaan Zakat, (online), (http://www.csrc.or.id/berita/index. php?
detail=20090318224624, diakses 29 Januari 2024).
Pada masa reformasi, kontestasi antara agama dan negara semakin terlihat, di mana
terdapat dua jenis lembaga filantropi yang diakui, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang
merupakan unsur pemerintah, dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang merupakan unsur dari
masyarakat (civil society). Survei Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) tahun
2004 menemukan bahwa baru sekitar 5% masyarakat Muslim yang menyalurkan zakat
mereka ke lembaga ini. Sebagian besar masih menyalurkan kepada organisasi, lembaga-
lembaga Islam (termasuk pesantren, madrasah, dan masjid), kepada tokoh agama, dan
langsung kepada fakir miskin. Selain itu, survei juga menemukan masih rendahnya tingkat
kepercayaan masyarakat kepada BAZ, sementara tingkat kepercayaan terhadap LAZ cukup
tinggi. Peningkatan terlihat dengan berkembangnya LAZ, seperti Dompet Duafa yang setiap
tahun mengalami peningkatan dalam pengumpulan dana zakat.
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat di Indonesia telah
mendorong pembentukan organisasi-organisasi pengelola zakat. Hingga tahun 2023,
terdapat 38 BAZ tingkat Provinsi, 429 BAZ tingkat Kota/Kabupaten, 4771 BAZ tingkat
Kecamatan, dan 18 LAZ tingkat Nasional.2 Namun, UU ini hanya mengatur pengelolaan zakat
semata. Perlu diakui, jumlah lembaga amil zakat yang terbentuk telah mendorong
penghimpunan dana zakat dari masyarakat. Namun, dalam pelaksanaannya, keberadaan
banyak lembaga amil zakat tersebut belum cukup efektif dalam mendukung upaya
pengentasan kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya efektifnya lembaga zakat dalam
aspek pengumpulan, administrasi, pendistribusian, monitoring, serta evaluasi.3
Diperlukan pengawasan maksimal terhadap potensi penghimpunan dana zakat yang
besar dan banyaknya lembaga yang terlibat. Saat ini, Undang-Undang Pengelolaan Zakat
belum secara jelas mengatur pemisahan dan penugasan lembaga pengawas. Oleh karena itu,
perlunya revisi Undang-Undang tersebut. Salah satu usulan yang diajukan adalah
menerapkan sistem sentralisasi dalam pengelolaan zakat melalui Badan Amil Zakat yang
dibentuk oleh pemerintah di berbagai tingkat administrasi. Lembaga Amil Zakat masyarakat
akan berperan sebagai unit pengumpul zakat yang terintegrasi secara institusional dengan
Badan Amil Zakat pemerintah. Fungsi regulasi dan operasional dalam konteks zakat
Indonesia akan dipisahkan. Sebagai contoh, sebuah Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) yang

2
Abu Avisenna, Mengurai Strategi Pemasaran Organisasi-organisasi Pengelola Zakat, (online),
(http://ekonomi.kompasiana.com/marketing/2010/08/03/mengurai-strategipemasaran-organisasi-pengelola-
zakat/, diakses 29 Januari 2024).
3
Djamal Doa, Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Zakat Harta, (Jakarta: Nuansa Madani. 2001) , h. 46.
menghimpun dana zakat tidak akan memiliki kewenangan mengatur lembaga lain.
Diperlukan pendekatan yang hati-hati dalam pembahasan ini karena hal ini dapat
meningkatkan potensi pengembangan dana zakat, namun juga berpotensi bertentangan
dengan kepentingan negara jika tidak diatur dengan cermat.
Sejalan dengan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat,
pemerintah memiliki kewajiban untuk membentuk BAZ agar wajib pajak Muslim dapat
memperoleh tanda bukti pembayaran zakat yang diakui secara resmi oleh BAZ yang dibentuk
pemerintah. Tanda bukti tersebut memungkinkan wajib pajak untuk mengurangkan
pembayaran zakat dari Penghasilan Kena Pajak. Jika tidak ada BAZ resmi yang didirikan oleh
pemerintah, pembayaran zakat yang telah dilakukan oleh wajib pajak tidak dapat diakui oleh
Direktorat Jenderal Pajak sebagai potongan pajak. Isu zakat ini menjadi kewenangan dua
departemen yang terkait, yakni Departemen Keuangan dan Departemen Agama.4
Usulan revisi Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
mencakup tiga gagasan utama. Pertama, terkait tata kelola dan kelembagaan zakat. Kedua,
mengenai hubungan zakat dengan pajak. Dan terakhir, perlunya memberikan sanksi kepada
wajib zakat yang tidak memenuhi kewajibannya.5
Kewajiban membayar zakat telah menjadi praktik umat Islam selama ini, dengan
pemerintah berperan dalam mengelola agar dana tersebut terkelola dengan baik dan
didistribusikan kepada yang berhak serta untuk kepentingan produktif, sehingga dapat
memberikan stimulus pada ekonomi rakyat.
Salah satu alasan untuk melakukan amendemen terhadap Undang-Undang Nomor
38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat adalah agar pemerintah dapat mengelola zakat
melalui sistem sentralisasi melalui Badan Pengelola Zakat yang dibentuk pemerintah di
semua tingkatan pemerintahan. Sementara itu, Lembaga Amil Zakat yang telah ada akan
berperan sebagai unit pengumpul zakat yang terintegrasi secara institusional dengan Badan
Pengelola Zakat pemerintah. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas
pengumpulan dan penyaluran zakat. Selain itu, dalam amendemen terhadap Undang-
Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, tidak hanya mengatur
pengelolaan zakat, tetapi juga pengelolaan infaq dan shodaqoh, sehingga mengakibatkan
perubahan nama menjadi Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat, Infaq, dan Shodaqoh.
4
Djamal Doa, Pengelolaan Zakat oleh Negara.
5
Samsul Ma’arif, 2008, Mengawal Zakat di Parlemen. (online), (http://imz.or.id/new/
article/118/mengawal-zakat-di-parlemen/, diakses 25 Januari 2011).
Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana implementasi pengelolaan zakat secara sentralisasi dan dampaknya bagi
sistem tersebut?
2. Apa strategi untuk memasyarakatkan zakat dengan sistem sentralisasi?
Landasan Konseptual
A. Zakat
Zakat memiliki makna suci, pertumbuhan, peningkatan, dan berkah. Dengan
demikian, zakat membersihkan diri seseorang dan harta mereka, serta memberikan
tambahan pahala, pertumbuhan harta, dan berkah. 6 Powell (2009) juga menggambarkan
zakat sebagai bentuk pembersihan atau pemurnian. Zakat adalah kewajiban bagi individu
yang mampu dan memenuhi syarat, sedangkan shodaqoh bersifat sukarela. 7 Pengertian
zakat menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 adalah sejumlah harta yang wajib
disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan
ajaran agama Islam untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Zakat saat ini telah mengalami dua gelombang perubahan dan kini memasuki fase
ketiga.8 Gelombang Pertama terjadi ketika zakat didistribusikan sebagai santunan dan
langsung diberikan kepada yang berhak, biasanya untuk kebutuhan konsumtif. Pendekatan
ini sering digunakan oleh pemerintah dalam program pengentasan kemiskinan seperti
Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Beras Miskin (Raskin).
Gelombang Kedua terjadi ketika zakat digunakan untuk meningkatkan kemandirian
masyarakat miskin. Fokusnya adalah pada pengembangan akses permodalan yang lebih luas
dan pendampingan terhadap masyarakat miskin. Namun, muncul permasalahan terkait
dengan kedua program tersebut. Pertama, terkait dengan kebijakan negara terhadap
kegiatan masyarakat. Kedua, terkait dengan kapasitas institusi. Kapasitas lembaga non-profit
yang mengelola dana sangatlah terbatas dibandingkan dengan kekuatan negara sebagai
salah satu pelaku ekonomi dan pasar.

6
M. Ali Hasan, Zakat dan Infak Salah Satu Solusi Mengatasi Problema Sosial di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 15.
7
Russell Powell, Zakat Drawing Insights for Legal Theory and Economic Policy from Islamic
Jurisprudence, (online), (http:ssrn.com/abstract=1351024, diakses 29 Februari 2024).
8
Msabeth Abilawa, Gelombang Ketiga Peradaban Zakat, (online), (http://imz.or.id/
new/article/481/gelombang-ketiga-peradaban-zakat/, diakses 29 Januari 2024).
Gelombang Ketiga terjadi ketika lembaga-lembaga pelaku zakat seperti Lembaga Amil
Zakat (LAZ) mengambil peran sebagai mitra pemerintah dalam upaya memandirikan umat
melalui advokasi kebijakan guna menciptakan keadilan sosial. Dalam konteks yang lebih luas,
LAZ ikut serta dalam memengaruhi kebijakan pemerintah yang lebih pro-poor, mengawasi
peran pemerintah dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan, serta membela
hak-hak masyarakat yang terdampak oleh kebijakan negara.
B. Sistem Tata Kelola Zakat
Pengelolaan zakat dianggap sebagai suatu sistem karena melibatkan banyak pihak
dalam pelaksanaannya. Sistem zakat merupakan mekanisme pengalihan kekayaan dan
pergerakan modal untuk pembangunan yang mencakup pemerataan kepemilikan bukan
hanya pemerataan pendapatan. Oleh karena itu, sifat dan karakteristik sistem zakat dapat
dijelaskan sebagai berikut:9
1. Berorientasi pada "kelompok lemah" dalam masyarakat, baik secara materi maupun
spiritual.
2. Zakat memiliki dampak sosial, ekonomi, keamanan, ilmu/teknologi, akhlak, dan
keimanan.
3. Sistem zakat menekankan kemaslahatan umum yang secara langsung bermanfaat
bagi "kelompok kuat" dalam masyarakat.
4. Diperlukan manajemen yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
koordinasi, dan evaluasi dalam pelaksanaan sistem zakat.
Dalam pengelolaan zakat, terdapat beberapa prinsip yang harus diikuti dan dijunjung
tinggi agar pengelolaan dapat berhasil sesuai harapan, antara lain:10
1. Prinsip Keterbukaan, yang mengharuskan pengelolaan zakat dilakukan secara terbuka
dan diketahui oleh masyarakat umum.
2. Prinsip Sukarela, yang menekankan bahwa dalam pemungutan atau pengumpulan
zakat seharusnya didasarkan pada prinsip sukarela dari umat Islam yang
menyerahkan harta zakatnya tanpa adanya unsur pemaksaan atau tekanan.
3. Prinsip Keterpaduan berarti bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, harus
dilakukan secara terpadu antara komponen-komponen lainnya.

9
Muhammad,Wacana Pemikiran dalam Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Salemba Diniyah. 2002), h. 45.
10
Febrianti dkk. 2009, Lembaga Pengelola Zakat, (online), (http://hendrakholid.net/blog/ 2009/04/19/ lembaga-
pengelola-zakat/, diakses 30 Januari 2024).
4. Prinsip Profesionalisme mengacu pada pengelolaan zakat yang harus dilakukan oleh
individu yang ahli di bidangnya, baik dalam administrasi, keuangan, dan aspek
lainnya.
5. Prinsip Kemandirian, yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari prinsip
profesionalisme, mengharapkan lembaga-lembaga pengelola zakat dapat mandiri
dan mampu melaksanakan tugas serta fungsinya tanpa perlu mengandalkan bantuan
dari pihak lain.
C. Sentralisasi Pengelolaan Zakat
Sentralisasi adalah proses memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil
manajer atau individu yang berada di posisi puncak dalam suatu struktur organisasi.
Kelebihan dari sistem ini adalah pemerintah pusat tidak terganggu oleh permasalahan yang
timbul akibat perbedaan dalam pengambilan keputusan, karena seluruh keputusan dan
kebijakan dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Namun, kelemahan dari sistem
sentralisasi adalah bahwa semua keputusan dan kebijakan di daerah dihasilkan oleh pihak-
pihak yang berada di pemerintah pusat, sehingga waktu yang diperlukan untuk membuat
keputusan menjadi lebih lama.11
1. Keunggulan Sentralisasi
Secara teoritis adalah sebagai berikut:12
a. Organisasi menjadi lebih ramping dan efisien karena semua aktivitas terpusat,
sehingga pengambilan keputusan menjadi lebih mudah.
b. Perencanaan dan pengembangan organisasi lebih terintegrasi karena tidak ada
jarak yang terlalu jauh antara unit pengambilan keputusan dan unit yang akan
melaksanakan atau terpengaruh oleh keputusan tersebut.
c. Satu aset dapat digunakan bersama tanpa perlu menyediakan aset yang sama
untuk pekerjaan yang berbeda.
d. Koordinasi menjadi lebih mudah karena ada kesatuan perintah.
e. Keahlian dari anggota organisasi dapat dimanfaatkan secara maksimal karena
pimpinan dapat memberi wewenang.

11
Anonimous, Definisi/Pengertian Sentralisasi dan Desentralisasi–Ilmu Ekonomi Manajemen, (online),
(http://organisasi.org/definisi_pengertian_sentralisasi_dan_ desentralisasi_ ilmu_ekonomi_manajemen, diakses 30 Januari
2024).
12
Anonimous, Rumusan Pengelolaan Terpadu Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, (online),
(http://www.uin-suka.info/joomlakusuka/pengelolaan/sentralisasi _desentralisasi.htm, diakses 14 Februari 2011).
Sisi positif dari sistem sentralisasi adalah pertama, perekonomian akan lebih terarah
dan teratur karena hanya pusat yang mengatur perekonomian. Kedua, sistem sentralisasi
dapat meminimalisir perbedaan kebudayaan di Indonesia, sehingga setiap daerah tidak
menonjolkan kebudayaannya sendiri dan memperkuat semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Keempat, keamanan lebih terjamin karena jarang terjadi konflik antar daerah yang
mengganggu stabilitas keamanan nasional. Kelima, pemerintah tidak menghadapi masalah
akibat perbedaan pengambilan keputusan karena semua keputusan dan kebijakan
dikoordinir oleh pemerintah pusat.
2. Kelemahan sentralisasi
Beberapa kelemahan dalam sentralisasi adalah:13
1. Kemungkinan penurunan kecepatan dan kualitas pengambilan keputusan karena
faktor-faktor yang tidak dipertimbangkan.
2. Demotivasi dan disinsentif bagi pengembangan unit organisasi karena dominasi
pimpinan yang tinggi.
3. Penurunan kecepatan merespon perubahan lingkungan.
4. Peningkatan kompleksitas pengelolaan organisasi.
5. Perspektif yang luas namun kurang mendalam dalam pengambilan keputusan.
Dampak negatif dari sentralisasi adalah pertama, daerah dianggap hanya sebagai
sumber pendapatan dan tidak memiliki kontrol atas kebijakan perekonomiannya sendiri,
sehingga keuangan terpusat pada pemerintah pusat. Kedua, dominasi pemerintah pusat
dapat menghambat kreativitas dan inisiatif lokal dalam membangun daerahnya sendiri.
Ketiga, dominasi organisasi tertentu, seperti organisasi militer, sering kali muncul, sehingga
menguatkan hak-hak organisasi tersebut di atas organisasi lain. Keempat, pemerintah daerah
menjadi kurang berkembang karena tergantung pada keputusan pusat. Waktu yang
dibutuhkan untuk menghasilkan keputusan juga menjadi lama dan menghambat realisasi
kebijakan tersebut.14
Pembahasan
A. Pengelolaan Zakat secara Sentralisasi

13
ibid
14
Anonimous, Sentralisasi, (online), (www.docstoc.com/docs/31480938/ sentralisasi-dan- disentralisasi, diakses 14
Februari 2011).
Pengelolaan zakat tradisional-konvensional adalah pengelolaan yang dilakukan secara
sambil lalu atau sekedarnya saja, bersifat temporer (pendek-terbatas), dan dikelola tanpa
mensyaratkan kompetensi.
Adapun model pengelolaan zakat yang modern profesional, setidaknya memiliki
beberapa ciri, yaitu:15
1. Dilakukan secara full-time, yang berarti pengelolaan zakat dilakukan dalam jam kerja
dengan jumlah hari kerja minimal 5 hari dalam seminggu.
2. Amil adalah orang-orang terseleksi dan memiliki kompetensi, dengan komitmen,
kapasitas, kapabilitas, dan integritas sesuai dengan tugas keamilan yang
mensyaratkan standar moral dan integritas yang tinggi.
3. Amil mendapatkan balas jasa yang wajar berupa gaji yang berasal dari hak amil dan
memenuhi kebutuhan standar untuk hidup layak.
4. Penilaian kinerja perorangan maupun tim berorientasi pada prestasi, di mana setiap
amil dituntut untuk bekerja dan memberikan hasil yang terbaik.
5. Bekerja sesuai standar manajemen modern, seperti visi dan misi, strategi,
perencanaan tahunan, sasaran mutu, monitoring, dan evaluasi perkembangan secara
periodik.
6. Mengimplementasikan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas, dengan
melakukan pencatatan setiap kegiatan atau transaksi dengan benar, menyusun
laporan, dan mempublikasikan laporan kegiatan dan keuangannya kepada publik.
Dengan demikian, masyarakat memiliki kesempatan untuk mengakses informasi
kegiatan dan keuangan lembaga pengelola zakat.
Dalam konsep pengelolaan zakat yang diusulkan pemerintah melalui amandemen
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, hanya akan ada satu
lembaga yang bertugas melakukan pengelolaan dan pemberdayaan dana zakat. Lembaga
zakat lain yang sudah ada akan berfungsi sebagai pengumpul dana semata. Dengan posisi
ini, lembaga zakat dari masyarakat sipil akan menjadi sub-ordinasi dari lembaga zakat
pemerintah. Lembaga ini juga akan bertindak sebagai penyalur dana yang telah terkumpul,
tetapi tidak memiliki kewenangan untuk menentukan besaran dan penerima dana zakat.
Dengan demikian, fungsi lembaga zakat yang ada akan terbatas sebagai operator teknis.
Sementara itu, fungsi regulator akan dipusatkan di BAZ.
15
Didin Hafidhuddin, Budaya Kerja Amil Sebagai Prasyarat Kepercayaan, (Al-Azhar Pres: Bogor, 2018), h. 43
Beberapa argumen terkait penyatuan manajemen zakat adalah sebagai berikut:
Pertama, dari segi historis, pemerintah dipandang sebagai satu-satunya aktor dalam
pengelolaan zakat di Indonesia. Hal ini didasarkan pada dikeluarkannya Peraturan Menteri
Agama Nomor 4 tahun 1968 yang membentuk Badan Amil Zakat (BAZ) oleh negara di tingkat
kelurahan dan desa. Meskipun peraturan ini kemudian ditangguhkan melalui Instruksi
Menteri Agama Nomor 1 tahun 1969, konsep pengelolaan zakat semacam ini tetap menjadi
keinginan pemerintah.
Aspek kedua adalah efektivitas dalam pengumpulan dan pemanfaatan zakat. Zakat,
yang dipandang oleh banyak cendekiawan dan praktisi sebagai instrumen sosio-ekonomi
yang mengalir dari "yang memiliki" kepada "yang kurang memiliki", membutuhkan
kekuasaan dan kewenangan yang besar untuk dikumpulkan dan disalurkan secara merata
kepada yang berhak. Hanya pemerintah, dengan kekuasaan yang kuat dan alat penegak
hukum yang memadai, yang mampu melaksanakannya. Di sisi lain, pemerintah memiliki
kewajiban untuk menjamin kesejahteraan dan pemenuhan hak dasar masyarakatnya, dan
zakat merupakan salah satu instrumen kapital yang dapat digunakan untuk tujuan tersebut.
Aspek ketiga, dengan melibatkannya peran masyarakat untuk berpartisipasi aktif
dalam pengembangan dunia zakat melalui Pasal 7 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999,
menyebabkan lembaga zakat tumbuh dengan cepat. Hal ini dianggap tidak sehat bagi
pendukung argumen sentralisasi pengelolaan zakat karena menyebabkan kompetisi dan
kurangnya koordinasi antara lembaga zakat yang ada dalam menjalankan tugas dan peran
mereka. Oleh karena itu, diperlukan satu lembaga yang kuat dan memiliki jangkauan
organisasi hingga tingkat terbawah untuk memastikan pengumpulan, penyaluran, dan
pemanfaatan dana zakat dapat dioptimalkan secara menyeluruh. Beberapa argumen terkait
penyatuan manajemen zakat adalah sebagai berikut:
Zakat merupakan ibadah maaliyah ijtimaiyyah yang memiliki posisi sangat penting,
strategis, dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan
kesejahteraan umat.16 Oleh karena itu, dari perspektif pembangunan kesejahteraan umat,
zakat memiliki potensi untuk mengarahkan pemerataan pendapatan dari kelompok ekonomi
mampu kepada kelompok ekonomi lemah. Contohnya, dengan penyaluran langsung atau
melalui pembangunan usaha produktif yang dapat menyerap tenaga kerja.

16
Didin Hafidhuddin, Optimalisasi Pendayagunaan Zakat Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS, (Jakarta: Piramedia), h. 164.
Data tahun 1996 menunjukkan bahwa dana zakat yang terkumpul secara nasional
melalui BAZIS mencapai 229 miliar rupiah, dan hingga bulan Juli tahun 1997, terkumpul dana
sebesar 235 miliar rupiah. Meskipun jumlah tersebut masih jauh dari potensi yang ada
dalam masyarakat Islam Indonesia, namun dengan manajemen yang baik dan penyaluran
untuk usaha produktif, zakat dapat secara signifikan meningkatkan pemerataan pendapatan
di kalangan ekonomi lemah.
Maka dari itu, diperlukan rencana strategis untuk pengelolaan zakat secara
sentralisasi, termasuk tata kelola dan pengaturan kelembagaan yang jelas seperti pemisahan
peran regulator, pengawas, dan operator, serta standarisasi manajemen mutu pengelolaan
zakat. Hal ini akan memastikan bahwa pengelolaan zakat dapat dilakukan secara sistematis,
optimal, dan akuntabel. Peran pemerintah sebagai pengawas sangat diperlukan karena zakat
merupakan sistem pengalihan harta yang melibatkan mobilisasi pengumpulan dan
pendistribusian. Tujuan dan manfaat pengelolaan zakat oleh pemerintah termasuk:
1. Tujuan Pengelolaan Zakat oleh Pemerintah:
a. Menghindari pungutan ganda pajak dan zakat;
b. Menyelenggarakan pengumpulan zakat secara tertib dan optimal;
c. Memastikan penyaluran zakat tepat sasaran dan produktif;
d. Mendorong pemerataan pendapatan, mengurangi kecemburuan sosial, serta
menurunkan tingkat kriminalitas.
2. Manfaat Pengelolaan Zakat oleh Pemerintah:
a. Meningkatkan penerimaan negara dalam APBN untuk meningkatkan anggaran
pembangunan;
b. Meningkatkan jumlah wajib pajak dan wajib zakat;
c. Administrasi wajib zakat dapat dikelola secara akurat dan modern;
d. Meningkatkan tax ratio, diharapkan meningkatnya penerimaan pajak dan zakat
dapat mendukung pasal 34 UUD 1945 mengenai pemeliharaan fakir miskin dan
anak terlantar;
e. Anggaran pendidikan dapat ditingkatkan karena pendidikan termasuk dalam
golongan yang berhak menerima zakat harta;
f. Membantu permodalan pengusaha kecil dan golongan ekonomi lemah yang
berhak menerima zakat harta.
Penerapan konsep sentralisasi pengelolaan zakat oleh pemerintah adalah tindak
lanjut dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan ketiga atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Pasal 9 huruf g mengatur mengenai
pengurangan pajak untuk zakat atas penghasilan yang dibayarkan oleh wajib pajak pemeluk
agama Islam kepada Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat.
Pemerintah tidak perlu khawatir terhadap pengurangan penghimpunan dana pajak
akibat zakat. Di Singapura dan Malaysia, zakat telah menjadi instrumen pengurang pajak
selama lebih dari lima tahun. Performa penghimpunan pajak, terutama di Malaysia, terus
menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir, sebagaimana
terungkap dalam laporan Kementerian Keuangan Malaysia 2006 dan Laporan Pusat
Pungutan Zakat Malaysia 2006 yang menunjukkan korelasi positif antara pendapatan pajak
dan zakat.17
Namun, dana zakat yang terkumpul tidak disalurkan ke dalam APBN Malaysia,
melainkan langsung masuk ke dalam rekening khusus lembaga zakat yang diawasi secara
ketat oleh pemerintah. Hal ini karena jika disalurkan melalui APBN, penyaluran zakat menjadi
lebih lambat dan kurang fleksibel, yang dapat menyulitkan mustahik yang berhak menerima
zakat. Yang lebih penting adalah adanya mekanisme pertanggungjawaban penggunaan dana
zakat yang transparan, terukur, dan jelas, sehingga kepercayaan pemerintah dan masyarakat
tetap terjaga dengan baik.
B. Dampak Tata Kelola Zakat secara Sentralisasi
Usulan sentralisasi sistem pengelolaan zakat dalam amandemen Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat akan menimbulkan dua konsekuensi.
Pertama, sentralisasi memerlukan kesiapan infrastruktur penunjang. Ketersediaan amil
profesional, pengelolaan berbasis manajemen modern, dan strategi pendayagunaan yang
tertata rapi merupakan elemen kesiapan yang menjadi faktor penting. Kedua, secara
filosofis, sentralisasi pengelolaan zakat oleh negara hanya akan semakin menjauhkan dari
inti persoalan sesungguhnya yang sedang dihadapi oleh dunia zakat kita. Persoalan utama
sistem pengelolaan zakat adalah memaksimalkan pengumpulan dan penyaluran dana zakat
yang selama ini belum bisa terlaksana karena berbagai hal.

17
Noor Aflah, Arsitektur Zakat Indonesia, (Jakarta: UI Press, 2009), h. 77.
Salah satu isu terpenting yang muncul dalam usulan revisi Undang-Undang Nomor 38
tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat adalah soal aturan kelembagaan dalam pengelolaan
zakat. Yakni, apakah pengelolaan zakat dilakukan secara sentralistik oleh negara ataukah
memberi ruang bagi publik untuk turut serta dalam pengelolaan zakat. Banyaknya lembaga
zakat saat ini membuat pemerintah sulit untuk melakukan pengawasan. Apabila zakat
dikelola secara baik dan terpadu, maka pemerintah juga dapat dengan mudah membuat
kebijakan dan peraturan terkait zakat yang bertujuan untuk pengembangan zakat ke depan,
misalnya zakat sebagai pengurang pajak.
Dalam konsep pengelolaan zakat yang disodorkan oleh pemerintah, hanya akan
dikenal satu lembaga yang melakukan tugas pengelolaan dan pemberdayaan dana zakat.
Sementara lembaga zakat lain yang selama ini ada, diposisikan sebatas pengumpul dana
semata. Dengan posisi ini, lembaga zakat bentukan masyarakat sipil akan diposisikan sebagai
sub-ordinasi dari lembaga zakat pemerintah tersebut.
Namun, usulan sentralisasi ini juga menghadapi kendala-kendala. Dari konteks
kelembagaan zakat, wacana yang akan menjadikan lembaga zakat prakarsa masyarakat sipil
sebatas Unit Pengumpul Zakat (UPZ) adalah salah satu bentuk pemasungan partisipasi
masyarakat, baik secara politik kebijakan maupun sosial-kemasyarakatan. Fungsi dan peran
otonom lembaga zakat yang selama ini dimiliki dalam merancang dan mengimplementasikan
program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui dana zakat yang dikelola akan
dipangkas.
Sementara sistem pengelolaan zakat di Indonesia pada awalnya bukanlah negara
yang memiliki peran. Justru pengelolaan yang berbasis masyarakat telah jauh dilakukan
bahkan sebelum Republik ini terbentuk. Zakat yang dikelola oleh masjid, pesantren, kyai,
hingga komunitas perkumpulan telah melakukan dan mengembangkan hal tersebut. Akan
menjadi persoalan tersendiri mengubah perilaku masyarakat yang terbiasa menyalurkan
melalui lembaga zakat berbasis masyarakat lalu diarahkan secara paksa pada satu lembaga
saja.
Penyatuan lembaga justru kontradiktif dengan kiprah dan kinerja lembaga zakat
masyarakat sipil yang prestatif, baik dalam kegiatan penghimpunan, program pemberdayaan,
maupun aksi kemanusiaan. Keunggulan utama lembaga zakat yang mencakup kecepatan,
keleluasaan, dan kreativitas dalam melakukan aksi kegiatan bisa hilang. Posisi sebagai Unit
Pengumpul Zakat (UPZ) dari badan zakat yang dibentuk pemerintah hanya mengizinkan
untuk melakukan kegiatan penghimpunan, tidak pada pendistribusian dan pemberdayaan.
Di sini fungsi dan peran masyarakat untuk berpartisipasi menjadi terpasung.
Maka, wacana penyatuan lembaga zakat patut dipertimbangkan kembali dengan
matang. Pertama, hal ini tidak sesuai dengan fakta sejarah sosio-kultural masyarakat
Indonesia yang sudah terbiasa menyalurkannya melalui lembaga, organisasi, maupun basis-
basis masyarakat sipil. Kedua, langkah ini akan memotong akses masyarakat dalam
berpartisipasi aktif pada pengembangan masyarakat melalui pengelolaan dana zakat yang
dikelola secara mandiri. Ketiga, langkah tersebut bertentangan dengan nurani demokrasi
serta prinsip good governance, yang ironisnya menjadi keinginan kuat presiden untuk lebih
dikembangkan lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.18
Salah satu dampak mendasar dari pengumpulan zakat, infak, dan sedekah (ZIS) di
BAZ adalah menjadi bagian dari APBN, yang berarti akan menguatkan keuangan negara. Hal
ini otomatis akan mengganggu proses penyaluran dana ZIS.
Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
disebutkan bahwa semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi
kewajiban negara dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN.
Dengan demikian, apabila mengikuti pendapat ini, tidak bisa leluasa memanfaatkan dana
zakat untuk program-program yang dirancang lembaga zakat, karena tergantung pembagian
dari pusat.
Sementara dari segi lembaga atau Organisasi Pelaksana Zakat (OPZ), diperlukan tujuh
komponen agar dapat beroperasi secara efektif. Tujuh komponen tersebut adalah:19
1. Tata Kepengurusan (Governance)
Tata kepengurusan mengacu pada kepemimpinan dan pembagian peran, tugas, serta
kewenangan dalam sebuah organisasi pengelola zakat. Kepemimpinan terkait dengan
pengelolaan kewenangan yang telah ditetapkan pada pengawas, pengurus, pembina,
dan tim pelaksana. Pengurus menetapkan kebijakan-kebijakan utama, menjaga
independensi pengawasan terhadap badan pelaksana, dan memastikan perencanaan
strategis telah disusun secara efektif untuk mencapai misi organisasi.

18
Arif R. Haryono, 2009, Zakat dan Masyarakat yang Dikekang, (online), (http://imz.or.id/
new/article/112/zakat-dan-masyarakat-yang-dikekang/, diakses 30 Januari 2024).

19
Nana Mintarti, Pentingnya Penguatan Kapasitas OPZ, (Al-Kautsar: Jakarta, 2007), h. 33
2. Praktik Manajemen
Sistem manajemen adalah mekanisme untuk mengkoordinasikan berbagai kegiatan
dan proses dalam organisasi agar dapat berjalan secara efisien dan bersinergi untuk
menghasilkan output yang optimal. Ini mencakup sistem perencanaan, program,
informasi, sumber daya manusia, administrasi personalia, keuangan, akuntansi,
pelaporan, dan pengendalian keuangan, serta pengadaan barang.
3. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merujuk pada semua amilin yang terlibat dalam kerja
organisasi pengelola zakat, termasuk pelaksana, pembina, pengurus, dan pengawas.
Mereka harus memiliki motivasi, peluang, dan keterampilan yang diperlukan untuk
memberikan kontribusi positif terhadap organisasi.
4. Sumber Daya Keuangan
Sistem dan prosedur keuangan harus terintegrasi dengan rencana strategis dan
operasional organisasi pengelola zakat. OPZ perlu memiliki sumber daya keuangan
yang beragam, termasuk donatur yang beragam, pengembangan alternatif sumber
daya, dan kerja sama dengan lembaga atau organisasi lain.
5. Pemberian Layanan
Program pendayagunaan yang dikembangkan oleh organisasi pengelola zakat harus
didasarkan pada kebutuhan masyarakat. OPZ melakukan pendampingan dan hidup
bersama masyarakat serta dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang dibantu.
Organisasi ini juga membantu masyarakat untuk mandiri dalam menganalisis
kebutuhan dan merumuskan cara pemecahannya secara tepat.
6. Hubungan Eksternal
Kredibilitas merupakan hal yang sangat penting dalam hubungan eksternal, di mana
lembaga dapat dipercaya karena memiliki kemampuan yang diperlukan. Selain itu,
hubungan eksternal juga ditentukan oleh sejauh mana lembaga secara aktif
mempromosikan diri melalui upaya-upaya inovatif dan berkualitas.
7. Keberlanjutan
Keberlanjutan program tergantung pada apakah mustahik menganggap layanan yang
mereka terima sesuai dengan kebutuhan dan bermanfaat bagi diri dan keluarganya.
Ini tidak hanya melibatkan keberlanjutan keuangan lembaga, tetapi juga bagaimana
visi dan misi lembaga tercapai. Jika misi lembaga adalah pemberdayaan mustahik,
penting bahwa pemberdayaan tersebut terwujud karena mustahik dapat mengelola
hasil program secara mandiri.
C. Strategi Membumikan Zakan
Proses revisi Undang-Undang zakat yang sedang berlangsung memunculkan harapan
akan maksimalisasi pengelolaan zakat di tanah air, sehingga peran zakat sebagai salah satu
instrumen pengentasan kemiskinan dapat dirasakan secara lebih nyata. Oleh karena itu,
segala gagasan yang muncul hendaknya difokuskan pada upaya menuju perbaikan
pengelolaan zakat ke depan. Terdapat beberapa prioritas utama yang seharusnya menjadi
perhatian bagi semua pemangku kepentingan zakat yang terlibat dalam aktivitas zakat di
tanah air.20
Pertama, membangun kerangka tata kelola yang baik dalam aktivitas pengelolaan
zakat guna menjamin akuntabilitas, transparansi, serta profesionalisme pengelolaan zakat
agar tercipta pengelolaan zakat yang amanah. Oleh karena itu, aspek-aspek yang perlu
diperhatikan meliputi aspek kelembagaan, sumber daya, dan sistem pengelolaan. Sebagai
sebuah aktivitas yang khas dan distingtif, peradaban zakat dibangun atas dasar kepercayaan
dari seluruh pemangku kepentingan yang terlibat. Oleh karena itu, menjadi sangat penting
bagi sebuah lembaga pengelola zakat untuk menetapkan visi yang jelas, memiliki legalitas,
serta mempunyai aliansi strategis untuk memaksimalkan kinerja. Dari segi sumber daya,
pengelolaan zakat membutuhkan kualifikasi profesional sehingga tidak lagi terkesan bahwa
amil zakat hanya merupakan pekerjaan sampingan. Demikian juga dengan sistem
pengelolaan. Zakat harus didukung dengan prosedur dan aturan yang jelas, rencana kegiatan
yang baik, dan manajemen keuangan yang profesional. Dalam skala nasional, kerangka tata
kelola yang baik dalam pengelolaan zakat membutuhkan kerja keras dan komitmen semua
pihak.
Kedua, membuat kerangka regulasi dan pengawasan pengelolaan zakat. Hal ini
terkait juga dengan pembagian peran yang adil antara berbagai pemangku kepentingan
zakat untuk bersinergi guna menghasilkan pengelolaan zakat yang optimal. Dalam hal ini,
perlu adanya sebuah badan regulator yang bertugas mengatur lembaga-lembaga pengelola
zakat mulai dari pemberian izin operasi, pengawasan, hingga hak untuk mencabut izin
operasi lembaga zakat yang bermasalah. Di sinilah perlu adanya sebuah lembaga yang

20
Samsul Ma’arif. 2009. Mengawal Zakat di Parlemen. (online), (http://imz.or.id/ new/article/118/mengawal-
zakat-di-parlemen/, diakses 31 Januari 2024).
berwibawa, misalnya Badan Zakat Indonesia yang didukung penuh oleh pemerintah
sehingga memiliki kewenangan untuk membuat regulasi dan kebijakan tentang zakat dalam
skala nasional. Intinya, dalam kerangka regulasi zakat ke depan, diperlukan kejelasan
mengenai fungsi regulator, operator, dan eksekutor sebagai tiga pilar yang saling
mendukung.
Ketiga, dalam mengembangkan pengelolaan zakat adalah membangun basis
pendidikan yang kuat mengenai zakat bagi masyarakat. Kesadaran akan peran zakat sangat
bergantung pada pemahaman masyarakat terhadap praktik berzakat itu sendiri. Pemahaman
ini mencakup pengertian bahwa zakat merupakan kewajiban setiap Muslim menurut syariah.
Dalam konteks fiqih, pemahaman yang tepat mengenai jenis-jenis zakat yang diwajibkan
perlu disosialisasikan agar tercipta pemahaman yang komprehensif tentang harta apa saja
yang wajib dikeluarkan zakatnya. Selain itu, pentingnya menyerahkan zakat kepada amil yang
profesional harus ditekankan agar risiko tragedi zakat tidak terulang.
Strategi-strategi untuk memasyarakatkan zakat termasuk meningkatkan sosialisasi
kepada semua lapisan masyarakat. Sasaran utama sosialisasi ini meliputi pejabat eksekutif,
legislatif, yudikatif, ulama, akademisi, praktisi bisnis, dan masyarakat umum. Tujuannya
adalah agar semua pihak memiliki kesadaran akan urgensi dan pentingnya berzakat,
terutama melalui lembaga yang terpercaya seperti BAZ dan LAZ. Pejabat diharapkan
mengambil langkah kebijakan yang mendukung pemungutan dan pendistribusian zakat
dengan efektif dan transparan untuk mengurangi hambatan regulasi dan aturan.
Diharapkan pula bahwa ulama dapat menjadi agen informasi yang tepat mengenai
zakat bagi masyarakat. Masyarakat harus dibimbing untuk berzakat melalui lembaga yang
terpercaya seperti BAZ dan LAZ. Dengan demikian, semua pihak perlu menyadari bahwa
berzakat melalui lembaga memberikan keuntungan seperti meningkatkan efektivitas,
efisiensi, dan ketepatan sasaran dalam penggunaan zakat.
Salah satu upaya pemerintah untuk mendorong pelaksanaan zakat adalah
memberikan apresiasi kepada lembaga/organisasi zakat yang menerapkan tata kelola yang
baik dan aturan yang tepat. Selain itu, masyarakat yang membayar zakat kepada
lembaga/organisasi zakat juga layak mendapatkan apresiasi. Apresiasi ini dapat berupa
insentif bagi pembayar zakat untuk mendapatkan pengurangan beban pajak (tax credit),
bukan hanya insentif berupa tax deduction. Beberapa pertimbangan harus dipertimbangkan
dalam memberikan apresiasi tersebut.
Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan beberap poin utama sebagai
berikut:
1. Sentralisasi sistem pelaksanaan zakat memungkinkan koordinasi yang baik dalam
pengumpulan dana dan penyalurannya. Diharapkan pemanfaatan dana zakat bagi
kesejahteraan masyarakat dapat lebih optimal. Sentralisasi perlu dilakukan secara
bertahap melalui persiapan yang matang. Namun, sentralisasi pengelolaan zakat
menimbulkan konsekuensi yang perlu dipertimbangkan. Pertama, dibutuhkan
kesiapan infrastruktur penunjang seperti ketersediaan amil profesional, pengelolaan
berbasis manajemen modern, dan strategi pendayagunaan yang tertata rapi. Kedua,
secara filosofis, sentralisasi oleh negara dapat menjauhkan dari esensi masalah
utama dalam pengelolaan zakat, yaitu maksimalkan pengumpulan dan penyaluran
dana zakat yang belum optimal.
2. Strategi untuk memasyarakatkan zakat termasuk meningkatkan sosialisasi kepada
seluruh komponen bangsa, penguatan lembaga-lembaga zakat yang ada (BAZ dan
LAZ), mengefektifkan pendayagunaan zakat, mengembangkan sinergi antar BAZ dan
LAZ, termasuk dengan komponen masyarakat lainnya.
B. Rekomendasi
Dalam mengatur pengelolaan zakat secara terpusat, penting untuk menyusun
rencana strategis yang mencakup tata kelola dan pengaturan kelembagaan secara
terperinci.Ini termasuk pemisahan peran regulator, pengawas, dan operator, serta
standarisasi manajemen mutu pengelolaan zakat untuk pelaksanaan yang sistematis,
optimal, dan akuntabel. Selain itu, sosialisasi zakat tidak hanya dilakukan di wilayah
keagamaan, tapi juga di tempat-tempat umum dengan pendekatan ekonomi, sosial, budaya,
dan politik.
Daftar Pustaka
Buku
Djamal Doa, Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Zakat Harta, Jakarta: Nuansa Madani. 2001
M. Ali Hasan, Zakat dan Infak Salah Satu Solusi Mengatasi Problema Sosial di Indonesia,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
Muhammad,Wacana Pemikiran dalam Fiqih Kontemporer, Jakarta: Salemba Diniyah. 2002
Didin Hafidhuddin, Budaya Kerja Amil Sebagai Prasyarat Kepercayaan, Al-Azhar Pres: Bogor,
2018
Didin Hafidhuddin, Optimalisasi Pendayagunaan Zakat Reinterpretasi Pendayagunaan ZIS,
Jakarta: Piramedia
Noor Aflah, Arsitektur Zakat Indonesia, Jakarta: UI Press, 2002
Nana Mintarti, Pentingnya Penguatan Kapasitas OPZ, Al-Kautsar: Jakarta, 2007

Internet
Anonimous, Polemik Pengelolaan Zakat, (online), (http://www.csrc.or.id/berita/index. php?
detail=20090318224624,
Abu Avisenna, Mengurai Strategi Pemasaran Organisasi-organisasi Pengelola Zakat, (online),
(http://ekonomi.kompasiana.com/marketing/2010/08/03/mengurai-
strategipemasaran-organisasi-pengelola-zakat/,
Samsul Ma’arif, 2008, Mengawal Zakat di Parlemen. (online), (http://imz.or.id/new/
article/118/mengawal-zakat-di-parlemen/, diakses 25 Januari 2011
Msabeth Abilawa, Gelombang Ketiga Peradaban Zakat, (online), (http://imz.or.id/
new/article/481/gelombang-ketiga-peradaban-zakat/
Febrianti dkk. 2009, Lembaga Pengelola Zakat, (online), (http://hendrakholid.net/blog/
2009/04/19/ lembaga-pengelola-zakat/,
Anonimous, Definisi/Pengertian Sentralisasi dan Desentralisasi–Ilmu Ekonomi Manajemen,
(online), (http://organisasi.org/definisi_pengertian_sentralisasi_dan_
desentralisasi_ ilmu_ekonomi_manajemen
Anonimous, Rumusan Pengelolaan Terpadu Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, (online),
(http://www.uin-suka.info/joomlakusuka/pengelolaan/sentralisasi
_desentralisasi.htm,
Anonimous, Sentralisasi, (online), (www.docstoc.com/docs/31480938/ sentralisasi-dan-
disentralisasi,
Arif R. Haryono, 2009, Zakat dan Masyarakat yang Dikekang, (online), (http://imz.or.id/
new/article/112/zakat-dan-masyarakat-yang-dikekang/,
Samsul Ma’arif. 2009. Mengawal Zakat di Parlemen. (online), (http://imz.or.id/
new/article/118/mengawal-zakat-di-parlemen/,
Makalah

Russell Powell, Zakat Drawing Insights for Legal Theory and Economic Policy from Islamic
Jurisprudence, (online), (http:ssrn.com/abstract=1351024
Dokumen Resmi
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3885).
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan ketiga atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3985)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4286).

Anda mungkin juga menyukai