Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Zakat merupakan ibadah yang diperintahkan bukan hanya sekedar praktik ibadah
yang memiliki dimensi spiritual, tetapi juga sosial. Artinya, zakat merupakan ibadah
dan kewajiban sosial bagi kaum muslim yang kaya ketika memenuhi nisab dan sampai
waktunya satu tahun. Secara sosiologis, zakat bertujuan untuk meratakan
kesejahteraan dari orang kaya kepada orang miskin secara adil dan mengubah
penerima zakat menjadi pembayar zakat (Mustahiq menjadi Muzakki), pemberian
zakat di sini tidak membiasakan pemberian secara konsumtif akan tetapi lebih kepada
pemberian sebagai modal usaha untuk bisa dikembangkan lebih lanjut. Oleh karena
itu, jika zakat diterapkan dalam format yang benar, selain dapat meningkatkan
keimanan juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga akhirnya dapat
meningkatkan kesejahteraan umat.
Dalam ajaran Islam, zakat adalah ibadah yang mengandung dua dimensi: dimensi
hablum min Allah atau dimensi vertikal dan dimensi hablum min alnās atau dimensi
horizontal. Ibadah zakat bila ditunaikan dengan baik maka akan meningkatkan
kualitas keimanan, membersihkan dan mensucikan jiwa dan mengembangkan serta
memberkahkan harta yang dimiliki. Jika dikelola dengan baik dan amanah, maka
zakat akan mampu meningkatkan kesejahteraan umat, meningkatkan etos dan etika
kerja umat, dapat menjadi institusi pemerataan ekonomi.
Di Indonesia, zakat sangat memiliki potensi dan peran untuk memberdayakan
ekonomi umat. Mengingat negara Indonesia adalah negara dengan mayoritas
penduduk yang beragama Islam, maka sektor ekonomi Indonesia akan berkembang
karena penduduk Indonesia berkewajiban untuk membayar zakat setiap tahunnya.
Secara yuridis formal keberadaan zakat diatur dalam UU Nomor 23/2011 tentang
pengelolaan Zakat yang bertujuan untuk membantu golongan fakir dan miskin, untuk
mendorong terlaksananya undang-undang tentang pengelolaan zakat, pemerintah telah
memfasilitasi melalui BAZNAS dan BAZDA yang bertugas untuk mengelola zakat,
infaq, dan sedekah.1

1
. Amalia dan Kasyiful Mahali, “Potensi dan Peranan Zakat dalam Mengentaskan
Kemiskinan di Kota Medan,” (Jurnal Ekonomi dan Keuangan, Vol. I No. 1, Desember, 2012),
hlm.1-2.

1
Pengelolaan zakat di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis dalam
rentang waktu yang sangat panjang. Dipraktikkan sejak awal masuknya Islam ke
Indonesia, zakat berkembang sebagai pranata sosial keagamaan yang penting dan
signifikan dalam penguatan masyarakat sipil Muslim. Dalam rentang waktu yang
panjang, telah terjadi pula tarik menarik kepentingan dalam pengelolaan zakat di ranah
publik. Di era Indonesia modern, di tangan masyarakat sipil, zakat telah
bertransformasi dari ranah amal-sosial ke arah pembangunan-ekonomi. Dalam
perkembangan terkini, tarik-menarik pengelolaan zakat antara negara dan masyarakat
sipil, berpotensi menghambat kinerja dunia zakat nasional dan sekaligus melemahkan
gerakan masyarakat sipil yang independen.2
Zakat yang diberikan kepada mustahik akan berperan sebagai pendukung
peningkatan ekonomi mereka apabila dikonsumsikan kepada kegiatan produktif.
Pendayagunaan zakat produktif sesungguhnya mempunyai konsep perencanaan dan
pelaksanaan yang cermat seperti mengkaji penyebab kemiskinan, ketidakadaan modal
kerja, dan kekurangan lapangan kerja, dengan adanya masalah tersebut maka perlu
adanya perencanaan yang dapat mengembangkan zakat bersifat produktif tersebut.
Pengembangan zakat bersifat produktif dengan cara dijadikannya dana zakat sebagai
modal usaha, untuk memberdayakan ekonomi penerimanya, dan supaya fakir miskin
dapat menjalankan atau membiayai kehidupannya secara konsisten. Dengan dana
zakat tersebut fakir miskin akan mendapatkan penghasilan tetap, meningkatkan usaha,
mengembangkan usaha serta mereka dapat menyisihkan penghasilannya untuk
menabung.
Dana zakat untuk kegiatan produktif akan lebih optimal bila dilaksanakan oleh
Lembaga atau Badan Amil Zakat karena LAZ/BAZ sebagai organisasi yang
terpercaya untuk pengalokasian, pendayagunaan, pendistribusian dan zakat. Mereka
tidak memberikan zakat begitu saja melainkan mereka mendampingi, memberikan
pengarahan serta pelatihan agar dan zakat tersebut benar-benar dijadikan modal kerja
sehingga penerima zakat tersebut memperoleh pendapatan yang layak dan mandiri.
Secara demografik dan kultural bangsa Indonesia khususnya masyarakat muslim
Indonesia sebenarnnya memiliki potensi strategik yang layak dikembangkan menjadi
salah satu instrument pemerataan pendapatan yaitu institusi zakat, infak, dan sedekah.
Karena secara demografik, mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam.

2
. Wibisono, Yusuf, Mengelola Zakat Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Grup, 2015),
hlm.31

2
Dan secara kultural kewajiban zakat, dorongan berinfak dan sedekah dijalan Allah
telah mengakar kuat dalam tradisi kehidupan masyarakat muslim dengan demikian
mayoritas penduduk Indonesia secara ideal dapat terlibat dalam mekanisme
pengelolaan zakat apabila hal itu bisa terlaksana dalam aktifitas sehari-hari umat
Islam, maka zakat termasuk upaya penguatan pemberdayaan ekonomi nasional.3

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Baznas dan Laznas ?
2. Bagaimana peran dari Baznas dan Laznas ?
3. Bagaimana fungsi dari Baznas dan Laznas ?
4. Bagaimana Perkembangan Pengelolaan Zakat di Indonesia dari Masa ke Masa ?

3
. Djamal Doa, Membangun Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Zakat Harta, (Jakarta :
Nuansa Madani, 2002), hlm.3

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Baznas dan Laznas


1. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS)
Badan amil zakat adalah organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh
pemerintah, yang terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah dengan tugas
Menghimpun, mendistribusikan, dan pendayagunaan zakat sesuai dengan
ketentuan agama. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) merupakan sebagai
salah satu lembaga pemerintah non struktural yang bertugas menerima, mengelola,
dan mendistribusikan zakat serta bertanggung jawab kepada pemerintah secara
langsung sesuai dengan tingkatnya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) adalah
organisasi yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden RI No.
8 Tahun 2001 yang memiliki tugas dan fungsi menghimpun dan menyalurkan
zakat, infaq, dan sedekah (ZIS) pada tingkat nasional. BAZNAS bersama
Pemerintah bertanggung jawab untuk mengawal pengelolaan zakat yang
berasaskan: syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum,
terintegrasi dan akuntabilitas. BAZNAS merupakan organisasi nonlaba yang
kegiatan operasinya tidak berorientasi pada laba, karena organisasi seperti ini lebih
mengarah pada kegiatan sosial keagamaan. 4
2. Lembaga Amil Zakat (LAZ)
Lembaga Amil Zakat merupakan institusi pengelola zakat yang dibentuk oleh
masyarakat sehingga tidak memiliki afiliasi dengan Badan Amil Zakat, yang
notabene dibentuk atas prakarsa pemerintah. 5 Definisi LAZ ialah organisasi yang
berbentuk badan hukum yang bertugas melakukan penerimaan, pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat.6 Sedangkan secara yuridis, definisi LAZ
dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat mendefinisikan Lembaga amil zakat

4
. Andri Soemitra, Bank Dan Lembaga Keuangan Syariah. (Kencana Prenada Media
Group, 2009). hlm.415
5
. Sudirman Hasan, Zakat dalam Pusaran Arus Modernitas, (Malang: UIN-Malang Press,
2007). hlm.99
6
. Noor Aflah, Arsitektur Zakat Indonesia Dilengkapi Kode Etik Amil Zakat Indonesia
(Jakarta: UIPress, 2009). hlm.11

4
sebagai institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk atas prakarsa
masyarakat dan oleh masyarakat.7
Pasca perubahan Undang-Undang pengelolaan zakat, definisi LAZ disebutkan
secara eksplisit dan rinci dalam Pasal 1 poin 8 UndangUndang Nomor 23 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat yang menyatakan bahwa Lembaga Amil Zakat
yang selanjutnya disingkat LAZ adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang
memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan
zakat. Berdasarkan definisi ini, apabila dilihat dari organ yang membentuknya,
LAZ merupakan institusi yang bersifat infrastruktur, karena ia terbentuk atas
prakarsa dari masyarakat. Hanya Lembaga Amil Zakat yang telah dikukuhkan oleh
pemerintah saja yang diakui bukti setoran zakatnya sebagai pengurang penghasilan
kenapajak dari muzakki yang membayar dananya. Bentuk badan hukum untuk
Lembaga Amil Zakat, yaitu yayasan, karena Lembaga Amil Zakat termasuk
organisasi nirlaba, dan badan hukum yayasan dalam melakukan kegiatannya tidak
berorientasi untuk memupuk laba.8

B. Peran Baznas dan Laznas


1. Badan Amil Zakat (BAZ)
Menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, pada
pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam menghimpun, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat. Kegiatan pengelolaan zakat dalam Undang-Undang tersebut
dikelola oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sesuai dengan jenjangnya,
mulai dari tingkat pusat sampai daerah yaitu provinsi maupun kabupaten/kota.
BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan
zakat secara nasional.
Tujuan pertama pengelolaan zakat menjadi dasar dalam melakukan menghimpun
dan pendistribusian zakat. Sehingga strategi pencapaian target menghimpun dan
pendistribusian zakat secara nasional perlu dilakukan secara simultan, terintegrasi,
efektifit dan efisien. Untuk itu, ada 6 (enam) aspek yang perlu dilakukan agar
mampu mewujudkan kebangkitan zakat nasional, yaitu :

7
. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 164 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3885
8
. Fathony, A. (2018), Optimalisasi Peran dan Fungsi Lembaga Amil Zakat dalam
Menjalankan Fungsi Sosial. Hakam, 2(1), hlm.7

5
a. Pertama, aspek legalitas. Aspek legalitas mencakup sudah terbitnya Surat
Keputusan pembentukan lembaga dan Surat Keputusan unsur pimpinan
BAZNAS Provinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk seluruh
organisasi penge-lola zakat mendapatkan izin dari Pemerintah melalui
Kementerian Agama.
b. Kedua, aspek akuntabilitas dan kesesuaian syariah. Untuk BAZNAS,
BAZNAS Provinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota aspek ini mencakup
laporan dan pertang-gungjawaban secara berkala, pengesahan RKAT setiap
tahun, audit atas laporan keuangan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) dan
audit syariah. Sedangkan untuk LAZ mencakup laporan dan
pertanggungjawaban secara berkala, audit atas laporan keuangan oleh KAP
dan audit syariah. Untuk memberikan jaminan agar pengelolaan zakat nasional
dapat berjalan sesuai dengan syariah Islam dan peraturan per-undang-
undangan yang berlaku, maka diperlukan pembinaan dan pengawasan yang
berkesinambungan baik terhadap keuangan, program dan kesesuaian terhadap
syariah.
c. Ketiga, aspek IT dan sistem. BAZNAS Provinsi, BAZNAS Kabupaten/Kota
mene-rapkan SiMBA dengan baik. Dan LAZ terintegrasi baik dengan SiMBA.
Sehingga laporan kepada Presiden dan pemangku kepentingan perzakatan
nasional dapat disampaikan secara berkala dan tepat waktu. Kehadiran
SiMBA dirancang untuk keperluan pembuatan laporan, penyimpanan data dan
informasi yang dimiliki oleh BAZNAS sebagai lembaga yang diamanati
menjadi koordinator pengelolaan zakat secara nasional. Dengan berbasiskan
web, SiMBA merupakan aplikasi yang ter-sentralisasi sehingga dapat
digunakan oleh BAZNAS Provinsi, BAZNAS Kabu-paten/Kota dan LAZ
tanpa harus melewati proses instalasi yang rumit.
d. Keempat, aspek penyaluran. Berdasarkan Zakat Core Principle dimana untuk
menilai kinerja penyaluran zakat dilihat dari rasio pendistribusian terhadap
menghimpun zakat. Semakin tinggi rasio penyaluran terhadap menghimpun
zakat, maka semakin efektif pengelolaan zakat. Disamping itu, dalam
penyaluran zakat diutamakan untuk mengentaskan orang miskin dari batas
garis kemiskinan berdasarkan data dan standar Badan Pusat Statistik (BPS).
e. Kelima, aspek menghimpun. Dalam rangka mengoptimalkan menghimpun
zakat secara nasional, maka BAZNAS, BAZNAS Provinsi, BAZNAS

6
Kabupaten/Kota dan LAZ perlu melakukan edukasi terhadap muzaki dalam
bentuk Kampanye zakat nasional yang dilakukan berkelanjutan. Hal ini
penting agar muzaki memahami bahwa zakat adalah ibadah yang memiliki
po]sisi yang sangat strategis baik dari aspek keagamaan, sosial, ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, BAZNAS mesti mampu memberikan
kenyamanan dan jaminan bahwa zakat yang telah ditunaikan melalui
BAZNAS itu sampai kepada mustahik. Kenyamanan ini diharapakan akan
melahirkan kepercayaan yang berkelanjutan dari muzaki kepada BAZNAS.
f. Keenam, aspek pengembangan amil. Untuk meningkatkan dan menstandarkan
kapasitas dan kompetensi amil secara nasional, maka perlu dilakukan
pelatihan dan pembinaan yang sesuai dan mengacu pada standar nasional.
2. Lembaga Amil Zakat (LAZ)
Lembaga Amil Zakat diakui oleh Undang-Undang sebagai bentuk partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan dana zakat, infaq, dan shadaqah di Indonesia. Pasal
1 poin 1 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pengelolaan
zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap
pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. 9
Berdasarkan ketentuan di atas terdapat tiga peran yang dimainkan dalam
pengelolaan zakat, yaitu operator, pengawas dan regulator. Peran yang dimainkan
LAZ hanya sebagian kecil, yaitu sebagai operator. Sedangkan peran-peran yang
lain menjadi kewenangan pemerintah. Peran ini diatur dalam Pasal 8 yang
menyatakan badan amil zakat sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 dan lembaga
amil zakat sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 mempunyai tugas pokok
mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan
ketentuan agama. LAZ dengan BAZ memiliki peran dan kedudukan yang sama,
yaitu membantu pemerintah mengelola zakat. Keduanya berdiri sendiri dalam
melakukan aset zakat. Keberadaan LAZ maupun BAZ harus mampu mewujudkan
tujuan besar dilaksanakannya pengelolaan zakat, seperti meningkatkan kesadaran
masyarakat dalam penunaian zakat, meningkatkan fungsi pranata keagamaan untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, serta meningkatkan
hasil guna dan daya guna zakat.10

9
. Ramadhita, R. (2012). Optimalisasi Peran Lembaga Amil Zakat Dalam Kehidupan
Sosial. Jurisdictie. hlm.30.
10
. Fakhruddin. Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia (Malang: UIN-Malang Press
2008), hlm. 253-254

7
C. Fungsi Baznas dan Laznas Menurut UU No.23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan
Zakat
UU 23 Tahun 2011 secara tegas menjabarkan bahwa dua tujuan pengelolaan
zakat di Indonesia adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan
dalam pengelolaan zakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penang-
gulangan kemisinan. Artinya, pengelolaan zakat harus senantiasa dikaitkan dengan
agenda peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.
Untuk itu, penting bagi BAZNAS agar dapat membangun koordinasi dan sinergi
dengan seluruh Kementerian/Lembaga non Kementerian terkait di bidang pengentasan
kemiskinan dan pengurangan kesenjangan sosial. Bahwasanya, dalam agenda ini,
tidak semestinya BAZNAS hanya bekerja sendiri atau hanya dengan melibatkan
BAZNAS Provinsi, BAZNAS Kabupaten/Kota, dan LAZ, namun juga perlu
melibatkan seluruh institusi pemerintah dalam agenda tersebut. Dalam aspek
menghimpun, penting bagi BAZNAS, BAZNAS Provinsi, dan BAZNAS
Kabupaten/Kota untuk berkoordinasi dengan, Kantor Perwakilan Indonesia di luar
negeri, Satuan Kerja Perangkat Daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), serta
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sehingga menghimpun zakat dapat lebih terukur
sesuai dengan potensi yang ada. Sementara itu, dalam aspek pendistribusian dan
pendayagunaan, penyaluran zakat perlu untuk melakukan sinergi di antara organisasi
pengelola zakat (OPZ) baik bersifat teknis di tingkat pelaksanaan program maupun
pada tataran pertukaran data dan informasi mengenai mustahik yang berhak menerima
zakat. Tujuan dari sinergi ini adalah agar tidak ada lagi mustahik yang mendapatkan
bantuan zakat berganda, sementara di wilayah lain masih banyak mustahik yang
belum terbantu oleh manfaat zakat. Dalam hal ini, BAZNAS memiliki peran yang
sangat penting untuk memoderasi kesenjangan sosial melalui penyaluran zakat yang
terintegrasi secara nasional.11
Di dalam pengelolaan zakat nasional terdapat tujuh azas. Hal ini sebagaimana
tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Ketujuh asas
tersebut adalah syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum,
terintegrasi, dan akuntabilitas.12 Di tingkat provinsi, BAZNAS Provinsi melaksanakan

11
. Mohd. Nasir dan Efri Syamsul Bahri, Rencana Strategis Zakat Nasional (Jakarta :
BAZNAS, 2016), hlm.16
12
. Mohd. Nasir dan Efri Syamsul Bahri, Rencana Strategis Zakat Nasional. (Jakarta :
BAZNAS 2016), hlm.26.

8
fungsi koordinator dan operator zakat tingkat provinsi. Fungsi koordinator zakat
provinsi ditekankan pada peran koordinasi terhadap BAZNAS kabupaten/kota dan
LAZ provinsi terkait kebijakan dan pedoman pengelolaan zakat yang telah ditetapkan
oleh BAZNAS. Dalam fungsi koordinator zakat provinsi ini, BAZNAS Provinsi
bertanggung jawab atas pelaporan zakat tingkat provinsi yang meliputi laporan dari
BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ tingkat provinsi, serta
pemberian rekomendasi pembukaan perwakilan LAZ dalam wilayah provinsi. 13
Pengumpulan, Pendistribusian, Pendayagunaan dan Pelaporan, antara lain :
1. Pegumpulan Zakat, dalam rangka pengumpulan zakat, Muzaki melakukan
penghitungan sendiri atas kewajiban zakatnya. Hal ini tidak dapat menghitung
sendiri kewajiban zakatnya, sehingga Muzaki dapat meminta bantuan Baznas.
2. Pendistribusian, Pendistribusian zakat dapat dilakukan dengan memperhatikan
prinsip pemerataan, keadilan, dan kewajiban berdasarkan skala prioritas.
3. Pendayagunaan, Pendayagunaan zakat dilakukan apabila kebutuhan dasar
Mustahik telah terpenuhi. Para amil zakat diharapkan mampu melakukan
pembagian porsi hasil pengumpulan zakat misalnya 60% untuk zakat konsumtif
dan 40% untuk zakat produktif.
4. Pengelolaan Infak, sedekah, dan Dana Sosial Keagamaan lainnya, Pendistribusian
dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial lainnya dilakukan sesuai
dengan syariat islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukan yang diikrarkan
oleh pemberi. Pengelolaan infak, sedekah, dan dana sosial lainnya harus dicatat
dalam pembukuan tersendiri. Dimana BAZNAS atau LAZ tidak hanya menerima
zakat tetapi juga dapat menerima infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan
lainnya.
5. Pelaporan, BAZNAS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan
zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada Menteri secara
berkala.14

D. Perkembangan Pengelolaan Zakat di Indonesia dari Masa ke Masa


Data Statistik tahun 2009 menunjukkan bahwa penduduk Islam di Indonesia
mencapai 86,1% dari 240.271.522. Bisa dibayangkan apabila pengelolaan zakat
berjalan semestinya, maka angka kemiskinan di Indonesia seharusnya tidak mencapai
13
. Ibid.,hlm.27.
14
. Ramadhita, R. (2012). Optimalisasi Peran Lembaga Amil Zakat Dalam Kehidupan
Sosial. Jurisdictie. hlm.30.

9
33,7 juta orang, anak terlantar bisa diminimalisir, dan tentu hal ini juga akan
berpengaruh terhadap dinamisasi ekonomi di Indonesia. 15
Zakat yang keberadaannya dipandang sebagai sarana komunikasi utama antara
manusia dengan manusia lain dalam masyarakat memiliki peranan yang sangat
penting dalam menyusun kehidupan yang sejahtera dan berkeadilan di dalam sebuah
negara. Dengan demikian permasalahan dalam dunia Islam bukanlah sekedar
bagaimana cara menghimpun dan menyalurkan zakat kepada yang berhak, tetapi lebih
jauh mencakup upaya sistematisasi untuk mentransformasikan nilai-nilai Islam dalam
pengembangan masyarakat dan negara.
Dalam khasanah pemikiran hukum Islam, ada pendapat seputar kewenangan
pengelolaan zakat oleh negara. Ada yang berpendapat zakat baru boleh dikelola oleh
negara yang berasaskan Islam, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa pada
prinsipnya zakat harus diserahkan kepada amil terlepas dari apakah amil tersebut
ditunjuk oleh negara atau amil yang bekerja secara independent dalam masyarakat
muslim itu sendiri. Pendapat lain mengungkapkan bahwa pengumpulan zakat dapat
dilakukan oleh badan-badan hukum swasta di bawah pengawasan pemerintah. 16
Pada zaman Orde Lama, negara hanya memberikan supervise dengan
mengeluarkan Surat Edaran Kementrian Agama No.A/VII/17367 tahun 1951 yang
melanjutkan ketentuan ordonasi Belanda bahwa negara tidak mencampuri urusan
pemungutan dan pembagian zakat, tetapi hanya melakukan pengawasan.
Baru pada masa Orde Baru, negara mulai terlibat dan ikut mengelola zakat
melalui beberapa regulasi pemerintah. Pada tahun 1964 misalnya, Kementrian Agama
menyususn RUU pelaksanaan zakat dan rancangan Perpu pengumpulan dan
pembagian zakat dan pembentukan baitul mal. Akan tetapi, keduanya belum sempat
diajukan ke DPR dan Presiden. Baru pada tahun 1967, sebagai sebuah langkah tindak
lanjut Menteri Agama mengirimkan RUU pelaksanaan zakat kepada DPR-GR. Point
penting dari surat pengajuan Menteri Agama pada saat itu adalah pembayaran zakat
merupakan keniscayaan bagi umat Islam di Indonesia, dan negara mempunyai
kewajiban moril untuk mengaturnya.17

15
. www. Wikepedia.org, diakses pada 24 November 2009
16
. Nasaruddin Umar, Zakat dan Peran Negara dalam Perspektif Hukum Positif di
Indonesia, dalam M. Arifin Purwakanta, Noor Aflah (ed), Southeast Asia..., hlm.36
17
. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di
Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 298.

10
Satu tahun kemudian, berdasarkan saran dan masukan dari berbagai pihak
Menteri Agama menerbitkan Peraturan Menteri Agama No. 4 tahun 1968 tentang
Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No.5 tahun 1968
tentang Pembentukan Baitul Mal yang berfungsi sebagai pengumpul zakat untuk
kemudian disetor kepada BAZ. Namun demikian, kedua keputusan itu segera dicabut,
karena Menteri Keuangan menolak gagasan legislasi zakat yang dibuat setahun
sebelumnya oleh Departemen Agama. Yang cukup mengundang tanda tanya, langkah
ini diambil tanpa menghiraukan anjuran Menteri Keuangan sendiri bahwa keputusan
tingkat menteri sudah cukup untuk mengatur administrasi zakat. Namun, atas seruan
dan dorongan Presiden berturut-turut pada peringatan Isra‟ Mi‟raj dan Idul Fitri 1968
keluarlah Instruksi Menteri Agama No.1 tahun 1969 tentang Penundaan PMA No.4
dan 5 tahun 1968. Presiden Soeharto menegaskan bahwa zakat harus diatur secara
sistematis.18
Pengelolaan zakat baru didapatkan kembali pada era 1990-an. Negara mulai
memberikan perhatian pada pengelolaan zakat melalui lembaga yang dibentuknya
yaitu baziz. Pada tahun 1991, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 29 dan 47
Tahun 1991 tentang Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan shadaqah. Dan diikuti
dengan Instruksi Menteri Agama Nomor 5 Tahun 1991 tentang Pembinaan Teknis
Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 7
Tahun 1998 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah. Tentu
hal ini juga dipengaruhi oleh relasi Islam dan negara yang pada saat itu sedang mulai
membaik sehingga ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama
ikut berperan dalam pengelolaan dan pendayagunaan zakat. Selain itu juga terdapat
lembaga-lembaga zakat yang dikelola oleh masyarakat seperti LAZ (Lembaga Amil
Zakat).
Pengelolaan zakat terus berkembang seiring dengan dinamisnya kondisi politik
dan ekonomi di Indonesia. Puncaknya pada 1999 dimana dikeluarkan UU No 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang disusul dengan Keputusan Menteri
Agama No 581 Tahun 1999. Pada masa ini muncul Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang
disahkan, yakni :
1. Dompet Dhuafa.
2. Yayasan Amanah Takaful.
18
. Ibid.,hlm.298

11
3. Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU).
4. Yayasan Baitul Maal Muamalat.
5. Yayasan Dana Sosial Al Falah.
6. Yayasan Baitul Maal Hidayatullah.
7. LAZ Persatuan Islam (PERSIS).
8. Yayasan Baitul Maal Ummat Islam (BAMUIS) PT BNI (persero).
9. LAZ Yayasan Bangun Sejahtera Mitra Umat.
10.LAZ Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.
11.LAZ Yayasan Baitul Maal Bank Rakyat Indonesia.
12.LAZIS Muhammadiyah.
13.LAZ Baitul Maal Wat Tamwil (BMT).
14.LAZ Yayasan Dompet Sosial Ummul Quro (DSUQ).
15.LAZ Baituzzakah Pertamina (BAZMA).
16. LAZ Dompet Peduli Ummat Daarut Tauhid (DPUDT).
17.LAZ Nahdlatul Ulama (NU).
18. LAZ Ikatan Persaudaraan Haji (IPHI).19

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

19
. Cahyo Budi Santoso, “Geakan Zakat Indonesia” dalam http:
//dsniamanah.or.id/web/content/view/105/1/ (25 November 2008 14: 55).

12
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) merupakan sebagai salah satu lembaga
pemerintah non struktural yang bertugas menerima, mengelola, dan mendistribusikan
zakat serta bertanggung jawab kepada pemerintah secara langsung sesuai dengan
tingkatnya. Menurut Sudirman, Lembaga Amil Zakat merupakan institusi pengelola
zakat yang dibentuk oleh masyarakat sehingga tidak memiliki afiliasi dengan Badan
Amil Zakat, yang notabene dibentuk atas prakarsa pemerintah.
LAZ dengan BAZ memiliki peran dan kedudukan yang sama, yaitu membantu
pemerintah mengelola zakat. Keduanya berdiri sendiri dalam melakukan aset zakat.
Keberadaan LAZ maupun BAZ harus mampu mewujudkan tujuan besar
dilaksanakannya pengelolaan zakat, seperti meningkatkan kesadaran masyarakat
dalam penunaian zakat, meningkatkan fungsi pranata keagamaan untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, serta meningkatkan hasil guna dan daya
guna zakat.
UU 23 Tahun 2011 secara tegas menjabarkan bahwa dua tujuan pengelolaan
zakat di Indonesia adalah untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan
dalam pengelolaan zakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penang-
gulangan kemisinan. Artinya, pengelolaan zakat harus senantiasa dikaitkan dengan
agenda peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.
Untuk itu, penting bagi BAZNAS agar dapat membangun koordinasi dan sinergi
dengan seluruh Kementerian/Lembaga non Kementerian terkait di bidang pengentasan
kemiskinan dan pengurangan kesenjangan sosial. Bahwasanya, dalam agenda ini,
tidak semestinya BAZNAS hanya bekerja sendiri atau hanya dengan melibatkan
BAZNAS Provinsi, BAZNAS Kabupaten/Kota, dan LAZ, namun juga perlu
melibatkan seluruh institusi pemerintah dalam agenda tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Aflah, Noor, (2009). Arsitektur Zakat Indonesia Dilengkapi Kode Etik Amil Zakat
Indonesia. Jakarta: UI-Press.

13
Effendy, Bahtiar, 1998, Islam dan Negara Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina.
Fathony, A. (2018), Optimalisasi Peran dan Fungsi Lembaga Amil Zakat dalam
Menjalankan Fungsi Sosial. Hakam, 2(1), 1–32.
Fakhruddin. (2008). Manajemen Zakat di Indonesia. Malang : UIN-Malang Press.
Hasan, Sudirman. (2007). Zakat dalam pusaran arus modernitas. Malang : UIN-Maliki
Press.
Nasir, Mohd dan Efri Syamsul Bahri. (2016). Rencana Strategis Zakat Nasional. Jakarta :
BAZNAS.
Ramadhita, R. (2012). Optimalisasi Peran Lembaga Amil Zakat Dalam Kehidupan Sosial.
Jurisdictie.
Soemitra, Andri. (2009). Bank dan Lembaga Keuaga Syariah. Jakarta : Kencana.
Umar, Nasaruddin, 2008 Zakat dan Peran Negara dalam Perspektif Hukum Positif di
Indonesia, dalam M. Arifin Purwakanta, Noor Aflah (ed), Southeast Asia...,
Purwakanta, M. Arifin, Aflah, Noor (ed), Southeast Asia Zakat Movement, Padang:
FOZ& Pemkot Padang.
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat Lembaran Negara
Tahun 1999 Nomor 164 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3885

14

Anda mungkin juga menyukai