Anda di halaman 1dari 14

KEGIATAN BELAJAR 4

PENGELOLAAN ZAKAT

A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Peserta mampu menganalisis undang-undang dan lembaga-lembaga
pengelolaan zakat.

B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Menganalisis Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan zakat
2. Menganalisis lembaga dan tata kelola zakat

C. Uraian Materi
1. Konteks Sosial-Historis Undang-untuk ndang Republik Indonesia
tentang Pengelolaan Zakat
Penting mempelajari konteks sosial historis terkait pembentukan
Undang-undang Pengelolaan Zakat Nomor 23 tahun 2011. Konteks ini
akan membantu situasi dan kondisi eksternal yang tidak tercantum di
dalam teks undang-undang itu sendiri. Undang-Undang No. 23 Tahun
2011 tentang Pengelolaan Zakat resmi diundangkan dan masuk dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia bernomor 115 setelah
ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada
tanggal 25 November 2011. Ini momen sejarah yang menandai
Indonesia masuk dalam fase berikutnya.

Terbitnya UU RI No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat


sangat positif karena negara dan pemerintah mengharapkan
optimalisasi pendayagunaan dan hasil guna pengelolaan zakat, infak,
dan sedekah di Indonesia. Harapan ini berlandaskan pada pemikiran
bahwa pengelolaan zakat pada saat menggunakan payung hukum UU
RI No. 38 Tahun 1999 dirasakan kurang optimal. Tentu nanti kita akan
dilihat aspek-aspek yang dinilai kurang optimal tersebut. Salah satu
aspek yang dinilai kurang optimal adalah UU RI No. 38 Tahun 1999
kurang mampu menjawab permasalahan zakat di tanah air. Pasal-pasal
yang termaktub di dalamnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan

56
kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga butuh pembaharuan.
UU RI No. 23 Tahun 2011 adalah bentuk revisi pada aspek-aspek
tertentu dan tetap memberlakukan pasal-pasal yang dirasa masih
relevan.
Secara kronologis dapat dikatakan bahwa hari Senin, 28 Maret
2011 adalah tonggak sejarah luar biasa. Rapat Kerja antar-Komisi VIII
DPR RI dengan Pemerintah menghasilkan pembahasan rancangan
undang-undang tentang pengelolaan zakat, infak, dan sedekah. Hari
dan tanggal ini sudah disepakati bersama pada masa persidangan III
tahun sidang 2010-2011. Selain itu, masa persidangan III ini juga
mengesahkan panitia kerja (Panja) RUU tentang pengelolaan zakat,
infak, dan sedekah.
Hal yang perlu diketahui adalah pembahasan RUU melalui rapat
dengar pendapat (RDP) Panja Komisi VIII DPR RI dengan pemerintah
dilakukan sebanyak 7 (tujuh) kali. Dengan kata lain, ini betul-betul
kerja keras pemerintah dalam menggodok aturan hukum negara yang
menyangkut persoalan penting dalam agama. Sebab, sekalipun zakat
adalah rukun Islam, tetapi posisi dan perannya sangat urgen bagi
kehidupan bangsa dan negara. Pembahasan RUU juga dilakukan
melalui Rapat Konsinyering sebanyak 2 (dua) kali, terhitung mulai
tanggal 28 Maret 2011 sampai 17 Oktober 2011.
Pada Rapat Konsiyering yang dilakukan di hari Jumat, 18 Juni
2011 pukul 21.00, subtansi RUU tentang pengelolaan zakat, infak, dan
sedekah dicermati dengan betul dan sangat serius. Panja Komisi VIII
DPR RI dan Panja Pemerintah bersepakat untuk mengubah judul RUU
tentang Pengelolaan Zakat, Infak, dan Sedekah menjadi Rancangan
Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat.
Sedangkan judul Pengaturan Pengelolaan Zakat, Infak, dan
Sedekah dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya disepakati untuk
diatur sebagai norma tambahan (extra norms). Hal itu kemudian
terlihat dalam RUU tentang Pengelolaan Zakat Pasal 28 ayat (1), (2),
(3). Kerja maraton dari Panja VIII DPR RI dan Panja Pemerintah
menghasilkan keputusan yang luar biasa. Undang-undang yang baru
berhasil diterbitkan.

57
Gedung Nusantara I DPR seakan menjadi saksi bisu
berlangsungnya Rapat Kerja Komisi VIII DPR dengan Pemerintah,
yang terdiri dari Menteri Agama, Menteri Keuangan, Menteri Dalam
Negeri, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Rapat ini
yang bertujuan untuk meengambil Keputusan Tingkat I terhadap
RUU tentang Pengeloaan Zakat dipimpin Ketua Komisi VIII, Abdul
Kadir Karding. Orang-orang inilah yang menjadi saksi sejarah
terbentuknya undang-undang baru pengelolaan zakat bernomor 23
tahun 2011 yang kita pakai sampai saat ini.
Pada waktu itu, RUU tentang Pengelolaan Zakat ini yang diajukan
ke Sidang Paripurna Dewan berdasarkan persetujuan dari seluruh
fraksi yang ada di Komisi VIII saat Pengambilan Keputusan
Tingkat I terhadap RUU tentang Pengelolaan Zakat. Komisi VIII
menjadi ruang dimana juru bicara dari tiap-tiap fraksi partai politik
mengutarakan pandangan mereka. Undang-undang baru bertahun
2011 ini adalah rumusan pemikiran partai politik yang utusannya
berada di Komisi VIII.
Salah satu juru bicara fraksi Partai Demokrat yang bisa dikutip di
sini adalah Nany Sulistyani Herawati. Tanpa mengecilkan kontribusi
dan peran partai lain, Nany Sulistyani Herawati mengusulkan
hendaknya pendekatan dalam pengelolaan zakat sebaiknya lebih
difokuskan pada perspektif pemberdayaan dan bersifat jangka panjang
dibanding bersifat santunan dan sementara. Pernyataan ini dapat
diartikan sebagai kritik atas UU RI Nomor 38 Tahun 1999 yang dinilai
lebih mengedepankan spirit santunan. Sebaliknya, undang-undang
baru tahun 2011 lebih mengarah pada produktivitas pengelolaan dana
zakat.
2. Poin-poin Penting Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat
Dengan terbitnya UU RI Nomor 23 Tahun 2011 ini, tentu ada
poin-poin penting yang membuatnya berbeda dari undang-undang
sebelumnya yang bernomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
Berikut ini poin penting perubahan yang ada.

58
a. Tujuan yang Berorientasi Penanggulangan Kemiskinan
Penting dicermati bahwa UU RI No. 23 Tahun 2011 lebih
berorientasi pada peningkatan kesejahteraan dan penanggulangan
kemiskinan. Hal itu terlihat dari Pasal 3 tentang Pengelolaan zakat
bertujuan:
1) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam
pengelolaan zakat; dan
2) meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.
Adapun tujuan UU RI No. 38 Tahun 1999 Pasal 5 tentang
Pengelolaan Zakat adalah:
a) Meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan
zakat sesuai dengan tuntunan agama;
b) Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam
upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan
sosial, dan
c) Meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.
Kalimat “penanggulangan kemiskinan” hanya ada pada UU RI
Tahun 2011 dan tidak ada pada UU RI Tahun 1999. Walaupun pada
UU lama dan baru sama-sama mencantumkan kalimat
“mewujudkan kesejahteraan sosial”. Penanggulangan kemiskinan ini
sangat membuka peluang kreativitas pengelolaan dan pemanfaatan
dana zakat.
b. Manajemen yang Lebih Tertata
Dalam UU RI Tahun 2011 terdapat pendetailan sistem kerja.
Misalnya, pada Bagian Kedua Bab Keanggotaan Pasal 8, 9, 10, dan 11
terdapat ungkapan tentang rekrutmen anggota BAZNAS secara
profesional demi mencari para pengelola yang kompeten. Selain itu,
pada Bagian Keempat Bab Lembaga Amil Zakat (LAZ) Pasal 17 ada
aturan bahwa untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat,

59
masyarakat dapat membentuk LAZ. Manajemen yang lebih tertata
rapi semacam ini tidak terdapat dapat UU RI Tahun 1999.
c. Pendayagunaan yang Lebih Produktif
Konsep pendayagunaan dana zakat yang lebih produktif
terdapat pada undang-undang baru. Undang-undang baru tahun
2011 Bagian Ketiga bab Pendayagunaan Pasal 27 berbunyi:
1) Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka
penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat;
2) Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila kebutuhan dasar
mustahik telah terpenuhi;
3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan zakat untuk
usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Coba bandingkan dengan undang-undang lama tahun 1999 Bab
V Pendayagunaan Zakat Pasal 16 yang berbunyi:
1) Hasil pengumpulan zakat didayagunakan untuk mustahiq sesuai
dengan ketentuan agama;
2) Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala
prioritas kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk
usaha yang produktif;
3) Persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan
zakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan
keputusan menteri
Dari sini kita dapat melihat bahwa undang-undang tahun 2011 lebih
produktif dan visioner dibanding undang-undang tahun 1999
d. Keterlibatan Aktif Masyarakat dalam Pengawasan Pengelolaan oleh
Lembaga
Ini penting dipahami bahwa undang-undang baru tahun 2011
lebih memungkinkan masyarakat untuk pro aktif dalam mengontrol
pengelolaan dan pendayagunaan dana zakat. Hal itu dijamin dalam
Bab VI Peran Serta Masyarakat Pasal 35 ayat 1 yang berbunyi,

60
“Masyarakat dapat berperan serta dalam pembinaan dan
pengawasan terhadap BAZNAS dan LAZ”. Dalam undang-undang
lama tahun 1999, keterlibatan masyarakat untuk ikut kontrol tidak
tersalurkan.
3. Manajemen Pengelolaan Zakat
KH MA Sahal Mahfudh mengatakan, zakat merupakan rukun
Islam yang fardu ain dan kewajiban ta'abbudi. Dalam al-Qur’an
perintah zakat sama pentingnya dengan perintah salat. Hal ini dapat
kita lihat dari nash al-Qur’an yang selalu menyebut kewajiban zakat
beriringan dengan kewajiban salat. Akan tetapi, dalam realitasnya
rukun Islam yang ketiga ini justru belum berjalan sesuai dengan
harapan. Pengelolaan zakat di masyarakat masih banyak memerlukan
tuntunan, baik dari segi syari'ah maupun konteks perkembangan
zaman. Pendekatan kepada masyarakat Islam masih memerlukan
tuntunan serta metode yang tepat.
Orang yang membayar zakat (muzakki) misalnya, masih
melaksanakan kewajibannya secara terpencar. Pembagian zakat pun
masih jauh dari kata memuaskan. Dengna demikian, sangat penting
untuk melakukan penataan dengan cara melembagakan zakat itu
sendiri. Penataan zakat tidak boleh hanya sebatas upaya pembentukan
panitia zakat, tetapi harus menyentuh hal yang lebih substantif, seperti
manajemen modern yang up to date, agar zakat menjadi kekuatan yang
dapat mendorong terciptakan kesetaraan dan kesejahteran bagi sesama
manusia.
Dalam konteks penataan zakat, hal yang perlu diperhatikan
berupa pendataan, pengumpulan, penyimpanan, pembagian dan yang
menyangkut kualitas manusianya. Selain itu, aspek syari'ah tak bisa
kita lupakan. Oleh karena itu, kita memerlukan organisasi yang kuat
dan rapi. Barang-barang yang wajib dizakati adalah emas, perak,
simpanan, hasil bumi, binatang ternak, barang dagangan, hasil usaha,
rikaz dan hasil laut. Mengenai zakat binatang ternak, barang dagangan,
emas, dan perak, hampir tidak ada perbedaan antara para ulama dan
imam mazhab. Sedangkan mengenai zakat hasil bumi, ada beberapa
perbedaan di antara mazhab empat.

61
Menurut Imam Abu Hanifah, setiap yang tumbuh di bumi,
kecuali kayu, bambu, rumput, dan tumbuh-tumbuhan yang tidak
berbuah wajib dizakati. Menurut Imam Malik, semua tumbuhan yang
tahan lama dan dibudidayakan manusia wajib dizakati, kecuali buah-
buahan yang berbiji seperti buah pir, delima, jambu dan lain-lain.
Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, biji-bijian, buah-buahan, rumput
yang ditanam wajib dizakati. Begitu pula tumbuhan lain yang
mempunyai sifat yang sama dengan tamar, kurma, mismis, buah tin,
dan mengkudu, wajib dizakati. Hasil bumi seperti tembakau dan
cengkih, wajib dizakati apabila diperdagangkan. Ketentuannya sama
dengan zakat tijarah (perdagangan), bukan zakat zira’ah (hasil bumi).
Adapun gaji dan penghasilan dari profesi menurut Imam Syafi’i, tidak
wajib dizakati, sebab tidak memenuhi syarat haul dan nisab. Tetapi
bukankah gaji diberikan tiap bulan? Dengan demikian, gaji setahun
yang memenuhi nisab itu hanya memnuhi syarat hak, tidak memenuhi
syarat milik. Benda yang wajib dizakati harus merupakan hak milik.
Gaji atau pun upah jasa lainnya, kalau pun dikenakan zakat,
adalah zakat mal jika memang sudah mencapai nisab dan haul.
Penghasilan dari industri juga wajib dizakati. Kewajiban ini dikiaskan
dengan-barang dagangan dan hasil usaha. Sebab tidak ada industri
yang tidak diperdagangkan. Sedangkan uang, asal memenuhi nisab
dan haul, menurut Imam Maliki, wajib dizakati. Imam Maliki
mengkiaskan uang dengan emas.
Ketentuan-ketentuan barang yang wajib dizakati tersebut sangat
relevan dan bisa diterapkan dalam situasi dan kondisi kita sekarang ini.
Ulama dari empat mazhab hampir tidak memiliki perbedaan pendapat
dalam masalah nisab dan haul barang-barang yang wajib dizakati.
Misalnya, untuk emas nisabnya 20 dinar dengan zakat 2,5 persen.
Begitu pula dengan barang dagangan, bila nilainva mencapai 20 dinar,
wajib dizakati 2,5 persen. Emas/perak dan barang dagangan wajib
dizakati apabila pemilikannya mencapai 1 tahun (haul). Untuk hasil
bumi tanpa haul. Setiap kali panen wajib langsung dizakati. Nisabnya 5
wasak. Berkaitan dengan binatang ternak, juga sudah ada ketentuannya
sendiri.

62
Dalam masalah nisab dan haul, yang perlu dilakukan adalah
mengkonversikannya dengan ketentuan-ketentuan yang ada di negara
kita. Salah satu contohnya, satu dinar sama dengan berapa rupiah, satu
wasak itu berapa kilogram dan seterusnya. Hal ini akan memudahkan
kita cara menghitung berapa zakat yang wajib dikeluarkan untuk tiap-
tiap harta.
Dalam masalah mustahiq (yang berhak menerima zakat), juga
tidak ada perbedaan pendapat sebab mustahiq sudah jelas disebutkan
dalam surat al-Taubah ayat 60. Mustahiq adalah faqir, miskin, amil,
muallaf, riqab, gharim, sabilillah dan ibnu sabil. Para mustahiq tersebut
biasa disebut asnaf al-tsamaniyah (delapan kelompok).
Perdebatan muncul biasanya berkaitan dengan kategori tiap-tiap
mustahiq, terutama untuk fi sabilillah. Jumhur ulama berpendapat, fi
sabilillah adalah perang di jalan Allah. Bagian untuk fi sabilillah
diberikan kepada para angkatan perang yang tidak mendapat gaji
dari pemerintah. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, bagian zakat
untuk fi sabilillah bisa ditasharufkan (digunakan) untuk membangun
madrasah, masjid, jembatan, dan sarana umum lainnya. Dalam
persoalan ini, kita perlu melebarkan pemaknaan fi sabililllah, tidak
hanya pada perang semata. Hal ini dimaksukdkan agar zakat tersebut
berdaya guna dan tepat guna. Pengertian yang lebih luas terhadap
makna fi sabilillah akan berdampak pada kemaslahatan semua orang.
Selain itu, pemaknaan tersebut berkonsekwensi terhadap pelaksanaan
pengumpulan dan pentasharrufan zakat dapat berjalan sebaik-baiknya.
Di sinilah pentingnya pendataan terhadap muzaki, barang yang wajib
dizakati, dan mustahiq zakat.
Menurut Imam Syafi’i, pengumpulan zakat harus berupa barang
yang dizakati itu sendiri, kecuali untuk barang dagangan. Artinya,
untuk hasil bumi, yang harus dizakatkan adalah hasil bumi itu sendiri.
Pengumpulan zakat tidak bisa diganti dengan uang misalnya, meski
senilai barang yang dizakati. Namun, untuk barang dagangan, zakat
harus berupa uang. Pedagang konveksi misalnya, tidak boleh
mengeluarkan zakat dalam bentuk barang-barang konveksi, seperti
baju, celana, dan lain sebagainya.

63
Dalam hal pembagiannya, harus berupa barang yang dizakati itu
sendiri. Zakat hasil bumi harus dibagi berupa hasil bumi. Zakat hewan
ternak harus dibagi berupa hewan ternak. Hal ini didasarkan pada
aturan bahwa pembagiannya harus berupa barang yang dizakati itu
sendiri, maka sudah barang tentu penyimpanannya juga harus berupa
barang itu sendiri.
Ditinjau dari segi teknis, memang tidak praktis karena di zaman
modern ini, barang sebesar apa pun dapat dilipat dan dimasukkan
dalam kantong, terutama ketika diwujudkan menjadi lembaran-
lembaran uang. Bahkan, uang pun bisa diringkas lagi menjadi cheque
(cek). Pengumpulan, penyimpanan, dan pembagian yang mensyarat-
kan barang yang dizakati itu sendiri tidak praktis ditinjau dari segi
waktu, tenaga, dan tempat yang dibutuhkan untuk keperluan itu.
Berkaitan dengan petugas pengumpul dan pembagi zakat, disebut
amil, sebenarnya penyebutan amil salah kaprah, karena sesungguhnya
mereka baru panitia zakat. Sedangkan amil seharusnya diangkat oleh
pemerintah yang boleh mengambil bagian zakat. Organisasi sosial
keagamaan atau institusi apapun tidak berhak membentuk amil zakat.
Menurut ketentuan fikih, jika pemerintah (imam) mengumpulkan
zakat, ia bebas menyerahkan hasil pengumpulan kepada mustahiq
dalam bentuk apa pun, baik berupa modal maupun alat-alat kerja.
Pemabagian zakat menurut Imam Syafi’i, harus di antara delapan
asnaf. Tapi, menurut pendapat yang lain, zakat boleh diberikan kepada
mustahiq tertentu saja.
Pengelolaan zakat secara profesional memerlukan tenaga yang
terampil, menguasi masalah-masalah yang berhubungan dengan zakat,
penuh dedikasi, jujur, dan amanah. Kita tidak bisa menyerahkan tugas
pengelolaan zakat bagi mereka yang tidak menguasai masalah-masalah
yang berhubungan dengan zakat, seperti soal muzaki, nisab, haul, dan
mustahiq zakat. Persoalan akan muncul ketika pengelola zakat tidak
jujur dan amanah. Hal terburuk yang akan terjadi adalah zakat tidak
sampai kepada mustahiq dan mungkin pula hanya dipakai untuk
kepentingan pribadi saja. Oleh karena itu, adanya tenaga yang
terampil, menguasai masalah-masalah zakat, jujur, dan amanah sangat

64
dibutuhkan dalam sistem pengelolaan zakat yang profesional, terutama
di era sekarang ini.
Zakat adalah ibadah sosial yang formal, terikat oleh syarat dan
rukun tertentu. Dalam upaya pembentukan dana, sesungguhnya zakat
tidak sendirian. Jika keperluannya ialah penyantunan fakir miskin,
sesungguhnya fikih telah menetapkan kewajiban lain atas hartawan
muslim untuk menyantuni mereka. Kewajiban ini, jika dikembangkan
justru merupakan potensi lebih besar daripada zakat.
Kewajiban itu berupa memberikan nafkah. Menurut ketentuan
fikih, bila tidak ada baitul mal, wajib bagi para hartawan untuk
memberi nafkah kepada fakir miskin. Nafakah berbeda dengan
sedekah, sebab sedekah adalah ibadah sunah, sedangkan nafakah
bersifat wajib. Seadekah dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah
sosial karena sebagaimana nafakah, sedekah tidak terikat ketentuan
nisab dan haul layaknya zakat. Orang boleh saja bersedekah kapan saja
dan berapa saja.
Sebagai alternatif, nafkah dan sedekah banyak memberikan
kemungkinan. Lebih-lebih bila diingat bahwa di negara kita tidak ada
baitul mal. Maka nafkah sebagai ibadah wajib perlu digalakkan
pelaksanaannya. Demikian juga untuk pengembangan dan
pembangunan masyarakat kita perlu menghimpun dana melalui
sedekah.
4. Lembaga dan Tata Kelola Zakat
Pada perkembangan kontemporer, dalam rangka memenuhi
kebutuhan pengelolaan zakat yang optimal, maksimal, dan profesional,
banyak instansi yang menamakan dirinya sebagai organisasi Pengelola
Zakat (OPZ). Sejatinya, semua ini adalah penerjemahan dari diwan
yang sudah ada pada jaman Khalifah Umar bin Khattab. Berikut ini
beberapa lembaga organisasi yang berfokus pada pengelolaan zakat, di
antaranya:
a. BAZ (Badan Amil Zakat)
Badan Amil Zakat (BAZ) adalah organisasi pengelola zakat
yang dibentuk oleh pemerintah. BAZ ini beranggotakan beberapa

65
orang yang terdiri dari unsur masyarakat dan pemerintah. Tugas
utama BAZ adalah mengumpulkan, mendistribusikan dan
mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama.
BAZ di Indonesia mempunyai beberapa tingkatan:
1) BAZ Pusat atau Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). Aturan
tentang BAZNAS diatur dalam Keputusan Presiden No.8 Tahun
2001. Berdasarkan aturan presiden ini, BAZNAS harus terdiri dari
Badan Pelaksana, Komisi Pengawas, dan Dewan Pertimbangan.
Badan Pelaksana bertugas melaksanakan kebijakan BAZ. Komisi
Pengawas bertugas melaksanakan pengawasan internal atas
operasional kegiatan badan pelaksana. Sedangkan Dewan
Pertimbangan bertugas memberikan pertimbangan fatwa, saran,
rekomendasi tentang pengembangan hukum.
2) BAZNAS Provinsi. Pembentukan BAZ Provinsi diatur dalam
keputusan Menteri Agama no.118 tahun 2014.
3) BAZNAS Kabupaten/Kota. Dasar hukum pembentukannya
adalah keputusan Direktorat Jenderal Bimbigan Masyarakat Islam
no. DJ.II/568 tahun 2014.
b. LAZ (Lembaga Amil Zakat)
Selain BAZ, ada juga Lembaga Amil Zakat (LAZ). Lembaga ini
adalah institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk oleh
masyarakat yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial
atau kemasyarakatan umat Islam, dikukuhkan, dibina dan
dilindungi oleh pemerintah.
LAZ sejatinya adalah badan pembantu BAZNAS. Dasar hukum
pembentukan LAZ adalah UU RI No. 23 Tahun 2011. Berdasarkan
undang-undang ini, LAZ akan membantu BAZNAS dalam
pelaksanaan mengelola zakat. Apabila BAZNAS dikelola oleh unsur
masyarakat dan pemerintah maka LAZ dikelolah sepenuhnya oleh
unsur masyarakat.
Sebelum terbitnya UU RI No. 23 tahun 2011, yaitu dengan
hanya merujuk pada UU No. 38 tahun 1999, butir-butir payung
hukum tentang LAZ hanya ada dua pasal saja. Tetapi, semenjak ada

66
amandemen dan muncul UU RI No. 23 Tahun 2011, pembentukan
LAZ mendapat sorotan lebih tajam dan terperinci. Ketentuan yang
tertulis dalam undang-undang semakin ketat. Pemerintah tampak
lebih serius mengatur LAZ dengan adanya pasal 17 s/d 20.
Salah satu hal yang penting dari undang-undang baru itu
adalah bahwa LAZ harus mendapat izin dari pemerintah, harus
berbentuk lembaga hukum, dan terdaftar sebagai organisasi
kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah
dan sosial. Pemerintah ingin memastikan bahwa tidak boleh ada
lembaga yang dikelola masyarakat tanpa tingkat profesionalitas
yang tinggi. Harapannya pengelolaan zakat lebih transparan,
profesional, dan lebih bermutu.
c. Unit Pengumpul Zakat (UPZ)
Unit Pengumpul Zakat (UPZ) adalah satuan organisasi yang
dibentuk oleh Badan Amil Zakat di semua tingkatan dengan tugas
mengumpulkan zakat untuk melayani muzaki, yang berada pada
desa/kelurahan, instansi-instansi pemerintah dan swasta, baik
dalam negeri maupun luar negeri. UPZ ini dapat membantu BAZ,
dan oleh karenanya, ia tetap berada di bawah naungan hukum yang
berlaku. UPZ adalah kordinator lapangan.

D. Kontekstualisasi Nilai-Nilai Moderasi Beragama dalam Materi


Pengelolaan Zakat
Pengelolaan zakat mulai dari penerimaan sampai kepada
pendistribusian dan pendayagunaan merupakan perkara penting yang
harus diperhatikan oleh masyarakat muslim bahkan kehadiran dan
kontribusi negara sangatlah diperlukan. Dalam sejarah Islam
dituturkan betapa berdayanya umat Islam ketika negara terjun
langsung mengelola zakat. Kisah Khalifah Abu Bakar dan Khalifah
Umar bin Abdul Aziz merupakan kisah yang cukup inspiratif dalam
kasus pengelolaan zakat yang sangat efektif dalam pemberantasan
kemiskinan.

67
Kesuksesan negara dalam mengelolah zakat tidak dapat
dilepaskan dari penerapan nilai-nilai moderasi beragama yang
menekankan perlunya paradigma yang moderat yang
menyeimbangkan pengamalan ajaran-ajaran agama dan ketaatan
kepada pemerintah. Ketaatan warga negara terhadap kesepakatan-
kesepakatan bersama termasuk ketaatan kepada undang-undang
negara adalah bagian penting dari prinsip moderasi beragama.
Selain nilai keseimbangan dan ketaatan pada negara, nilai
moderasi beragama apa saja yang dapat Saudara peroleh dari materi
undang-undang dan Lembaga pengelola zakat ini?

E. Latihan
1. Narasikan kembali konteks sosial-historis dibentuknya undang-
undang Republik Indonesia tentang pengelolaan zakat!
2. Carilah UU RI Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat dan
UU RI Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat lalu
bandingkan isi kedua undang-undang tersebut!
3. Lembaga-lembaga pengelola zakat saat ini sudah banyak terbentuk
seperti BAZ, LAZ, dan UPZ. Jelaskan tugas ketiga lembaga tersebut
dalam kaitannya dengan pengelolaan zakat!
F. Daftar Pustaka
4. al-Hanafi, Abu Su’ud Muhammad bin Muhammad Mushthafa al-
Imadi al- Afandi. Risalah fi Jawazi Waqf an-Nuqud, Bairut: Dar Ibn
Hazm, cet ke- 1, 1417 H/1997 M.
5. Husaini, Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad. Kifayah al-Akhyar fi
Halli Ghayah al- Ikhtishar, Surabaya: Dar al-Ilm, t.t.
6. al-Huzaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Cet. IV; Dimasyq:
Dar al- Fikr, 1996.
7. Hafidhuddin, Didin. Zakat dalam Perekonomian Modern, Jakarta: Gema
Insani Press, 2002.
8. Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
9. UU RI No. 38 Tahun 1999 Pasal 5 tentang Pengelolaan Zakat
10. Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat

68
11. UIN Malang, Fiqh dan Manajemen Zakat di Indonesia, Malang: UIN
Malang Press, 2008.
12. http://www.nu.or.id
13. https://almanhaj.or.id
14. https://aswajanucenterjatim.com https://www.suduthukum.com
https://zakat.or.id

69

Anda mungkin juga menyukai