Anda di halaman 1dari 8

Regulasi Wakaf

Regulasi Wakaf di Indonesia

Kebijakan tentang regulasi wakaf di Indonesia dimulai sejak pemerintah


kolonial Belanda, di mana antara tahun 1903 sampai 1935, Belanda
mengeluarkan empat surat edaran Sekretaris (Circulaires van de Gouvernements
Secretaris) kepada pemimpin Indonesia. Semua surat edaran tersebut meminta
bupati untuk menangani pendaftaran bangunan keagamaan Muslim menyangkut
asal-usulnya, statusnya sebagai tempat peribadatan, dan apakah ia berasal dari
wakaf atau bukan. (Abdul Gafur Ansari, 2005: 40-43). 1
Pengaruh surat edaran ini setidaknya ada dua hal: pertama,pemerintah
telah mengendalikan kegiatan wakaf melalui wajib daftar, maupun keharusan
meminta izin para bupati untuk mendermakan kekayaan sebagai wakaf. Kedua,
bupati diberi kewenangan untuk menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan
sengketa wakaf (Suparman Usman, 1999 : 50-51). Dalam kurun waktu tersebut,
ketentuan-ketentuan hukum wakaf secara umum hanya mengatur wewenang,
prosedur perizinan dan pendaftaran tanah wakaf serta hal-hal administratif
lainnya. 1
Setelah Indonesia merdeka, regulasi wakaf semakin berkembang positif,
dengan keluarnya Peraturan Departemen Agama pada 22 Desember 1953
tentang prosedur pemberian tanah wakaf, yang kemudian diatur kembali oleh
Surat Edaran Departemen Agama No. 5/D/1956. Kemudian, diterbitkannya
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria. Dalam Undang-undang ini, aset wakaf mendapatkan dasar hukum yang
tetap, di mana negara secara resmi menyatakan perlindungan terhadap harta
wakaf. Dalam Pasal 49 ayat 3 disebutkan bahwa perwakafan tanah milik
dilindungi dan diatur menurut peraturan pemerintah. Perlindungan atas aset
wakaf juga dipertegas kembali dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan ini meningkatkan penertiban sertifikasi
tanah atas tanah wakaf yang telah diikrarkan. 1
Setelah mendapatkan jaminan perlindungan dari pemerintah, eksistensi
wakaf semakin mendapatkan tempat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No.
28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, yang memuat unsur-unsur
substansi dan teknis perwakafan. Terbitnya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun
1977 ini menciptakan pembaruan yang sangat penting dalam pengelolaan harta
wakaf. Peraturan ini memberikan legalitas bagi bolehnya pertukaran harta wakaf
setelah mendapatkan izin dari Menteri Agama. Secara subsansial peraturan
tersebut juga membolehkan pertukaran harta wakaf agar dapat diberdayakan
secara optimal. Pembaruan lain yang terjadi setelah terbitnya peraturan ini juga
mencakup aspek teknis dalam perwakafan. Sejak peraturan ini, beberapa
pengelola wakaf mulai bersikap selektif terhadap harta wakaf yang diserahkan
kepada mereka dengan memperhatikan asas manfaat dari wakaf yang akan
diserahkan. 1
Aturan lain yang membawa pembaruan dalam pengelolaan wakaf adalah
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pembaruan dalam KHI ini pada dasarnya merupakan elaborasi dari prinsip
pembaruan yang terdapat pada PP No. 28 Tahun 1977. Baik Inpres No. 1 Tahun
1991 maupun PP No. 28 Tahun 1977 diarahkan untuk unifikasi Mazhab dan

hukum Islam di Indonesia. Beberapa perluasan aturan perwakafan dalam KHI


antara lain berkaitan dengan objek wakaf, nazir dan sebagainya. Terkait dengan
objek wakaf misalnya, dalam KHI disebutkan bahwa objek wakaf telah mencakup
harta benda yang bergerak, sedangkan dalam PP No. 28 Tahun 1977 ketentuan
seperti itu belum ada. Demikian halnya dengan nazir, dalam KHI jumlah nazir
perseorangan tidak lagi dibatasi hanya sebanyak tiga orang, melainkan
disesuaikan dengan kebutuhan manajemen wakaf (1). Sebagaimana yang
diuraikan oleh Said Agil Husin al-Munawar, beberapa permasalahan yang
merugikan masyarakat di antaranya adalah: keberadaan benda wakaf sering
tidak diketahui lagi, ahli waris waqif sering menjual kembali harta wakafnya, ahli
waris sering bersengketa terhadap harta wakaf, harta wakaf bukan milik si waqif
secara sempurna, dan banyak harta wakaf yang belum diberdayakan atau
dikelola secara maksimal, bahkah ditelantarkan (2).
Oleh karena itu, dianggap penting dan mendesak adanya payung hukum
dalam bentuk perundang-undangan yang mengatur wakaf secara khusus, karena
Inpres No. 1 tahun 1991 tidak dapat mengakomodir pengaturan wakaf secara
sempurna, maka pada tahun 2004 keluarlah Undang-undang nomor 41 tahun
2004 tentang Wakaf. Sedangkan mengenai sengketa yang terjadi pada
permasalahan wakaf ditangani oleh Pengadilan Agama, sebagaimana yang
tercantum pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama. Demikianlah regulasi wakaf di Indonesia yang
telah berlangsung cukup lama, yang baru tahun 2004 memiliki payung
hukumnya. 2
Undang-Undang ini disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
pada tanggal 27 Oktober 2004 sebagaimana dalam lembaran Negara RI Tahun
2004 Nomor 159. Undang-undang ini terdiri dari XI bab dan 71 Pasal. Secara
rinci, Bab I berisi ketentuan umum. Dalam bagian ini, definisi kata-kata kunci
dipaparkan, seperti pengertian wakaf, wakif, ikrar wakaf, nadzir, harta benda
wakaf, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, dan Badan Wakaf Indonesia. Bab II
mengandung dasar-dasar wakaf. Pada bagian ini diulas diantaranya tentang
tentang tujuan dan fungsi wakaf, unsur wakaf, dan harta benda wakaf. Bab III
memuat pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf. Bab IV tentang
perubahan status harta benda wakaf. Bab V tentang pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf. Bab VI tentang Badan Wakaf Indonesia, Bab
VII tentang penyelesaian sengketa, Bab VIII tentang pembinaan dan
pengawasan, Bab IX ketentuan pidana dan sanksi administrasi, Bab X tentang
ketentuan peralihan, dan terakhir Bab XI tentang ketentuan penutup. 3
Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang wakaf memiliki tujuan pokok
untuk mendorong kemajuan pengelolaan wakaf di Indonesia. Dengan Undangundang ini, sektor wakaf diharapkan mampu berfungsi sedemikian rupa,
sehingga mendukung kesejahteraan sosial-ekonomi umat Islam. Apalagi para
ulama dan pemerhati masalah-masalah wakaf dari berbagai ormas Islam, baik
Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, maupun ormas-ormas Islam lainnya
mendukung proses legislasi wakaf ini dengan sungguh-sungguh. Walaupun
demikian, respon para ulama ini belum tentu bisa menyelesaikan semua
permasalahan karena faktor sosialisasi dan khilafiyah sebagai karakter dasar
fikih masih mungkin terjadi (3). Konteks kelahiran dan motif terpenting regulasi
wakaf tersebut adalah untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi dan penguatan
masyarakat sipil dengan memanfaatkan sumber-sumber alternatif yang potensial
dalam wakaf (Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary (ed.), 2006 : 88-89). 1
Terhadap kelahiran Undang-undang ini, sebagian besar nazir memandang
positif bahwa Undang-undang ini dapat memberikan kepastian hukum dan

memperkuat lembaga wakaf. Di samping itu, Undang-undang ini juga bisa


mendorong masyarakat untuk berwakaf. Selain memiliki persepsi positif dengan
hadirnya Undang-undang wakaf tersebut, sebagian besar juga mendukung
keberadaan Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang telah eksis di masyarakat. Badan
ini diharapkan mampu menjamin terciptanya kemajuan pengelolaan wakaf untuk
kegiatan produktif di satu sisi dan peningkatan fungsi pelayanan sosial
keagamaan di sisi lain. 1
Pentingnya regulasi Perundang-undangan wakaf ini bisa kita analisis dari
beberapa pasal dalam Undang-undang No. 41 tahun 2004. Dalam pasal 4 dan
pasal 5 dinyatakan bahwa wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf
sesuai dengan fungsinya; wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat
ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan
kesejahteraan umum. Juga dalam pasal 12 mengenai peruntukan harta benda
wakaf disebutkan bahwa dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta
benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi: 1) sarana dan kegiatan ibadah; 2)
sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; 3) bantuan kepada fakir
miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa; 4) kemajuan dan peningkatan
ekonomi umat; dan 5) kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak
bertentangan dengan syariat dan peraturan Undang-undang yang berlaku. 1
Orientasi dan arah kebijakan wakaf sebagaimana tercermin dalam pasalpasal di atas menunjukkan realita bahwa pemerintah sudah mengakui aset
organisasi wakaf sebagai modal yang bernilai sosial dan ekonomis sekaligus,
yang dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber alternatif bagi penguatan
dan pemberdayaan sosial ekonomi umat Islam di masa yang akan datang.
Berbagai perubahan yang didorong oleh kepentingan bersama pemerintah dan
umat Islam ini pada gilirannya ikut mempengaruhi corak perkembangan
perwakafan di tanah air. Tanda-tanda menuju pembaruan itu mulai tampak
dengan munculnya berbagai kreativitas baru dalam pengelolaan wakaf, seperti
meluasnya cakupan harta wakaf produktif dan inovasi kelembagaan wakaf.1 (Tuti
A. Najib dan Ridwan al-Makassary (ed.), 2006 : 89). 1
-

Menganalisa Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

Sumber pembiayaan BWI dibawa alokasi Kementerian Agama Republik


Indonesia. Pengalokasian dana tersebut, kontradiksi dengan Pasal 47 ayat (2)
Undang-Undang Wakaf yang menyatakan bahwa BWI merupakan lembaga
independen. Di samping tentang kelembagaan BWI, beberapa masalah yang
dalam praktik masih menjadi kendala bagi penggembangan wakaf di Indonesia
adalah mengenai pengelolaan wakaf uang. Pengaturan Undang-Undang Wakaf
masih sebatas mengatur dan menguatkan tentang wakaf uang, sementara
pengaturan mengenai benda bergerak lainnya selain uang belum diakomodir
sepenuhnya. Disamping itu khusus mengenai pengelolaan wakaf uang dalam
ketentuan Undang- Undang Wakaf masih sebatas memanfaatkan Lembaga
Keuangan Syariah (LKS). Ketentuan ini akan memperkecil pengembangan wakaf
uang itu sendiri, apalagi dalam PP No. 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf membatasi bahwa wakaf
uang dialokasikan pada kegiatan-kegiatan usaha pada LKS. Hal ini perlu dikaji
lebih jauh baik dari aspek fiqih wakaf maupun aspek praktik penggembangan
wakaf itu sendiri. 4
Upaya penyelarasan penyempurnaan Undang-undang perwakafan terkait
dengan hal-hal berikut: (1) Menyelaraskan bahasa yang efektif dan efisien agar

memiliki satu kesatuan dari berbagai macam pendapat, sehingga tidak


ditemukan klausal mulititafsir. (2) Menyelaraskan pasalpasal yang dianggap
perlu guna mencapai kesempurnaan dan lebih mudah untuk di aplikasikan sesuai
dengan situasi dan permasalahan yang sedang di hadapi pada waktu yang tidak
sama sebelumnya. (3) Penyempurnaan dengan menambah atau mengurangi
item yang dirasa perlu untuk mendapatkan konsep pasal-pasal peraturan
perundang-undangan yang lebih ideal baik ditinjau dari segi hukum, konsep fikih
Islam, norma dan kebiasaan masyarakat serta hal-hal yang terkait praktik
perwakafan. 4
Dalam Pasal 3 ayat (3) Peraturan BWI No. 1 Tahun 2009, dibatasi wakaf
uang dalam jangka waktu tertentu paling kurang untuk jangka waktu 5 (lima)
tahun dan paling kurang sejumlah Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Menurut peneliti pembatasan jangka waktu sekurang-kurangnya 5 tahun dan
paling kurang sejumlah Rp. 10.000.000,00 perlu ditinjau kembali. Peninjauan
tersebut perlu dilakukan agar wakaf uang bisa dilakukan secara maksimal dan
sebanyak-banyaknya, sehingga pembatasan tersebut menutup peluang orang
yang akan berwakaf dalam jangka waktu tertentu kurang dari 5 tahun serta
kurang dari Rp.10.000.000. 4
Peruntukan pemanfaatan hasil wakaf, dalam akad yang disiapkan telah
dibatasi pada bidang ekonomi, bidang pendidikan, bidang kesehatan dan bidang
sosial. Pembatasan tersebut dibolehkan, agar dapat optimal pemanfaatan wakaf
uang tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari kemungkinan terlalu
sedikitnya wakaf uang yang terkumpul (pos penerimaan sekaligus penggunaan
uang wakaf) dalam rangka memenuhi niat para wakif. Batasan minimal wakaf
uang Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) bagi wakif yang menentukan sendiri
mauqf alaih sebagaimana dimuat dalam Pasal 3 ayat (4) Peraturan BWI No. 1
Tahun 2009. Penentuan minimal Rp. 1.000.000.000,00 bagi wakif yang
menentukan mauqf alaih menurut peneliti bertentangan dengan asas
kebebasan berkontrak. Lebih arif manakala penentuan mauqf alaih diarahkan
oleh nazhir atau LKS PWU agar wakif menyerahkan kepada nazhir sesuai pos-pos
yang sudah dibuat oleh nazhir, dibandingkan rumusan pasal tersebut, yang
berimplikasi wakif tidak bisa berwakaf jika menentukan mauqf alaih dan
nominal yang diwakafkan tidak mencapai Rp. 1.000.000.000,00. Dalam hal ini
peneliti lebih setuju jika pemberian sertifikat wakaf uang denga nominal minimal
Rp. 100.000,00, agar semua kalangan bisa melaksanakan wakaf uang.
Mengingat dibukanya peluang wakaf uang agar semua kalangan dan lapisan
umat Islam bisa berwakaf tanpa menunggu menjadi kaya. Dalam Pasal 43 ayat
(1) dinyatakan bahwa LKS-PWU atas nama Nazhir mendaftarkan wakaf uang
kepada Menteri paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya SWU.
Demikian pula yang termuat dalam Pasal 4 ayat (1) PMA No. 4 Tahun 2009.
Berdasarkan hal tersebut maka implikasinya wakif yang menyetorkan kurang
dari Rp. 1.000.000,00 tidak mendapatkan SWU, LKS-PWU tidak berkewajiban
menerbitkannya. Dengan tidak wajib menerbitkannya maka terlepas kewajiban
LKS-PWU untuk mendaftarkan wakaf uang dibawah Rp. 1.000.000,00., bisa
ketidakjelasan pengaturean wakaf uang yang kurang dari Rp. 1000.000.000,-.4
Berkaitan dengan ketentuan ikrar wakaf sebagaimana telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan, belum adanya pengaturan secara tegas yang
memberikan jaminan wakif atau ahli warisnya berhak untuk melakukan
pengawasan dan meminta pertanggungjawaban nazhir pengelolaan wakaf uang.
Walaupun diatur, pengawasan terhadap perwakafan dilakukan oleh pemerintah
dan masyarakat, baik aktif maupun pasif, namun tidak dinyatakan secara tegas
wakif atau ahli warisnya berhak melakukan pengawasan. 4

Undang-undang wakaf saat ini masih sekedar memberikan landasan


hukum wakaf uang namun belum mendorong secara penuh bagi nazhir itu
sendiri untuk menggembangkan dan mengelola aset wakaf. Demikian pula
aturan wakaf yang ada masih banyak hanya terkait pengaturan wakaf uang
semata, sementara aturan mengenai wakaf benda lainnya termasuk benda
bergerak seperti saham belum diatur lebih lanjut. Untuk itu perlu adanya
pembenahan lebih lanjut bagi aturan wakaf kedepan untuk juga mengedepankan
upaya penggembangan profesional nazhir secara menyeluruh dan terintegratif. 4
Badan wakaf Indonesia (BWI) anggota kepengurusannya berjumlah
minimal 20 dan maksimal 30 orang, diangkat untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun
dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Ketentuan
mengenai tata pemilihan keanggotaan, diatur dalam Peraturan BWI yang
pelaksanannya terbuka untuk umum. demikian halnya ketentuan mengenai
susunan organisasi, tugas dan fungsi, persyaratan dan tata cara pemilihan
anggota serta susunan keanggotaan dan tata cara kerja pengurus BWI diatur
oleh Badan wakaf Indonesia berbeda dengan lembaga Indipenden lainnya seperti
BI yang sistem pekerjaan dan status keanggotaan nya diatur dalam UndangUndang serta Kepres RI. Mengingat anggota dewan Gubernur memiliki tugas
yang sangat strategis dibidang moneter, sistem pembayaran dan pengaturan
dan pengawasan bank. 4
Untuk meningkatkan profesionalisme dalam penggembangan wakaf di
Indonesia, untuk pengangkatgan pengurus BWI seharusnya juga dilakukan
dengan adanya persyaratan fit and proper test oleh DPR. Dalam hal ini dilakukan
oleh DPR Komisi VIII. Disamping itu pula sebaiknya struktur organisasi BWI
mengacu pada Baznas yang sudah berjalan selama ini, komisioner hanya
bertugas pengambil kebijakan bukan sebagai pelaksana teknis. pelaksana teknis
pada jajaran direktur eksekutif sampai stafnya (bila perlu ditambahkan divisi
baru yaitu divisi perwakilan). 4
-

Sekilas Regulasi dan Pelaksanaan Wakaf di Beberapa Negara

Pengelolaan Wakaf Arab Saudi


Negara ini menganut sistem kerajaan, raja memainkan peran yang sangat
penting dalam menjalankan roda pemerintahan, setelah Abdul Aziz berkuasa,
banyak kebijakan yang dikeluarkannya untuk menata pemerintahannya. Dalam
masalah agama, ia menata pelaksanaan haji, sedangkan regulasi wakaf secara
khusus baru diatur oleh penerusnya pada beberapa tahun berikutnya, yaitu
Ketetapan No. 574 Tahun 1386 H. bertepatan dengan 1966 M. tentang Majelis
Tinggi Wakaf. 2
Lembaga ini diketuai oleh Menteri Haji dan Wakaf, anggotanya terdiri dari
Wakil Kementrian Haji dan Wakaf, ahli hukum Islam dari Kementrian Kehakiman,
wakil dari Kementrian Keuangan dan Ekonomi, Direktur Kepurbakalaan serta tiga
anggota dari kalangan cendikiawan dan wartawan. Jika dilihat dari sisi politik,
tentu mereka berasal dari ideologi yang sama dengan penguasa. 2
Dalam peraturan ini disebutkan bahwa Majelis Tinggi Wakaf memiliki
wewenang antara lain: mendata harta wakaf serta mengetahui kondisinya dan
menetapkan teknik pengelolaannya; menentukan langkah-langkah
pengembangan, termasuk dalam penanaman modal dan peningkatan harta
wakaf; melakukan distribusi harta wakaf sesuai dengan tuntutan syariat;

menetapkan anggaran tahunan dalam pengelolaan wakaf; serta menyusun dan


membuat laporan pengelolaan wakaf. 2
Dilihat dari bentuknya, wakaf di negara ini ada bermacam-macam, di
antaranya bangunan, seperti hotel, tanah, bangunan atau rumah untuk
penduduk, pertokoan, perkebunan, serta tempat ibadah. Ada juga jenis wakaf
tertentu yang hasilnya diperuntukkan bagi pemeliharaan dan pembangunan
masjid al-haram di kota Makkah dan masjid Nabawi di kota Madinah, seperti
bangunan untuk penginapan bagi jemaah haji. 2
Untuk membantu Majelis Tinggi dalam menjalankan wewenangnya,
Kerajaan Arab Saudi juga mengangkat nazir, sebagai pengelola wakaf. Hal ini
menunjukkan keseriusan negara ini dalam mengelola wakaf. 2
Pada abad 17-19 di Mekkah banyak berdiri rumah wakaf yang dibangun
oleh kesultanan di Nusantara maupun oleh syaikh untuk kepentingan ibadah haji.
Diantaranya adalah 14 tanah wakaf milik masyarakat Aceh zaman dahulu, yang
pada tahun 2007 melalui Mahkamah Tingginya keberadaannya diakui oleh
Kerajaan Arab Saudi dan menjadi aset Pemerintahan Daerah Provinsi Aceh,
sebanyak 14 petak tanah wakaf dua di antaranya telah dibangun penginapan
yang lebih kurang jaraknya 500 meter dari Masjidil Haram dan satu lokasi telah
dibangun gedung 30 lantai serta gedung 25 lantai. 2
Mesir dan Wakaf Keluarga
Pemerintahan Mesir menganut sistem republik yang dipimpin oleh seorang
presiden yang dipilih langsung oleh rakyaknya. Sudah diketahui sejak lama,
bahwa Mesir merupakan salah contoh negara yang sangat baik dalam mengelola
wakaf, khususnya pengelolaan wakaf yang dilakukan oleh lembaga pendidikan
al-Azhar, sampai abad ke-19 hampir separuh dari tanah di Mesir dikelola oleh
lembaga wakaf al-Azhar. 2
Salah satu jenis wakaf yang menarik untuk dikaji di negara ini adalah
polemik seputar wakaf keluarga. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa
keberadaan wakaf keluarga ini sudah ada jauh sebelum agama Islam lahir, lalu
kebiasaan ini diteruskan sampai era modern. 2
Pada awal abad 20 wakaf di Mesir dikelola oleh sebuah lembaga yang
dibentuk oleh pemerintah dengan nama Diwan al-Awqaf, yang berwenang
mengatur dan mengurus harta wakaf. Dalam perkembangannya, pada tanggal
20 November 1913, lembaga ini meningkat statusnya menjadi departemen,
sehingga wakaf di Mesir diurus langsung oleh Kementrian Waqaf (Wazarah alAwqaf). 2
Pada masa modern, dua tahun setelah revolusi Mesir yang terjadi pada
1925,45 regulasi wakaf keluarga di negera ini mulai diatur dengan peraturan
tahun 1927 tentang wakaf keluarga. Dalam perkembangannya, wakaf ini terus
mengalami pro dan kontra, yang jauh sebelumnya memang sudah terjadi sikap
pro dan kontra, lalu keluarlah Peraturan tahun 1946, yang menyatakan bahwa
peraturan tentang wakaf keluarga bersifat sementara.2
Salah satu alasan bagi kelompok yang menuntut penghapusan wakaf
keluarga ini adalah karena wakaf keluarga tidak memiliki implikasi terhadap
sedekah. Pendapat ini dibantah oleh mereka yang mendukung, dengan alasan
bahwa banyak perbuatan para sahabat yang menyalurkan harta wakaf kepada
kerabat dekatnya. Selain itu banyak hadits yang menyatakan bahwa bersedekah

kepada keluarga dekat lebih diutamakan, baru kepada kalangan lainnya,46 hal
ini juga diperkuat oleh pendapat dari para ulama fikih. 2
Dikarenakan sikap pro dan kontra terhadap wakaf keluarga semakin
memuncak, akhirnya pemerintah mengeluarkan Peraturan nomor 180 tahun
1952, yang menyatakan bahwa legalitas wakaf keluarga dihapus, status wakaf
keluarga menjadi wakaf bebas dan tidak terikat. Pada akhirnya, wakaf di negara
ini hanya terbatas pada wakaf umum saja, yang diperkuat dengan Peraturan
nomor 347 tahun 1953 tentang Wakaf Umum. 2
Pada tahun tersebut, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan nomor 547
tahun 1953 yang menyatakan bahwa Kementrian wakaf berwenang mengurus
wakaf. Lalu berturut-turut, pada beberapa tahun berikutnya pemerintah terus
mengeluarkan peraturan tentang wakaf. Pada tahun 1954 keluar Peraturan
nomor 525 tentang pembagian hasil wakaf, kemudian pada tahun 1957 keluar
lagi Peraturan No. 18 tentang pembagian harta wakaf kepada mustahik. 2
Kemudian pada tahun 1971 keluar Peraturan Nomor 80 tentang Badan
Wakaf. Badan ini memiliki beberapa wewenang di antaranya melakukan
perencanaan pengelolaan wakaf, mendistribusikan harta wakaf,
mengembangkan harta wakaf yang telah dikumpulkan, dan menyusun laporan
pertanggungjawaban pengelolaan wakaf. Berdasarkan Qanun Mesir, benda yang
diwakafkan tidak terbatas pada benda yang tidak bergerak saja, tapi juga bendabenda yang bergerak. 2
Yang menarik dari kasus perundang-undangan tentang pengaturan wakaf
di mesir adalah dinamika hukumnya yang cepat berubah menyesuaikan
perkembangan zaman, yang berbasis pada perkembangan sosial budaya
masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum Islam di Mesir
sangat dinamis bila dibandingkan di beberapa negara muslim yang lain.
sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Said al-Ashmawi, bahwa dimana
terdapat kemaslahatan umum di situlah terdapat hukum Allah,49 sesuai dengan
prinsip filsafat hukum Islam. 2
Aturan Wakaf di Pakistan
Mayoritas penduduknya beragama Islam, dengan berbagai aliran, awalnya
merupakan bagian dari wilayah Negara India, namun pada tahun 1947
melepaskan diri dari India. Terdapat dua peraturan mengenai pengelolaan wakaf
di negara ini. Sebelum lepas dari India, pada tahun 1935 ada The Musalman
Waqf (Bombay Amandement) Act, dan pada tahun 1945 ada The Qanon-e Awqaf
Islami (sekarang propinsi Bahwalpur). Setelah lepas dari India, pada tahun 1949
ada The North West Frontier Province Charitible Institution Act, kemudian pada
tahun 1951 ada The Punjab Muslim Awqaf Act. Keempat peraturan tersebut
hanya mengatur pelaksanaan wakaf pada empat provinsi yang berbeda, lalu
pada tahun 1959 peraturan wakaf dibawah payung hukum yang satu untuk
semua provinsi dengan dikeluarkannya The Musalman Waqf (Sind Amandement)
Act. 2
Dalam perjalananya peraturan ini tidak berlaku efektif dan tidak relevan,
maka pada tahun 1976 aturan tersebut diganti dengan Awqaf (Federal Control)
Act, pengelolaan wakaf dilakukan di tingkat federal. Pada tahun 1979
pengelolaan wakaf dikembalikan lagi ke tingkat provinsi. Setiap tahun
pengelolaan harta wakaf meningkat. 2

Keberhasilan Wakaf di Turki


Mayoritas penduduknya beragama Islam, minoritasnya terdiri dari
penganut Yahudi, Nasrani, dan agama serta kepercayaan lainnya. Turki sering
dianggap sebagai negara yang berhasil dalam menjalankan praktik wakaf,
terutama pada masa Dinasti Turki Utsmani, yang sampai tahun 1925 terdapat
luas lahan subur di negara ini dikelola oleh wakaf. Namun ketika Kamal al-Tartuk
berkuasa, perkembangan wakaf mengalami stagnan bahkan penurunan. Pada
masa Turki modern, wakaf mulai diatur tahun 1925 dengan keluarnya Undangundang nomor 667, dengan keluarnya peraturan ini, semua aset wakaf dikuasai
oleh negara, hanya masjid yang tidak dianeksasi. Dikarenakan perubahan sosial
dan politik, maka pada tahun 1926, pengelolaan wakaf didasarkan pada Acta
Charity Foundation nomor 2767, dan pelaksanaan wakaf mulai berjalan lagi.
Perkembangan selanjutnya sangat signifikan, pada tahun 1983 dibentuk
kementrian wakaf. Perkembangan tersebut dapat dilihat pada data wakaf yang
dikeluarkan oleh Dirjen Wakaf Turki pada tahun 1987, Dirjen ini telah mengelola
37.917 wakaf, yang terdiri dari 4.400 masjid, 500 asrama mahasiswa, 453 pusat
bisnis, 150 hotel, 5.348 toko, 2.254 apartemen, dan 24.809 properti lainnya. 2
Selain itu, dilihat dari jenis usaha komersialisasi wakaf di Turki sangat
maju dibanding di negara Islam lainnya, karena badan wakaf di negara ini telah
melakukan ekspansi usaha bidang pertambangan, perumahan, dan lain-lain.
Mustahiq-nya pun sangat beragam, yang secara garis besar terbagi kepada dua
macam, pertama berbentuk sosial, seperti disalurkan kepada fakir miskin, rumah
sakit atau pengobatan geratis, besiswa bagi para pelajar, pembuatan rumah
yatim piatu, dan lain-lain. Kedua berbentuk ibadah, seperti untuk pembangunan
masjid, dan sarana prasarana ibadah lainnya. 2

Anda mungkin juga menyukai