Anda di halaman 1dari 6

Zakat adalah salah satu pokok ajaran islam yang harus ditegakkan ditengah-tengah kehidupan kaum

muslimin dari empat tiang pokok lainnya yakni syahadat, shalat, puasa dan haji. Sedangkan Pajak merupakan

salah satu sumber pendapatan negara.

Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang digunakan untuk melaksanakan

pembangunan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pajak dipungut dari warga negara Indonesia dan

menjadi salah satu kewajiban yang dapat dipaksakan penagihannya. Dengan demikian

pemungutan pajak berdasarkan undang–undang mengandung pengertian bahwa terhadap mereka

yang ternyata mengabaikan atau melanggar ketentuan pembayaran pajak akan dikenakan sanksi

penagihan secara paksa dalam bentuk penyitaan, penyegelan ataupun penahanan.

Zakat dan Pajak meski kedua sama-sama merupakan kewajiban yang harus dikeluarkan dalam bidang
harta, namun keduanya berbeda sifatnya, berbeda sumbernya, sasaran, kadarnya dan berbeda pula
mengenai tujuannya dan jaminanya. Pajak dan zakat yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan
pemenuhan kewajiban warga negara baik dalam kehidupan beragama maupun bernegara.
Pembahasan

Pengertian pajak

Dalam UU No.28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), menyebutkan definisi pajak sebagai kontribusi wajib kepada
Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

Sedangkan definisi pajak menurut syariah, secara etimologi, pajak dalam bahasa Arab disebut dengan
dharibah yang artinya mewajibkan, menetapkan, menentukan, memukul, menerangkan atau
membebankan, dan lain-lain. Sedangkan pengertian pajak secara istilah, banyak pendapat dalam hal ini.
Pendapat yang lebih komprehensif tentang definisi pajak ini adalah yang disampaikan oleh Abdul Qadim
Zallum, bahwa pajak merupakan harta yang diwajibkan Allah SWT kepada kaum muslim untuk
membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada
saat kondisi Baitul Mal tidak ada uang/harta. Menurut Yusuf Qardhawi, pengeluaran-pengeluaran
tersebut dapat berupa pengeluaran-pengeluaran umum dan juga untuk merealisasikan sebagian tujuan
ekonomi, politik dan tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai Negara

Pengertian Zakat

Zakat berasal dari kata zaka yang merupakan isim masdar, yang secara etimologis mempunyai beberapa
arti yaitu suci, tumbuh berkah, terpuji dan berkembang.Adapun secara terminologis zakat adalah
sejumlah harta tertentu yang diwajibkan oleh Allah dan diserahkan kepada orang-orang yang berhak.
Seorang yang membayar zakat karena keimanannya niscaya akanmemperoleh kebaikan yang banyak.

Perkara zakat diatur dalam penjelasan pasal 49 huruf f Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 yang menyatakan bahwa zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim
atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk
diberikan kepada yang berhak menerimanya. Pada tahun 1999 diundangkan Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 1999 tanggal 23 September 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam Pasal 1
angka 2 undang-undang ini pengertian zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang
muslim atau badan yang dimiliki oleh muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya.
Dasar hukum

Tentang zakat

Pada masa awal reformasi yaitu masa pemerintahan BJ Habibie, tepatnya tanggal 23 September 1999
disahkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Menurut
Din Syamsuddin, lahirnya UU tersebut tidak terlepas dari politik umat Islam yang disertai adanya
kesadaran agama yang tinggi. Undang-Undang Pengelolaan Zakat tersebut ditindaklanjuti dengan
Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan UU No.38 tahun 1999
dan Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Zakat. Sebelumnya, pada tahun 1997 juga keluar Keputusan Menteri Sosial Nomor 19
Tahun 1998, yang memberi wewenang kepada masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan
kesejahteraan social bagi fakir miskin untuk melakukan pengumpulan dana maupun menerima dan
menyalurkan ZIS.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat


terdiri atas 10 Bab dan 25 pasal dengan rincian sebagai berikut:
1.Bab I tentang Ketentuan Umum terdiri atas 3 pasal (Pasal 1-3)
2.Bab II tentang Asas dan Tujuan terdiri atas 2 pasal (Pasal 4-5)
3.Bab III tentang Oganisasi Pengelolaan Zakat terdiri atas 5 pasal (Pasal 6-10)
4.Bab IV tentang Pengumpulan Zakat terdiri atas 5 pasal (Pasal 11-15)
5.Bab V tentang Pendayagunaan Zakat terdiri atas 2 pasal (Pasal 16-17)
6.Bab VI tentang Pengawasan terdiri atas 3 pasal (Pasal 18-20)
7.Bab VII tentang Sanksi terdiri atas 1 pasal yaitu pasal 21
8.Bab VIII tentang Ketentuan Lain-lain terdiri atas 2 pasal (Pasal 22-23)
9.Bab IX tentang Ketentuan Peralihan terdiri atas 1 pasal yaitu Pasal 24
10.Bab X tentang Penutup terdiri atas 1 pasal yaitu Pasal 25

Setelah lahirnya Undang-Undang No. No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat,
beberapa peraturan daerah tentang pengelolaan zakat lahir pada era reformasi. Pada umumnya
peraturan daerah tentang pengelolaan zakat tidak berbeda dengan undang-undang pengelolaan
zakat yang menitikberatkan pada pengelolaan zakat oleh badan amil zakat termasuk
pendistribusiannya. Ada di antara peraturan daerah yang telah menetapkan zakat profesi bagi
pegawai negeri sipil di wilayahnya yang diambil zakatnya sebesar 2,5%. contohnya terdapat
pada peraturan daerah Kabupaten Garut Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Zakat, Infaq
dan Shodaqoh.

Beberapa peraturan daerah lahir merespon lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia


Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat yang terdiri atas 11 Bab dan 47 Pasal dengan
rincian sebagai berikut:
1.Bab I tentang Ketentuan Umum terdiri atas 4 Pasal (Pasal1-4)
2.Bab II tentang Badan Amil Zakat Nasional terdiri atas 16 Pasal (Pasal 5-20)
3.Bab III tentang Pengumpulan, Pendistribusian, Pendayagunaan dan Pelaporan terdiri
atas 9 pasal (Pasal 21-29)
4.Bab IV tentang Pembiayaan terdiri atas 4 pasal (Pasal 30-33)
5.Bab V tentang Pembinaan dan Pengawasan terdiri atas 1 pasal (Pasal 34)
6.Bab VI tentang Peran Serta Masyarakat terdiri atas 1 pasal (Pasal 35)
7.Bab VII tentang Sanksi Administratif terdiri atas 1 pasal (Pasal 36)
8.Bab VIII tentang Larangan terdiri atas 2 pasal (Pasal 37-38)
9.Bab IX tentang Ketentuan Pidana terdiri atas 4 pasal (Pasal 39-42)
10.Bab X tentang Ketentuan Peralihan terdiri atas 1 pasal (Pasal 43)
11.Bab XI tentang Ketentuan Penutup terdiri atas 4 pasal (Pasal 44-47)

Dasar Hukum Pajak


Sebagaimana ditentukan di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 jo UU No. 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ada berbagai bentuk peraturan perundang-
undangan yang secara hirarkis mengatur soal pajak, yaitu sebagai berikut:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UU NRI 1945);


2) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu);

3) Peraturan Pemerintah (PP);


4) Peraturan Presiden (Perpres); dan
5) Peraturan Daerah (Perda).19
Dasar utama perpajakan Indonesia berpijak pada pasal 23A UUD 1945 yang berbunyi, “Pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”.Agar
dapat diimplementasikan dalam kehidupan bernegara, maka sebagai tindaklanjut dari bunyi pasal 23A
UUD 1945 tersebut diterbitkan undang-undang yang mengatur tatacara penyelenggaraan perpajakan.
Setidaknya terdapat 9 (sembilan) undang-undang yang dijadikan landasan hukum pemungutan pajakdi
Indonesia, yaitu:
1) Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang RI
Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2) Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
3) Undang-Undang RI Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Peubahan Ketiga Atas Undang Undang RI No. 8
Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan jasa serta Pajak Penjualan atas Barang
Mewah.

4) Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2000 Tentang Perubahan ketiga Atas Undang Undang RI No. 12
Tahun 1985 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
5) Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai.
6) Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (sudah tidak
belaku lagi karena sudah dicabut berlakunya)
7) Undang-Undang RI No. 28 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang Undang RI Nomor 18
Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
8) Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.
9) Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Anda mungkin juga menyukai