YURIDIS
HISTORIS
Sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998, secara substansial dan signifikan terjadi perubahan
tatanan kehidupan kepolitikan di negeri ini. Perubahan tatanan kehidupan kepolitikan yang paling
menonjol diantara perubahan kepolitikan yang lain ialah implementasi politik desentralisasi melalui UU
No.22/1999 yang kemudian diperbarui dengan UU No.32/2005. Politik desentralisasi telah
mengembangkan tatanan kepolitikan yang meletakkan otonomi daerah sebagai azas kehidupan baru
dalam pengelolaan tata kepemerintahan di daerah-daerah.
Dalam perkembangannya, implementasi desentralisasi dan otonomi daerah ini temyata direspon
sangat beragam dan berbeda antara satu daerah dan daerah lainnya. Di satu sisi hal itu merupakan
konsekuensi dari implementasi otonomi daerah itu sendiri, namun di sisi lain menunjukkan bahwa
otonomi daerah telah mendorong banyak pemerintah daerah melakukan improvisasi, kreasi,
inovasi, dan sekaligus juga distorsi kebijakan yang seringkali susah untuk dipahami masyarakat,
bahkan oleh berbagai kalangan ahli sekalipun.
Keleluasaan pemerintah daerah dalam mengambil kebijakan mendorong pemda menjadi
sangat produktif dalam melahirkan kebijakan publik, termasuk peraturan daerah (perda). Hampir
setiap jengkal kehidupan di daerah tak lepas dari perda. Saking banyaknya perda, bahkan ada anggota
DPRD dan bupati lupa berapa jumlah perda yang telah dikeluarkan. Saking banyaknya perda pula
pemerintah pusat harus berpusing-pusing menelaah keberadaan perda yang tidak sesuai dengan
perundang-undangan nasional. Saat ini setidaknya terdapat sekitar 12 ribu perda yang sedang
direview dan siap dibatalkan.
bahkan Presiden dan Wakil Presiden RI Jokowi dan Jusuf Kalla pada masa kampanyenya
menyuarakan penolakan terhadap perda syariah dan melarang kemunculan perda syariah itu sendiri
kecuali di Aceh. Namun, terhadap pernyataan tim pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla melalui Ketua Tim
Bidang Hukum Pemenangan Jokowi-JK, Trimedya Panjaitan ini ditentang oleh Majelis Mujadihid (MM)
yang menyatakan penghapusan perda syariah adalah tindakan anti-agama yang dilandaskan pada
kebohongan belaka.
TEORITIS
Formalisasi pemberlakukan syariah Islam di Indonesia memiliki landasan historis-yuridis yang sangat kuat
sesuai denganPasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 maupun tiga konsepsi hukumsyariah sejak zaman
kolonialisasiBelanda yakni receptie incomplexu, teorireceptie, dan teori receptie a contrario, Juga adanya Asas-asas
umum penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Adanya fakta-fakta yuridis tersebut yang menjadikan implementasi syariahmengalami transformasi menjadi
hukum positif. Memahami syariah adalah kompleks dan penuh perdebatan. Haltersebut dapat kita telusuri
dari pengertian istilah al-syari’ah secaraetimologis berasal dari bahasa arabsyari’ah yang berarti “jalan ke mata
air”maupun “pelepas dahaga” Adapundalam al-Qur’an, kata syariah munculdalam tiga surat yakni surat al-Syura
ayat13 (syara dalam menegakan agama) dan 21, surat al-Maidah ayat 48 ( memiliki kaitan dengan Hukum praktis)
maupun surat al-Jasyiyah ayat 18 (melawan hawa nafsu) .
FILOSOFIS
pasal 29 ayat (2) UUD NRI 1945 ini, Hazairin memberikan penafsiran bahwa, Negara wajib menjalankan
syariat islam bagi pemeluk agama islam, agama kristen bagi pemeluk agama kristen, agama buddha bagi pemeluk
agama buddha dan seterusnya.ii Negara disini tidaklah dapat diartikan hanya sebagai pemerintah pusat tetapi juga
pemerintah daerah. Dalam melaksanakan kewajibannya ini, negara melalui pemerintah daerah akhirnya membentuk
perda syariah. Perda syariah ini dibentuk bagi pemeluk agama islam agar menjalankan syariat islam, sehingga secara
substansial yang ditunjukan dalam pembentukan perda syariah adalah semata-mata menjalankan kewajiban negara.
telah tumbuh suatu kebutuhan untuk mempositivisasi ajaran-ajaran agama islam dalam rangka pengaturan
pemeluk agama islam dengan tujuan menegakan ajaran agama islam itu sendiri, dimana dalam hal ini adalah dengan
perda syariah didalam otonomi daerah
secara formil, kewajiban ini dijalankan dalam bentuk peraturan daerah. Hal ini menunjukan bahwa
pemerintah daerah memberikan perhatiannya terhadap penegakan konsep ketuhanan yang telah termanifestasi dalam
agama dan ajaran-ajarannya. Jadi, perda syariah dalam otonomi daerah dengan demikian sejalan dengan pancasila
dan memiliki landasan konstitusional yang jelas.
SOSIOLOGIS
Hal ini didasarkan pada kemajemukan faktor heterogenitas serta pluralisme masing-masing daerah yang perlu
penanganan yang berbeda satu dengan yang lainnya. Salah satu dasar pembedaan ini dapatlah dikatakan adanya
kebutuhan penegakan kaidah agama tertentu sesuai dengan daerah masing-masing. Dalam status quo, penjalanan
otonomi daerah yang demikian dilaksanakan dengan cara pembentukan perda syariah
Pembentukan perda syariah ini ditunjukan hanya kepada pemeluk agama islam sehingga tidak akan
melakukan pemaksaan kepada pemeluk agama lain. Tujuannya pun sebenarnya dilaksanakan agar didalam suatu
daerah terjadi percepatan dalam hal pengaturan akan kebutuhan seperti pembentukan Peraturan Daerah No. 1 Tahun
2014 Kota Banjarmasing tentang Pengelolaan Zakat, Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan No. 4 Tahun 2012
tentang Pengelolaan Zakat dan peraturan lainnya. Pembentukan peraturan ini ditunjukan berdasarkan intensitas
perhatian dalam penanganan suatu permasalahan yang memang berbeda. Maka dari itu, eksistensi perda syariah
didalam otonomi daerah adalah keniscayaan dari konsepsi otonomi daerah itu sendiri yang didasarkan pada
keragaman dan kekhasan daerah.
KONTRA
YURIDIS
Teoritis
a. Pasal 18 Negara RI dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintah daerah, yang diatur
dengan Undang-Undang
2. Pasal 10 UU No.23 Tahun 2014 tentang PEMDA : Yang menjadi urusan pemerintah absolut adalah :
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama
3. UU No 23 Tahun 2014 pada Pasal 250 ayat (1) dan (2) diatur pula bahwa peraturan daerah tidaklah boleh
bertentangan dengan;
Teoritis
Secara teoritis suatu kebijakan publik diproyeksikan untuk menyelesaikan masalah-masalah publik dan
bukan masalah-masalah privat. Masalah dalam konteks kebijakan publik berarti adanya kondisi dan situasi yang
secara formal menghasilkan kebutuhan-kebutuhan atau ketidakpuasan-ketidakpuasan dalam masyarakat
sehingga perlu dicari cara-cara penanggulangannya. Dari perumusan definifii masalah tersebut, tidak lantas
semua masalah yang muncul dalam kehidupan manusia dapat dijadikan sebagai dasar kelahiran suatu kebijakan
publik. Hanya masalah publiklah (masalah-masalah yang tidak dapat diatasi secara pribadi) yang dapat
dipergunakan sebagai dasar perumusan suatu kebijakan.
Persoalannya, apakah moralitas sebagai basis pergulatan implementasi perda bemuasan Syraiat Islam
merupakan masalah privat atau publik? Pertanyaan berikutnya adalah apakah persoalan moralitas antara satu
masyarakat dengan masyarakat lain atau individu dengan individu lainnya layak dinilai sebagai masalah
bersama (common problems) Ditinjau dari segikonstitusionalitasnya, substansi pokok dari perda syariah dengan
perdakonvensional sendiri sebenarnya samasaja karena pembentukan perdakonvensional sendiri sudah
memasukkannilai agama, nilai moralitas, maupun nilaiadat-istiadat dalam substansi aturannya.Hanya saja
penambahan kata syariahdalam perda memberikan pandangan bahwa nilai ukhrawinya lebih ditonjolkandaripada
nilai duniawi dalam perdakonvensional. Pada lokus permasalahantersebutlah, sebenarnya implementasi perda syariah
dalam otonomi daerahsendiri menjadi ambigu, dimana di satusisi perda syariah sendiri diundangkandemi
memperbaiki akhlak dan moralitassementara di sisi lainnya, perda syariah ia juga dipandang tidak perlu karena
sudahdiatur dalam perda konvensional.
Perspektif sosiologis mengungkapkan bahwa nilai, norma, adat, kebiasaan, kesepakatan sosial dan
sebagainya yang ada dalam setiap elemen masyarakat sebagai hukum rakyat tidak berlaku universal. Sementara
hukum negara bersifat universal, memaksa, dan seragam.
Dalam konteks ini maka membangun kesetaraan di atas dua ranah hukum yang dianut oleh
masyatakat akan memberikan jaminan bagi harmonisasi kehidupan. Oleh karena itu implementasi perda
bernuansa syariat Islam akan berhasil apabila ia mampu memayungi semua elemen masyarakat, lebih-tebih
apabila masyarakat yang ada tidak homogen.
Dalam perspektiif masyarakat, hukum termasuk di dalamnya perda- perda bernuansa syariah
dipandang sebagai hukun negara yang dalam prosesnya selalu dimonopoli oleh elit politik formal (state
political elite). Masyarakat dengan segala elemen dan herarkhinya tidak lebih dipandang sebagai sasaran
kebijakan hukum. Tidak mengherankan apabila dominasi hukum negara melalui berbagai produk hukum
dan kebijakan telah menyebabkan elemen dan kelompok-kelompok masyarakat semakin terpinggirkan.
Dalam kondisi terpinggirkan, resistensi masyarakat yang tidak diuntungkan dengan dominasi
hukum Negara akan melakukan pembangkangan social (social disobedience) atau perlawanan politik;
sedangkan mereka yang merasa diuntungkan oleh dominasi hukum negara akan melakukan kepatuhan social
(social compliance).
seberapa pentingkah urgensidiundangkannya peraturan daerah berbasis syariah islam tersebut. Selamaini urgensi
yang kerap kali muncul sebagai raison de’etre munculnya perdasyariah di berbagai daerah adalahturunnya moralitas
dan akhlak masyarakat yang semakin jauh dari nilaikeislaman Alasan tersebut bisa dibilangmasih retoris karena hal
itu masih berupaasumsi dari fenomena sosiologis yangsifatnya umum.
keberadaan salah satu produk hukum di Indonesia yaitu perda syariah ternyata membuat permasalahan
tersebut menjadi kenyataan. Perda syariah dibentuk dengan pertimbangan bahwa mayoritas suatu daerah adalah
beragama islam dan digunakan untuk menegakan syariat islam. Tetapi ternyata dalam praktiknya, respon terhadap
eksistensi perda syariah ini telah membuat daerah-daerah di Indonesia terkotak-kotak. Perda syariah dinilai
memberikan efek tertekan perasaan tida enak bagi pemeluk agama lain. Alhasil, hal ini menimbulkan daerah dengan
mayoritas agama lain contoh kristen, terdorong membentuk perda sesuai ajaran agama kristen yaitu perda injili. iii Di
Manokwari, terdapat Rancangan Peraturan Daerah Injili yang pada intinya melarang perempuan muslimah memakai
jilbab di publik
FILOSOFIS
syariah juga menjadi alat politik bagi penguasa kepada rakyatnyadimana kesetiaan tertinggi
harusditempatkan kepada negara denganmengatasnamakan khalifah
Penjelasan Pasal 10 Yang dimaksud dengan “urusan agama” misalnya menetapkan hari libur keagamaan
yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan
dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan, dan sebagainya.”
Salah satu tujuan pembentukan hukum adalah untuk menciptakan keteraturan didalam kehidupan manusia.
Keteraturan ini adalah kunci agar kondisi suatu negara selalu damai. Sebagai negara yang plural, terdiri dari
berbagai agama, suku,bangsa dan lain sebagainya, hukum di Indonesia memainkan peranan yang penting yaitu
menciptakan keseimbangan sehingga masing-masing kepentingan yang didasarkan pada hal-hal tersebut tidak
bertentangan dan menimbulkan konflik.
Solusi : Tidak dengan membuat perda syariah tetapi melaksanakan aturan yang sudah ada baik itu di UUD NRI
1945, UU maupun di PP
o Pelaksa yang
na diejawantahkan
Perda 24/2004 terrtang Akhlak dengan
1 Pencegahan, Penindakan Padang manifestasi
dan Pemberantasan Pariaman hukum ta’zir
Maksiat
Perda 10/2001, wajib baca
2 Quran untuk siswa dan Solok Akhlaq, idem
pengantin. Perda 6/2002,
Wajib Berbusana Muslim
3 Perda 11/2001, Sumatra Barat Akhiaq, idem
pemberantasan dan
pencegahan maksiat
No Jenis Perda Daerah Kategori Syariah
Pelaksa yang
na diejawantahkan
4. Instruksi Walikota, 7-3- Kota Padang Akhlaq, idem
2005, pemakaian busana
muslim
5 Peraturan wajib busana Pasaman Barat Akhlaq, idem
muslim siswa
Perda 24/2000
o Pelaksa yang
na diejawantahkan
Perda 6/2002 Ketertiban
ii
iii