Anda di halaman 1dari 9

Nama : Elsi fatiya rahmadila

Nim : 2110112035

Kelas : hukum pemerintahan daerah 2.7

Tugas hukum pemerintahan daerah

A. Masa reformasi
1. Masa Transisi Menurut UU No. 22 Tahun 1999

UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan pada 7 Mei 1999 dan berlaku
efektif sejak tahun 2000. Undang-undang ini dibuat untuk memenuhi tuntutan reformasi,
yaitu mewujudkan suatu Indonesia baru, Indonesia yang lebih demokratis, lebih adil, dan
lebih sejahtera.

UU No.22 tahun 1999 membawa perubahan yang sangat fundamental mengenai mekanisme
hubungan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat. Perubahan yang jelas adalah
mengenai pengawasan terhadap Daerah. Pada masa lampau , semua Perda dan keputusan
kepala daerah harus disahkan oleh pemerintah yang lebih tingkatannya, seperti Mendagri
untuk pembuatan Perda Provinsi/ Daerah Tingkat I, Gubernur Kepala Daerah mengesahkan
Perda Kabupaten/ Daerah Tingkat II.

Dengan berlakunya UU No.22 tahun 1999, Daerah hanya diwajibkan melaporkan saja kepada
pemerintah di Jakarta. Namun, pemerintah dapat membatalkan semua Perda yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau dengna peraturan puerundangan yang lebih
tinggi tingkatannya atau peraturan perundangan yang lain. (Pasal 114 ayat 1).

Ada beberapa ciri khas yang menonjol dari UU ini:

1. Demokrasi dan Demikratisasi, diperlihatkan dalam dua hal, yaitu mengenai


rekrutmen pejabat Pemda dan yang menyangkut proses legislasi di daerah.
2. Mendekatkan pemerintah dengan rakyat, titik berat otonomi daerah diletakkan
kepada Daerah Kabupaten dan Kota, bukan kepada Daerah Propinsi.
3. Sistem otonomi luas dan nyata, Pemda berwenang melakukan apa saja yang
menyangkut penyelenggaraan pemerintah, kecuali 5 hal yaitu yang berhubungan
dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan
negara, moneter, sistem peradilan, dan agama.
4. Tidak menggunakan sistem otonomi bertingkat, Daerah-daerah pada tingkat yang
lebih rendah menyelenggarakan urusan yang bersifat residual, yaitu yang tidak
diselenggarakan oleh Pemda yang lebih tinggi tingkatannya.
5. No mandate without founding, penyelenggaraan tugas pemerintah di Daerh harus
dibiayai dari dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara.
6. Penguatan rakyat melalui DPRD, penguatan tersebut baik dalam proses rekrutmen
politik lokal, ataupun dalam pembuatan kebijakan publik di Daerah.

2. Amandemen UUD 1945 dan UU No. 32 Tahun 2004, UU No.5 Tahun 2005 jo UU
No.12 Tahun 2008; diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014; diubah dengan UU
No. 11 Tahun 2020

Dengan diundangkannya UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pada


tanggal 15 Oktober 2004, UU No.22 tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Sebenarnya antara kedua undang-undang tersebut tidak ada perbedaan prinsip karena
keduanya sama-sama menganut asas desentralisasi. Pemerintah Daerah berhak
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonnomi dan
tugas pembantuan. Otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.

UU No.32 tahun 2004 mengatur hal-hal tentang; pembentukan daerah dan kawasan
khusus, pembagian urusan pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan,
kepegawaian daerah, perda dan peraturan kepala daerah, perencanaan pembangunan
daerah, keuangan daerah, kerja sama dan penyelesaian perselisihan, kawasan
perkotaan, desa, pembinaan dan pengawasan, pertimbangan dalamkebijakan otonomi
daerah.

Menurut UU No.32 tahun 2004 ini, negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintah daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Sehubungan dengan daerah
yang bersifat khusus dan istimewa ini, kita mengenal adanya beberapa bentuk
pemerintahan yang lain, seperti DKI Jakarta, DI Aceh, DI Yogyakarta, dan provinsi-
provinsi di Papua.
Bagi daerah-daerah ini secara prinsip tetap diberlakukan sama dengan daerah-daerah
lain. Hanya saja dengan pertimbangan tertentu, kepada daerah-daerah tersebut, dapat
diberikan wewenang khusus yang diatur dengan undang-undang. Jadi, bagi daerah 
yang bersifat khusus dan istimewa, secara umum berlaku UU No.32 tahun 2004 dan
dapat juga diatur dengan UU tersendiri.

Ada perubahan yang cukup signifikan untuk mewujudkan kedudukan sebagai mitra
sejajar antara kepala derah dan DPRD yaitu  kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih langsung oleh rakyat dan DPRD hanya berwenang meminta laporan
keterangan pertanggung jawaban dari kepala daerah.

Di daerah perkotaan, bentuk pemerintahan terendah disebut “kelurahan”. Desa yang


ada di Kabupaten/Kota secara bertahap dapat diubah atau disesuaikan statusnya
menjadi kelurahan sesuai usul dan prakarsa pemerintah desa, bersama Badan
Permusyawaratan Desa yang ditetapkan dengan perda. Desa menjadi kelurahan tidak
seketika berubah dengan adanya pembentukan kota, begitu pula desa yang berada di
perkotaan dalam pemerintahan kabupaten.

UU No.32/2004 mengakui otonomi yang dimiliki desa ataupun dengan sebutan lain.
Otonomi desa dijalankan bersama-sama oleh pemerintah desa dan badan
pernusyawaratan desa sebagai perwujudan demokrasi.

B. Perbandingan uu no 5 tahun 1974 dengan uu no 22 tahun 1999

UU No. 22 Tahun 1999 menegaskan, bahwa dengan memperhatikan


pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah pada masa lampau yang
menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab dengan
penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak,
maka dalam Undang-undang ini pemberian kewenangan otonomi kepada
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi
saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Sedangkan uu no 5 tahun 1974 Daerah berhak, berwenang, dan berkewajiban
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (1). Penambahan penyerahan urusan
pemerintahan kepada Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

C. Perbandingan Pasal 18 UUD 1945 sebelum diamandemen dengan Pasal 18 UUD


1945 setelah diamandemen
Pasal 18 ini termasuk pasal yang diamandemen, yang terjadi saat Perubahan
(amandemen) II UUD 1945 9. Sebelum Amandemen UUD 1945, pasal ini hanya
memuat satu ayat dengan Judul Bab Pemerintahan Daerah yang berbunyi :
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan
mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak
asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. Sementara Pasal 18 hasil
Perubahan II UUD 1945 terdiri dari 3 (tiga) Pasal, yaitu Pasal 18 (ayat 1,2,3,4,5,6,7),
Pasal 18A (ayat 1,2) dan Pasal 18B (ayat 1,2) dengan Judul Bab Pemerintah
Daerah.10Pasal 18 hasil amandemen II UUD 1945 10 mengandung prinsip-prinsip
dan ketentuan sebagai berikut :
1. Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan 11 (Pasal 18 ayat (2)). Prinsip ini
menegaskan bahwa pemerintahan daerah adalah suatu pemerintahan otonom dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 18 sebelum amandemen tidak
menegaskan Pemerintahan Daerah sebagai satuan pemerintahan yang mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan tertentu sebagai urusan rumah tangganya.
Hanya dalam Penjelasan disebutkan bahwa “daerah-daerah itu bersifat otonom (streek
and locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka”. Sebagai
implementasinya, diadakan satuan pemerintahan dekonsentrasi di daerah
(Pemerintahan Wilayah) dan fungsi-fungsi dekonsentrasi dalam pemerintahan daerah
(Kepala Daerah sekaligus sebagai Kepala Wilayah). Praktek semacam inilah yang
menimbulkan dualisme kepemimpinan, yang cenderung pada sentralistik.Prinsip
dalam Pasal 18 amandemen, lebih sesuai dengan gagasan daerah membentuk
pemerintahan daerah sebagai satuan pemerintahan mandiri di daerah yang demokratis,
karena pasal ini menegaskan bahwa pemerintahan daerah diselenggarakan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan. Gubernur, Bupati, Walikota semata-mata hanya
sebagai penyelenggara otonomi di daerah, walaupun ini tidak berarti pembentukan
satuan pemerintahan dekonsentrasi di daerah menjadi terlarang. Sepanjang
diperlukan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, satuan pemerintahan pusat
dapat membentuk satuan pemerintahannya di daerah, dalama rangka penyelenggaraan
pemerintahan.
2. Prinsip Menjalankan otonomi seluas-luasnya (Pasal 18 ayat (5)). Keinginan
untuk melaksanakan otonomi seluas-luasnya ini telah muncul pada saat BPUPKI
menyusun rancangan UUD. Hal ini nampak diantaranya dari pidato Ratulangi, yaitu
“Supaya daerah pemerintahan di beberapa pulau-pulau besar diberi hak seluas-
luasnya untuk mengurus keperluannya sendiri, tentu dengan memakai pikiran
persetujuan, bahwa daerah-daerah itu adalah daerah daripada Indonesia”. Keingianan
ini kemudian dituangkan dalam UUDS 1950, Pasal 131 ayat (2). Meskipun secara
histories Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah menghendaki pelaksanaan
otonomi seluas-luasnya, akan tetapi hal ini tidak dimuat dalam UUD 1945, sehingga
sistem pemerintahan yang sentralistik muncul. Pada akhirnya, saat amandemen UUD
1945 sangatlah tepat Pasal 18 diamandemen, dan prinsip otonomi seluas-luasnya
ditegaskan dalam pasal ini. Pemerintahan Daerah mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahannya, campur tangan pemerintah pusat hanyalah yang benar-benar
bertalian dengan upaya menjaga keseimbangan antara prinsip kesatuan (unity) dan
perbedaan (diversity).
3. Prinsip Kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18 A, ayat (1)). Prinsip
ini mengandung pengertian bahwa bentuk dan isi otonomi daerah tidak harus seragam
(uniformitas). Bentuk dan isi otonomi daerah ditentukan oleh berbagai keadaan
khusus dan keragaman setiap daerah. Otonomi untuk daerah-daerah pertanian dapat
berbeda dengan daerah-daerah industri, atau antara daerah pantai dan pedalaman, dan
sebagainya.
4. Prinsip Mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya (Pasal 18 B, ayat (2)). Yang dimaksud dengan
masyarakat hukum adat adalah masyarakat hukum (rechtsgemeenschap) yang
berdasarkan hukum adat atau adat istiadat seperti desa, marga, nagari, gampong, dan
lain-lain. Masyarakat hukum adalah kesatuan masyarakat yang memiliki kekayaan
sendiri, memiliki warga yang dapat dibedakan dengan warga masyarakat hukum lain
dan dapat bertindak ke dalam atau ke luar sebagai satu kesatuan hukum (subjek
hukum) yang mandiri dan memerintah diri mereka sendiri.Dalam Pasal 18B
amandemen ini, mengandung pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan
masyarakat hukum adat sesuai dengan perannya sebagai subsistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang maju dan modern. Selain itu, hak-hak tradisional yang
meliputi hak ulayat, hak-hak memperoleh manfaat atau kenikmatan dari tanah air,
diakui dan dijunjung tinggi.
5. Prinsip mengakui dan menghormati Pemerintahan Daerah yang bersifat
khusus dan istimewa (Pasal 18 B ayat (1)). Yang dimaksud dengan “bersifat
istimewa” adalah pemerintahan asli atau pemerintahan bumiputera. Dalam Pasal 18 B,
perkataan “khusus” memiliki cakupan yang lebih luas, antara lain karena
dimungkinkan membentuk pemerintahan daerah dengan otonomi khusus (Aceh, Irian
Jaya). Untuk Aceh, otonomi khusus berkaitan dengan pelaksanaan Syariat Islam,
sehingga tidak berbeda dengan status Aceh sebagai daerah istimewa. Setiap daerah
dapat menuntut suatu kekhususan, semata-mata berdasarkan faktor-faktor tertentu
tanpa suatu criteria umum yang telah ditentukan dalam Undang-Undang.
6. Prinsip badan Perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilihan umum
(Pasal 18 ayat (3)). Dengan prinsip ini, maka tidak akan ada lagi pengangkatan
anggota DPRD, akan tetapi tentunya DPRD harus dipilih secara langsung oleh rakyat.
Demikian juga halnya dengan Gubernur, Bupati, Walikota, yang mengharuskan
pemilihan secara langsung oleh rakyat (bukan oleh DPRD lagi).
7. Prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan
adil (Pasal 18 A ayat (2)). Pengaturan hubungan antara Pusat dan Daerah yang adil
dan selaras, dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang mandiri dan
kesejahteraan rakyat daerah yang bersangkutan. Dengan adanya prinsip tersebut,
pengaturan semua hal-hal yang ada pada Pemerintahan Daerah (termasuk masalah
kekayaan) akan dibagi sesuai dengan kebutuhan daerah
D. Perbandingan UU No. 22 Tahun 1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menyebutkan, bahwa undang-undang ini


pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih
mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi. Sedangkan dalam UU no 32 tahun
2004 ini diatur mengenai pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Dalam Otonomi
daerah, daerah dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas
kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah.

E. Perbandingan UU No. 32 Tahun 2004 dengan UU No. 23 Tahun 2014


berikut dengan perubahannya
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah dicabut
dan diganti dengan Undang-Undang baru yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Salah satu perubahan krusial dari Undang-Undang tersebut adalah tentang pembagian
urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Dari sisi hukum, perubahan tersebut dapat
dikelompokan ke dalam dua aspek yakni perubahan formal dan perubahan materiil.
Perubahan formal yang terjadi adalah rincian detil bidang urusan pemerintahan yang dibagi
antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota yang semula diatur di dalam lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 38
Tahun 2007 kini ditingkatkan pengaturannya menjadi bagian dari lampiran Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014. Dengan demikian maka pembagian urusan yang telah ditetapkan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 diharapkan tidak bisa disimpangi/dikecualikan oleh
Undang-Undang sektoral lainnya.
Perubahan materiil (substansi) yang terjadi adalah perubahan hal-hal sebagai berikut:
a. Perubahan klasifikasi urusan Pemerintahan
UU 32/2004
1. Urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah (Pusat)
2. Urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah
a. Urusan Wajib
b. Urusan Pilihan
3. Urusan Pemerintahan Sisa

UU 23/2014

1. Urusan Pemerintahan Absolut (Pemerintah Pusat)


2. Urusan Pemerintahan Konkuren (Pemerintahan Daerah)
a. Urusan Wajib 1) Urusan terkait Pelayanan Dasar 2) Urusan yang tidak terkait
Pelayanan Dasar
b. Urusan Pilihan

3. Urusan Pemerintahan Umum (kewenangan Presiden)

b. Pengaturan kriteria pembagian urusan pemerintahan kongkuren

UU 32/2004

kriteria :

a. eksternalitas
b. akuntabilitas, dan

c. efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan


pemerintahan

UU 23/2014

prinsip :

a. akuntabilitas

b. efisiensi

c. eksternalitas

d. kepentingan strategis nasional

kriteria:

a. Pemerintah Pusat

1) Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah provinsi atau lintas negara;

2) Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah provinsi atau lintas


negara; 3) Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas
Daerah provinsi atau lintas negara;

4) Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila


dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau

5) Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional.

b. Pemerintahan Daerah Propinsi

1) Urusan Pemerintahan yang lokasinya lintas Daerah kabupaten/kota;

2) Urusan Pemerintahan yang penggunanya lintas Daerah kabupaten/kota;

3) Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya lintas Daerah


kabupaten/kota; dan/atau

4) Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila


dilakukan oleh Daerah Provinsi.

c. Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

1) Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah kabupaten/kota;


2) Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah kabupaten/kota;

3) Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam Daerah
kabupaten/kota; dan/atau

4) Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila


dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.

Anda mungkin juga menyukai