Anda di halaman 1dari 9

NAMA : MUHAMAD FEBRI

NIM : 040122319

DISKUSI KE VII SISTEM KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH

Jelaskanlah :

1. Undang-Undang nomor berapa, dan tahun berapakah yang saat ini berlaku di Indonesia
tentang pemerintahan daerah ? 

2. Jelaskan latar belakang pembentukan UU no 22 tahun 1999 dan UU no 25 tahun 1999 !

3. Jelaskan prinsip-prinsip otonomi daerah !

4. Jelaskanlah permasalahan apa saja yang saaat ini terjadi di Indonesia terkait otonomi
daerah dan kemukakanlah pendapat saudara, bagaimana menyelesaikan permasalahan
tersebut !

JAWABAN :

1. Dasar hukum Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan


Daerah adalah Pasal 1, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan ayat (3), Pasal
18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20, Pasal 22D ayat (2), dan Pasal 23E ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintahan
Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan
dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan
prinsip otonomi seluas- luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Saat ini Pemerintahan daerah diatur dengan Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Status, Mencabut, Diubah :
UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mencabut

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 2387);
2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844);
3. Pasal 157, Pasal 158 ayat (2) sampai dengan ayat (9), dan Pasal 159 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5049); dan
4. Pasal 1 angka 4, Pasal 314 sampai dengan Pasal 412, Pasal 418 sampai dengan Pasal
421 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568).

UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diubah dengan:

 UU Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi
Undang-Undang
 UU Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-
Undang
2. Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 yang disempurnakan menjadi UU No. 12 Tahun
2008 tentang pemerintahan daerah serta UU Nomor 33 tahun 2004 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merubah
paradigma pemerintahan daerah dan pembangunan daerah yang lebih mendorong
peningkatan peran daerah dalam perencanaan, pembiayaan dan pelaksanaan
pembangunan. Perubahan paradigma ini membawa konsekuensi bahwa daerah harus
mampu mengelola penyelenggaraan pemerintahan daerah secara mandiri.
3. Jelaskan prinsip-prinsip otonomi daerah
a. Otonomi, Desentralisasi Kewenangan dan Integrasi Nasional
Kebijakan otonomi daerah dilakukan denganmendesentralisasikan kewenangan-
kewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses
desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke
pemerintahan daerah sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah
kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Sehingga arus dinamika kekuasaan akan
bergerak dari pusat ke daerah.
b. Otonomi, Dekonsentrasi Kekuasaan dan Demokratisasi
Esensi kebijakan otonomi daerah itu sebenarnya berkaitan pula dengan gelombang
demokratisasi yang berkembang luas dalam kehidupan nasional bangsa.
Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi
manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring
dengan agenda dekonsentrasi kewenangan. Kebijakan desentralisasi merupakan
konsep pembagian kewenangan secara vertikal, dan kebijakan dekonsentrasi pada
pokoknya merupakan kebijakan pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan
secara horizontal. Kedua-duanya bersifat membatasi kekuasaan dan berperan sangat
penting dalam rangka menciptakan iklim kekuasaan yang makin demokratis dan
berdasar atas hukum. Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu
dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke
Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari
pemerintahan ke masyarakat. Justru inilah yang harus dilihat sebagai esensi pokok
dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya. Otonomi daerah
berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat terus tumbuh dan
berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi.
c. Otonomi dan 'Federal Arrangement'
Sebagaimana diketahui bahwa organisasi pemerintahan Republik Indonesia berbentuk
Negara Kesatuan (unitary), tetapi konsep dasar sistem pembagian kekuasaan antara
pusat dan daerah diatur menurut prinsip-prinsip federalisme. Pada umumnya dipahami
bahwa dalam sistem federal, konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa (residual
power) berada di daerah atau bagian, sedangkan dalam sistem negara kesatuan
(unitary), kekuasaan asli atau kekuasaan sisa itu berada di pusat. Dalam ketentuan
Pasal 7 UU tersebut, yang ditentukan hanyalah kewenangan pusat yang mencakup
urusan hubungan luar negeri. pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
dan urusan agama. sedangkan kewenangan berkenaan dengan urusan sisanya
(lainnya) justru ditentukan berada di kabupaten/kota.
Sehingga dapat dikatakan bahwa meskipun struktur organisasi pemerintahan Republik
Indonesia berbentuk Negara Kesatuan, kita juga mengadopsi pengaturan-pengaturan
yang dikenal sebagai federal arrangement'.
d. Otonomi dan Daya Jangkau Kekuasaan
Dalam kebijakan otonomi daerah tercakup konsepsi pembatasan terhadap pengertian
tentang 'negara yang secara tradisional dianggap berwenang untuk mengatur
kepentingan-kepentingan umum. Dalam UU No.22 Tahun 1999 tersebut, yang dapat
dianggap sebagai wilayah daya jangkau kekuasaan negara (state) hanya sampai di
tingkat kecamatan. Secara akademis, organ yang berada di bawah struktur organisasi
kecamatan dapat dianggap sebagai organ masyarakat, dan masyarakat desa dapat
disebut sebagai 'selfgoverningcommunities yang otonom sifatnya. Oleh karena itu,
pada pokoknya, susunan organisasi desa dapat diatur sendiri berdasarkan norma-
norma hukum adat yang hidup dan berkembang dalamkesadaran hukum dan
kesadaran politik masyarakat desa itu sendiri.
4. Otonomi Desa dan Ancaman Kapitalisme Global
Munculnya tuntutan dari masyarakat adat untuk menjadikan masyarakat adat yang
berdaulat secara politik, berdaya secara ekonomi, dan bermartabat secara budaya serta
muculnya kritikan terhadap penyeragaman bentuk desa model jawa telah menjadikan
isu otonomi desa sebagai isu penting dalam agenda dan kebijakan sistem
pemerintahan di Indonesia. Terkait dengan masalah legalitas, hingga saat ini
pemerintah masih belum memiliki format otonomi desa yang jelas, dimulai dari UU
No.22/1948 hingga UU No.32/2004 ternyata belum menjelaskan secara pasti
bagaimana posisi dan kewenangan serta bentuk otonomi yang diberakan kepada desa.
Oleh karenanya, muncullah inisiasi untuk mengeluarkan RUU Desa sebagai pecahan
dari UU No.32/2004 tentang pemerintahan daerah. RUU ini ditujukan untuk
menjadikan desa sebagai daerah otonomi tingkat III yakni sebagai unit pemerintan
lokal yang otonom sesuai dengan prinsip desentralisasi (desa otonom).
Lahirnya RUU desa juga terkait dengan kelemahan-kelemahan pengaturan desa dalam
UU No.32/2004 terutama menyangkut peletakan kewenangan Desa sebagai
kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan kepada Desa. Artinya, hingga saat ini,
kewenangan desa tergantung pada kemauan pemerintah daerah untuk mendelegasikan
kewenangannya. Menghadapi permasalahan tersebut, RUU Desa merekomendasikan
bentuk desa otonom sebagai bentuk desa di Indonesia. Adapun desa otonom
merupakan bentuk yang tidak begitu jauh berbeda dengan bentuk saat ini disebagian
besar pedesaan di Jawa (transisi dari desa adat-desa administratif). Syarat terjadinya
desa otonom adalah terjadinya pembagian urusan pemerinath kepada desa dengan
jelas serta memungkinkan akses rakyat yang lebih luas terhadap sumber daya alam
yang ada. Namun, benarkah dengan adanya RUU desa maka rakyat desa akan
semakin mudah dalam mengakses sumber-sumber agraria sebagai manifestasi dari
kedaulatan rakyat itu sendiri?.
RUU desa merupakan satu dari tiga rancangan perundang-undangan yang diinisiasi
oleh Democratic Reform Support Program (DRSP)-program pendorong pembaruan
demokrasi- USAID dalam rangka memuluskan proses desentralisasi di Indonesia.
Bersama dengan, RUU Desa menjadi satu kebijakan pecahan dari UU No.32 /2004
tentang pemerintahan daerah. Seperti halnya undang-undang pemerintahan daerah,
RUU ini berkutat dalam masalah tata kelola pemerintahan desa dan lebih menyoroti
desa dari aspek ketatanegaraan—menentukan posisi, peran dan kewenangan
pemerintahan desa dalam pemerintahan. Saat ini RUU ini sedang menjalani konsultasi
publik di Sumatera dan Makassar.
Lahirnya RUU desa ini tak lepas dari agenda desentralisasi yang hingga saat ini
belum tuntas. Desentralisasi adalah sebagai suatu cara/alat untuk mewujudkan
keseimbangan politik, akuntabilitas pemerintah lokal, dan pertanggungjawaban
pemerintah lokal. Prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai hal tersebut
diataranya pemerintah daerah harus berotonomi. Otonomi daerah sendiri bisa diakui
ketika daerah memiliki teritorial kekuasaan yang jelas, memiliki Pendapatan Asli
Daerah (PAD) sendiri, memiliki badan perwakilan yang mampu mengontrol eksekutif
daerah, dan adanya kepala daerah yang dipilih sendiri oleh masyarakat daerah melalui
suatu pemilihan yang bebas.
Sebagai suatu alat, desentralisasi sendiri adalah suatu hal yang bebas nilai. Artinya,
baik-buruknya desentralisasi adalah tergantung dari pelaku dan subjek yang
menjalankan desentralisasi itu sendiri. Namun untuk kasus di Indonesia, pengalaman
desentralisasi dan otonomi daerah bisa menjadi cermin bagi dilaksanakan tidaknya
desentralisasi dan otonomi hingga tingkat desa.
Hasil Penelitian CIFOR pada tahun 2007 di Kutai Barat menyebutkan bahwa
desentralisasi menyebabkan peningkatan kegiatan ekploitatif oleh seperti pembalakan
liar dan penambangan batubara oleh perusahaan-perusahaan penambangan baik yang
legak ataupun illegal. Hal tersebut menyebabkan adanya peningkatan konflik antara
masyarakat dan perusahaan. Konflik juga muncul akibat meningkatnya jumlah
kepemilikan individu yang akhirnya memunculkan ketimpangan sosial.
Pola kehidupan ekonomi juga ditandai dengan adanya peningkatan kekayaan jangka
pendek dan ketergantungan yang besar terhadap pasar dan perkebunan sawit. Kedua
hal ini menyebabkan masyarakat kehilangan strategi penghidupan alternatif. Secara
umum adanya desentralisasi di Kutai Barat telah menurunkan kondisi ekonomi
meskipun dalam hal pelayanan publik (Jalan, gedung pemerintahan, fasilitas
kesehatan dan pendidikan) terjadi peningkatan. Ini disinyalir karena pembanguan
yang dilakukan tidak menjawab permasalahan yang ada di masyarakat. Pembangunan
infrastruktur dan kelengkapan lainnya cenderung ditujukan untuk menarik para
investor yang bergerak dibidang ekstraktif.
Contoh lainnya yang menunjukkan dampak negatif dari Desentralisasi adalah hasil
Penelitian Smeru di Sulawesi selatan pada tahun 2003. Dalam laporan penelitian
tersebut, disebutkan bahwa desentralisasi telah telah memberikan ruang bagi anggota
DPRD yang korup untuk mengkorupsi hak-hak rakyat. Hal ini berimbas pada
menurunnya pelayanan publik. Dari total pengaduan yang masuk kepada YLKI
Sulawesi Selatan pada tahun 2000-2001, 70 persen diataranya adalah pengaduan
menyangkut pelayanan publik, selain itu adanya desentralisasi.
Setelah UU No. 22/1999 dilaksanakan banyak tulisan yang menunjukkan kemacetan
dalam hubungan antara propinsi dan kabupaten/kota dirasakan menurun. Hal ini
disebabkan oleh tingginya tingkat “pembangkangan” pemerintah daerah terhadap
pemerintah pusat. Hasil penelitian lainnya di Provinsi Lampung menunjukkan bahwa
selama dua tahun pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah belum ada tanda-
tanda kecenderungan pelayanan pemerintah kepada masyarakat akan menjadi lebih
baik. Sementara itu laporan dari Sarwadi, salah satu anggota SPI yang menjadi
anggota BPD di Jambi menyebutkan bahwa kecenderungan korupsi di lingkungan
penyelenggara negara memiliki kecendurangan yang meningkat. Desentralisasi juga
telah memunculkan raja-raja kecil yang memiliki kekuasaan di daerah.
Menurut Bank Dunia (2006) Indonesia menjadi satu-satunya negara yang melakukan
desentralisasi dengan proses yang sangat cepat apabila dibandingkan negara lainnya
dikawasan asia timur dan asia pasifik. Terlalu cepatnya proses desentralisasi di
Indonesia pada akhirnya menunjukkan bahwa otonomi daerah yang merangsang
pemekaran daerah ini menimbulkan kesan disintegrasi NKRI, padahal merubah
struktur kepemerintahan dan menciptakan keakraban sosial baik dalam lingkungan
desa ataupun dalam wilayah makro nasional dibutuhkan dalam jangka waktu yang
lama (Tjondronegoro, 2007). Tergesa-gesanya desentralisasi yang dilakukan di
Indonesia patut dicurigai sebagai salah satu upaya penyerobotan kekayaan bangsa
oleh segelintir orang tertententu.
Dari dampak-dampak negatif desentralisasi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
dengan semakin terbukanya kewenangan daerah maka semakin terbuka pula
kapitalisme global datang menyusupi dan menggerogoti kekayaan alam nusantara
yang seharusnya menjadi milik rakyat. Ketika otonomi daerah sudah mulai berlaku,
maka lembaga keuangan internasional dengan mudahnya memberikan pinjaman
kepada pemerintah daerah secara langsung, selain itu, investasi disektor –sektor
strategis dan ekstratif sudah semakin sulit dikendalikan. Alih-alih menjadikan rakyat
semakin sejahtera, desentralisasi dan otonomi daerah yang terjadi saat ini justru malah
membuat rakyat bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar dalam mengakses
kekayaan alam Indonesia. Hal ini juga terkait dengan aturan dan kewenangan daerah
dalam mengatur masalah investasi. Pada PP. No.38/2007 tertulis bahwa khusus untuk
urusan pemerintahan bidang penanaman modal, penetapan kebijakan dilakukan sesuai
peraturan yang berlaku. Artinya, ada kemungkinan dan celah bagi kapitalisme global
melalui peraturan ini.
Kecurigaan ini terbukti dengan dikeluarkannya UU No.25/2007 tentang penanaman
modal yang diturunkan dalam PP No.111/2007. Didalam PP ini diatur sejumlah
kepemilikan investor asing dalam sektor-sektor strategis termasuk sektor pertanian.
Selanjutnya, bersamaan dengan UU tersebut, saat ini pemerintah tengah mengatur
RUU tentang penetapan lahan pertanian pangan abadi yang didalamnya
mengakomodir “kemitraan” antara petani dengan perusahaan agribisnis. Pada saat
yang bersamaan, BPN dan Bappenas dengan dibiayai oleh Bank Dunia dan ADB
tengah menyusun RUU pertanahan yang disinyalir akan membuka pasar tanah di
Indonesia. Oleh karenanya bisa dibayangkan apabila otonomi semacam otonomi
daerah diberikan kepada desa sementara itu desa sendiri masih belum memiliki
kekuatan dan ketangguhan yang cukup untuk membendung kapitalisme global ini.
Saat ini ketika terjadi otonomi daerah, desa-desa sudah banyak mengalami eksploitasi
dari perusahaan industri karena adanya SDA dan tenaga kerja murah.
Sikap waspada terhadap upaya desentralisasi saaat ini juga bisa dilihat dari sisi
kepentingan lembaga atau institusi yang mendorong desentralisasi. Desentralisasi
merupakan salah satu kebijakan yang didorong oleh Bank Dunia. Kebijakan ini
disinyalir digunakan sebagai upaya untuk mempercepat proses privatiasai, liberalisasi
dan deregulasi untuk kepentingan para penguasa modal yang menjadi stake holder
penting dalam tubuh lembaga keuangan ini.
Sebagai suatu simpulan, masalah desentralisiasi dan otonomi sampai ke desa
sesungguhnya seperti dua mata pedang bisa jadi baik dan bisa jadi fatal. Dari berbagai
penelitian dan realitas yang terjadi sekarang ini, desentralisasi dan otonomi saat ini
cenderung memiliki banyak sisi negatifnya dibandingkan dengan sisi positifnya.
Otonomi desa tidak akan lepas dari konteks relasi antara desa dengan supradesa. Hal
ini karena desa menjadi bagian dari negara yang juga menjalankan sejumlah
kewajiban yang dibebankan oleh negara. Karena itu, lebih sekadar swadaya, otonomi
desa merupakan persoalan. Desa, khususnya pemerintah desa, mempunyai hak bila
berhadapan dengan negara, sebaliknya ia mempunyai kewajiban dan tanggungjawab
kepada masyarakat desa. Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan sekarang ini
adalah sejauh mana otonomi dan kewenangan yang harus diberikan ke desa? dan
Bagaimana kesiapan masyarakat dan para pemimpinnya dalam menjalankan otonomi
ini?.
REALISTASNYA.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat desa seringkali menjadi sorotan utama bagi para
pengambil kebijakan. Sayangnya, banyak orang yang terjebak dengan tidak melihat
akar permasalahan apa yang sebenarnya terjadi di Pedesaan. Lebih dari 37 juta rakyat
Indonesia hidup dalam kemiskinan. 63,58 persen diantaranya adalah rakyat yang
tinggal di pedesaan dan 70 persennya adalah rakyat tani (BPS, 2007). Kondisi ini
telah mengakibatkan semakin menipisnya insentif dari sektor pertanian yang akhirnya
mendorong pada peningkatan angka pengangguran dan angka urbanisasi. Kemiskinan
yang terjadi dipedesaan inilah merupakan muara dari tidak tersedianya akses terhadap
alat-alat produksi baik itu berupa akses terhadap sumber daya alam, teknologi, dan
juga masalah pasar.
Dalam konteks RUU desa, undang-undang ini tidak menjawab permasalahan tersebut.
Undang-undang desa hanya berfokus pada masalah pemerintahan dan lembaga
demokrasi desa yang substansinya pun tidak jauh berbeda dengan undang-undang
sebelumnya kecuali pada bentuk lembaga demokrasi desa dan sistem penggajian
perangkat desa saja. Memang masalah pemerintahan adalah isu kritis sebagai salah
satu faktor yang bisa menunjang pada akses sumber daya alam bagi masyarakat desa,
namun demikian dalam implementasinya di komunitas akar rumput masih banyak
masyarakat desa yang justru tidak mempedulikan Undang-Undang dalam pelaksanaan
pemerintahannya.
Dalam pelaksanaan pemerintahan desa sebagian besar masyarakat desa memiliki
pluralisme tersendiri meskipun sebagian besar bentuk kelembagaannya sudah
mengikuti format resmi. Oleh karena pluralitas itulah maka peran undang-undang
disini justru tidak diperlukan. Kalaupun untuk menentukan masalah wewenang
pemerintah desa dalam hubungannya dengan pemerintahan yang ada diatasnya, maka
peraturan turunan undang-undang sebelumnya sudah cukup untuk mengatur hal-hal
tersebut.
Ditetapkannya RUU desa yang memberikan legitimasi otonomi desa tanpa
menjelaskan sampai mana wewenang yang diberikan untuk pemerintahan desa justru
akan membahayakan kedudukan desa itu sendiri. Hal ini justru malah akan
memberikan celah yang lebih besar bagi kepentingan kapitalisme global untuk
menyita kekayaan alam yang seharusnya menjadi milik rakyat desa.
Dengan melihat gencarnya agenda kapitalisme di Indonesia saat ini, seharusnya desa
menjadi suatu bentuk pertahanan kuat dalam melawan segala bentuk perampasan dan
penindasan. Sajogjo mengatakan bahwa otonomi desa yang harus dibangun tidak bisa
dikontekskan sebagai kekuasaan pemerintah desa yang benar-benar mandiri. Justru
yang perlu dibangun sekarang adalah bagaimana desa-desa membangun jaringan dan
memperkuat solidaritas dengan desa-desa disekelilingnya untuk membetuk
pertahanan bersama. Hal yang mendesak dilakukan sekarang adalah menyiapkan
bagaimana masyarakat desa bisa mandiri dengan mengalihkan pemberian akses
kekayaan alam dari tangan para penguasa ketangan rakyat.

Anda mungkin juga menyukai