Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH KEBIJAKAN PUBLIK

TINJAUAN YURIDIS ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23


TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Kebijakan Publik

Dosen Pengampu Mata Kuliah : Ronni Juandi, M.Pd.

Disusun Oleh :

Dedi Sumardi
(2286200017)

JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Undang-undang Pemerintahan Daerah merupakan salah satu kebijakan
politik yang dirancang untuk membangun format pemerintahan yang bisa
memberikan dukungan terhadap kekokohan keberadaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Salah satu upaya menjaga keutuhan NKRI, struktur
pemerintahan harus dirancang sentralistis. Ide revisi itu berangkat dari kesatuan,
sedangkan kemajemukan masyarakat daerah hanya sekadar diakomodasi.
Undang-undang akan selalu berubah mengikuti zaman. Hal ini
dikarenakan tidak semua pasal dalam undang-undang pas atau sesuai untuk
diterapkan disepanjang zaman. Demikian juga dengan undang-undang tentang
Pemerintahan Daerah. Dulu undang-undang yang digunakan adalah UU No. 5
tahun 1974, kemudian seiring berjalannya waktu diganti menjadi UU No. 22
tahun 1999, lalu diganti lagi menjadi UU No. 32 tahun 2004 . dan yang terakhir
digunakan sekarang adalah UU No. 23 tahun 2014. Sebelum UU No.5 digunakan,
terlebih dahulu ada UU No.18 tahun 1965.
Mengenai Pemerintahan Daerah, diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 yang
selengkapnya berbunyi: “Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil
dengan bentuk susunan pamerintahannya ditetapkan dengan UU dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan
Negara, dan hak-hak asal-usul dalam Daerah-Daerah yang bersifat istimewa ”.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Wilayah Indonesia dibagi ke dalam daerah-daerah, baik yang bersifat
otonom maupun yang bersifat administratif
2. Daerah-daerah itu mempunyai pemerintahan
3. Pembagian wilayah dan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan
dengan atau atas kuasa UU
4. Dalam pembentukan daerah-daerah itu, terutama daerah-daerah
otonom dan dalam menentukan susunan pemerintahannya harus
diingat permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-
hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Letak geografis Indonesia yang berupa kepulauan sangat berpengaruh


terhadap mekanisme pemerintahan Negara Indonesia. Dengan keadaan geografis
yang berupa kepulauan ini menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasi
pemerintahan yang ada di daerah. Untuk memudahkan pengaturan atau penataan
pemerintahan maka diperlukan adanya berbagai suatu sistem pemerintahan yang
dapat berjalan secara efisien dan mandiri tetapi tetap dibawah pengawasan dari
pemerintah pusat.

Di era reformasi ini sangat dibutuhkan sistem pemerintahan yang


memungkinkan cepatnya penyaluran aspirasi rakyat di daerah, namun itu juga
tetap berada di bawah pengawasan pemerintah pusat. Hal tersebut sangat
diperlukan karena mulai terdapat munculnya ancaman-ancaman terhadap
keutuhan NKRI, hal tersebut ditandai dengan banyaknya daerah-daerah yang
ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumber daya
alam daerah di Indoinesia yang tidak merata juga merupakan salah satu penyebab
diperlukannya suatu sistem pemerintahan yang memudahkan pengelolaan sumber
daya alam yang merupakan sumber pendapatan daerah sekaligus menjadi
pendapatan nasional.

Pengaturan tentang pemerintahan daerah disebutkan dalam pasal 18B


ayat (1) UUD 1945 : “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerahdaerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap propinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah
yang diatur dengan undang-undang”. Selanjutnya pada ayat (2) pasal yang sama
tercantum kalimat sebagai berikut : Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Kemudian dalam pasal 18
ayat (4) UUD 1945 : “Gubernur adalah Kepala Pemerintahan Daerah Propinsi”.
Menurut ketentuan ini Gubernur dipilih secara demokratis.
Ketentuan pemerintahan yang bersifat demokratis ini dijabarkan lebih
lanjut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang
mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah yang disebutkan dalam Bab II
tentang Pembentukan Daerah dan Kawasan khusus. Dapat dianalogikan masalah
pemekaran wilayah juga termasuk dalam ruang lingkup pembentukan daerah.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menentukan bahwa pembentukan suatu
darah harus ditetapkan dengan undang-undang tersendiri. Ketentuan ini tercantum
dalam Pasal 4 ayat (l) dan ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut :
Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (l) antara
lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan
menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukkan pejabat kepala daerah,
pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan,
dokumen, serta perangkat daerah. Legalisasai pemekaran wilayah dicantumkan
dalam pasal yang sama pada ayat berkutnya (ayat 3) yang menyatakan bahwa :
Pembentukan Daerah dapat berupa penggabungan daerah menjadi dua daerah atau
lebih” dan ayat (4) menyebutkan ” Pemekaan dari satu daerah menjadi 2 (dua)
daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah
mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.
Walaupun banyak usulan dari berbagai daerah untuk membentuk
pemekaran daerah otonomi baru, namun pembentukanya hanya dapat dilakukan
apabila telah memenuhi syarat administratif teknis dan fisik kewilayahan. Bagi
Propinsi syarat administrasi yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan
DPRD Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah
provinsi bersangkutan persetujuan DPRD provinsi induk dan gubernur, serta
rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk kabupaten/kota syarat
adminstrasi yang juga harus dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD provinsi
dan gubernur serta rekomendari dari Menteri Dalam Negeri.
Selajutnya syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi
faktor yang menjadi dasar pembentukan deerah yang mencakup antara lain :
a. kemampuan ekonomi;
b. potensi daerah;
c. sosial budaya;
d. kependudukan;
e. luas daerah;
f. pertahanan;
g. keamanan;
h. faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah
Teakhir syarat fisik yang dimaksud harus meliputi paling sedikit lima
kabupaten/kota untuk pementukan provinsi dan paling sedikit lima kecamatan
untuk pembentukan kabupaten, dan empat kecamatan untuk pembentukan kota,
lokasi calon ibukota sarana, dan prasarana pemerintahan.
Bila dikaji kembali perubahan-perubahan yang terjadi selama Republik
ini berdiri upaya meningkatkan peran daerah dalam mengurus wilayahnya
menjadi prioritas setiap rejim pemerintahan. Namun dalam kenyataannya terlihat
bahwa perubahan kebijakan pengelolaan pemerinthan daerah tidak berjalan secara
konsisten. Hingga kini berbagai konflik kepentingan dalam hubungan antara pusat
dan daerah masih terlihat kurang harmonis. Sehingga menjadi pertanyaan besar,
bagaimana seharusnya menciptakan hubungan yang tepat antara pusat dan daerah
dan antar daerah baik dari segi wewenang, tanggung jawab dan hak-haknya, atau
diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat mengakomodir
seluruh kepentingan.
Pemberdayaan daerah di berbagai sektor pembangunan harus
secepatnya direalisasikan agar daerah mampu melaksanakan otonominya.
Optimalisasi pemanfaatan potensi dan sumber daya yang dimiliki daerah hanya
akan dapat dilakukan apabila daerah mampu memiliki rencana terpadu yang
melibatkan seluruh sektor terkait dalam pembangunan dengan didukung oleh
tersedianya sumber daya manusia yang handal, serta pengaturan yang tertata baik
dan sesuai dengan kondisi daerah itu sendiri.
Dalam kaitan pelaksanaan otonomi daerah sejak digulirkan reformasi
telah demikian banyak membawa perubahan dalam pola pikir masyarakat secara
keseluruhan. Ide pemekaran wilayah merupakan hal yang termasuk baru dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, dalam sejarah Republik ini setelah setengah
abad lebih usia negara pada tahun 2000, melalui Undang-undang Nomor 23
Tahun 2000 tentang Pembentukan Provinsi Banten pada tanggal 17 Oktober 2000,
yang memisahkan diri dari Provinsi Jawa Barat. Kemudian diikuti dengan
munculnya Propinsi Bangka Belitung dari Provinsi induknya Sumatera Selatan,
Propinsi Gorontalo dari Sulawesi Utara dan Kepulauan Riau dari Riau melalui
undang-undang yang dibentuk pada tahun yang sama, kemudian pada tahun
berikutnya pemekeran propinsi terjadi di Maluku dan Papua, yang terus diikuti
oleh daerah lainnya.
Selama ini pemekaran telah dilakukan secara mudah dimana kriteria
politik (meski tidak ada dalam persyaratan) lebih dominan daripada kriteria
administratif, teknis dan fikisk (sebagaimana telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan). Tuntutan masyarakat untuk melakukan pemekaran melalui
pemerintahan daerah dipicu euforia politik dan tuntutan keinginan masyarakat
untuk mendirikan daerah sendiri akan mencuat ketika mereka tidak atau kurang
diperhatikan. Padahal ini dapat disebabkan oleh kesalahan atau ketidakmampuan
pelayanan pada birokrasi tingkat daerah.
Lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah melalui Pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah. Dinyatakan bahwa Pembentukan Daerah yang
bersandingan atau pemekaran daerah satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.
Kemudian dalam Pasal 4 ayat (4) disebutkan “Pemekaran dari satu daerah menjadi
2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan
setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.
Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Mengenai susunan daerah, dalam Pasal 2 dikatakan bahwa (1) Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten,
dan Daerah Kota yang bersifat otonom; (2) Daerah Propinsi berkedudukan juga
sebagai Wilayah Administrasi, dan Pasal 4 mengatur bahwa (1) Dalam rangka
pelaksanaan asas Desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Propinsi, Daerah
Kabupaten, dan Daerah Kota yang berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat; (2) Daerah-daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masing-
masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain.
Khusus mengenai proses pemekaran dan pembentukan daerah, Pasal 5
menegaskan (1) Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan
ekonomi, potensi Daerah, sosial-budaya, sosial-politik, jumlah penduduk, luas
Daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi
Daerah; (2) Pembentukan, nama, batas, dan ibukota sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan dengan Undang-Undang; (3) Perubahan batas yang tidak
mengakibatkan penghapusan suatu Daerah, perubahan nama Daerah, serta
perubahan nama dan pemindahan ibukota Daerah ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah; dan (4) Syarat-syarat pembentukan Daerah, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Sementara untuk
penggabungan dan penghapusan suatu daerah otonom diatur dalam Pasal 6, yakni
(1) Daerah yang tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah dapat dihapus
dan atau digabung dengan Daerah lain; (2) Daerah dapat dimekarkan menjadi
lebih dari satu Daerah; (3) Kriteria tentang penghapusan, penggabungan, dan
pemekaran Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah; dan (4) Penghapusan, penggabungan dan
pemekaran Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan
dengan Undang-undang.
Dengan berdasar kepada aturan-aturan pokok di atas, pada masa ini
lahir sebuah aturan organik yang menjadi acuan operasional dalam kebijakan
pemekaran, pembentukan, penghapusan dan penggabungan daerah otonom, yakni
Peraturan Pemerintah No. 129 Tahun 2000 (selanjutnya disebut PP No.129/2000).
Beberapa klausul utama yang diatur dalam PP ini adalah sebagai berikut.:
Pertama, tujuan pembentukan, pemekaran, penghapusan dan
penggabungan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui
peningkatan pelayanan, percepatan demokrasi, percepatan perekonomian daerah,
percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan ketertiban,
serta peningkatan hubungan serasi antara Pusat dan Daerah. Dengan demikian,
setiap kebijakan pemekaran dan pembentukan suatu daerah baru harus
memastikan tercapainya akselerasi di berbagai bidang tersebut, yang pada giliran
akhirnya bermuara pada kesejahteraan rakyat.
Kedua, syarat-syarat pembentukan daerah dan kriteria pemekaran
adalah menyangkut kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial
politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan-pertimbangan lain yang
memungkinkan terselenggaranya otonomi seperti kemanan dan ketertiban,
ketersediaan sarana pemerintahan, rentang kendali jumlah minimal 3
Kabupaten/Kota untuk propinsi yang akan dibentuk, dan minimal 3 kecamatan
untuk Kabupaten/Kota yang akan dibentuk. Ketujuh syarat/kriteria tersebut
kemudian dijabarkan ke dalam 19 indikator dan 43 sub-indikator, yang
kesemuanya merupakan variable-variabel terukur. Bagi daerah-daerah yang telah
terbentuk namun tidak mampu melaksanakan otonominya (tidak memenuhi
berbagai syarat/kriteria yang memungkinkan terselenggaranya otonomi) akan
dihapus dan digabungkan dengan daerah lain.
Ketiga, prosedur pembentukan dan pemekaran daerah diawali oleh
adanya kemauan politik Pemda dan masyarakat setempat, didukung oleh
penelitian awal yang dilaksanakan oleh Pemda. Untuk pembentukan Propinsi,
usulan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri yang disertai lampiran hasil
penelitian, persetujuan DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota, sementara usulan
pembentukan Kabupaten/Kota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri
melalui Gubernur yang disertai lampiran hasil penelitian, persetujuan DPRD
Propinsi dan Kabupaten/Kota. Selanjutnya Menteri Dalam Negeri memproses
lebih lanjut dan menugaskan tim untuk observasi ke daerah yang hasilnya menjadi
rekomendasi bagi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Setelah
melalui pembahasan internal (termasuk kalau perlu menugaskan tim teknis untuk
melakukan penelitian lebih lanjut), DPOD membuat keputusan menyetujui atau
menolak usul pembentukan daerah. Apabila disetujui maka Mendagri mengajukan
usul pembentukan daerah tersebut beserta RUU Pembentukan Daerah kepada
Presiden, yang jika mendapat persetujuan lalu diteruskan kepada DPR-RI untuk
dibahas.
Keempat, pembiayaan bagi kelancarana penyelenggaraan pemerintahan
daerah baru untuk tahun pertama ditanggung oleh daerah induk berdasarkan hasi
pendapatan yang diperoleh dari gabungan Kabupaten/Kota di Propinsi baru dan
dapat dibantu melalui APBN atau hasil pendapatan yang diperoleh dari
Kabupaten/Kota yang baru dibentuk. Sementara segala biaya yang berhubungan
dengan penghapusan dan penggabungan daerah dibebankan pada APBN. Kelima,
evaluasi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan otonomi sampai kepada
penghapusannya didahului dengan penilaian kinerja. Apabila setelah lima tahun
setelah pemberian kesempatan memperbaiki kinerja dan mengembangkan
potensinya tidak mencapai hasil maksimal, maka daerah yang bersangkutan
dihapus dan digabungkan dengan daerah lain. Untuk kepentingan evaluasi ini,
setiap tahun daerah wajib menyampaikan data-data terkait kepada Pemerintah
melalui Menteri Dalam Negeri.
Dalam perkembangannya, selagi berbagai aturan ini dijalankan,
perubahan di level aturan-aturan pokok juga berlangsung. Hal itu dimulai pada
level Konstitusi (UUD 1945), yang untuk kasus susunan dan pembentukan daerah
mengalami perubahan mendasar. baik dalam aspek struktur maupun substansi.
Menyangkut struktur, Pasal 18 dalam UUD 1945 sama sekali diganti baru. Kalau
sebelumnya cuma satu pasal, dalam hasil amandemen terdapat 3 pasal yakni Pasal
18, Pasal 18A dan Pasal 18B yang semuanya berada dibawah naungan Bab VI
tentang Pemerintahan Daerah. Demikian juga, terjadi perubahan pada Bagian
Penjelasan, dengan cara penghapusan (berlaku secara keseluruhan), sehingga
Bagian Penjelasan yang selama ini ikut menjadi acuan dalam menyusun peraturan
perundang-undangan, termasuk yang terkait pengaturan soal pemerintahan daerah,
tidak berlaku lagi.
Bertambahnya pemekaran daerah menjadi bukti konkrit bahwa ada
masalah serius dengan penataan daerah. Melihat menggelembungnya daerah
pemekaran di Indonesia tentunya akan, menimbulkan biaya tinggi dan
pemborosan, karena semakin besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk
membiayai perputaran roda birokrasi. Dari surat-surat resmi yang mengajukan
pemekaran daerah ke DPR dan DPD alasan normatif yang diajukan adalah
pertama aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah lebih
mudah tersalurkan. Dengan adanya pemekaran wilayah maka cakupan
pemerintahan baru menjadi lebih dekat dengan masyarakatnya, sehingga pelayaan
semakin dekat yang pada gilirannya aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah akan lebih mudah tersalurkan. Kedua pemerataan belanja
pemerintah daerah pemekaran akan menjadikan sesuatu pemerintahan daerah
menjadi terbagi dua, sehingga beberapa daerah akan terbagi ke dalam dua
pemerintahan. Alokasi anggaran pemerintahan pun tentunya akan terbagi ke
dalam dua pemerintahan tersebut. Maka diharapkan pemerataan belanja
pemerintah daerah dapat lebih baik, sehingga masyarakat yang dinaungi oleh
pemerintah daerah induk dan pemerintah daerah hasil pemekaran menjadi lebih
sejahtera, karena alokasi anggaran telah merata. Ketiga peningkatan pengelolaan
pelayanan pemerintahan dan pembangunan daerah. Salah satu tujuan utama dari
pemekaran wilayah adalah mendekatkan pemerintahan kepada masyarakat,
sehingga diharapkan pengelolaan pemerintahan dapat berjalan lebih efektif dan
efisien, pelayanan kepada masyarakat lebih baik dan pembangunan daerah dapat
berjalan lancar. Keempat, belanja rutin dan pembangunan makin merata,
pemekaran wilayah akan berdampak langsung pada pemisahan pemerintahan
daerah induk dan pemerintahan daerah hasil pemekaran. Dengan kondisi ini
diharapkan terjadi pemerataan antara belanja rutin dan pembangunan yang
dilakukan oleh kedua pemerintahan daerah sehingga pada gilirannya distribusi
anggaran leibh adil antara satu daerah dengan daerah lain.
Oleh sebab itu, Pemerintah daerah di Lahirkan di Indonesia. Agar
Masyarakat Indonesia yang berada jauh dari Ibu kota bisa juga merasakan
Kesejahteraan hidup dalam suatu pemerintahan.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Dari latar belakang di atas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut:
a. Bagaimana Pengertian Dari Pemerintah Daerah?
b. Apa saja fungsi dan tujuannya?
c. Apa saja Sistem Pemerintah Daerah Indonesia?
d. Bagaimana sejarah lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah?
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN DARI PEMERINTAH DAERAH

Definisi Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32


Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (2) adalah sebagai
berikut: “Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh
pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Melihat definisi pemerintahan daerah seperti yang telah dikemukakan di


atas, maka yang dimaksud pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan-
urusan yang menjadi urusan daerah (provinsi atau kabupaten) oleh pemerintah
daerah dan DPRD.

B. FUNGSI DAN TUJUAN


Berbagai argument dan penjelasan mengenai fungsi Pemerintah Daerah
yaitu :

a. Untuk terciptanya efisiensi-efektivas penyelenggaraan


pemerintahan. Pemerintahan berfungsi mengelola berbagai dimensi
kehidupan seperti bidang sosial, kesejahteraan masyarakat,
ekonomi, keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan
dalam negeri, dll. Selain itu juga mempunyai fungsi distributif
akan hal yang telah diungkapkan, fungsi regulatif baik yang
menyangkut penyediaan barang dan jasa, dan fungsi ekstraktif
yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka sarana
membiayai aktifitas penyelenggaraan negara.
b. Sebagai sarana pendidikan politik. Banyak kalangan ilmuan politik
berargumentasi bahwa pemerintahan daerah merupakan kancah
pelatihan (training ground) dan pengembangan demokrasi dalam
sebuah negara. Alexis de’ Tocqueville mencatat bahwa “town
meetings are to leberty what primary schools are to science; the
bring it within the people reach, they teach men how to use and
how to enjoy it. John Stuart Mill dalam tulisannya
“Represcentative Goverment” menyatakan bahwa pemerintahan
daerah akan menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat
untuk berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau
kemungkinan untuk dipilih dalam suatu jabatan politik.

c. Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.


Banyak kalangan ilmuan politik sepakat bahwa pemerintah daerah
merupakan langkah persiapan untuk meniti karir lanjutan, terutama
karir di bidang politik dan pemerintahan ditingkat nasional.

d. Stabilitas politik, Sharpe berargumentasi bahwa stabilitas politik


nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal.
Hal ini dilihat dari terjadinya pergolakan daerah pada tahun 1957 –
1958 dengan puncaknya adalah kehadiran dari PRRI dan
PERMESTA, karena daerah melihat kenyataan kekuasaan
pemerintah Jakarta yang sangat dominan.

e. Kesetaraan politik (political equality). Dengan dibentuknya


pemerintahan daerah maka kesetaraan politik diantara berbatgai
komponen masyarakat akan terwujud.

f. Akuntabilitas publik. Demokrasi memberikan ruang dan peluang


kepada masyarakt, termasuk didaerah, untuk berpartisipasi dalam
segala bentuk kegiatan penyelenggaraan negara.
C. SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
Era demokratisasi terpimpin telah berakhir dan diganti oleh era
pemerintahan Orde Baru. Dalam pengaturan pemerintahan daerah, UU 18 Tahun
1965 diganti dengan UU No. 5 Tahun 1974. Ada tiga prinsip dasar yang dianut
oleh UU No. 5 Tahun 1974, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan. Prakteknya, prinsip dekonsentrasi lebih dominan. Struktur
pemerintahan daerah terdiri dari kepala Daerah Otonom dan sebagai Kepala
Wilayah (yaitu Wakil Pemerintah di Daerah). DPRD mempunyai kewenangan
melakukan pemilihan calon Kepala Daerah, namun keputusan akhir ada di tangan
Pusat. Bangunan Pemerintah Daerah yang demikian, kondusif untuk menciptakan
landasan yang kuat untuk pembangunan ekonomi. Sistem tersebut pada satu sisi
telah menciptakan stabilitas, kondusif untuk menjalankan program-program
nasional yang dilaksanakan di daerah. Namun pada sisi lain, kondisi telah
menciptakan ketergantungan yang tinggi dalam melaksanakan otonominya,
seperti ketergantungan dalam aspek keuangan, kewenangan, kelembagaan,
personil, perwakilan termasuk pelayanan yang dihasilkan oleh Pemerintah
Daerah.
2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimaksudkan
untuk mengoreksi UU 5 Tahun 1974 yang dirasa sentralistik menjadi
desentralistik dan mendekatkan pelayanan masyarakat menjadi pelayanan local,
serta meningkatkan pendidikan politik masyarakat. Prinsif otonomi seluas-luasnya
menjiwai hampir di semua pasal. Bahkan manajemen kepegawaian dan keuangan
yang di UU pendahulunya diatur dengan ketat oleh Pusat didelegasikan secara
penuh kepada Daerah. Sebagian besar istilah yang dipakai di UU ini mengadopsi
dari UU No. 5 Tahun 1974, namun istilah “subsidi”, “ganjaran” dan “sumbangan”
dihapus sama sekali, diganti dengan dana perimbangan. Menurut UU ini,
Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat Daerah; DPRD
berada di luar Pemerintah Daerah berfungsi sebagai Badan legislatif Daerah yang
mengawasi jalannya pemerintahan. Otonomi daerah tetap dititik beratkan di
Kabupaten/Kota, namun Bupati/Walikota tidak lagi bertindak selaku Wakil
Pemerintah di Daerah. Fungsi ini dipegang hanya oleh Gubernur sebagai bagian
dari Integrated Prefectoral System, Secara eksplisit, UU ini juga menyebutkan
tidak ada hubungan hierarkhis antara Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dalam penyelenggaraannya, ternyata otonomi daerah yang
diselenggarakan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 menghadapi berbagai
potensi permasalahan, antara lain (1) terjadinya konflik kewenangan seperti di
Pelabuhan, Kehutanan, Investasi, Otorita Batam, dan banyak lagi lainnya; (2)
Lembaga Daerah membengkak, pengelompokan tugas tidak tepat, biaya
organisasi tinggi, biaya operasi dan infrastruktur terabaikan; (3) rekruitmen,
pembinaan dan mutasi personil tidak berdasar kompetensi dan profesionalisme,
pendekatan kedaerahan didahulukan; (4) sarana dan prasarana organisasi
terabaikan, teknologi informasi belum terpakai optimal; (5) manajemen
pembangunan dan pelayanan belum mengalami reformasi (perubahan) mendasar;
(6) dalam menggali sumber penerimaan daerah telah terjadi pula berbagai ekses
antara lain: peningkatan PAD yang menimbulkan biaya ekonomi tinggi,
ketergantungan daerah dari DAU yang mematikan kreatifitas daerah dan
penerimaan sah lainnya yang belum dioptimalkan; (7) standar pelayanan
minimum yang belum terumuskan dengan baik; dan (8) DPRD dalam system
perwakilan (baru) menjadi sangat powerfull, Kepala Daerah (eksekutif) tersandera
oleh Laporan Pertanggungjawaban.
3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah

Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sesuai amanat


UUD 1945 yang telah di amandemen, maka UU No. 22 Tahun 1999 telah diganti
dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ini merupakan
penyempurnaan dalam rangka menyesuaikan dengan keadaan, ketatanegaraan dan
tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.

Secara garis besar penyempurnaan terhadap UU No. 22 Tahun 1999


didasarkan untuk penyesuaian ketentuan di dalam UU No. 22 Tahun 1999 dengan
UUD 1945, Ketetapan dan Keputusan MPR serta penyerasian dan penyelarasan
dengan undang¬-undang bidang politik dan undang-undang lainnya. Di samping
itu juga melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan di dalam UU No. 22
Tahun 1999 yang menimbulkan permasalahan, menyebabkan penafsiran ganda
dan belum lengkap.

Pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memasuki


babak baru dengan terbitnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang telah diundangkan pada tanggal 15 Oktober 2004. Undang-undang
tersebut secara substansial mengubah beberapa paradigma penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah dalam UU No. 22 Tahun 1999. Salah satunya adalah
desentralisasi dan dekonsentrasi dipandang sebagai sesuatu yang bersifat
kontinum bukan bersifat dikotomis. Secara filosofi, keberadaan Pemerintahan
Daerah disebabkan karena adanya masyarakat pada daerah otonomi. Pemerintahan
Daerah dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, sehingga
keberadaan Pemerintahan Daerah dalam rangka pemberian pelayanan merupakan
inti dari penyelenggaraan otonomi daerah. Orientasi pemberian pelayanan kepada
masyarakat ini dapat dilihat antara lain dalam hal pembentukan daerah yang
dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan publik, mempercepat kesejahteraan
masyarakat, serta sebagai sarana pendidikan politik di tingkat lokal. Untuk itu
maka pembentukan daerah mempertimbangkan berbagai faktor seperti
kemampuan ekonomi, potensi daerah, luas wilayah, kependudukan dan
pertimbangan dari aspek politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan serta
pertimbangan dan syarat lain yang memungkinkan daerah itu menyelenggarakan
dan mewujudkan tujuan dibentuknya otonomi daerah. Dalam pembentukan
daerah, UU No. 32 Tahun 2004 juga mengatur persyaratan administrasi, teknis
dan fisik kewilayahan. Hal ini dimaksudkan agar pembentukan daerah dapat
menjamin terselenggaranya pelayanan secara optimal

Akar masalah yang muncul adalah kesalahan dalam mempersepsikan


otonomi daerah. Otonomi seringkali diukur dengan kemampuan keuangan daerah.
Akibatnya konsep “urusan” lebih dikaitkan dengan “keuangan”, yaitu hak daerah
untuk menggali sumber keuangan dan bukan untuk memberikan pelayanan.
Akibatnya, terjadi perebutan urusan antar tingkatan pemerintahan dengan
justifikasinya masing-masing yang bermuara pada terlantarnya pelayanan
masyarakat.

Orientasi pelayanan masyarakat di dalam UU No. 32 Tahun 2004,


dicerminkan dalam pembagian urusan antar tingkat pemerintahan. Pembagian
urusan pemerintahan dalam konteks desentralisasi merupakan penyerahan urusan
pemerintahan dari Pemerintah kepada daerah otonom. Urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah hanyalah urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah
saja (eksekutif), tidak termasuk urusan yang menjadi kewenangan legislatif
(pembuatan UU) dan urusan yang menjadi kewenangan yudikatif (peradilan),
Pembagian urusan pemerintahan berangkat dari adanya diktum tidak mungkin
urusan diselenggarakan semuanya oleh Pemerintah atau semuanya diserahkan
kepada daerah.

Berkenaan dengan pembagian urusan pemerintahan terdapat pembagian


urusan yang spesifik. Pertama, urusan yang sepenuhnya menjadi urusan
Pemerintah Pusat, meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter
dan fiskal nasional, yustisi, dan agama. Kedua, urusan yang bersifat concurrent
atau urusan yang dapat dikelola bersama antara Pusat, provinsi, atau pun
kabupaten/Kota. Pembagian urusan ini diatur dalam pasal 11 ayat (1) UU No. 32
Tahun 2004, dengan menggunakan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan
efisiensi dalam rangka mewujudkan proporsionalitas pembagian urusan
pemerintahan, sehingga ada kejelasan siapa melakukan apa. Dalam urusan
bersama yang menjadi kewenangan daerah terbagi dua, yakni urusan wajib dan
urusan pilihan. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan
pelayanan dasar seperti pendidikan dasar, kesehatan, pemenuhan kebutuhan hidup
minimal, prasarana lingkungan dasar dan sebagainya. Sedangkan yang bersifat
pilihan adalah hal yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan.

Adanya pengaturan yang bersifat wajib, sangat terkait dengan


kebutuhan mendasar masyarakat, sehingga menjadi kewajiban bagi Pemerintah
Daerah untuk menyediakan pelayanan yang prima. Adanya pengaturan tersebut
dimaksudkan untuk menghindarkan daerah melakukan urusan yang kurang
relevan dengan kebutuhan warganya dan tidak terperangkap untuk melakukan
urusan atas pertimbangan pendapatan semata. Selanjutnya agar penyediaan
pelayanan kepada masyarakat mampu memenuhi ukuran kelayakan minimal,
pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat oleh Pemerintah Daerah harus
berpedoman kepada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan oleh
Pemerintah. Selain melaksanakan urusan yang bersifat wajib, dalam
menyelenggarakan otonomi, daerah juga mempunyai kewajiban sebagaimana
diatur dalam Pasal 22 UU No. 32 Tahun 2004, sebagai penegasan bahwa
Pemerintahan Daerah merupakan sub-sistem dari sistem pemerintahan Nasional
dalam perspektif pemberian pelayanan umum. Sebagai implikasi dari penataan
urusan perlu dilakukan penataan kelembagaan yang pada prinsipnya merupakan
pewadahan dari urusan yang diserahkan kepada daerah yaitu lembaga
Pemerintahan Daerah (Pemerintah Daerah dan DPRD), serta ditetapkan organisasi
dan tata kerja Perangkat Daerah melalui Peraturan Daerah.

Aspek penting lainnya adalah aspek demokratisasi yang diukur dari


unsur keterlibatan masyarakat dalam menentukan pejabat publik di daerah.
Berdasarkan konsep ini, pemerintahan dapat dikatakan demokratis apabila para
pejabat yang memimpin Pemerintahan Daerah itu dipilih secara langsung dan
bebas oleh masyarakat dengan cara yang terbuka dan jujur. Oleh sebab itu, maka
berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah akan dipilih secara langsung oleh rakyat yang selambat-lambatnya
akan dilaksanakan pada bulan Juni Tahun 2005. Melalui Pemilihan yang
demokratis ini diharapkan akan memperkuat posisi Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat dalam mewujudkan
Hubungan Kemitraan antara Pemerintah Daerah dan DPRD. Hubungan antara
Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya
setara dan bersifat kemitraan. Kedudukan yang setara bermakna bahwa di antara
lembaga pemerintahan daerah itu memiliki kedudukan yang sama dan sejajar,
artinya tidak saling membawahi. Hal ini tercermin dalam membuat kebijakan
daerah berupa Peraturan Daerah. Hubungan kemitraan bermakna bahwa antara
Pemerintah Daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat
kebijakan daerah untuk melaksanakan Otonomi Daerah sesuai fungsi masing-
masing, sehingga antar kedua lembaga itu membangun suatu hubungan kerja yang
sifatnya saling mendukung, bukan merupakan lawan ataupun pesaing dalam
melaksanakan fungsi masing-masing. Keberadaan DPRD yang merupakan
lembaga perwakilan rakyat daerah haruslah mampu menciptakan check and
balances disamping melalui fungsi anggaran yaitu dalam menyusun APBD juga
melalui fungsi legislasi dan pengawasan terhadap Pemerintah Daerah, untuk
menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari praktek KKN.

4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah


UU No. 23 tahun 2014 merupakan makanan pokok bagi praja Institut
Pemerintahan Dalam Negeri yang nantinya akan dijadikan acuan dalam bertugas
di pemerintah daerah. Secara keseluruhan undang-undang tersebut memiliki
kesamaan dengan UU No. 32 tahun 2004 namun ada beberapa pasal yang
mengalami perubahan.
Kemudian ditambahkan, prinsip secara umum atau garis besar UU
Nomor 23 tahun 2014 ini merupakan kombinasi UU Nomor 5 tahun 1974 dan UU
Nomor 32 tahun 2004. Sehingga fungsi Gubernur bukan hanya sebagai kepala
daerah melainkan juga sebagai kepala wilayah .
Di sisi lain, pada pasal 2 dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dibagi atas daerah provinsi, provinsi dibagi atas daerah
kabupaten dan kota, kabupaten/kota dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi
atas kelurahan dan/atau desa. Jadi, pasal ini menegaskan bahwa atasan kepala
desa/lurah adalah camat, atasan camat adalah bupati/walikota, dan seterusnya.
Karna melaksanakan urusan pemerintahan umum. Bupati dan walikota
melibatkan urusan pemerintahan umum kepada camat, otomatis camat merupakan
kepala wilayah.

D. SEJARAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2014


Sejak reformasi sampai saat ini, sudah beberapa kali terjadi perubahan
UU Pemerintah Daerah. UU Pemerintahan Daerah yang pertama kali pasca
reformasi adalah UU 22 Tahun 1999 sebagai pengganti UU nomor 5 Tahun 1974,
kemudian diganti menjadi UU Nomor 32 tahun 2004, UU ini dilakukan perubahan
menyangkut pelaksanaan pemilihan kepala daerah tetapi substansi kebijakan
pengelolaan pemerintah daerah tidak mengalami perubahan. Terakhir adalah UU
23 tahun 2014 yang kemudian dilakukan perubahan dalam perpu No 2 Tahun
2014. Perpu tersebut hanya membatalkan 2 pasal yakni pasal yang mengatur
pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Berbagai dinamika dalam perubahan kebijakan pemerintahan daerah
tersebut mulai dari arah sentralisitik sampai desentralistik. Sebagai negara
kesatuan Indonesia tentu menerapkan pembagian urusan pusat dan daerah dengan
tetap mengacu pada pola desentralisasi, dekonsentrasi dan medebewind.
Perubahan kebijakan hubungan pusat dan daerah di Indonesia pada
dasarnya mengacu pada ultra vires doctrine (merinci satu persatu urusan
pemerintahan yang diberikan kepada daerah) dan risidual power atau open end
arrengement (konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa). Ultra vires doctrine
lebih terasa pada pola sentralisitik sementara residual power lebih mengarah ke
desentralistik. Bahkan ada menganggap bahwa residual power sebenarnya
merupakan pola hubungan pemerinta pusat dan daerah yang biasa diterapkan
dalam konsep negara federal. Sementara dalam negara kesatuan kekuasaan sisa
idealnya berada ditangan pusat.

Pola hubugan pusat dan daerah sejak pemberlakuan UU Nomor 5 tahun


1974 sampai UU Nomor 23 Tahun 2014 mengalami dinamika perubahan. UU
Nomor 5 tahun 1974 lebih tepat dikatakan sebagai pola ultra vires doctrine karena
kewenangan yang diberikan kepada daerah dirinci satu persatu. Sementara UU
Nomor 22 Tahun 1999, UU 32 tahun 2004 dan UU 23 tahun 2014 kewenangan
yang diberikan bersifat residual power atau open and arrengmet atau general
competence karena semua kewenangan diberikan kepada daerah kecuali urusan
yang ditangani oleh pemerintah pusat, yakni moneter dan fiskal nasional,
pertahanam dan keamanan, urusan luar negeri, peradilan, dan agama
Selain itu sistem pembagian kekuasaan yang didesentralisasikan ke
daerah di Indonesia juga menerapkan desentralisasi a simteris dan desentraisasi
simetris. Desentralisasi a simetris terasa dalam UU No 22 Tahun 1999, dimana
ada pemberian otonomi khusus bagi beberapa daerah (Aceh, Jogya dan Papua).
Sementara dalam UU No 5 tahun 1974 hanya desentralisasi simetris (biasa).
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

A. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh


pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B. Berbagai argument dan penjelasan mengenai fungsi Pemerintah Daerah
yaitu :
1) Untuk terciptanya efisiensi-efektivas penyelenggaraan
pemerintahan.
2) Sebagai sarana pendidikan politik.
3) Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik
lanjutan.
4) Stabilitas politik, Sharpe berargumentasi bahwa stabilitas
politik nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada
tingkat lokal
5) Kesetaraan politik (political equality).
6) Akuntabilitas publik.
C. Tujuan dari Pemerintah Daerah adalah:
1) mencegah pemusatan keuangan
2) sebagai usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah untuk
mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan pemerintahan.
3) Penyusunan program-program untuk perbaikan sosial ekonomi
pada tingkat local sehingga dapat lebih realistis.
D. Alasan pentinya di bentuk Pemerintah Daerah Ialah:
1) Kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini sangat terpusat
di Jakarta. Sementara itu pembangunan di beberapa wilayah
lain di lalaikan
2) Pembagian kekayaan secara tidak adil dan merata
3) Kesenjangan sosial (dalam makna seluas-luasnya) antara satu
daerah dengan daerah lain sangat terasa.
DAFTAR PUSTAKA

Widarta.2001. Cara Mudah Memahami Otonomi Daerah. Jakarta : Larela Pustaka


Utama
Hanif, Teori dan Parktek Pemerintahan, Grafindo, Jogyakarta, 2003
JPP-UGM (2010). Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi.
Yogyakarta, Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM.
Stevaan Walgrave, Governance: an International Journal of Policy, Administration, and
Institutions, Vol
21, No 3 july 2008 (pp.365-395)
Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson, Simultaneously published in the US and
Canada by
Routledge 29 West 35th Street, New York, NY 10001
Peter John, Is there life after policy stremas, advocacy caolitions, and punctuations :
using evolutionary
theory to explain policy change, The Policy Studies Jurnal, Published by
blackwell publishing.
Inc..350
Wilson, Carter A. 2000. “Policy Regimes and Policy Change.” Journal of Public
Policy 20(3):
247-274.
Mudiyati, Decentralization and Democratization in the Post Suharto Era:
Lessons from Kota
Cirebon, West Java, Indonesia,
http://asaa.asn.au/ASAA2010/reviewed_papers/Decentralization_and_De
mocratization_in_the_Post.pdf (11 Mei 2017).
Geoffry Duedly dan Jeremy Ricadson, Simultaneously published in the US and
Canada by
Routledge 29 West 35th Street, New York, NY 10001
Rozali Abdullah. 2007. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala
Daerah Secara
Langsung. Jakarta : PT Raja Grasindo.

Anonim. "Review UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah."


Blog Kado Untuk Dunia. http://harryuban.blogspot.co.id/2014/12/review-
uu-no-23-tahun-2014-tentang.html (11 Mei 2017).

Asrifai. “Dinamika Perubahan UU Pemerintahan Daerah”

asrifai.co.cc. http://asrifai.blogspot.co.id/2015/04/dinamika-perubahan-uu-
pemerintahan_4.html (11 Mei 2017).

SUDUT HUKUM™. “Latar Belakang Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004”

SUDUT HUKUM™. http://www.suduthukum.com/2015/07/latar-


belakang-lahirnya-uu-no-23-tahun.html (11 Mei 2017).

Didi, Suryadi. “MAKALAH Sistem Pemerintahan Daerah dalam pembahasan UU


No. 5 tahun

1974, UU No. 22 tahun 1999, UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 23


tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah”
http://didisuryadi94.blogspot.co.id/2015/04/makalah-sistem-pemerintahan-
daerah.html (11 Mei 2017).

Anda mungkin juga menyukai