Anda di halaman 1dari 14

Pembentukan Daerah Otonom

Kelompok 5:
1. Hesti Putri Lestari (12070520679)
2. Ruqayyah (12070520640)
3. M.dhava Fadillah Ary Saputra (12070516885)
Era reformasi yang menggantikan era Orde Baru mempunyai dampak positif dan dampak
negatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dampak positif reformasi terlihat dalam kehidupan
bernegara antara lain : semakin transparannya penyelenggaraan pemerintahan di Pusat dan di daerah.
Demikian pula dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah diberikan otonomi yang lebih luas dan
nyata kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.
Perkembangan daerah dengan adanya otonomi menunjukkan semakin banyak daerah yang
terlihat lebih maju dan berkembang sejak diberikan otonomi yang lebih besar terutama daerah yang
memiliki sumber daya alam yang cukup besar. Otonomi ternyata memberikan kepada daerah untuk
mengembangkan daerahnya sesuai dengan kondisi sosial ekonomi, budaya, dan adat masing-masing
daerah untuk menunjukkan kebhinekaan. Perbedaan perkembangan tersebut menunjukkan pemberian
otonomi yang lebih besar kepada daerah tergantung kepada berbagai faktor yang mempengaruhinya
1.
Syarat-syarat Pemekaran Daerah
Legalisasi pemekaran wilayah dicantumkan dalam pasal yang sama pada ayat berikutnya (ayat
3) yang menyatakan bahwa : Pembentukan Daerah dapat berupa penggabungan daerah menjadi dua daerah
atau lebih” dan ayat (4) menyebutkan ” Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan
pemerintahan.
Walaupun banyak usulan dari berbagai daerah untuk membentuk pemekaran daerah otonomi
baru, namun pembentukannya hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat administratif teknis dan
fisik kewilayahan. Bagi Provinsi syarat administrasi yang wajib dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD
Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi bersangkutan persetujuan
DPRD provinsi induk dan gubernur, serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri. Sedangkan untuk
kabupaten/kota syarat administrasi yang juga harus dipenuhi meliputi adanya persetujuan DPRD provinsi dan
gubernur serta rekomendasi dari Menteri Dalam Negeri.
Selanjutnya syarat teknis dari pembentukan daerah baru harus meliputi faktor yang menjadi
dasar pembentukan daerah yang mencakup antara lain :
1. Kemampuan ekonomi;
2. Potensi daerah;
3. Sosial budaya;
4. Kependudukan;
5. Luas daerah;
6. Pertahanan;
7. Keamanan;
Faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah Terakhir syarat fisik yang
dimaksud harus meliputi paling sedikit lima kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan
paling sedikit lima kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan empat kecamatan untuk
pembentukan kota, lokasi calon ibukota sarana, dan prasarana pemerintahan.
2.
Dasar Hukum Pembentukan Pemekaran
Daerah
Dalam perkembangan sejarah konstitusionalnya,
Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 (UUD
1945) pra-perubahan menjadi landasan pertama
yang mengatur konsep pemerintahan daerah
dengan menyatakan:
Penyelenggaraan pemerintahan daerah dan ”Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar
pelaksanaan otonomi daerah tidak dapat dilepaskan dan kecil dengan bentuk susunan
dari konsep hukum, khususnya hukum administrasi pemerintahannya ditetapkan dengan undang-
negara yang salah satunya kajiannya membahas undang dengan memandang dan mengingati dasar
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hukum permusyawaratan dalam sistim Pemerintahan
administrasi negara menjadi dasar pijakan utama Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah yang
dan legitimasi kebijakan penyelenggaraan bersifat istimewa.”
pemerintahan daerah, sehingga format hukum
sangat menentukan nuansa dan dialektika otonomi
daerah yang ditetapkan pemerintah pusat.
Ketentuan Pasal 18 UUD 1945 pra-perubahan tersebut secara ringkas menyatakan
pembentukan daerah di Indonesia dimungkinkan sebagai wujud prularistis bangsa Indonesia yang eka
dalam kesatuan negara Republik Indonesia. Sebagai konsekuensi yuridis bentuk negara kesatuan,
hubungan formalistis antar-daerah dilakukan oleh pemerintah pusat melalui undang-undang yang
harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Perlunya pembagian daerah melalui undang-undang secara yuridis mengandung empat
alasan, yaitu (1) pembentukan daerah harus merupakan wujud kemauan pemerintah dan rakyat
melalui wakil-wakilnya di DPR; (2) konstruksi pembagian daerah harus diselaraskan dengan
kepentingan dan kebutuhan rakyat yang dilegitimasi oleh hukum; (3) pembentukan daerah
merupakan perjanjian publik yang mengakui suatu wilayah sebagai daerah otonom yang akan
memiliki hak dan kewajiban sebagai subyek hukum; (4) jaminan penyerahan hak otonomi akan
disertai dengan jaminan pengakuan hak mengatur rumah tangganya sendiri yang diserahkan dari
pemerintah pusat.
Apabila Pasal 18 UUD 1945 pra-perubahan UUD 1945 ditelaah
berdasarkan empat alasan tersebut, pembentukan daerah yang sebenarnya
diarahkan untuk membagi daerah, memiliki karakter yuridis untuk menjaga
siklus hubungan pemerintahan dan masyarakat, yang disebut sebagai dasar
permusyawaratan. Hal ini berarti pembentukan daerah hakikat utamanya
adalah agar kesinambungan hubungan pemerintah dan masyarakat terjalin di
semua wilayah. Dalam perspektif manajemen pemerintahan negara,
pembentukan daerah ditujukan untuk mendekatkan pelayanan publik dan
optimalisasi fungsi pemerintahan kepada masyarakat.
Dalam perkembangan sejarahnya, realibilitas konstitusional dalam
menata hubungan negara dan daerah di Indonesia mengalami pasang surut
sejalan dengan politik hukum negara pada saat itu. Ketika Konstitusi Republik
Indonesia Serikat 1949 (KRIS 1949), hubungan negara dan daerah terjalin
dalam bentuk negara dan daerah bagian dalam lingkungan bentuk negara
federal. Pasal 46 ayat (1) KRIS 1949 menyatakan, ”negara-negara yang baru
dibentuk membutuhkan pengakuan undang-undang federal.”
3.
Pengelolaan Keuangan Daerah
a. Pengelolaan Keuangan Daerah

Mahmudi (2010, h.17) mengatakan bahwa tahap perencanaan dalam pengelolaan keuangan daerah
merupakan tahap yang krusial, peran DPRD dan masyarakat dalam tahap ini sangat besar. Tahapan awal dalam
perencanaan keuangan daerah diawali dengan estimasi anggaran oleh TAPD yang kemudian sekretaris daerah
selaku ketua TAPD menyampaikan rancangan KUA dan rancangan PPAS kepada kepala daerah kemudian
rancangan KUA-PPAS tadi di sampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan
RAPBD tahun anggaran berikutnya yang dilakukan oleh TAPD bersama badan anggaran DPRD hingga tercapai
kesepakatan. Selanjutnya TAPD memberikan surat edaran kepada semua SKPD untuk menyusun RKA-SKPD,
jika RKA-SKPD telah disusun maka kemudian dilakukan konsolidasi dengan TAPD untuk diusulkan menjadi
RAPBD kepada DPRD. Setelah ditetapkan oleh DPRD kemudian diajukan untuk dievaluasi oleh pemerintah
provinsi setelah itu baru ditetapkan menjadi APBD. Pada proses perencanaan keuangan daerah di Kabupaten
Lamongan tidak banyak terdapat permasalahan, hanya saja permasalahan pada legislatif yang kurang disiplin
waktu dalam tahapan pembahasan rancangan APBD.
b. Pelaksanaan Keuangan Daerah
Menurut Mahmudi (2010, h.18) dalam tahap pelaksanaan keuangan daerah merupakan
implementasi anggaran yang terdapat suatu proses berupa sistem akuntansi pemerintahan. Tahapan
diawali dengan proses penyusunan DPA oleh masing-masing SKPD di Kabupaten Lamongan, DPA
disusun dengan rincian mengenai sasaran yang hendak dicapai, kegiatan untuk mencapai fungsi
anggaran. Setelah adanya pelaksanaan APBD kemudian terdapat proses perubahan APBD untuk
memaksimalkan sisa lebih tahun anggaran (SiLPA). Menurut Anggraini (2010, h.258)
perubahan APBD dimungkinkan jika terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA,
terdapat keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar
kegiatan dan antar jenis belanja. Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan saat ini sudah cukup tertib
dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah seiring dengan adanya penerapan sistem aplikasi
keuangan dan akuntansi.
c. Pelaporan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
Pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan daerah merupakan hal yang wajib dilakukan
sebagai pertanggungjawaban atas terlaksananya pengelolaan keuangan daerah. Suhadak (2007, h.13)
mengatakan jika tahap pelaksanaan didukung dengan penggunaan sistem akuntansi dan sistem
pengendalian manajemen baik, diharapkan tahap pelaporan dan pertanggungjawaban tidak akan menemui
banyak masalah. Sedangkan Mardiasmo (2002, h.115) menjelaskan bahwa untuk menghasilkan laporan
pertanggungjawaban pemerintah daerah (termasuk laporan keuangan) yang baik, maka diperlukan sistem
informasi akuntansi, sistem pengendalian manajemen dan sistem informasi keuangan daerah.
SEKIAN
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai