Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dari rumusan Pasal 18 UUD 1945 bahwa negara RI adalah negara kesatuan
dengan sistem desentralistik. Desentralistik merupakan salah satu sendi susunan
organisasi yang diterima dan disepakati oleh para pembentuk Negara Republik
Indonesia. Sistem desentralistik membawa konsekuensi adanya urusan-urusan
pemerintahan yang harus didelegasikan kepada suatu pemerintahan yang lebih kecil
atau urusan Pemerintah Pusat dilimpahkan ke Daerah. Dalam sistem negara kesatuan
seperti Negara Kesatuan Republik Indonesia ditemukan adanya dua cara yang dapat
menghubungkan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Cara pertama disebut
sentralisasi, yang mana segala urusan, fungsi, dan wewenang penyelenggaraan
pemerintahan ada pada Pemerintah Pusat yang pelaksanaannya dilakukan secara
dekonsentrasi. Cara kedua dikenal sebagai desentralisasi, di mana urusan, tugas, dan
wewenang pelaksanaan pemerintah diserahkan seluas-luasnya kepada Daerah. Catatan
sejarah, hubungan antara pusat dan daerah sangat dipengaruhi oleh adanya tarik
menarik antara kepentingan pusat yang cenderung sentralistik dan tuntutan daerah
yang menghendaki desentralistik. Adanya keadaan tersebut menimbulkan
ketidakserasian hubungan antara pusat dan daerah. Berdasarkan ketentuan Pasal 18A
UUD 1945 hasil amandemen kedua Tahun 2000 secara garis besar hubungan antara
pusat dan daerah, baik yang menyangkut hubungan kewenangan maupun hubungan
keuangan dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara adil, selaras, dan
memperhatikan kekhususan dan kebergaman daerah serta harus diatur dengan
undang-undang. Hubungan keuangan antara pusat dan daerah adalah proses
pendistribusian hak dan kewajiban antara satuan pemerintah pusat dan daerah yang
berhubungan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber keuangan dalam
rangka melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan kewenang yang
dimiliki oleh masing-masing satuan pemerintahan tersebut. Oleh karena itu persoalan
hubungan keuangan antara pusat dan daerah tidak hanya sekedar berkaitan dengan
masalah berapa prosentase yang menjadi bagian pusat maupun daerah, serta bukan
sekedar persoalan angka-angka, melainkan yang paling fundamental adalah mengenai
apa saja yang menjadi kewenangan pusat dalam melaksanakan tanggung jawab
pemerintahan, dan apa yang menjadi tanggung jawab daerah yang harus dilaksanakan

1
dalam mengatur dan mengurus kepentingan daerah. Dalam hubungan pemerintah
pusat dan daerah juga digunakan pula konsep demokrasi (kedaulatan rakyat). Prinsip
demokrasi tidak boleh disederhanakan hanya berkaitan dengan pengambilan
keputusan dan penyelenggraan pemerintahan yang melibatkan peran serta rakyat atau
masyarakat. Demokrasi juga tidak sekedar berbicara mengenai pembagian dan
pemisahan kekuasaan atau kewenangan, baik antar lembaga Negara di tingkat pusat,
maupun antara pusat dan daerah, melainkan juga hal yang paling penting untuk
diperhatikan yakni unsur-unsur dari kekuasaan, bahan baku pengambilan keputusan
agar keputusan yang diambil merupakan cerminan kebutuhan rakyat dan pola
hubungan antara pengusaha dan rakyat. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas
secara mendalam mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja asas yang menjadi dasar penyelenggara pemerintah daerah?

2. Bagaimana hubungan antara pemerintah pusat dan daerah?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui apa saja asas yang menjadi dasar penyelenggara


pemerintah daerah.

2. Untuk mengetahui hubungan antara pemerintah pusat dan daerah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

Dari rumusan Pasal 18 UUD 1945 bahwa negara RI adalah negara kesatuan
dengan sistem desentralistik. Desentralistik merupakan salah satu sendi sususnan
organisasi yang diterima dan disepakati oleh para pembentuk Negara Republik
Indinesia. Sistem desentralistik membawa konsekuensi aanya urusan-urusan
pemerintahan yang harus didelegasikan kepada suatu pemerintahan yang lebih kecil
atau urusan Pemerintah Pusat dilimpahkan ke Daerah.
Dalam sistem negara kesatuan seperti Negara Kesatuan Republik Indonesia
ditemukan adanya dua cara yang dapat menghubungkan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. Cara pertama disebut sentralisasi, yang mana segala urusan, fungsi, dan
wewenag penyelenggaraan pemerintahan ada pada Pemerintah Pusat yang
pelaksanaannya dilakukan secara dekonsentrasi. Cara kedua dikenal sebagai
desentralisasi, di mana urusan, tugas, dan wewenang pelaksanaan pemerintah
diserahkan seluas-luasnya kepada Daerah.
Terdapat tiga faktor yang menjadi dasar pembagian fungsi, urusan, tugas, dan
wewenang antara Pusat dan Daerah yaitu:
1. Fungsi yang bersifat skala nasional dan berkaitan dengan eksistensi negara
sebagai kesatuan politik diserahkan kepada Pemerintah Pusat.
2. Fungsi yang menyangkut pelayanan masyarakat yang perlu disediakan secara
seragam atau standar untuk seluruh daerah. Fungsi pelayanan ini lebih sesuai
untuk dikelola oleh pemerintah pusat mengingat lebih ekonomis apabila
dusahakan di dalam skala besar.
3. Fungsi pelayanan yang bersifat lokal, fungsi ini melibatkan masyarakat luas
dan tidak memerlukan tingkat pelayanan yang standar.

Catatan sejarah, hubungan antara pusat dan daerah sangat dipengaruhi oleh
adanya tarik menarik antara kepentingan pusat yang cenderung sentralistik dan
tuntutan daerah yang menghendaki desentralistik. Adanya keadaan tersebut
menimbulkan ketidakserasian hubungan antara pusat dan daerah. Menurut Bagir
Manan, kesulitan menciptakan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah tidak
semata-mata disebabkan kepentingan yang berbeda antara pusat dan daerah, tetapi
juga terjadi karena hal-hal:

3
1. Lingkungan pusat mencakup semua wilayah negara. Di pihak lain wilayah
negara dibagi ke dalam daerah-daerah pemerintahan lebih rendah.
2. Pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab antara pusat dan daerah
biasanya diatur dalam berbagai kaidah hukum khususnya peraturan
perundang-undangan.
3. Pelaksanaan konsepsi negara kesejahteraan membawa perubahan pada ruang
lingkup isi wewenang, tugas, dan tanggung jawab pemerintah, baik kuantitatif
maupun kualitatif.

Dalam Pasal 18A UUD 1945, hasil amandemen kedua Tahun 2000 menentukan:
1. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
propinsi, kabupaten, dan kota, atau propinsi dan kabupaten dan atau kota,
diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan
keberagaman daerah.
2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam
lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Berdasarkan ketentuan tersebut, secara garis besar hubungan antara pusat dan
daerah, baik yang menyangkutbhubungan kewenangan maupun hubungan keuangan
dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara adil, selaras, dan memperhatikan
kekhususan dan kebergaman daerah serta harus diaur dengan undang-undang.
Upaya formal telah dilakukan untuk mengatur hubungan keuangan antara pusat
dan daerah jauh sebelum UUD 1945 diamandemen. Hal ini dapat dilihat dalam UU
No. 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-
daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri dan beberapa Ketetapan
(Tap) MPR yang mengatur tentang GBHN, antara lain Tap. MPR No. IV/1973, Tap.
MPR No. III/1978, Tap. MPR No. IV/1983 dan Tap MPR No. II/1988. secara umum
keempat Tap MPR tersebut menginginkan adanya hubungan yang serasi antara pusat
dan daerah.
Upaya pengaturan mengenai hubungan antara pusat dan daerah, khususnya
hubungan keuangan, pernah diatur dalam UU No. 32 Tahun 1956. Dalam tambahan
lembaran negara Nomor 1442yang merupakan memori penjelasan UU tersebut dalam
angka (6) dinyatakan bahwa tujuan perimbangan keuangan antara negara dan daerah-
daerah meliputi:

4
1. Memberikan ketentuan sekedar menjamin keuangan daerah.
2. Mendorong ke arah penyehatan rumah tangga daerah.
3. Mendorong daerah untuk mengiventarisasi sumber-sumber pendapatan daerah
dan mengadakan sumber-sumber baru.
4. Memupuk rasa tanggung jawab daerah dalam menyelenggarakan rumah
tangga daerah.
5. Supaya daerah lebih leluasa menjalankan kebijaksanaan keuangan untuk
melakukan tugasnya.
Berdasrkan memori dalam penjelasan tersebut, menunjukkan adanya komitmen
pusat yag akan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengusahakan
optimalisasi sumber-sumber pendapatan daerah yang ada serta mempergunakannya
dalam rangka kemandirian daerah dengan penuh rasa tanggung jawab serta
meningkatkan kemampuan keuangan daerah.
Namun demikian, ternyata semangat kemandirian daerah yang dituangkan dalam
penjelasan UU No. 32 Tahun 1956 memiliki beberapa kelemahan yang justru akan
menghambat daerah dalam melepaskan ketergantungannya kepada pusat, khususnya
dalam bidang pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Berdasarkan Pasal
2 UU No. 32 Tahun 1956, sumber-sumber keuangan daerah adalah sebagai berikut:
1. Pendapatan asli daerah (PAD) yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah,
dan hasil perusahaan daerah.
2. Sebagian hasil pemungutan pajak negara.
3. Ganjaran, subsidi, dan bantuan yang diberikan kepada daerah.
Pasal 2 UU No. 32 Tahun 1956 menunjukkan gejala yang sentralistik, disebabkan
penyerahan objek-objek PAD yang potensial yang merupakan sumber pendapatan
yang dapat diandalkan daerah tidak dilaksanakan sepenuhnya oleh pusat. Pusat masih
sangat dominan untuk menguasasi sumber-sumber tersebut, sehingga kemungkinan
daerah untuk dapat mebiayai daerahnya mengalami kesulitan.
Ketidak seriusan pusat untuk mengusahakan kemandirian daerah, khususnya yang
berkaitan dengan keuangan dan pembiayaan daerah, tercermin dari ketentuan Pasal 3
UU No. 32 Tahun 1956 yang menentukan objek-objek pajak negara yang diserahkan
kepada daerah yang secara eonomis tidak menjanjikan seperti pajak verponding, pajak
verponding Indonesia, pajak rumah tangga, pajak kendaraan bermotor, pajak jalan,
pajak potong hewan, pajak kopra, dan pajak pembangunan I.

5
Kelemahan lain dari UU No. 32 Tahun 1956, dapat disimpulkan dari rumusan
Pasal 6 yang mencerminkan mekanisme yang berbelit-belit dalam membagi perolehan
hasil pungutan pajak negara yang diserahkan kepada daerah. Oleh karena bagian
penerimaan pusat yang diserahkan kepada daerah dikumpulkan terlebih dahulu dan
kemudia dibagikan pada daerah yang besar kecilnyya penerimaan daerah sangat
dipengaruhi oleh beberapa fakto:
1. Luas daerah;
2. Jumlah penduduk
3. Potensi perekonomian;
4. Tingkat kecerdasan rakyat;
5. Tingkat kenahalan;
6. Panjangnya jalan-jalan yang dirus daerah;
7. Hal apakah daerah itu seluruhnya atau sebagian terdiri dari pulau-pulau.
Beberapa kelemahan UU No. 32 Tahun 1956 juag dikemukakan oleh J. Wayong,
antara lain sebagai berikut:
1. UU ini tidak dapat menjamin keuangan dan kesanggupan daerah yang sebesar-
besarnya untuk membiayai kegiatan rutinya. Ini dapat dilihat dalam kenyataan
bahwa pendapat daerah yang berasal dari sektor pajak, retribusi, dan
perusahaan daerah masih tergolong kecil dibandingkan dengan besarnya
subsidi dari pemerintah.
2. UU ini dianggap kurang praktis karena cara yang digunakan dalam
menetapkan perimbangan keuangan menempuh cara yang berbelit-belit.
3. UU ini kurang memberikan kebebasan kepada daerah dalam memungut pajak
yang nyata-nyata bersifat kedaerahan dan sesuai keadaan daerah masing-
masing.
4. UU ini kurang memberikan dorongan terhadap pembangunan dan kemajuan
daerah.
Dalam implementasi UU No. 32 Tahun 1956 juga menghadapi banyak persoalan-
persoalan, seperti yang dikemukakan oleh S. H. Sarungdhajang antara lain sebagai
berikut:
1. Campur tangan pemerintah pusat ang terlalu banyak terhadap berbagai sisi
kegiatan pemerintahan daerah, terutama dalam kaitannya dengan keuangan.
Hampir semua alokasi pembelanjaan pemerintah daerah telah ditentukan
pemerintah pusat.

6
2. Cara membiayai proyek dan layanan daerah yang sangat rumit. Dalam sistem
seperti ini sangat sulit untuk memprediksikan berapa banyak dana yang
diperlukan suatu unit organisasi di daerah, untuk menyelenggarakan urusan
yang ada.
3. Karena subsidi daerah otonom (SDO) pegawai bagi pemerintah daerah adalah
sumber daya gratis, maka memungkinkan untuk mengankat pegawai dalam
jumlah yang sangat banyak tanpa memperhitungkan kebutuhan atau biaya.
Untuk menghindari kevakuman karena berlakunya UU No. 32 Tahun 1956
kurang efektif, kemudian dikeluarkan beberapa kebijaksanaan sebagai berikut:
1. Penyerahan kepada daerah 3 (tiga) objek pajak negara yang semula menjadi
kewenangan pusat, yaitu Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Radio,
dan Pajak Bangsa Asing (UU No. 10 Tahun 1968).
2. Subsidi perimbangan keuangan daerah otonom diberikan sebagai pengganti
bagi hasil pajak.
3. Penggantian ganjaran, bantuan , dan subsidi dengan program bantuan
instruktur presiden (Inpres).
4. Bagi hasil penerimaan bukan negara pajak berdasarkan prinsip by origin.
5. Pinjaman kepada daerah.
Keharusan adanya pengaturan mengenai hubungan keuangan anatara pusat dan
daerah, baru diamanatkan secara tegas dalam UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan di Daerah. Pasal 57 mengamanatkan “Perimbangan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah diatur dengan undang-undang”. Namun sejak
diundangkannya UU No. 5 Tahun 1974 pada tanggal 23 Juli Tahun 1974, sampai UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU tentang perimbangan keuangan
tidak pernah dibuat.
Diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999, maka tuntutan dikeluarkannya
pengaturan mengenai hubungan keuangan antara pusat dan daerah secara tegas diatur
dalam Pasal 79 dan Pasal 80. Pasal 79 UU No. 22 Tahun 1999 menentukan bahwa:
1. Pendapatan asli daerah, yaitu:
a. Hasil pajak daerah;
b. Hasil retribusi daerah;
c. Hasil perusahaan milik daerah, hasilpengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan; dan
d. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

7
2. Dana perimbangan;
3. Pinjaman daerah; dan
4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Untuk mengatur mengenai perimbangan keuangan, maka diundangkanlah UU
No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daera. Maksud
dan tujuan diundangkannya UU No. 25 Tahun 1999, yakni:
1. Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah.
2. Menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, nasional,
transparan, partisipatif, bertanggung jawab, dan pasti.
3. Mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah yang mencerminkan pembagian tugas, kewenangan dan tanggung
jawab yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah, mendukung pelksanaan
otonomi daerah dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
transparan, memperhatikan partisipasi masyarakat dan pertanggung jawaban
terhadap masyarakat, mengurangi kesenjangan antar daerah dalam
kemampuannya, untuk membiayai tanggung jawab sumber keuangan daerah
yang bersal dari wilayah daerah yang bersangkutan.
4. Menjadi acuan dalam alokasi penerimaan Negara bagi daerah.
5. Mempertegas sistem pertanggung jawaban keuangan oleh pemerintah daerah.
6. Menjadi pedoman pokok tentang keuangan daerah.
Dalam perkembangannya UU No. 25 Tahun 1999 diganti dengan UU No. 33
Tahun 2004, yang disebabkan oleh perkembangan penyelenggaraan kenegaraan
Indonesia, terlebih dengan selesainya proses amandemen UUD 1945 pada tahun 2000.
Dengan amandemen tersebut maka secara garis besar hubungan antara pusat dan
daerah telah terakomodasi di dalamnya, dan diharapkan dalam Negara kesatuan
dengan sistem desentralistik ini hubungan antara pusat dan daerah yang meliputi
wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan
kota atau, antara provinsi dan kabupaten dan kota harus diwujudkan dengan
memperhatikan kekhususan yang kebergaman daera.

Hubungan keuangan antara pusat dan daerah adalah proses pendistribusian hak
dan kewajiban antara satuan pemerintah pusat dan daerah yang berhubungan dengan
pemanfaatan dan pengelolaan sumber-sumber keuangan dalam rangka melaksanakan
penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan kewenang yang dimiliki oleh masing-

8
masing satuan pemerintahan tersebut. Oleh karena itu persoalan hubungan keuangan
antara pusat dan daerah tidak hanya sekedar berkaitan dengan masalah berapa
prosentase yang menjadi bagian pusat maupun daerah, serta b ukan sekedar persoalan
angka-angka, melainkan yang paling fundamental adalah mengenai apa saja yang
menjadi kewenangan pusat dalam melaksanakan tanggung jawab pemerintahan, dan
apa yang menjadi tanggung jawab daerah yang harus dilaksanakan dalam mengatur
dan mengurus kepentingan daerah.
Dalam hubungan pemerintah pusat dan daerah juga digunekan pula konsep
demokrasi (kedaulatan rakyat). Prinsip demokrasi tidak boleh disederhanakan hanya
berkaitan dengan pengambilan keputusan dan penyelenggraan pemerintahan yang
melibatkan peran serta rakyat atau masyarakat. Demokrasi juga tidak sekedar
berbicara mengenai pembagian dan pemisahan kekuasaan atau kewenangan, baik
antar lembaga Negara di tingkat pusat, maupun antara pusat dan daerah, melainkan
juga hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah.
1. Unsur-unsur dari kekuasaan. Apakah sudah mencerminkan keadilan. Dalam
konteks hubungan pusat dan daerah, yang penting dilihat adalah apakah unsur
daerah sudah cukup terwakili di pusat pengambilan keputusan atau belum.
2. Bahan baku pengambilan keputusan. Apakah elit politik memiliki mandate
penuh untuk mengembangkan bahan baku pengambilan keputusan, apakah
masih tersedia saluran, sehingga rakyat masih tetap memberikan pandangan
dan menyalurkan aspirasinya agar keputusan yang diambil merupakan
cerminan kebutuhan rakyat.
3. Pola hubungan antara pengusaha dan rakyat.
Bagir Manan menyatakan dalam rangka mewujudkan pemerintahan demokrasi
(kedaulatan rakyat), desentralisasi merupakan cara terbaik, sebab desentralisasi
memperluas kesempatan bagi rakyat baik kualitatif maupun kuantitatif turut serta
memikul tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan dibandingkan kalau hanya
terbatas pada penyelenggaraan pada tingkat pusat saja.
Terdapat tiga faktor yang menunjukkan adanya keterkaitan antara demokrasi dengan
desentralisasi, yaitu:
1. Sebagai upaya untuk mewujudkan prinsip kebebasan.
2. Sebagi upaya untuk menumbuhkan suatu kebiasaan agar rakyat memutuskan
sendiri berbagai amcam kepentingan yang bersangkutan langsung dengan
mereka.

9
3. Sebagai upaya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap
masyarakat yang mempu yai berbagai tuntutan yang berbeda.
Hal ini dapat dikatakan bahwa konsep demokrasi sangat berkaitan erat dengan
pembahasan masalah pembentukan daerah otonom sebagai konsekuensi dari ajaran
desentralisasi. Persoalan hubungan antara pusat dan daerah merupakan konsekuensi
adanya pembagian kekuasaan. Pembagian kekuasaan yang dimaksud di sini adalah
pembagian kekuasaan secara vertical yang melahirkan adanya pemerintah pusat dan
pemerintah daerah.
Menurut Carl J. Frederich pembagian kekuasaan secara vertical dan disebut juga
pembagian kekuasaan secara territorial (territorial division of power) adalah
pembagian kekuasaan menurut tingkatannya dan dalam hal ini yang diamsud ialah
pembagian kekuasaan antara beberapa tingkatan pemerintaha. Dalam konteks Negara
kesatuan RI, territorial divison of power ini diwujudkn dengan adanya satuan
pemerintahan yang disebut dengan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Pemerintah pusat yang dimaksud adalah perangkat Negara kesatuan RI yang terdiri
dari presiden dan para menteri, sedangkan pemerintah daerah adalah kepala daerah
beserta perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah.

Menurut Kevanagh terdapat dua model hubungan antara pusat dan daerah, yaitu:
1. Model Pelaksana. Dalam model ini, pemerintah daerah semata-mata dianggap
sebagai pelaksana oleh pemerintah pusat.
2. Model Mitra. Model ini mengatur bahwa pemerintah daerah memiliki suatu
tingkat kebebasan tertentu untuk melakukan pemilihan di daerahnya.
Otonomi yang seluas-luasnya seperti yang terdapat pada Pasal 18 ayat (5) UUD
1945 tidak menjadikan daerah seperti Negara dalam Negara. Hal ini dikarenakan
pusat masih tetap mempunyai peran dan fungsi untuk mengawasi jalannya
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kewajiban pemerintah pusat ialah
bertanggung jawab secara nasional secara keseluruhan, sedangkan pemerintah daerah
mempunyai kewajiban untuk memperhatikan ketentuan dari pusat agar tidak
terjadiperbenturan-perbenturan dan agar mengetahui celah-celah untuk mengambil
inisiatif dalam pemenuhan kebutuhan setempat yang tidak atau belum dikerjakan oleh
pemerintah ousat. Pembatasan atas keleluasaan daerah dalam mengatur dan mengurus
urusan rumah tangganya dengan beberapa kewajiban tersebut, merupakan
konsekuensi logis dianutnya prinsip negara hukum dalam UUD 1945. Dalam suatu

10
negara hukum, terdapat pembatasan-pembatasan kekuasaan ngara terhadap
perseorangan, negara tidak maha kuasa. Tindakan-tindakan Negara dibatasi oleg
hukum.
Menurut paham klasik Negara hukum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Ada UUD sebagai peraturan tertulis yang mengatur hubungan antara
pemerintah dan warganya;
2. Ada pembagian kekuasaan;
3. Ada pemancaran kekuasaan Negara/pemerintah;
4. Ada jaminan terhadap HAM;
5. Ada jaminan persamaan di muka hukum dan jaminan perlindungan hukum;
6. Ada asas legalitas.
Kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
daerah diwujudkan dengan adanya kewenangan daerah untuk membuat regulasi
(Perda).

Hubungan keuangan antara pusat dan daerah sangat tergantung bagaimana


eksistensi hubungan pusat dan daerah , dan apada akhirnya hubungan ini tergantung
pada muatan otonomi daerah yang banyak dipengaruhi oleh sistem rumah tangga
daerah yang dianut. Sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan
dengan cara-cara membagi wewenang, tugas dan tanggung jawab mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Dalam kepustakaan dikenal 3
(tiga) sistem rumah tangga daerah yaitu:
1. Sistem rumah tangga formal
Merupakan suatu tatanan pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab
antara pusat dan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
tidak ditetapkan secara rinci. Oleh karenanya urusan-urusan daerah tidak
ditentukan secara limitative dai dalam peraturan perundang-undangan.
2. Sistem rumah tangga materiil
Pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab antara pusat dan daerah
ditentukan secara pasti atau limitative di dalam peraturan perundangan yang
menjadi dasar pementukan daerah. Otonomi daerah menurut site mini sifatnya
terbatas karena daerah otonom tidak dapat melakukan sesuatu yang tidak
disebut dalam UU pembentuknya.

11
3. Sistem rumah tangga riil
Merupakan jalan tengah antara sitem materiil dan formil. Bagir Manan
menyebut sistem ini sebagai otonomi nyata atau otonomi riil, karena isi rumah
tangga daerah didasarkan pada keadaan dan faktor-faktor yang nyata.

Dalam melihat keuangan antara ousat dan daerah , perlu dikaji pula kedudukan
dan peranan pemerintah daerah. Terdapat 2 (dua) pandangan mengenai kedudukan
dan peranan tersebut meliputi:
1. Peranan pemerintah daerah sebagai ungkapan dari kemauan dan identitas
masyarakat setempat.
Hal-hal yang dapat mendukung peranan tersebut meliputi:
a. Pemerintah daerah diberi kekuasaan untuk menghimpun sendiri pajak yang
menghasilkan pemasukan dan untuk menetukan sendiri tariff pajak;
b. Bagi hasil penerimaan pajak nasional antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah; dan
c. Bantuan umum dari pemerintah pusat tanpa pengendalian oleh pemerintah
pusat atas penggunaannya.
2. Pemerintah daerah pada dasarnya adalah lembaga untuk menyelenggarakan
layanan-layanan tertentu untuk daerah dan sebagai alat yang tepat untuk
menebus biaya meberikan layanan yang semata-mata bermanfaat untuk
daerah. Hal-hal yang dapat mendukung pandangan ini mencakup:
a. Wewenang untuk mengenakan pajak atau pungutan tetapi tanpa hak
menetapkan tariff pajak atau pungutan;
b. Bantuan untuk layanan atau program tertentu; dan
c. Bantuan untuk menyamakan jumlah atau mengimbangi kekurangan,
berdasarkan perkiraan yang dibuat di pusat dan bukan berdasarkan
perkiraan kebutuhan setempat, dan berkaitan dengan pengendalian
anggaran.

Dalam perspektif desentralisasi, peran pemerintah daerah otonom dalam


menetapkan anggaran daerah adalah meliputi:
1. Menetapkan prioritas anggaran berdasarkan kebutuhan penduduknya, bukan
berdasar perintah penyeragaman dari pemerintah nasional;

12
2. Mengatur keungan daerah termasuk pengaturan tingkat dan level pajak dan
pengeluaran yang memenuhi kebutuhan public di wikayahnya;
3. Menyediakan pelayanan dan servis pajak sebagaimana yang diinginkan oleh
public dan kepentingan daerah masing-masing;
4. Mempertimbangkan dengan seksama keuntungan sosial dari setiap program
dan rencana pembangunan, bukan hanya kepentingan konstituen tertentu;
5. Menggunakan daya dan kekuatan secara independen dalam mewujudkan dan
menstimulasikan konsep membangun ekonomi;
6. Menfokuskan agenda dan penetapan program ekonomi dengan anggaran yang
mendukung kestabilan pertumbuhan dan penyediaan lapangan kerja di daerah.
7. Menentukan batas kenormalan pengeluaran sesuai dengan kebutuhan daerah;
8. Mencari dan menciptakan sumber-sumber pendapatan sehingga mengurangi
ketergantungan pada subsidi nasional.

Secara teoritik terdapat 4 pendekatan yang dapat dipergunakan dalam


membicarakan hubungan keuangan antara pusat dan daerah, yaitu:
1. Pendekatan kapitalis
Dalam pendekatan ini pemerintah daerah memperoleh modal permulaan yang
diharapkan untuk diinvestasikan menurut cara-cara yang dapat menghasilkan
pendapatan untuk menutup pengeluaran rutin.
2. Pendekatan sumber pendapatan
Model ini memberikan kesempatan keuntungan kepada daerah untuk secara
mandiri mengatur, mengurus, dan menggali serta memanfaatkan sumber-
sumber pendapatan daerah.
3. Pendekatan belanja/pengeluaran
Pemerintah pusat memberikan sejumlah dana pinjaman, bantuan atau bagi
hasil pungutan kepada pemerintah daerah untuk membiayai pengeluaran
tertentu. Pendekatan ini memungkinkan adanya suatu mekanisme agar
sejumlah uang cukup tersedia bagi pemerintah daerah untuk memberikan
pelayanan sesuai dengan target nasional.
4. Pendekatan komprehensif
Didasarkan pada pemberian wewenang kepada daerah untuk mengelola
sumber-sumber pendapatan sendiri guna membiayai pengeluaran-pengeluaran

13
daerah dan memberikan tanggung jawab kepada daerah dengan
mempertimbangkan tingkat kemampuan dan tingkat biaya yang ada.
Berdasarkan keempat pendekatan di atas, maka hubungan keuangan antara pusat
dan daerah harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Suatu pembagian kekuasaan yang rasional di antara tingkat-tingkat pemerintah
dalam memungut dan membelanjakan sumber dana pemerintah;
2. Suatu bagian yang memadai dari sumber-sumber dana secara keseluruhan
untuk membiayai fungsi, penyediaan pelayanan dan pembangunan yang
diselenggarakan oleh pemerintah daerah;
3. Pembagian yang adil di antara daerah-daerah atas pengeluaran pemerintah,
atau sekurang-kurangnya ada perkembangan yang memang diusahakan kea
rah itu;
4. Suatu upaya perpajakan.

Menurut Bagir Manan, pemecahan masalah keuangan antara pusat dan


daerahhendaknya ditujukan kepada upaya agar bantuan-bantuan pusat tidak akan
begitu banyak mempengaruhi kemnadirian daerah untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri. Dalam hal ini, bantuan pusat dikategorikan menjadi:
1. Bantuan yang hanya ditentukan jumlahnya. Peruntukan dan tata cara
penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing daerah.
2. Bantuan yang ditentukan peruntukannya secara umum. Peruntukan secara
khusus dan cara-cara pemanfaatannya diserahkan sepenuhnya kepada daerah.
3. Bantuan yang ditentukan secara rinci peruntukannya dan tata cara
pemanfatannya. Tidak ada kesempatan untuk menentukan sendiri peruntukan
maupun tata cara pemanfaatannya.

2.1 Asas-asas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah


Dalam tatanan teoriti dikenal adanya pembagian kekuasaan secara horizontal dan
vertical. Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah suatu pembagian kekuasaan
yang kekuasaan dalam suatu Negara dibagi dan diserahkan kepada tiga badan yang
mempunyai kedudukan yang sejajar, yakni kekuasaan eksekutif yang diserahkan
kepada pemerintah, kekuasaan legislative kepada parlemen, dan kekuasaan yudikatif
kepada badan peradilan. Sedangkan pembagian kekuasaan secara vertical, yaitu suatu
pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan satuan pemerintah lainnya

14
yang lebih rendah. Beberapa sebab dianutnya pembagian kekuasaan secara vertical
meliputi:
a. Kemampuan pemerintah berikut perangkatnya yang ada di daerah terbatas;
b. Wilayah Negara sangat luas, terdiri lebih dari 3000 pulau-pulau, besar dan
kecil;
c. Pemerintah tidak mungkin mengetahui seluruh dan segala macam kepentingan
dan kebutuhan rakyat yang terbesar di seluruh pelosok neegara;
d. Hanya rakyat setempatlah yang mengetahui kebutuhan, kepentingan, dan
masalah yang dihadapi dan hanya mereka yang mengetahui bagaimana cara
yang sabaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan tersebut;
e. Dilihat dari segi hukum, Pasal 18 UUD 1945 menjamin adanya daerah dan
wilayah;
f. Adanya sejumlah urusan pemerintah yang bersifat kedaerahan dan memang
lebih berdayaguan jika dilaksanakn oleh daerah;
g. Daerah mempunyai kemampuan dan perangkat yang cukup memadai untuk
menyelenggarkan urusan rumah tangganya, maka desentralisasi dilaksanakan
dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan tersebut, pemerintah berpedoman kepada
beberapa asas, yaitu:
a. Asas keahlian
Dilihat pada susunan pemerintah pusat. Semua soal diolah oleh ahli-ahli
anatara lain dalam sususan kementerian-kementerian. Yang memegang
pimpinan kementerian-kementerian itu seharusnya ahli-ahli urusan-urusan
yang menjadi kompetensinya.
b. Asas kedaerahan
Dengan bertambah banyaknya kepentingan-kepentingan yang harus
diselenggarakan oleh pemerintah pusat karena bertambah majunya
masyarakat, pemerintah tidak dapat mengurus semua kepentingan-kepentingan
itu dengan baik tanpa berpegang pada asas kedaerahan dalam melakukan
pemerintahan.
Di dalam Pasal 18 UUD 1945 hasil amandemen, desentralisasi dan dekonsentrasi
bukanlah sebgai asas penyelenggaraan pemerintah. Hal ini didasarkan bahwa baik
desentralisasi maupun dekonsentrasi merupakan pemencara kekuasaan, selain itu
desentralisasi juga merupakan suatu proses penyerahan kekuasaan/wewenang dan

15
dekonsentrasi merupakan cara melaksanakan sesuatu. Memperhatikan hal tersebut,
dapat diketahui bahwa asas penyelenggaraan pemerintah daerah meliputi asas
otonomi dan asas tugas pembantuan.

a. Pengertian Desentralisasi dan Dekonsentrasi


Secara etimologis istilah desentralisasi beral dari bahasa Latin yang berarti de =
lepas dan centrum = pusat, dengan demikian berarti melepaskan dari pusat. Dari sudut
ketatanegaraan yang dimaksud dengan desentralisasi adalah pelimpahan kekuasaan
pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri.
Menurut Wesber desentralisasi berarti membagi dan mendistribusikan, misalnya
adiministrasi pemerintahan, mengeluarkan dari pusat atau tempat konsentrasi.
Sedangkan menurut Rondinelli dan Cheema desentralisasi adalah penyerahan
perencanaan, pembuatan keputusan atau kewenangan administrative dari pemerintah
pusat kepada organisasi-organisasi tingkat bawah, kesatuan-kesatuan administrasi
daerah, semi otonomi dan organisasi.
Dalam implementasinya desentralisasi adalah pembentukan badan-badan yang
terpisah dari pusat, badan-badan perwakilan lokal memiliki kekuasaan formal untuk
memutuskan tentang berbagai isu publik. Basis politik badan-badan lokal dan bukan
nasional. Wilayah kewenangannya dibatasi dan diikuti hukum nasional. Kewenangan
dan pembatasannya hanya bisa diubah oleh legislasi baru. Badan-badan tersebut
memiliki sumber-sumber pembiayaan dan digunakan untuk keperluan yang dirancang
sendiri.
Desentralisasi menggambarkan pengalihan tugas operasional ke pemerintahan
lokal dan menunjukkan pendelgasian atau devolusi kewenangan pembuatan keputusan
kepada pemerintah yang tingkatannya lebih rendah. Dengan demikian, desentralisasi
merupakan wahana dalam rangka memampukan masayarakat daerah atau lokal.
Selain itu, jika dilihat dari latar belakang sejarah kemunculannya bermuara pada
peningkatan kualitas pelayanan publik. Ide desntralisasi muncul sebagai dampak
adanya tuntutan akan perlunya percepatan pelayanan yang harus dilakukan oleh
pemerintah kepada masyarakat (sebagai konstituennya). Untuk menjawab tuntutan ini,
maka selain menyerahkan pemberian layanan kepada lemnaga yang terdekat dengan
masyarakat yang secara hierarkis adalah penyerahan peran pemberian layanan publik
kepada lembaga pemerintah di bawahnya juga pengalihan peran pemberian layanan
publik dari pemerintah kepada swasta.

16
Dalam konteks UU No. 22 Tahun 1999 pengertian desntralisasi dirumuskan
dalam Pasal 1 huru (e) bahwa : :Desentralisasi adalah peneyrahan wewenang
pemerintahan dari Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia”. Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 ayat (7) UU
No. 32 Tahun 2004 “Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemeirntahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Berdasarkan
rumusan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa (1) desntralisasi baru terwujud
apabila terdapat “penyerahan” atau overdragen wewenang pemerintahan; (2)
pengakuan hanya ada satu bentuk desentralisasi yakni otonomi. Padahal otonomi
hanyalah salah satu bentuk dari desntralisasi disamping tugas pembantuan.
Dilihat dari aspek pemberian wewenang, maka desentralisasi akan memberikan
wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan atau menangani urusan-
urusan pemerintahan tertentu sebagai urusan rumah tangga sendiri. Desentralisasi
merupakan pelaksanaan dari konsep adanya pemerintahan yang bersifat otonom yaitu
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu yang berwenang
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi juga dimaksudkan untuk memperlancar roda pemerintahan,
mengingat bahwa Indonesia mempunyai wilayah yang terdiri dari beribu-ribu pulau
yang besar dan kecil, serta masyarakat yang pluralistik dari segi agama, budaya dan
ras atau suku serta aspek-aspek lainnya yang berbeda-beda bentuk dan coraknya,
sehingga Pemerintah Pusat tidak mungkin dapat menyelenggarakan pemerintahan
dengan baik, apabila segala sesuatunya diputuskan dan dilaksanakan sendiri. Karena
itu, kepada daerah-daerah diberikan wewenang mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pembangunan.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan desentralisasi
di Indonesia sebagai akibat dari (1) luasnya wilayah Indonesia; (2) ketidakmampuan
Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan semua urusan pemerintahan; (3) Keadaan
Indonesia yang pluralistik; (4) Untuk terciptanya daya guna dan hasil guna
pemerintahan dan pembangunan“. Jika ditinjau dari sudut penyelenggaraan
pemerintahan, desentralisasi, antara Iain bertujuan “meringankan” beban pekerjaan
Pusat. Dengan desentralisasi tugas dan pekerjaan dialihkan kepada Daerah. Pusat

17
dengan demikian dapat memusatkan perhatian pada hal-hal yang bersangkutan
dengan kepentingan nasional atau negara secara keseluruhan. Tujuan yang akan
diwujudkan dengan dianutnya konsep desentralisasi adalah agar tidak terjadi
penumpukan kekuasaan (concentration of power) pada satu pihak saja, yakni
pemerintah Pusat. Dan dengan desentralisasi diharapkan terjadi distribusi kekuasaan
(distribution of power) maupun transfer kekuasaan (transfer of power) dan terciptanya
pelayanan masyarakat (public services) yang efektif, efisien dan ekonomis serta
terwujudanya pemerintahan yang demokratis (democratic government) sebagai model
pemerintahan modern serta menghindari lahirnya pemerintahan sentralistik yang
sebenarnya sudah tidak populer.
Menurut Smith sebagaimana dikutip oleh Syarif Hidayat, dari sudut Pemerintah
Pusat paling tidak terdapat tiga nilai desentralisasi, yaitu untuk pendidikan politik,
latihan kepemimpinan, dan untuk menciptakan stabilitas politik. Sementara dari sisi
kepentingan Pemerintah Daerah nilai pertama dari desentralisasi adalah untuk
mewujudkan apa yang dinamakan political equality. Kedua terciptanya local
accountability dan yang ketiga adalah nilai local responsiveness. Dari sudut
Pemerintah Pusat desentralisasi mempunyai nilai sebagai pendidikan politik (political
education), hal ini dimaksudkan agar kepada daerah diharapkan dapat mengetahui
akan hak-hak dan kewajibannya dalam konteks hubungan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah. Oleh karena itu, pelaksanaan konsep desentralisasi
diharapkan dapat menciptakan suatu pola hubungan yang harmonis antara Pusat dan
Daerah dengan saling memperhatikan antara hak dan kewajiban masing-masing
satuan pemerintahan.
Adapun latihan kepemimpinan (trainning of leadership) sebagai nilai
desentralisasi yang lain dari sudut pandang Pemerintah Pusat dimaksudkan agar
dengan penyelenggaraan konsep desentralisasi, dapat menciptakan ketersediaan
pemimpin-pemimpin lokal yang baik yang dapat membawa kemajuan dan
kesejahteraan masyarakat daerah. Sedangkan terciptanya stabilitas yang merupakan
nilai ketiga dari desentralisasi dari sisi Pemerintah Pusat, dimaksudkan agar
pelaksanaan desentralisasi dapat meredam tuntutan-tuntutan pemisahan diri yang
mungkin timbul dari daerah sebagai akibat terlalu dominannya pemerintah Pusat atas
daerah. Political equality yang rnerupakan nilai desentralisasi bagi Pemerintah Daerah
dimaksudkan bahwa dengan desentralisasi diharap dapat terwujud suatu persamaan
politik antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, artinya bahwa dengan

18
pelaksanaan konsep desentralisasi diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi
masyarakat daerah untuk ikut serta terlibat dalam berbagai macam kegiatan yang
berkaitan dengan politik lokal. Nilai local accountability, diharapkan dengan
desentralisasi pemerintah daerah akan mampu memperhatikan hak-hak yang harus
dipenuhi dari masyarakat daerah. Tanggung jawab Pemerintah Daerah sebagai
pelayan masyarakat akan mudah diwujudkan. Dalam kaitan ini menurut Ruland, local
accountability cenderung berkaitan dengan pembangunan sosial dan ekonomi. Nilai
local responsiveness dari desentralisasi berangkat dari asumsi dasar bahwa
pemerintah daerah dianggap mengetahui lebih banyak tentang berbagai masalah yang
dihadapi oleh komunitasnya, maka melalui pelaksanaan desentralisasi diharapkan
akan menjadi jalan yang terbaik untuk mengatasi dan sekaligus meningkatkan
akselerasi pembangunan sosial dan ekonomi di daerah. Dengan perkataan lain
desentralisasi akan menciptakan tingkat kepekaan Pemerintah Daerah untuk merespon
segala tuntutan dan aspirasi masyarakat daerah dalam memperjuangkan
kepentingannya.
Perbedaan desentralisasi dan dekonsentrasi hanya terletak pada karakter atau sifat
dan mekanisme pelaksanaannya, pada desentralisasi pemencaran kekuasaan (transfer
of powers) adalah di bidang kenegaraan oleh karenanya bersifat “staatskundig”
sedangkan pada dekonsentrasi pemencaran kekuasaan (transfer of powers) adalah di
bidang kepegawaian atau administrasi, dan oleh karenanya bersifat “ambtelijke”.
Dilihat dari sudut ketatanegaraan, R.D.H. Koesoemahatmadja memberikan
batasan bahwa yang dimaksud dengan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang
dari alat perlengkapan negara tingkatan lebih atas kepada bawahannya guna
melancarkan pekerjaan di dalam melaksanakan tugas pemerintahan, misalnya
pelimpahan kekuasaan dari wewenang menteri kepada Gubernur, dari Gubernur
kepada Bupati dan seterusnya. Berdasarkan rumusan tersebut Gubernur mempunyai
kedudukan sebagai pejabat dan wakil pemerintah di Daerah, Gubernur di Samping
sebagai perangkat daerah otonom, ia juga berkedudukan sebagai aparat pusat di
daerah. Perbedaan rumusan dekonsentrasi tersebut dilatar belakangi oleh semangat
desentralisasi yang terdapat dalam UU No. 22 Tahun 1999, semangat desentralisasi
tersebut diwujudkan dengan pembatasan pelaksanaan “asas” dekonsentrasi hanya
pada Daerah Provinsi, sedangkan pelaksanaan desentralisasi secara utuh diletakan
pada daerah Kabupaten dan Kota.

19
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam dekonsentrasi terkandung
ciri-ciri sebagai berikut :

1. bentuk pemencaran adalah pelimpahan;

2. pemencaran terjadi kepada pejabat sendiri (perorangan);

3. yang dipencarkan (bukan urusan pemerintahan) tetapi wewenang untuk


melaksanakan sesuatu;

4. yang dilimpahkan tidak menjadi urusan rumah tangga sendiri.

Memperhatikan ciri-ciri tersebut dapat dikatakan bahwa dalam dekonsentrasi


kekuasaan dan wewenang urusan pemerintahan hakikatnya masih berada di tangan
Pemerintah Pusat. Hal ini dapat disimpulkan dari istilah “pelimpahan” yang
membedakan dengan istilah “penyerahan”, atau dengan rumusan lain dapat
disimpulkan, istilah “pelimpahan” wewenang mengandung arti bahwa urusan
pemerintahan yang dilimpahkan tersebut tetap menjadi tanggung jawab Pemerintah
Pusat, baik yang berhubungan dengan perencanaan, pelaksanaan maupun
pembiayaannya. Istilah “penyerahan” yang dipergunakan dalam desentralisasi sebagai
penyerahan wewenang pemerintahan, menunjukan bahwa wewenang pemerintahan
yang telah diserahkan kepada Daerah, sepenuhnya menjadi wewenang atau kekuasaan
pemerintah daerah, baik menyangkut, rencana, pelaksanaan maupun pembiayaannya.
Namun demikian ada beberapa ahli yang tidak membedakan penggunaan istilah
“pelimpahan” dan “penyerahan” bahkan ada yang menggunakan dengan istilah
“pemberian”, seperti Tresna, Irawan Soejito, maupun Joeniarto. Dengan demikian,
terdapat dua asumsi yang pertama dekonsentrasi hakikatnya sama dengan
desentralisasi, hal ini disebabkan keduanya mengandung “pemencaran” kekuasaan
tanpa memperhatikan hakikat yang dipencarkan dengan segala aspek yang
melingkupinya, seperti bentuk negara maupun administrasi negara. Kedua
dekonsentrasi hakikatnya merupakan subsistem desentralisasi, dengan demikian
desentralisasi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi, karena desentralisasi bersifat
kenegaraan sehingga penyelenggaraan desentralisasi merupakan bagian dari
organisasi negara dan menunjukan tatanan penyelenggaraan negara. Sedangkan
dekonsentrasi bersifat kepegawaian (ambtelijke) sehingga kehadiran dekonsentrasi
tidak dipengaruhi oleh corak negara, karena hakikatnya hanya merupakan upaya

20
dalam rangka melancarkan tugas-tugas pemerintah pusat di daerah, dan oleh
karenanya dekonsentrasi merupakan instrumen dari sistem pemerintahan yang
terpusat atau sentralistik. Hanya yang perlu diperhatikan berkaitan dengan
desentralisasi dan dekonsentrasi, adalah ciri-ciri atau indikator dari masing-masing.
Ciri-ciri atau indikator desentralisasi meliputi :

1) Bentuk pemencaran adalah penyerahan

2) Pemencaran terjadi kepada daerah (bukan perorangan);

3) Yang dipencarkan adalah urusan pemerintahan; dan

4) Urusan pemerintahan yang dipencarkan menjadi urusan pemerintah daerah;

Hubungan antara desentralisasi dengan sentralisasi dapat digambarkan sebagai berikut


:

1. sentralisasi dan desentralisasi merupakan pasangan yang tidak dapat


dipisahkan, saling berkaitan dan saling mempengaruhi;

2. sentralisasi dan desentralisasi merupakan dua ujung dari sepotong garis. Titik
yang bergeser leluasa pada garis yang ditarik antara kedua ujung
menunjukkan kadar sentralisasi atau desentralisasi. Bagaimanapun juga
ekstrimnya sentralisasi pada suatu organisasi, titik kadar akan berada tepat
pada salah satu ujung garis;

3. tidak ada sentralisasi tanpa desentralisasi. Bagaimanapun di dalam


sentralisasi akan selalu terdapat desentralisasi. Demikian juga sebaliknya;

4. makin luas sentralisasi, semakin sempit desentralisasi, dan makin luas


desentralisasi makin menyempit sentralisasi.

Beberapa kelebihan desentralisasi dapat dikemukakan sebagai berikut:

1) Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di Pusat Pemerintahan;

2) Dalam menghadapi masalah yang mendesak yang membutuhkan tindakan


yang cepat, Daerah tidak perlu menunggu instruksi lagi dari Pemerintah
Pusat;

21
3) Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan
dapat segera dilaksanakan;

4) Dalam sistem desentralisasi, dapat diadakan pembedaan (deferensiasi) dan


pengkhususan (spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu.
Khususnya desentralisasi teritorial, dapat lebih menyesuaikan diri kepada
kebutuhan/keperluan dan keadaan khusus Daerah;

5) Dengan adanya desentralisasi teritorial, daerah otonom dapat merupakan


semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan
pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh Negara, hal-hal yang
ternyata baik dapat diterapkan di seluruh negara, sedangkan yang kurang
baik, dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat
lebih mudah untuk ditiadakan;

6) Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dan Pemerintah Pusat;

7) Dari segi psikologis, dapat lebih memberikan kepuasan bagi Daerah-daerah


karena sifatnya yang lebih langsung;

Kelebihan lain dari desentralisasi dapat dilihat dari tujuan yang hendak dicapai, yaitu :

1. Mengurangi beban Pemerintah Pusat, dan campur tangan tentang masalah-


masalah kecil pada tingkat lokal. Demikian pula memberikan peluang untuk
koordinasi pelaksanaan pada tingkat lokal;

2. Meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam kegiatan


usaha pembangunan sosial ekonomi. Demikian pula pada tingkat lokal, dapat
merasakan keuntungan pada kontribusi kegiatan mereka itu;

3. Melatih rakyat untuk bisa mengatur urusannya sendiri (selfgovemment) ;

4. Pembinaan kesatuan nasional.

Di samping kelebihan-kelebihan tersebut, dalam desentralisasi juga terdapat


kelemahan-kelemahan yang tentunya harus dapat diantisipasi dalam pelaksanaannya,
kelemahan tersebut meliputi :

22
1) Karena besarnya organ-organ pemerintah, maka struktur pemerintah
bertambah kompleks yang mempersulit koordinasi;

2) Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan


daerah dapat lebih terganggu;

3) Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa


yang disebut dengan daerahisme atau propinsialisme;

4) Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lambat karena


memerlukan perundingan yang bertele-tele;

5) Dalam menyelenggarakan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak


dan sulit untuk memperoleh keseragaman/uniformitas dan kesederhanaan.

Dalam kepustakaan desentralisasi dibagi menjadi beberapa bentuk seperti


desentralisasi jabatan (ambtelijke decentralisatie) dan desentralisasi kenegaraan
(staatkundig decentralisatie). Desentralisasi jabatan atau kepegawaian adalah
pemencaran kekuasaan dari atasan kepada bawahan sehubungan dengan kepegawaian
atau jabatan (ambt) dengan untuk meningkatkan kelancaran kerja. Dengan demikian
dekonsentrasi merupakan salah satu jenis desentralisasi. Sedangkan desentralisasi
kenegaraan adalah penyerahan kekuasaan untuk mengatur daerah dalam
lingkungannya sebagai usaha mewujudkan asas demokrasi dalam pemerintahan
negara Di samping, itu juga ada yang membedakan desentralisasi teritorial
(territoriale decentralisastie) dan desentralisasi fungsional (functionele
decentralisatie). Desentralisasi teritorial adalah penyerahan kekuasaan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (autonomie), batas pengaturan
tersebut adalah daerah. Sedangkan desentralisasi fungsional adalah pelimpahan
kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tertentu. Batas pengaturan
tersebut adalah jenis fungsi, misalnya pendidikan, pengairan dan sebagainya.
Desentralisasi teritorial atau kewilayahan berarti pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada wilayah di dalam negara. Sedangkan desentralisasi
fungsional yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat. Dalam praktiknya,
desentralisasi fungsional sebenarnya telah dilakukan oleh setiap pemerintahan negara
termasuk oleh negara yang paling sentralistik sekalipun. Adanya departemen,
kementerian, badan-badan pemerintah merupakan bukti nyata desentralisasi dalam

23
fungsi. Dalam berbagai tingkatan, organisasi yang menerima pendelegasian
fungsional tersebut memiliki jaringan kerja langsung ke masyarakat, ataupun yang
tidak dan menyerahkan penyelenggaraan kepada masyarakat dan kepada organisasi
kewilayahan. Dengan demikian, berbicara desentralisasi pada hakikatnya yang
dibahas adalah desentralisasi teritorial atau kewilayahan, karena hal ini disebabkan
desentralisasi fungsional is a must. Dan semua orang telah melakukannya dalam
derajat yang relatif sama.

Berdasarkan pembagian jenis desentralisasi tersebut di atas, maka rumusan


desentralisasi yang tercantum dalam UU No. 22 Tahun 1999 Pasal 1 huruf (e) yang
menegaskan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan dari
Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dapat disimpulkan bahwa desentralisasi yang dianut adalah desentralisasi
kenegaraan (staatkundig decentralisatie) dalam bentuk desentralisasi teritorial
(territoriale decentralisatie). Bentuk desentralisasi teritorial, adalah otonomi
(autonomie) dan tugas pembantuan (medebewind atau zelfbestuur).

b. Asas Otonomi

Secara etimologi otonomi berasal dari kata oto (auto = sendiri) dan nomoi (=
nomoi = nomos = undang-undang/aturan) yang berarti, mengatur sendiri, wilayah atau
bagian negara atau kelompok yang memerintah sendiri. Di dalam tata pemerintahan
otonomi diartikan; sebagai mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri“. Autonomie
diartikan sebagai pengaturan oleh undang-undang urusan rumah tangga persekutuan
hukum rendahan secara masing-masing terpisah dalam rangka hubungan yang lebih
besar. Pengertian otonomi banyak dikemukakan oleh para ahli, seperti Van der Pot
menyatakan bahwa pada pokoknya otonomi itu berarti peraturan dan pemerintahan
dari urusan sendiri, yang dalam Undang-Undang Dasar (Belanda) dinamakan “rumah
tangga sendiri”. Dan C.J. Fransen, merumuskan otonomi sebagai hak untuk mengatur
urusan-urusan daerah atau setempat dan juga menyesuaikan peraturan-peraturan yang
sudah dibikin dengannya“. Scrieke menyatakan bahwa autonomie adalah “Eigen
Meesterschap”, Zelstandigheid” bukan “onafhankelijke Heid”. Sedangkan
Logemann menyatakan bahwa otonomi berarti memberi kesempatan kepadanya
mempergunakan prakarsanya sendiri dari segala macam kekuasaannya untuk
mengurus kepentingan umum (penduduk). Kekuasaan bertindak merdeka (vrij

24
Beweging) yang diberikan kepada satuan-satuan kenegaraan yang memerintah sendiri
daerahnya itu, adalah kekuasaan yang berdasarkan inisiatif sendiri dan pemerintahan
berdasarkan inisiatif sendiri itulah yang disebut otonomi. Pemerintahan ini oleh Van
Vollen Hoven dinamakan “Eigenmeestemchap” . Otonomi bermakna “memerintah
sendiri” yang dalam wacana administrasi publik daerah yang memerintah sendiri
dinamakan daerah otonom yang sering disebut dengan local selfgovemment“.
Otonomi juga diartikan sebagai sesuatu yang bermakna kebebasan atau kemandirian
(Zelfstandigheid) tetapi bukan kemerdekaan (Onafhankelijkheid). Kebebasan yang
terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus
dipertanggungjawabkan.
Dalam kepustakaan terdapat beberapa jenis otonomi, yaitu (1) otonomi materiil,
(2) otonomi formal dan (3 Otonomi riil. Otonomi materiil mengandung arti bahwa
urusan yang diserahkan menjadi urusan rumah tangga diperinci secara tegas, pasti dan
diberi batas-batas (limitative), “zakelijk” dan dalam praktiknya penyerahan ini
dilakukan dalam UU pembentukan Daerah yang bersangkutan. Sedangkan Otonomi
formal adalah sebaliknya, urusan yang diserahkan tidak dibatasi dan tidak “zakelijk”.
Daerah mempunyai kebebasan untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang
menurut pandangannya adalah kepentingan Daerah, untuk kemajuan dan
perkembangan Daerah . Batasnya ialah, bahwa Daerah tidak boleh mengatur urusan
yang telah diatur oleh undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi angkatannya.
Selain daripada itu, pengaturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum. Otonomi riil merupakan kombinasi atau campuran otonomi materiil dan
otonomi formal. Di dalam undang-undang pembentukan Daerah, Pemerintah Pusat
menentukan urusan-urusan yang dijadikan pangkal untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga Daerah. Penyerahan ini merupakan otonomi materiil. Kemudian setiap
waktu Daerah dapat meminta tambahan urusan kepada Pemerintah Pusat untuk
dijadikan urusan rumah tangganya sesuai dengan kesanggupan dan kemampuan
Daerah. Penambahan urusan pemerintahan kepada daerah dilakukan dengan UU
penyerahan masing-masing urusan.

c. Asas Tugas Pembantuan

Istilah medebewind sebagai terjemahan dari tugas pembantuan untuk pertama kali
diperkenalkan oleh Van Vollenhoven. Secara etimologis tugas pembantuan
merupakan terjemahan dari bahasa ' belanda medebewind yang berasal dari kata mede

25
= serta, turut dan bewind = berkuasa atau memerintah“. Medebewind merupakan
pelaksanaan peraturan yang disusun oleh alat perlengkapan yang lebih tinggi, oleh
yang rendah. Tugas pembantuan di Belanda disebut dengan medebewind atau
zelfbestuur yang merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris selfgovernment yang
berarti segala pemerintahan di tiap bagian dari negeri Inggris. Dan di Belanda
zelfbestuur diartikan menjadi pembantu penyelenggaraan kepentingan-kepentingan
dari pusat atau daerah-daerah yang tingkatannya lebih atas oleh alat-alat perlengkapan
dari daerah-daerah yang lebih bawah. Tugas pembantuan juga diartikan sebagai
penyerahan tidak penuh. Tugas pembantuan dapat diartikan sebagai pemberian
kemungkinan kepada pemerintah pusat/pemerintah daerah yang tingkatannya lebih
atas untuk minta bantuan kepada pemerintah daerah/pemerintah daerah yang
tingkatannya lebih rendah di dalam menyelenggarakan tugas-tugas atau kepentingan-
kepentingan yang termasuk urusan rumah tangga daerah yang diminta bantuan
tersebut. Ateng Syafrudin menggunakan istilah tugas pembantuan dengan asas
pengikutsertaan, artinya mengikutsertakan Pemerintah Daerah secara bergotong-
royong melaksanakan tugas Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang lebih
besar “di atasnya”.
Kedudukan Pemerintah Daerah yang berkaitan dengan tugas pembantuan adalah
membantu (medewerken), menunjukan salah satu sifat bahkan hakikat hubungan
antara Pusat dan Daerah. Meskipun bersifat “membantu”, dan tidak dalam hubungan
atasan-bawahan, Daerah tidak mempunyai hak menolak. Hubungan dalam tugas
pembantuan timbul oleh atau berdasarkan ketentuan hukum atau peraturan
perundang-undangan. Pada dasarnya tugas pembantuan adalah tugas melaksanakan
peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi (de uitvoering van hogere
regelingen). Daerah terikat melaksanakan peraturan perundang-undangan termasuk
yang diperintahkan atau diminta (vorderen) dalam rangka tugas pembantuan”.
Dasar pertimbangan perlunya asas tugas pembantuan dipergunakan dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah, yaitu:

1. Keterbatasan kemampuan pemerintah Pusat atau Daerah yang lebih tinggi


dalam hal yang berhubungan dengan perangkat atau sumber daya manusia
maupun biaya;
2. Untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang lebih baik dalam
penyelenggaraan pemerintahan;

26
3. Sifat urusan yang dilaksanakan.

Sejalan dengan hal tersebut, Ateng Syafrudin menyatakan bahwa dasar


pertimbangan pelaksanan asas tugas pembantuan antara lain karena oleh hal-hal
sebagai berikut :

a. Keterbatasan kemampuan Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah;


b. Sifat sesuatu urusan yang sulit dilaksanakan dengan baik tanpa mengikut-
sertakan Pemerintah Daerah;
c. Perkembangan dan kebutuhan masyarakat, sehingga sesuatu urusan
pemerintahan akan lebih berdaya-guna dan berhasil guna apabila ditugaskan
kepada Pemerintah Daerah.

Berkaitan dengan sifat urusan yang akan lebih baik pelaksanaannya jika
melibatkan pemerintah daerah yang lebih rendah tingkatannya, Ateng Syafrudin
memberikan ukuran atau parameter materi muatan yang merupakan tugas
pembantuan, yang meliputi:

a. Urusan tersebut berakibat langsung kepada masyarakat;

b. Urusan yang secara tidak langsung tidak memberi dampak terhadap


kepentingan masyarakat, karena semata-mata membantu urusan pusat;

c. Urusan yang meningkatkan efisiensi dan keefektifan pelayanan yang


langsung memenuhi kebutuhan masyarakat daerah;

d. Urusan yang tidak bersifat strategis nasional dan urusan yang tid?
memerlukan keseragaman nasional.

Berdasarkan uraian tersebut, penyelenggaraan asas tugas pembantuan dapat


mendatangkan keuntungan, baik bagi Pemerintah Pusat atau Pemerintah tingkat
atasnya. Bagi Pemerintah Pusat atau pemerintah tingkat atasnya, asas tugas
pembantuan sangat meringankan beban, baik yang menyangkut dana, aparat maupun
tenaga, yang harus dikeluarkan dalam melaksanakan urusan pemerintahan sehingga
efisiensi dan efektifitas akan mudah dicapai. Sedangkan bagi daerah keuntungan yang
dapat diperoleh karena ikut serta melaksanakan urusan pemerintahan tingkat atasnya,
akan memberikan pengalaman dalam berkreasi untuk memilih dan memilah cara dan
mekanisme penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan, sehingga pada saat suatu

27
urusan itu diserahkan sebagai urusan rumah tangga daerah yang bersangkutan, daerah
tinggal melanjutkan dan menyempurnakannya. Oleh karena itu, ditinjau dari segi
kaitan tugas pembantuan dengan desentralisasi dan hubungan antara Pusat dan
Daerah, pelaksanaan tugas pembantuan seharusnya bertitik tolak dari hal-hal sebagai
berikut :

1. Tugas pembantuan adalah bagian dari desentralisasi. Dengan demikian,


seluruh penanggungjawaban mengenai penyelenggaraan tugas pembantuan
adalah tanggung jawab daerah yang bersangkutan;
2. Tiidak ada perbedaan pokok antara otonomi dan tugas pembantuan Dalam
tugas pembantuan terkandung unsur otonomi (walaupun terbatas pada cara
melaksanakannya), Oleh karena itu, Daerah empunyai kebebasan untuk
menentukan sendiri cara-cara melaksanakan tugas pembantuan;
3. Tugas pembantuan sama halnya dengan otonomi, mengandung unsur
“penyerahan” (overdragen) bukan “penugasan” (opdragen). Perbedaan, kalau
otonomi adalah penyerahan penuh, sedangkan tugas pembantuan adalah
penyerahan tidak penuh.

2.2 Hubungan Antara Pusat dan Daerah

Hubungan antara Pusat dan Daerah terjadi sebagai akibat adanya pemencaran
penyelenggaraan negara dan pemerintahan atau pemencaran kekuasaan (spreading
van macht) ke dalam satuan-satuan pemerintahan yang lebih kecil yang dalam
praktiknya dapat diwujudkan dalam berbagai macam bentuk, seperti dekonsentrasi
teritorial, satuan otonomi teritorial, atau federal. Berdasarkan hal tersebut di atas,
maka terdapat tiga bentuk hubungan antara Pusat dan Daerah. Pertama hubungan
Pusat dan Daerah menurut dasar dekonsentrasi teritorial. Kedua hubungan Pusat dan
Daerah menurut dasar otonomi teritorial, dan Ketiga, hubungan Pusat dan Daerah
menurut dasar-dasar federal.
Dalam kaitan ini Bagir Manan menyatakan, dalam hubungan Pusat dan Daerah
menurut dasar dekonsentrasi teritorial, bukanlah merupakan hubungan antara dua
subjek hukum (publiek rechtspersoon) yang masing-masing mandiri. Satuan
pemerintahan teritorial dekonsentrasi tidak mempunyai wewenang mandiri. Satuan
teritorial dekonsentrasi merupakan satu kesatuan wewenang dengan departemen atau
kementerian yang bersangkutan. Dan sifat wewenang satuan pemerintahan teritorial

28
dekonsentrasi adalah delegasi atau mandat, tidak ada wewenang yang berdasarkan
atribusi. Sedangkan dalam hubungan Pusat dan Daerah menurut dasar otonomi
teritorial, satuan otonomi teritorial merupakan satu satuan mandiri dalam lingkungan
negara kesatuan yang berhak melakukan tindakan hukum sebagai subjek hukum untuk
mengatur dan mengurus fungsi pemerintahan (administrasi negara) yang menjadi
urusan rumah tangganya. Dalam otonomi teritorial, pada dasarnya seluruh fungsi
kenegaraan dan pemerintahan ada dalam lingkungan pemerintah pusat yang kemudian
dipencarkan kepada satuan-satuan otonomi, dan hubungan Pusat dan Daerah di
bidang otonomi bersifat administrasi negara. Bahwa hubungan menurut dasar otonomi
teritorial adalah konsep yang terdapat dalam negara kesatuan (eenheidstaats) yang
satuan otonomi teritorialnya merupakan satuan pemerintahan yang mandiri,
merupakan subjek hukum yang berhak melakukan tindakan hukum. Konsep hubungan
dalam otonomi teritorial ini mempunyai persamaan dengan konsep hubungan Pusat
dan Daerah menurut dasar federal. Dalam negara federal, konsep hubungan antara
Pusat dengan Daerah keduanya sama-sama merupakan subjek hukum yang berdiri
sendiri, yang mempunyai kewenangan mandiri. Memperhatikan hal tersebut di atas,
maka konsep hubungan Pusat dan Daerah menurut dasar federal tidak dapat
dipisahkan dari konsep bentuk atau model negara federal, karena asumsi dasar negara
federal adalah dibentuk oleh sejumlah negara atau wilayah yang sejak awa sudah
independen atau merdeka dan memiliki kedaulatan, yang kemudian bersepakat untuk
membentuk federasi.
Bagir Manan menyebut terdapat 4 (empat) dimensi yang meliputi (1) hubungan
kewenangan; (2) hubungan pengawasan; (3) hubungan keuangan; dan (4) hubungan
Pusat dan Daerah dalam susunan organisasi pemerintahan daerah.

a. Hubungan Kewenangan

Kewenangan berasal dari kata dasar “Wewenang” yang dalam bahasa hukum
tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk
berbuat atau tidak berbuat”. Atau kekuasaan adalah kemampuan untuk memaksakan
kehendak”. Dalam hukum, wewenang sekaligus hak dan kewajiban (rechten en
plichten). Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian
kekuasaan untuk mengatur sendiri (selfregelen) dan mengelola sendiri (self besturen).
Sedangkan kewajiban mempunyai dua pengertian yakni horizontal dan vertikal.
Secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan

29
sebagaimana mestinya. Dan wewenang dalam pengertian vertikal berarti kekuasaan
untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan pemerintah negara secara
keseluruhan. Negara kesatuan ialah kewenangan Pemerintah Pusat untuk campur
tangan yang lebih intensif terhadap persoalan-persoalan di daerah, tetapi kewenangan
dimaksud hanya terdapat dalam suatu perumusan umum dalam UUD. Dan pada
hakikatnya Pemerintah Pusat dapat mencampuri urusan apapun juga asal dapat
dikatakan mengenai kepentingan umum. Pemerintah Pusat berhak mengatur segala
masalah di dalam negara, sedangkan daerahnya memiliki kewenangan mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri, sepanjang tidak, atau belum diatur oleh
Pemerintah Pusat.
Model relatif, model ini memberikan kebebasan pada pemerintah daerah, dan
pada saat yang sama tidak mengingkari realitas negara bangsa. Penekanannya adalah
dengan memberikan kebebasan bertindak pada pemerintah daerah dalam kerangka
kerja kekuasaan dan kewajiban yang telah ditentukan. Hubungan pemerintah pusat
dan pemerintah daerah oleh karenanya ditentukan oleh perundang-undangan.
Pengawasan dibatasi. Pemerintah daerah meningkatkan kebanyakan dari
penghasilannya melalui pajak langsung. Dalam model otonomi relatif pemerintah
daerah dapat membuat kebijakan yang dibagi dengan pemerintah pusat atau yang
berbeda dari kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Model agensi, ini
adalah model pemerintahan daerah yang dilihat terutama sebagai agen pelaksanaan
kebijakan pemerintah pusat. Hal ini diyakinkan melalui spesifikasi yang terperinci
dalam peraturan, perkembangan peraturan dan pengawasan. Model interaksi, dalam
model ini sulit ditentukan ruang lingkup kegiatan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, karena mereka terlibat dalam pola hubungan yang rumit, yang penekanannya
ada pada pengaruh yang menguntungkan saja.
Berbeda dengan model yang kedua, karena dalam The Agency Model
kewenangan Pemerintah Daerah hanya terbatas sebagai agen atau perwakilan dari
Pemerintah Pusat atas semua kebijakan. kebijakan yang telah dirumuskan oleh
Pemerintah Pusat. Kontrol atas pelaksanaan kebijakan- kebijakan tersebut sangat
ketat, dan Pemerintah Daerah selalu dalam posisi yang “hanya” sebagai pelaksana
kebijakan di lapangan. Pemerintah daerah tidak mempunyai peluang untuk melakukan
kreativitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Model hubungan kewenangan antara Pusat dan Daerah yang ketiga, yakni The
Interaction Model dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan tarik-menarik

30
(spanning) antara kedua satuan pemerintahan tersebut. Dalam model tersebut akan
berpotensi terjadinya perebutan kewenangan atas suatu urusan pemerintahan, sebab
kedudukan kedua satuan pemerintahan tersebut dalam posisi dapat saling
mempengaruhi. Memang dalam batasan tertentu, model hubungan ini akan
melahirkan suatu partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan
masyarakat lebih mempunyai kebebasan menentukan nasib sendiri karena ada
kesempatan mempengaruhi untuk menentukan kebijakan. Akan tetapi, dalam hal
kolaborasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah cenderung menguntungkan
Pemerintah Pusat, maka posisi masyarakat tidak sebaik model pertama.
Dalam Penjelasan Umum UU No.32 tahun 2004 disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan
pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam
penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan
bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan Kabupaten
Kota, apabila regional menjadi kewenangan provinsi, dan apabila nasional menjadi
kewenangan Pemerintah. Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian
urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan bahwa tingkat pemerintahan yang
menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih
langsung/dekat dengan dampak/ akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan
demikian, akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada
masyarakat akan lebih terjamin. Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam
pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya
(personil, dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan
kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya
apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdaya guna
dan berhasil guna dilaksanakan oleh Daerah Provinsi dan /atau Daerah
Kabupaten/Kota dibandingkan apabila ditangani oleh Pemerintah maka bagian urusan
tersebut diserahkan kepada Daerah Provinsi dan/atau Daerah Kabupaten/Kota.
Sebaliknya, apabila suatu bagian urusan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna
bila ditangani oleh Pemerintah, maka bagian urusan tersebut ditangani oleh
Pemerintah. Untuk pembagian bagian urusan harus disesuaikan dengan
memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan
tersebut. Ukuran daya guna dan hasil guna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang
dirasakan masyarakat dan besar kecilnya resiko yang harus dihadapi.

31
b. Hubungan Pengawasan

Keberadaan pengawasan merupakan salah satu aspek yang sangat vital dalam
suatu organisasi. Menurut Robert J. Mockler, pengawasan adalah suatu usha
sistematik untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan tujuan perencanaan,
merancang sistem informasi maupun umpan balik, membandingkan kegiatan nyata
dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur
penyimpangan penyimpangan serta mengambil tindakan koreksi yang diperlukan
untuk menjamin bahwa semua sumber daya yang dipergunakan dengan cara paling
efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan. Maka tujuan pengawasan adalah untuk
menjamin agar kegiatan dan aktifitas yang telah dilakukan oleh sebuah organisasi apat
dilaksanakan sesuai dengan program maupun rencana yang telah ditetapkan
sebelumnya. Tujuan tersebut tidak berebeda dengan tujuam pengawasan dalam
perspektif hukum terhadap penyelenggaraan pemerintah. Dalam perspektif hukum,
tujuan pengawasan untuk menghindari terjadinya kekeliruan, baik yang disengaja
maupun yang tidak di sengaja, sebagai suatu usaha preventif, atau juga untuk
memperbaiki apabila sudah terjadi kekeliruan itu, sebagai suatu usaha represif. Dalam
konteks hubungan anatara pemerintah pusat dan daerah, tujuan pengawasan agar
pemerintahb daerah secara benar dapat melaksanakan tugasnnya dengan sebaik
baiknya, sehingga urusan pemerintah yang terlah menjadi wewenang pemerintah
daerah tersebut dapat diurus dan di atur dengan sebaik baiknya berdasarkan aspirasi
dan kepentingan masyarakat daerah yang bersangkutan.
Ditinjau dari hubungan antara pusat dan daerah, pengawasan merupakan
“pengikat” kesatuan agar bandul kebebasan berotonomi tidak bergerak begitu jauh
sehingga mengurangi, bahkan mengancam kesatuan. Kemandirian suatu daeah dalam
suatu negara kesatuan, sangat di pengaruhi oleh sistem pengawasan yang dianut atau
sitem pengawasan akan menentukan otonomi daerah. Memperhatikan hal tersebut,
maka antara pengawasan dan kemandirian suatu daerah otonom, merupakan 2 hal
yang saling mempengaruhi. Hal ini karena luas dan sempitnya suatu pengawasan akan
berpengaruh oada tingkat kemandirian daerah yang bersangkutan.bahkan dalam
tahapan tertentu akan menentukan sistem otonomi yang dianut.
Daam UU No. 1 Tahun 1945 tentang komite nasional daerah, aspek pengawasan
terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah tidak diatur, namun dengan berlakunya
UU No. 22 Tahun 1948 tentang pemerintah daerah, maalah pengawasan diatur dalam

32
bab V. SDistem pengawasan yang dianut oleh UU tersebut adalah pengawasan
preventif dan pengawasan represif. Pengawasan preventif dan represif di atur juga
dalam UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok poko pemerintahan daerah. Secara egas
pengawasan preventif tersebut diatur dalam pasal 68 yang mengaskan bahwa :
“dengan peraturan pemerntah dapat ditentukan bahwa peraturan daerah dari
keputusan kepala daerah mengenai hal hal tertentu., baru berlaku sesudah ada
pengesahan pejabat yang berwenang. Pegawasan represif diatur dalam pasal 70 ayat 1
yang menentukan bahwa :” peraturan daerah atau keputusan kepala daerah yang
bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang undangan atau
peraturan daerah tingkar atasnya ditangguhkan berlakunya atau di batalkan oleh
pejabat yang berwenang “ Penekanan yang berlebih mengenai pengawasan preventif
dan represif tersebut telah berakibat pada suatu kondisi yang sangat membatasi
kreativitas daerah untuk mengembangkan potensi dan keunggulan keunggulan yang
dimiliki. Kondisi tersebut mengalami perubahan yang cukup signifikan sejak di
undangkannya UU No. 22 tahun 1999 yang sangat mengendorkan sistem pengawasan.
Menghilangkan jenis pengawasan preventif yang berupa pengesahan atas produk
hukum daerah ternyata juga dapat menimbulkan persoalan hukum. Persoalan
persoalan tersebut akan selalu muncul dalam pelaksanaan penyelenggaraab
pemerintah oleh karena itu lebih penting adalah bukan meniadakan pengawasan
preventif yang berupa pengesahan agar lembaga pengawasan tersebut tidak
mempengaruhi kemandirian daerah uantuk mengatur dan menentukan
penyelenggaraan pemerintahan.

c. Hubungan Keuangan

M. Hadi menyatakan bahwa , keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban
yang dapat dinilai dengan uang, demikian juga segala sesuatu baik uang maupun
barang yang dapat dijadikan milik negara, berhubung dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban yang di maksud. Keuangan negara (public finance) diinterpretasikan dalam
arti sempit, yakni keuangan pemerintah (goverment finance). sedangkan makna
finance sudah ada kata sepakat yakni menggambarkan segala kegiatan (pemerintah) di
dalam mencari sumber sumber dana (sources of fund) dan kemudian bagaimana dana
dana tersebut digunakan (use of fund) untuk mencapai tujuan pemerintah tertentu. Jadi
keuangan negara mencerminkan kegiatan kegiatan pmerintah sedangkan kegiatan
pemerintah itu sendiri dalan sektor publik bukan berada dalam sektor swasta, Istilah

33
keuangan negara secara formal di atur di UUD 1945. sebelum UUD 1945 di
amandemen istilah keuangan negara berada pada pasal 23 ayat 4, bahwa hal keuangan
negara selanjutnya diatur dengan UU. Sedangkan ayat 5 menentukan bagwa untuk
memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu badan
pemeriksa keuangan, yang peraturanna di tetapkan dengan undang undang. Hasil
pemeriksaan itu di broitahukan kepada dewan perwakilan rakyat.
Setelah UUD 1945 diamandemen istilah keuangan negara dapat dilihat dalam
ketentuan pasal 23 ayat 1 pasal 23c dan pasal 23e ayat 1 dan 2. Pengertian keuangan
negara dalam perspektif resmi, aktirnya dapat dijumpai dalam UU No. 17 tahun 2003
tentang keuangan negara. Pasal 1 ayat 1 menentukan, bahwa : keuangan negara adalah
sama hak dan kewajiban negara yang dapat di nilai dengan uang serta segaka sesuatu
baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Dengan demikian tidak lagi
dibedakan anatar keuangan negara/ keuangan daerah dan keuangan swasta. Persoalan
yang sering muncul berkaitan dengan hubungan keuangan antara pusat dan daerah
adalah terbatasnya jumlah dana yang dimiliki daerah dan pad asisi lain pemerntahb
pusat memiliki dana yang sangat banyak. Dengan demikiam substansu dari hubungan
keaungan tersebut adalah perimbangan keuangan. Peribangan keuangan tersebut
adalah memperbesar atau memperbanyak pendapatan sli daerah sehingga daerah
mempunyai kemampuan unutk membiayai kemampuan penyelenggaraan pemerintah.
Terdapat tiga skema dalam rangka hubungan keuangan antara pusat dan daerah.
Pertama, dana perimbangan, yakni penrimaan negara yang dibagi antara pusat dan
daerah. Kedua di sebut dana alokasi umum. Juga dapat dikatakan sebagai subsidi
umum, daerah bebas menentukan peruntukan sesuai dengan rencana dan program
daerah. Ketiga, dana alokasi khusus , yaitu dana yang ditetapkan dalam APBN untuk
daerah tertentu dan untukkebutuhan khusus.

d. Hubungan Dalam Susunan Organisasi Pemerintah Daerah

Susunan organisasi pemerntahan daerah mengandung dua segi, yakni susunan


luar dan susunan dalam. Susunan luar menyangkut badan badan pemerintahan tingkat
daerah dan susunan dalam adalah menegnai alat alat kelengkapan pemerintahan
daerah, sepenuhnya tergantung pada keadaan serta pandangan masing masing negara.
Dalam konteks negara kesatuan RI susunan organisasi pemerintahan luar dalam UU
No. 1 Tahun 1945 tentang komite nasional indonesia daerah yang dianggap sebagai

34
UU pertama yang mengatur pemrintahan daerah, susunan luar organisasi
pemerintahan belum diatur secara tegas, karena suasana menegara sebagaisuatu
negara ang baru meredeka. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1948 susunan organisasi
pemrintahan luar disusun ke dalam 3 tingkatan. Hal tersebut sebagaimana diatur
dalam pasal 1 ayat 1 yang menegaskan bahwa : “daerah republik indonesia tersusun
dalam 3 tingakatan, ialah provinsi, kabupaten, dan desa , marga dan sebagainya. Yang
berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.” Dari yang telah di
kemukakan di atas bahwa susunan organisasi pemerintahan daerah merupkan salah
satu aspek yang dpat memepngaruhi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah,
hal ini dapat di lihat dari peranan dan fungsi masing masing susunan atau tingkatan
dalam penyelenggaraan otonomi. Artiya peran dan fungsi tersebut dapat di tentukan
oleh pelaksanaan titik otonomi yang di jalankan. Pengaturan dan pelaksanaan titik
berat otonomi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : a) sistem rumah tangga
daerah, b) ruang lingkup urusan pemerintahan dan c) sifat dan kualitas suatu urusan.

1. Sistem rumah tangga daerah

Dalam khasanah hukum pemerintahan daerah terdapat 3 sistem rumah tangga


daerah, yaitu sisten rumah tangga materiil, sistem rumah tangga formil, dan sistem
rumah tangga nyata atau riil. Alam sistem rumah tangga materiil terdapat asumsi atau
anggarapan bahwa antara urusan pemerintaha ousat dan pemerintahan daerah menurut
sifatnya sudah dapat di pilah pilah atau di beda beda kan. Secara kodrati jenis urusan
pusat dan urusan daerah sejak semula sudah dapat di ketahui dengan pasti. Oleh sebab
itu ada atau tidaknya urusan rumah tangga daerah akan selalu di dasarkan pada aspek
aspek penyerahan urusan pemerintahan kepada suatu daerah tingkat tertentu.
Penyerahan urusan pemerintahanan tersebut terlebih dulu harus di rumuskan apakah
urusna urusan oemerintahan itu memang merupakan urusan daerah.
UU No. 22 tahun 1948 meletakkan titik berat otonomi daerah tingkat III dalam
hal ini adalah desa, negeri, marga, kota kecil, dan sebutan lain yang sejenis. Hal
tersebut sebagaimana di atur dalam Penjelasan Umum angkat romasi VI. (18) yang
menggariskan bahwa : Menurut undang undang pokok ini, maka daerah otonom yang
terbawah ialah desa, negeri, marga, kota kecil, dsb. Ini berarti desa di taruh ke
dalam lingkungan pemerintahan yang modern tidak di tarik di luarnya sebagai waktu
yang lampau,…. bahwa desa itu adalah sendi negara, mengerti bahwa desa sebagai
sendi negara ini harus diperbaiki segala galanya, diperkuat dan didinamisi supaya

35
dengan begitu negara mengalami kemajuan, …. bimbingan terhadap daerah daerah
yang mendapat pemerintahan menurut Undang Undang pokok ini lebih diutamakan
diadakan di desa.
Titik berat otonomi tidak diartikan sebagai upaya penyerahan urusan urusan
pemerintahan dalam pengertian kuantitatif, melainkan harus diartikan bahwa titik
berat penyelenggaraan otonomi lebih banyak akan di tujukan kepada daerah tingkat
tertentu dibandingkan dengan daerah tingkat di atasnya. Hak pengaturan dan
pengurusan rumah tangga daerah akan lebih diutamakan kepada daerah tingkat
tertentu, misalnya jika menurut UU No. 22 tahun 1948 daerah tingkat tertentu tersebut
adalah desa atau sebutan lain yang sejenis. Daerah tertentu yang menjadi tujuan
peletakan titik berat otonomi daerah tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerima
berbagai urusan pemerintahan untuk diatur dan diurus sebagai urusan rumah tangga
sendiri. Kondisi daerah menjadi statis, sebab suatu daerah hanya akan mengatur dan
mngurus urusan urusan pemerintahan yang telah diserahkan, tanpa
mempertimbangkan perubahan perubahan dinamika masyarakat setempat. Ini berarti
dengan kebijaksanaan peletakan titik berat otonomi sekaligus mematikan kreativitas
dari daerah. Artinya apabila suatu urusan yang harus segera ditangani oleh suatu
daerah, daerah yang bersangkutan belum dapat bertindak, karena masih menunggu
penyerahan dari pemerintah atau daerah tingkat yang lebih atas. Kemandirian daerah
dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya menjadi terbelenggu oleh segala
sesuatu yang bersifat formalitas.
Maka dapat di simpulan bahwa sususan organisasi pemerintahan dalam (external
structur ) sistem rumah tangga daerah materiil, akan mempunyai pengaruh terhadap
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Hal tersebut berbeda dengan titik berat
otonomi daerah pada sistem rumah tangga formal, karena konsep yang terdapat dalam
sistem rumah tangga formal berdasarkan pada suatu anggapan bahwa anatar urusan
pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah secara prinsipil tidak dapat di pisah
pisahkan, setiap urusan pemerintahan pusat hakikatnya juga dapat di laksanakan oleh
satuan pemerintah daerah. Hal ini juga disebabkan isi atau muatan dalam sistem
rumah tangga formal tidak ditentukan secara limitatif atau pasti.
Konsep rumah tangga formal yang demikian menhendaki adanya kemandirian
mauapu kebebasan daerah untuk melakukan kreativitas dalam kerangka mengatur,
mengurus dan memanfaatkan potensi sumber daya, baik sumber daya alam maupun
sumber daya yang lain, yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

36
daerah. Namun, karena negara RI merupakan negara kesatuan, maka sistem rumah
tangga formal tetap masih mengenal adanya pembatasan pembatasan tertentu,
khususnya yang berhubungan denfan pengaturan dan pengurusan suatu urusan rumah
tangga daerah. Misalnya ketentuan pasal 39 ayat 1 san 2 UU No. 5 tahun 1974 yang
menyebutkan :

(1) Peraturan daerah dan atau keputusan kepala daerah tidal boleh bertentangan
dengan kepentingan umum dan pearturan perundang udangan atau peraturan daerah
yang lebih tinggi

(2) Peraturan daerah tidak boleh mengatur sesuatu hal yang telah di atur dalam
peraturan perundang undangan atau peraturan daerah yang lebih tinggi.

Berdasarekan ketentuan tersebut, pembatasn yang di lakukan oleh UU atas


penyelenggaraan hak pengaturan dan pengurusan urusan rumah tangga oleh daerah
adalah tidak boleh bertentangan dengan jepentingan umum, peraturan perundang
undangan , dan peraturan daerah tingkat atasnya, dan tidak boleh mengatur suatu
urusan pemerinthan yang telah diatur oleh peraturan perundang undangan dan
peraturan daerah yan lebih tinggi tignkatanyya.
Menurut sistem rumah tangga formal, titik berat otonomi daerah tidak
mengandung maksud untuk menkankan jumlah urusan urusan pemerintahan yang
akan di selenggarakan oleh tingkatan daerah tertentu, melainkan lebih tertuju pada
aspek kualitas dari wewenang, tugas dan tanffung jawab daerah dalam mengatur dan
mengurus urusan urusan pemrintahan baik itu yang tekag diserahkan maupun yang
belum.
Berbeda dengan sistem rumah tangga daerah materill dan formil, sistem rumah
tangga nyata merupakan bentuk penyempurnaan dari kedua sistem rumah tangga
tersebut. Penyelenggaraan titik berat ekonomi sistem rumah tangga nyata
mengandung ciri ciri sebagai berikut :

1. Basis penyelenggaraan otonomi daerah akan lebih menekankan pada kondisi


atau keadaan nyata dari suatu daerah yang dituju. Artinya pengutamaan
penyelenggaraan otonomi daerah akan dia rahkan kepada daerah daerah yang
secara materill dinilai mampu menyelenggarakan urusan urusan
pemerintahan sebagai urusan rumah tangga sendiri dengan
mempertimbangkan kondisi dan faktor nyata yang ada.

37
2. Titik berat otonomi daerah yang diarahkan kepada suatu tingkat daerah
tertentu akan lebih menekankan pada segi kualitas pengaturan dan
pengurusan rumah tangga daerah. Daerah akan di beri kebebasan dan
keleluasaan dalam mengatur dan mengurus urusan urusan pemerintahan
sebagai urusan rumah tangga sendiri, terutama urusan-urusan yang dianggap
penting.

3. Titik berat otonomu daerah bermaksud menignkatkan kemandirian daerah


dalam mengatur dan mengurus urusan-urusan pemrintahan sebagai urusan
rumah tangga sendiri dengan memperhatikan keadaan dan faktor faktor nyata
yang ada, tanpa meninggalkan ikatan dalam negara kesatuan.

4. Berdasarkan prinsip dasar sistem rumah tangga nyata, maka peletakan titik
berat otonomi daerah tidak bermaksud melakukan penyeragaman urusan
urusan pemerintahan antar daerah yang satu dengan daerah yang lain.

2. Ruang Lingkup Urusan Pemerintahan

Di anutnya konsep negara kesejahteraan (welfarstate) telah membawa perubahan


pada ruang lingkup dan isi wewenang, tugas dan tanggung jawab pemerintah baik
kuantitatif dan kualitatif. Tugas tugas baru bertambah dan tugas tugas lama makin
berkembang. Bagir manan menyatakan bahwa urusan pemerintah bersifat terbuka,
senantiasa berubah. Urusan yang pada saat tertentu adalah urusan rumah tangga
daerah dapat seeta merta berubah menjadi urusan rumah tangga yang di atur dan
diurus oleh pusat. Lebih jauh, penerapan kualitatif mengandung makna pembedaan
antara urusan masing masing tingkat pemerintahan. Suatu pendekatan yang sudah
lama ditinggalkan. Kesulitan penerapan titik berat otonomid aerah dalam artian
kuantitatif dapat juga terjadi apabila hal ini dikaitkan dengan faktor sifat atau kualitas
suatu urusan pemerintahan. Jumlah urusan rumah tangga daerah tidak dapat
dipisahkan dari sifat dan kualitasnya. Daerah yang memiliki banyak urusan rumah
tangga tidak serta merta lebih berperan dari tingkat daerah yang lebih sedikit urusan
rumah tangganya. Meskipun jumlah urusan rumah tangga tidak banyak, tetapi dengan
sifat dan kualitas tertentu akan lebih berperan daripada yang mempunyai jumlah
urusan yang banyak tetapi menyangkut urusan sederhana dan kecil. Untuk itu
pendekatan yang dilakukan adlaah pendekatan fungsi. Pendekatan fungsi dalam
penyerahan urusan pemerintahan dengan meletakan pelaksanaan titik berat potonomi

38
pada tingkatan daerah tertentu merupakan solusi terbaik untuk menyelesaikan
persoalan persoalan yang timbul dalam kerangka hubungan antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah.

3. Sifat Dan Kualitas Suatu Urusan

Bagir manan menyatakan bahwa jumlah urusan rumah tangga daerah tidak dapat
di pisahkan dari sifat dan kualitasnya. Daerah yang memiliki banyak urusan rumah
tangga tidak serta merta lebih berperan dari tingkat daerah yang lebih sedikit urusan
rumah tangganya. Urusan rumah tangga dalam bidang yang berkaitan dengan
lingkungan hidup seprti pencemaran, mempunyai sifat dan kualiatas yang berbeda
dengan urusan rumah tangga seperti pasar dan perkuburan. Ditinjau dari aspek
pendekatan fungsi, titik berat otonomi diartikan menyelenggarakan “personal social
service” terhadap anggota msyarakat. Dalam memenuhi “personal social service”
peletakan titik berat otonomi kepada suatu susunan pemerintahan tingkat tertentu
harus memperhatikan tingkat kebutuhan, aspirasi dan keinginan masyarakat daerah,
artinya pemerintah pusat dituntut untuk mengetahui keinginan, kebutuhan, aspirasi
dan kepentingan daerah tersebut atau pemerintah pusat harus responsif. Pengutamaan
atau penekanan pelaksanaan titik berat pada tingakatan daerah tertentu, harus
memperhatikan beberapa faktor, seperti jarak antara satuan pemerintahan daerah
dengan masyarakat sebagai pusat pelayanan (personal social service), terjadinya
sumber sumber keuangan di satuan pemerintahan daerah tersebut, serta tenaga para
penyelenggara.
Jika dilihat dari jarak, peletakan titik berat otonomi di desa sangat tepat karena
semakin dekat jarak antara satuan tingkatan daerah dengan masyarakat, maka
tingkatan daerah terebut akan semakin mempunyai kemampuan untuk mengetahui
tuntutan, kebutuhan, aspirasi dan kepentingan masyarakatnya. Namun demikian,
keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah tidak semata mata di ukur dari kedekatan
jarak tersebut, melainkan masih terdapat unsur yang harus di penuhi, seperti
ketersediaan sumber keuangan dan tenaga. Dari kedua unsur tersebut desa tidak akan
mempu melaksanakan hak untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga
sendiri.
Desa berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 memang mempunyai hak untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan
adat istiadat setempat yang diakui dalam didtem pemerintahan nasional. Oleh karena

39
itu desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sehingga
desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakatnya.UU No. 32 tahun 2004 mengakui desa sebagai kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai otonomi, namun desa tetap merupakan bagian dari daerah
kabupaten dan bhukan merupakan daerah otonom yang berdiri sendiri. Hal tersebut
dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 200 ayat 1 yang menegaskan bahwa dalam
pemerintah daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari
pemerintahan desa dan badan permusyawarahan desa. UU No. 22 tahun 1948 secara
berangsur angsur akan menghapus daerah daeah administrasi, hal tersebut di atur
dalam pasal 46 ayat 2 yang menegaskan bahwa : daerah daerah administrasi yang
ada pada waktu berlakunya uu ini, terus beridri sampai di hapuskan. Di hapuskannya
daerah daerah administrasi tersebut dimaksudkan agar daerah tidak terdapat dualisme
pemerintahan. Secara normatif keberadaan wilayah administratif yang sebelumnya di
namakan pemerintahan pamong praja lambat laun akan di hapuskan sehingga pada
akhirnya berdasarkam UU No. 22 tahun 1948 wilayah negara kesatuan RI dibagi
habis ke dalam daerah daerah otonom.
Dihapuskannya pemerinthan pamong praja dalam struktur pemerintahan daerah
berdasarkan UU No. 22 tahun 1948 tidak berarti pengawasan yang dilakukan oleh
pemerintah pusat atas pemerintah daerah otonom menjadi hilang sama sekali. Hal
tersebut karena kedudukan kepala daerah dalam peyelenggaraan pemerintahan di
daerah mempunyai 2 fungsi pokok, yaitu sebagai pengawas pekerjaan DPRD dan
dewan pemerintah harian (DPH), dalam keadaan tersebut, maka kedudukan kepala
daerah adalah sebagai wakil pemerintah pusat. Kedudukan lain kepala daerah adalah
sebagai ketua dan anggota dewan pemerintah daerah sehingga dalam hal ini keoala
daerah merupakan alat pemerintah daerah otonom.
Dalam implementasinya, kepala daerah juga sebagai organ/alat kelengkapan
pemerintah pusat, hal ini karena adanya ketentuan pasal 28 ayat 6 yang menentukan
bahwa : “peraturan daerah dipandang mulai berlaku sesudah di tanda tangani oleh
kepala daerah dan diumumkan menurut cara yang ditentukan oleh dewan perwakilan
rakyat daerah. Kepala daerah dapat merupakan organ yang bertindak sendiri terlepas
dari dewan pemerintah daerah maupun dewan perwakilan rakyat daerah. Dengan
demikian dalam pelaksanaannya yang sesungguhnya UU No. 22 tahun 1948 tidak
menghendaki demikian, dalam pemerintah daerah terdapat dua organ yaitu di satu
pihak DPRD dan DPD dan di pihak lain ialah kepala daerah. Inilah yang di maksud

40
“dualisme” dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah pada waktu itu. Susunan
organisasi pemerintahan dalam (internal structure) mengalami pergeseran ke arah
sentralistik dengan di keluarkannya Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959
(disempurnakan) dan Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960 (disempurnakan), UU
No. 18 tahun 1965 dan UU No.5 tahun 1974. Pergeseran susunan organisasi
pemerintahan dalam (internal structure) ke arah sentralistik memang tidak sejalan
dengan sistem otonomi yang dianut oleh UU pemerintahan daerah yang ditetapkan
setelah UU No. 1 tahun 1957, UU No. 18 tahun 1965 bahkan secara tegas menganut
sistem otonomi yang seluas luasnya dan karenanya jika dilihat dari sitem otonomi
yang dianut mestinya susunan organisasinya juga cenderung mengarah ke
desentralistik.
Susunan organisasi pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan fungsi dan
kedudukan kepala daerah, terutama kepala daerah kabupaten dan daerah kota tidak
lagi menjadi alat kepanjangan tangan pemerintah pusat dan daerah. Kedudukan kepala
daerah sebagai organ pemerintah pusat hanya berlaku pada gubernur. Oleh karenanya,
gubernur disamping sebagai alat/ organ daerah otonom yang dinamakan provinsi juga
sebagai kepala wilayah administrasi yang merupakan konskuensi pelaksanaan tugas
tugas dekonsentrasi. Berdasarkan pasal 14 ayat 2 UU No. 22 tahun 1999 kedudukan
kepala daerah adalah sebagai alat kelengkapan daerah beserta alat kelengkapan
lainnya. Kepala daerah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya bertanggung
jawab kepada DPRD dan kepala daerah wajib menyampaikan laporan pertanggung
jawaban kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran. Kedudukan kedua lembaga
tersebut berdasarkan UU No. 32 tahun 2004 masih sama dengan UU No. 2 tahun
1999, kepala daerah maupun DPRD sama sama merupakan unsur penyelenggara
pemerintahan daerah. Sebelum terjadinya pergantian UU, tugas dan wewenang DPRD
berdasarkan pasal 18 ayat 1 huruf a dan c UU No. 22 tahun 1999 adalah memilih,
mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala
daerah.
Berdasarkan ketentuan tersebut, DPRD mempunyai posisi yang sangat
menentukan mengenai jadi tidaknya pasangan calon kepala daerah. Posisi yang
demikian telah mengakibatkan lahirnya isu isu politik uang (money politic) dalam
proses pilkada. Isu tersebut secara normatif sangat sulit untuk di buktikan, tetapi
sebenarnya dapat dirasakan. Terlebih lagi jika kita melihat ketentuan pasal 19 ayat 1

41
huruf a UU No. 22 tahun 1999 yang menentukan bahwa DPRD mempunyai hak
meminta pertanggungjawaban gubernur, bupati, dan walikota.

BAB III
PENUTUP
Hubungan antara pusat dan daerah sangat dipengaruhi oleh adanya tarik menarik
antara kepentingan pusat yang cenderung sentralistik dan tuntutan daerah yang
menghendaki desentralistik. Adanya keadaan tersebut menimbulkan ketidakserasian
hubungan antara pusat dan daerah. Di dalam Pasal 18 UUD 1945 hasil amandemen,
desentralisasi dan dekonsentrasi bukanlah sebgai asas penyelenggaraan pemerintah.
Hal ini didasarkan bahwa baik desentralisasi maupun dekonsentrasi merupakan
pemencara kekuasaan, selain itu desentralisasi juga merupakan suatu proses
penyerahan kekuasaan/wewenang dan dekonsentrasi merupakan cara melaksanakan
sesuatu. Memperhatikan hal tersebut, dapat diketahui bahwa asas penyelenggaraan
pemerintah daerah meliputi asas otonomi dan asas tugas pembantuan.
Hubungan antara Pusat dan Daerah terjadi sebagai akibat adanya pemencaran
penyelenggaraan negara dan pemerintahan atau pemencaran kekuasaan (spreading
van macht) ke dalam satuan-satuan pemerintahan yang lebih kecil yang dalam
praktiknya dapat diwujudkan dalam berbagai macam bentuk, seperti dekonsentrasi
teritorial, satuan otonomi teritorial, atau federal. Dalam kaitan ini Bagir Manan
menyatakan, dalam hubungan Pusat dan Daerah menurut dasar dekonsentrasi
teritorial, bukanlah merupakan hubungan antara dua subjek hukum (publiek
rechtspersoon) yang masing-masing mandiri. Bagir Manan menyebut terdapat 4
(empat) dimensi yang meliputi (1) hubungan kewenangan; (2) hubungan pengawasan;
(3) hubungan keuangan; dan (4) hubungan Pusat dan Daerah dalam susunan
organisasi pemerintahan daerah.

42
DAFTAR PUSTAKA

Fauzan, Muhammad. 2006. HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH. Yogyakarta: UII Press.

43

Anda mungkin juga menyukai