OTONOMI DAERAH DENGAN DESENTRALISASI DAN DEKONSENTRASI
3.1. Otonomi Daerah dengan Desentralisasi
Penyerahan wewenang pemerintahan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom bermakna peralihan kewenangan secara delegasi, lazim disebut delegation of authority.Dengan demikian, pemberi delegasi kehilangan kewenangan itu, semua beralih kepada penerima delegasi.Berbeda ketika pelimpahan wewenang secara mandatum, pemberi mandat atau mandator tidak kehilangan kewenangan dimaksud. Mandataris bertindak untuk dan atas nama mandator. Sebagai konsekuensinya bahwasanya pemerintah pusat kehilangan kewenangan dimaksud. Semua beralih menjadi tanggungjawab daerah otonom, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai urusan pemerintah pusat, Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan, bahwasanya urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi a. politik luar negeri, b. pertahanan, c. keamanan, d. yustisi, e. moneter dan fiskal, f. agama. Pusat tidak boleh mengurangi, apalagi menegasikan kewenangan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah otonom. Namun demikian, daerah otonom-daerah otonom tidak boleh melepaskan diri dari Negara Kesatuan RI. Betapa pun luasnya cakupan otonomi, desentralisasi yang mengemban pemerintahan daerah tidaklah boleh meretak-retakkan bingkai Negara Kesatuan RI. Secara formal normatif, arah desentralisasi sudah cukup baik. Namun, dalam tataran empiris komitmen pemerintah pusat tidak konsisten. Praktek-praktek monopoli dan penguasaan urusan-urusan strategis yang menyangkut pemanfaatan sumber daya alam termasuk perizinan di daerah, dikuasai pusat. Intervensi pusat pada daerah begitu besar.Penyerahan urusan/wewenangan yang semestinya dilakukan dengan penyerahaan sumber keuangan tidak dilakukan.Pusat melakukan penganggaran pembangunan daerah tanpa melibatkan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pembiayaan fungsi-fungsi pemerintahan di daerah lebih dominan berasal dari APBN, yang semestinya diserahkan sebagai dana perimbangan untuk APBD. Robert Reinow dalam buku Introduction to Government, mengatakan bahwa ada 2 (dua) alasan pokok dari kebijaksanaan membentuk pemerintahan di daerah.Pertama, membangun kebiasaan agar rakyat memutuskan sendiri sebagian kepentingannya yang berkaitan langsung dengan kedaerahan.Kedua, memberi kesempatan kepada masing-masing komunitas yang mempunyai tuntutan yang bermacam-macam untuk membuat aturan-aturan dan programnya sendiri. Adapun dasar-dasar hubungan antara pusat dan daerah dalam kerangka desentralisasi ada 4 (empat) macam, yaitu: 4. Dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara. 5. Dasar pemeliharaan dan pengambangan prinsip-prinsip pemerintahan asli. 6. Dasar kebhinekaan. 7. Dasar negara hukum.
3.2. Otonomi Daerah dengan Dekonsentrasi
Otonomi Daerah yang merupakan suatu pemberian wewenang pemerintahan kepada pemerintah daerah untuk secara mandiri dan berdaya untuk membuat keputusan mengenai kepentingan daerahnya terdiri atas dua instrumen, yakni instrumen politik dan instrumen administrasi / manajemen.Dimana kedua instrumen tersebut secara bersama-sama digunakan untuk mengoptimalkan sumber daya lokal daerah, sehingga nantinya dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemajuan masyarakat di daerah. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 berkenaan dengan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, yakni; Nilai Unitaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak mempunyai kesatuan pemerintahan lain di dalamnya yang bersifat negara ("Eenheidstaat"), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan; Nilai dasar Desentralisasi Teritorial, dari isi dan jiwa pasal 18 Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya sebagaimana tersebut di atas maka jelaslah bahwa Pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentrasi sebagai konsep perwujudan otonomi daerah di bidang ketatanegaraan. Berdasarkan dua nilai dasar tersebut, prinsip-prinsip pelaksanaan otonomi daerah yang dianut di Indonesia adalah: nyata, bahwa otonomi daerah secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah; bertanggung jawab, bahwa pemberian otonomi daerah harus diselaraskan/diupayakan untuk memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air; dinamis, bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan lebih maju. Dekonsentrasi sendiri adalah konsep perwujudan pelaksanaan dari otonomi daerah.Pelaksanaan dekonsentrasi dilakukan setelah dilihat bahwasanya tidak semua tugas- tugas teknis pemerintahan dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah itu sendiri. Hal ini sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang antara lain adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang efisien, dan agar masyarakat luas terutama masyarakat di daerah dapat turut berpartisipasi dalam pembangunan di daerahnya masing-masing. Dekonsentrasi sebagai konsep perwujudan pelaksanaan otonomi daerah antara lain diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa dekonsentrasi adalah asas penyelenggaraan pemerintah oleh pemerintah pusat. Dalam Undang-Undang ini disebutkan pula bahwa sesungguhnya otonomi daerah di Indonesia dapat dikategorikan sebagai “otonomi terkontrol”, hal ini dikarenakan dalam penyelenggaran urusan pemerintahan dibutuhkan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten / kota, ataupun antar pemerintah daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai suatu sistem pemerintahan yang utuh.Pelaksanaan “otonomi terkontrol” ini sesungguhnya merupakan bagian dari kebijakan pemerintah pusat untuk mewujudkan otonomi daerah yang protektif.
Pemerintahan Daerah Adalah Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Oleh Pemerintah Daerah Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Menurut Asas Otonomi Dan Tugas Pembantuan Dengan Prinsip Otonomi Seluas