Anda di halaman 1dari 9

HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH

Ainisiasi 1
Inisiasi 1 Hubungan Pusat- Daerah Hubungan Pusat-Daerah dapat diartikan sebagai
hubungan kekuasaan pemerintah pusat dan daerah sebagai konsekuensi dianutnya
azas desentralisasi dalam pemerintahan negara. Secara umum hubungan antara pusat
dan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah sebagai berikut:
a. Pemerintah Pusat yang mengatur hubungan antara Pusat dan Daerah yang
dituangkan dalam peraturan perundangan yang bersifat mengikat kedua belah pihak.
Namun dalam pengaturan hubungan tersebut haruslah memperhatikan aspirasi daerah
sehingga tercipta sinerji antara kepentingan pusat dan daerah
b. Tanggung jawab akhir dari penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah adalah menjadi tanggung jawab pemerintah pusat karena
dampak akhir dari penyelenggaraan urusan tersebut akan menjadi tanggung jawab
negara
c. Peran pusat dalam kerangka otonomi daerah akan banyak bersifat menentukan
kebijakan makro, melakukan supervisi, monitoring,evaluasi, kontrol dan pemberdayaan
sehingga daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal. Sedangkan peran
daerah akan lebih banyak bersifat pelaksanaan otonomi tersebut. Dalam melaksanakan
otonominya, daerah berwenang membuat kebijakan daerah. Kebijakan yang diambil
daerah adalah dalam batas-batas otonomi yang diserahkan kepadanya dan tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Model-model Hubungan
Pusat dan Daerah
A. Hubungan kedudukan pemerintah daerah terhadap pusat menurut Dennis
Kavanagh:
1. Agency Model : pemerintah daerah dianggap sebagai pelaksana belaka
2. Partnership Model : pemerintah daerah memiliki kebebasan untuk melakukan local
choice
B. Sistem Hubungan Pusat dan Daerah menurut Nimrod Raphaeli:
1. Comprehensive Local Government System : pemerintah pusat banyak sekali
menyerahkan urusan dan wewenangnya kepada pemerintah daerah. Pemerintah
Daerah memiliki kekuasaan yang besar.
2. Partnership System : beberapa urusan yang jumlahnya cukup memadai diserahkan
oleh pusat kepada daerah, wewenang lain tetap di pusat.

3. Dual System : imbangan kekuasaan pusat dan daerah telah mulai lebih banyak
dimiliki pusat pada daerah yang bersangkutan.
4. Integrated Administrative System : Pusat mengatur secara langsung daerah
bersangkutan mengenai segala pelayanan teknis melalui koordinatornya yang berada di
daerah/wilayah. Beberapa lingkup hubungan pusat dan daerah meliputi hubungan
kewenangan, organisasi, keuangan, pelayanan publik, pembangunan dan pengawasan.
Hubungan Pusat-Daerah dalam beberapa hal yang berkaitan dengan keuangan, antar
pemerintahan, pelayanan umum diatur dalam pasal 15 UU No. 32 Tahun 2004.
Hubungan Pusat-Daerah dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya (pasal 17 UU No. 32 tahun 2004). Kewenangan untuk mengelola sumber
daya di wilayah laut pasal 18 UU No. 32 tahun 2004). Penyelenggaraan Pemerintahan
dalam konteks Hubungan Pusat-Daerah secara menyeluruh diatur dalam Bab IV, pada
bagian kesatu-bagian keempat UU No. 32 Tahun 2004. Pada bagian kesatu pasal 19
UU No. 32 Tahun 2004, Dimana disebutkan dalam ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004,
bahwa penyelenggara pemerintahan adalah Presiden dibantu oleh 1 (satu) orang wakil
Presiden, dan oleh menteri negara. ayat 2, menyatakan bahwa Penyelenggara
pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD.

inisiasi 2
Inisiasi 2
Hubungan Pusat-Daerah Bidang Kewenangan
Dalam penyelenggaraan desentralisasi terdapat dua elemen penting, yakni
pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus bagianbagian tertentu urusan pemerintahan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila
penyelenggaraan desentralisasi menuntut persebaran urusan pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom sebagai badan hukum publik. Urusan pemerintahan
yang didistribusikan hanyalah merupakan urusan pemerintahan yang menjadi
kompetensi pemerintah dan tidak mencakup urusan yang menjadi kompetensi lembaga
negara tertinggi dan/atau lembaga tinggi negara. Secara teoritis, persebaran urusan
pemerintahan kepada daerah dapat dibedakan dalam 3 (tiga) ajaran rumah tangga
yaitu
a. Ajaran formal
Di dalam ajaran rumah tangga formil (formele huishoudingsleer), tidak ada perbedaan
sifat urusan-urusan yang diselenggarakan pemerintah pusat dan daerah otonom. Pada
prinsipnya urusan yang dapat dikerjakan oleh masyarakat hukum yang satu juga dapat
dilakukan oleh masyarakat yang lain. Bila dilakukan pembagian tugas, hal itu sematamata didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan praktis. Artinya,
2

pembagian itu tidak karena materi yang diatur berbeda sifatnya, tetapi semata-mata
karena keyakinan bahwa kepentingan-kepentingan daerah itu dapat lebih baik dan lebih
berhasil diselenggarakan sendiri oleh setiap daerah daripada oleh pemerintah pusat.
b. Ajaran materiil
Dalam ajaran rumah tangga materiil (materiele huishoudingsleer), antara pemerintah
pusat dan daerah terdapat pembagian tugas yang diperinci secara tegas di dalam
peraturan perundang-undangan. Kewenangan setiap daerah hanya meliputi tugastugas yang ditentukan satu per satu secara nominatif. Jadi, apa yang tidak tercantum
dalam rincian itu tidak termasuk kepada urusan rumah tangga daerah. Daerah yang
bersangkutan tidak mempunyai kewenangan untuk mengatur kegiatan di luar yang
sudah diperinci atau secara apriori telah ditetapkan.
c. Ajaran riil
Sistem ini nampaknya mengambil jalan tengah antara ajaran rumah tangga materiil dan
formil dengan tidak melepaskan prinsip sistem rumah tangga formil. Konsep rumah
tangga riil bertitik tolak dari pemikiran yang mendasarkan diri kepada keadaan dan
faktor-faktor yang nyata untuk mencapai keserasian antara tugas dengan kemampuan
dan kekuatan, baik yang ada pada daerah sendiri maupun di pusat. Dengan demikian,
pemerintah pusat memperlakukan pemerintah daerah sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari pusat.
Di dalam ajaran rumah tangga riil dianut kebijaksanaan bahwa setiap undang-undang
pembentukan daerah mencantumkan beberapa urusan rumah tangga daerah yang
dinyatakan sebagai modal pangkal dengan disertai segala atributnya berupa
kewenangan, personil, alat perlengkapan, dan sumber pembiayaan.
Inisiasi 4
Hubungan Pusat- Daerah Bidang Keuangan
Menurut Kenneth J. Davey (1988) hubungan keuangan pusat-daerah menyangkut
pembagian tanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu, antara
tingkat-tingkat pemerintahan dan pembagian sumber penerimaan untuk menutup
pengeluaran sebagai akibat dari kegiatan-kegiatan tersebut. Tujuan hubungan tersebut
adalah untuk mencapai perimbangan antara potensi dan sumber daya masing-masing
daerah dapat sesuai satu sama lain di bawah supervisi pusat.
Fungsi pemerintahan suatu negara pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama,
yaitu:
1. Fungsi Alokasi, a.l: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa
pelayanan masyarakat.
2. Fungsi Distribusi, a.l: pendapatan, kekayaan masyarakat, pemerataan pembangunan

3. Fungsi Stabilisasi, a.l: pertahanan keamanan, ekonomi dan moneter.


Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan oleh
Pemerintah Pusat, sedangkan fungsi Alokasi pada umumnya lebih efektif dilaksanakan
oleh Pemerintah Daerah.
Berdasarkan UU No. 33 tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan
Daerah, dinyatakan dalam BAB II prinsip kebijakan perimbangan Keuangan, pasal 2,
ayat 1 bahwa Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah
merupakan subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas antara
Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Di dalam UU No. 33 Tahun 2004 Bab II, pasal 2
ayat 2 dinyatakan bahwa Pemberian sumber keuangan negara kepada Pemerintah
daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas
oleh Pemerintah kepada Pemerintah daerah dengan memperhatikan stabilitas dan
keseimbangan fiskal.
Pembiayaan berdasarkan azas desentralisasi dibiayai dengan APBD dan pembiayaan
berdasarkan azas dekonsentrasi dibiayai APBN.
Last modified: Monday, 22 September 2014, 8:42 AM
Inisiasi 5
Praktik Hubungan Pusat-Daerah Bidang Kelembagaan/Keorganisasian
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
pembentukan organisasi pemerintah daerah untuk menjalankan urusan/kewenangan
didasarkan pada prinsip money follow function (pendanaan mengikuti fungsi
pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat
pemerintahan). Bentuk dan susunan organisasi pemerintah daerah menurut undangundang 32 Tahun 2004 tersebut didasarkan pada kewenangan pemerintahan yang
dimiliki daerah; karakteristik, potensi dan kebutuhan daerah; kemampuan keuangan
daerah; ketersediaan sumber daya aparatur; pengembangan pola kerjasama antar
daerah dan/atau dengan pihak ketiga.
Dalam undang-undang 32 Tahun 2004 Pemerintah daerah adalah kepala daerah dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
UU No. 32 Tahun 2004 pada Bab penjelasan Umum No. 4, dikatakan bahwa Perangkat
Daerah terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi,
diwadahi dalam lembaga sekretariat, unsur pendukung tugas kepala daerah dalam
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam
lembaga teknis daerah serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam
4

lembaga dinas daerah.


Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah
adanya urusan pemerintahan yang perlu ditangani. Sedangkan tata cara atau prosedur,
persyaratan, kriteria pembentukan suatu organisasi perangkat daerah ditetapkan dalam
peraturan daerah yang mengacu pedoman yang ditetapkan Pemerintah.
Dalam hal tugas dan wewenang Kepala Daerah ditetapkan dalam pasal 25 UU No. 32
Tahun 2004, yang dijabarkan sebagai berikut:
1. Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan
pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
2. mengajukan rancangan peraturan daerah;
3. menetapkan peraturan daerah yang telah mendapatkan persetujuan bersama
DPRD;
4. menyusun dan mengajukan rancangan peraturan daerah tentang APBD kepada
DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
5. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
6. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa
hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
7. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Pada Pasal 26 UU No. 32 Tahun 2004 ditetapkan tentang tugas dan wewenang Wakil
Kepala daerah, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;
2. membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di
daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat
pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, mengupayakan
pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;
3. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota
bagi wakil kepala daerah provinsi;
4. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan,
kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota;
5. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan
kegiatan pemerintah daerah; melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya
yang diberikan oleh kepala daerah;
6. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah
berhalangan. Dalam melaksanakan tugasnya, wakil kepala daerah bertanggung jawab
kepada kepala daerah.
Last modified: Monday, 29 September 2014, 9:17 AM

Inisiasi 6
Hubungan Keuangan Pusat- Daerah
Hubungan keuangan pusat- daerah berkaitan dengan pembagian keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah. Hubungan ini timbul seiring dengan adanya pembagian
kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan
keuangan. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah harus mempunyai
sumber-sumber keuangan yang memadai untuk membiayai penyelenggaraan
otonominya. Kapasitas keuangan pemerintah daerah akan menentukan kemampuan
pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi-fungsinya seperti melaksanakan fungsi
pelayanan masyarakat (public service function), melaksanakan fungsi pembangunan
(development function) dan perlindungan masyarakat (protective function). Berkaitan
dengan penyelenggaraan otonomi daerah, maka penyerahan, pelimpahan, dan
penugasan urusan pemerintahan kepada daerah secara nyata dan bertanggung jawab
harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional
secara adil, termasuk perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah. Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal
apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumbersumber penerimaan yang cukup kepada daerah. Daerah harus memiliki hak untuk
mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa : kepastian tersedianya
pendanaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintahan yang diserahkan;
kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan retribusi daerah dan hak
untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di
daerah dan dana perimbangan lainnya; hak untuk mengelola kekayaan daerah dan
mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber
pembiayaan.
Dengan demikian, hubungan keuangan pusat-daerah menyangkut pembagian
kekuasaan dalam pemerintahan,dan hak mengambil keputusan mengenai anggaran
pemerintah (bagaimana memperoleh dan membelanjakannya). Hubungan keuangan
pusat daerah mencerminkan tujuan politik yang mendasar sekali karena peranannya
dalam menentukan bobot kekuasaan yang dijalankan pemerintah daerah dalam
keseluruhan sistem pemerintahan.
Model Hubungan Keuangan Pusat-Daerah:
Ada beberapa model hubungan keuangan pusat- daerah yang dapat digunakan, yaitu:
a. By Percentage : distribusi penerimaan ke daerah didasarkan pada persentase
tertentu, seperti ditetapkan pada pajak bumi dan bangunan, royalti/license fee di bidang
kehutanan dan pertambangan diberikan sebagai hasilnya kepada daerah dengan
berdasarkan persentase tertentu
b. By Origin : distribusi penerimaan ke daerah didasarkan pada/menurut asal sumber
penerimaan
6

c. By Formula : distribusi penerimaan kepada daerah didasarkan pada suatu formula


tertentu atau mempertimbangkan faktor tertentu, seperti : jumlah penduduk, luas
wilayah, panjang jalan yang harus dipelihara daerah.
Inisiasi 7
Praktik Hubungan Keuangan Pusat-Daerah
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pusat dan Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa penerimaan Daerah dalam
pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan.
Pendapatan Daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah;Dana Perimbangan; dan
Lain-lain Pendapatan.
A. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang
dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari Pajak Daerah;Retribusi
Daerah; hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan lain-lain PAD yang
sah (meliputi hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan;jasa
giro;pendapatan bunga;keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau
pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah).
B. DANA PERIMBANGAN
Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi. Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu
daerah dalam mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi
ketimpangan sumber pendanaan pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk
mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintahan antar daerah. Jumlah Dana
Perimbangan ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN. Dana Perimbangan terdiri
atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus
(DAK). Ketiga komponen Dana Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari
Pemerintah serta merupakan satu kesatuan yang utuh.
C. LAIN-LAIN PENDAPATAN
Lain-lain Pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan Dana Darurat.
Pemerintah mengalokasikan Dana Darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan
mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang
tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan sumber APBD. Keadaan
yang dapat digolongkan sebagai bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa
ditetapkan oleh Presiden. Pemerintah dapat mengalokasikan Dana Darurat pada
Daerah yang dinyatakan mengalami krisis solvabilitas. Krisis solvatbilitas adalah krisis
keuangan berkepanjangan yang dialami oleh daerah selama 2 (dua) tahun anggaran
dan tidak dapat diatasi melalui APBD. Daerah dinyatakan mengalami krisis solvabilitas
berdasarkan evaluasi Pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Krisis solvabilitas ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat.
7

Berkaitan dengan hubungan keuangan, dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004


ditegaskan bahwa pendanaan penyelenggaraan pemerintahan agar terlaksana secara
efisien dan efektif serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya
pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, diatur sebagai berikut:
a. Penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dalam rangka
desentralisasi dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
a. Penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab
Pemerintah dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), baik
kewenangan Pusat yang dikonsentrasikan kepada Gubernur atau ditugaskan kepada
Pemerintah Daerah dan/atau Desa atau sebutan lainnya dalam rangka tugas
pembantuan.

nisiasi 8
Hubungan Pusat-Daerah Bidang Pengawasan
Penyelenggaraan pemerintahan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut
azas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Untuk mewujudkan adanya
ketegasan dan konsistensi penyelenggaraan pemerintahan negara yang berdaya guna
dan berhasil guna bagi pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat, maka
terhadap kewenangan yang dimiliki daerah otonom perlu dilakukan pembinaan dan
pengawasan untuk menghindari agar kewenangan tersebut tidak mengarah kepada
kedaulatan. Hal ini dikarenakan Pemerintahan daerah pada hakikatnya merupakan
subsistem dari pemerintahan nasional.
A. Pembinaan
Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan upaya yang
dilakukan oleh pemerintah dan/atau gubernur selaku wakil pemerintah di daerah untuk
mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam rangka
pembinaan oleh pemerintah, menteri dan pimpinan lembaga pemerintah non
departemen melakukan pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masingmasing yang dikoordinasikan oleh menteri dalam negeri untuk pembinaan dan
pengawasan provinsi serta oleh gubernur untuk pembinaan dan pengawasan
kabupaten/kota.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
ditegaskan bahwa pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
dilaksanakan oleh pemerintah meliputi:
a. Koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan yang dilaksanakan secara
berkala pada tingkat nasional, regional atau provinsi.
b. Pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan.
c. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan.
d. Pendidikan dan pelatihan.
e. Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan
8

urusan pemerintahan yang dilaksanakan secara berkala ataupun sewaktu-waktu


dengan memperhatikan susunan pemerintahan.
B. Pengawasan
Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan proses kegiatan
yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan
rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengawasan
yang dilaksanakan oleh pemerintah terkait dengan penyelenggaraan urusan
pemerintahan terutama terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa pengawasan atas
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh pemerintah meliputi :
a. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah. Pengawasan ini
dilaksanakan oleh aparat pengawas intern pemerintah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
b. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah.
Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan peraturan daerah,
pemerintah melakukan 2 (dua) cara sebagai berikut:
1). Pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah, yaitu terhadap rancangan
peraturan daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD,dan rencana
umum tata ruang sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh
menteri dalam negeri untuk rancangan peraturan daerah provinsi dan oleh gubernur
terhadap rancangan peraturan daerah kabupaten/kota.
2). Setiap peraturan daerah wajib disampaikan kepada menteri dalam negeri untuk
provinsi dan gubernur untuk kabupaten/kota untuk memperoleh klarifikasi. Peraturan
daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi
dapat dibatalkan sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Last modified: Monday, 20 October 2014, 8:35 AM

Anda mungkin juga menyukai