Hubungan antara Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan.
Hubungan Kepala Daerah dengan DPRD dalam hubungan kerja dan fungsi menurut
Undang-Undang Pemerintahan Daerah, yaitu:
1. Hubungan dalam pembuatan kebijakan Daerah
2. Pembahasan dan pengesahan Peraturan Daerah
3. Hubungan dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (RAPBD)
4. Hubungan dalam bidang kepegawaian daerah
5. Hubungan dalam kebijakan pengelolaan barang daerah
6. Hubungan dalam bidang pengawasan kebijakan dan politik daerah
Keterkaitan antara keduanya secara tegas dirumuskan dalam UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) Pasal 57 Ayat 2 bahwa keduanya sebagai
mitra sejajar yang sama-sama melakukan tugas sebagai penyelenggara
pemerintahan daerah. Itu berarti bahwa salah satu dari keduanya tidak boleh ada
yang disubordinatkan. Tidak ada peran yang bisa disubstitusikan oleh lembaga lain.
Berdasarkan hal tersebut, antar kedua lembaga wajib memlihara dan membangun
hubungan kerja yang harmonis dan satu sama lain harus saling mendukung,
diperlukan adanya pengaturan tentang hak-hak protokoler dan keuangan Pimpinan
dan Anggota DPRD.
Hal ini bertujuan agar masing-masing memperoleh hak dan melaksanakan kewajiban
meningkatkan peran dan tanggung jawab mengembangkan kehidupan demokrasi,
menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya, mengembangkan hubungan dan mekanisme check and balance
antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif, meningkatkan kualitas,
produktifitas dan kinerja demi terwujudnya keadilan da kesejahteraan masyarakat.
Namun, walaupun kedudukan antara kepala Daerah dengan Kepala DPRD sejajar
dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, pengawasan tetap berjalan sebagaimana
tugas DPRD selalu melakukan pengawasan baik terhadap pemerintah dalam
menjalankan roda pemerintah maupun penggunaan APBD dan kebijakan daerah.
Apabila dalam satu masa sidang DPRD dan Gubernur menyampaikan rancangan
Peraturan Daerah mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalah
rancangan Perda yang disampaikan Gubernur untuk ditetapkan sebagai Perda.
Penyampaian rancangan Perda ditetapkan oleh Gubernur paling lama 30 (tiga puluh)
hari sejak rancangan tersebut disetujui bersama.
2. Desa merupakan daerah yang sifatnya asli, artinya ada sebelum Indonesia ada. Di
Indonesia dikenal dengan desa dan kelurahan. Bagaimana keberadaan desa dan
kelurahan dalam pemerintahan daerah. Sebutkan urgensi desa dalam otonomi
daerah!
Mengenai kedudukan Desa (atau nama lainnya), Rosjidi Ranggawidjaja
menautkannya dari pengakuan dan penghormatan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dengan Undang-Undang (Ranggawidjaja:
2013).
Landasan ini memisahkan antara satuan pemerintahan daerah yang diberi otonomi
dengan kesatuan masyarakat hukum. Urusan yang dikelola oleh satuan
pemerintahan daerah menunjukkan pemencaran kekuasaan, sementara, sepanjang
masih ada, urusan yang dikelola oleh Desa merupakan pengakuan. Tentunya tetap
dimungkinkan terdapat tugas pembantuan yang diberikan oleh Kabupaten, Provinsi,
maupun Pemerintah Pusat.
Dalam Undang-Undang Desa yang baru (UU No. 6 Tahun 2014), diartikan bahwa:
“Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah
yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau
hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1)”.
Kedudukan Desa tercermin dalam Pasal 2 dan Pasal 5 Undang-Undang tersebut,
sebagai berikut:
PASAL 2
“Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa
berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika”.
PASAL 5
“Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota”.
Selanjutnya mengenai urgensi desa dalam otonomi daerah, yakni:
Pasal 371 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, menyatakan: "Dalam
pemerintahan daerah kabupaten/kota dapat dibentuk pemerintahan Desa".
Penggunaan istilah "dibentuk" ini menegaskan bahwa pemerintah Desa
merupakan subsitem atau bagian dari pemerintah kabupaten/kota,
karenanya ia menjalankan sebagian kewenangan pemrintah kabupaten/kota.
Desa dengan segala karakter khusus dan keunikan sumber daya serta adat
istiadatnya merupakan salah satu komponen penting dalam percepatan laju
pembangunan nasional
Secara historis desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik
dan pemerintahan di Indonesia sehingga entitas sosial sejenis desa atau
masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang
mempunyai posisi sangat penting.
Partisipasi masyarakat pedesaan sebagaimana diungkapkan Sorensen (2003)
amat diperlukan bagi berhasilnya pembangunan sekaligus akan dapat
meningkatkan penghidupan masyarakat di pedesaan.
Masyarakat desa memiliki kemandirian yang cukup tinggi dalam memnuhi
kebutuhan hidupnya, mengembangkan potensi diri dan keluarganya, serta
membangun sarana dan prasarana di desa.
Pembangunan desa adalah penting di negara-negara yang sedang
berkembang karena desa merupakan pintu masuk pembangunan daerah,
bahkan berbagai metode telah dibuat dan digunakan oleh organisasi-
organisasi yang terlibat dalam pembangunan internasional.
Pembangunan di desa mempunyai peranan penting dan strategis dalam
pembangunan daerah dan pembangunan nasional karena pembangunan
pedesaan menyentuh langsung kepentingan masyarakat
NKRI akan menjadi lebih kuat bila ditopang oleh kedaulatan rakyat serta
kemandirian lokal (daerah dan Desa), yakni pusat yang "menghargai" lokal
dan lokal yang "menghormati" pusat.