Anda di halaman 1dari 31

HUKUM PEMERINTAHAN & OTONOMI DAERAH

1. Pengertian Pemerintahan Daerah


Perubahan ke 4 (empat) UUD 1945 menyatakan jelas mengenai bentuk dan susunan
pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Republik Indonesia. Pasal 18 ayat (1)
berbunyi : “Negara Kesatuan Repulik Indonesia dibagi atas daerah-daerah propinsi dan
daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propisi, kabupaten dan
kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur Undang-Undang”.
Sedang Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Pemerintah daerah
merupakan daerah otonom yang dapat menjalankan urusan pemerintahan dengan seluas-
luasnya serta mendapat hak untuk mengatur kewenangan pemerintahan kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat”.
Definisi Pemerintahan Daerah di dalam  UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah pasal 1 ayat 2, adalah sebagai berikut: “Pemerintahan Daerah adalah
penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam
sistem dan prinsip NegaraKesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Melihat definisi pemerintahan daerah seperti yang telah dikemukakan  diatas,maka
yang dimaksud pemerintahan daerah disini adalah penyelenggaraan daerah otonom oleh
pemerintah daerah dan DPRD menurut asas desentralisasi dimana unsur penyelenggara
pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah.

2. Fungsi Pemerintah Daerah


Fungsi pemerintah daerah dapat diartikan sebagai perangkat daerah menjalankan,
mengatur dan menyelenggarakan jalannya pemerintahan. Fungsi pemerintah daerah
menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah :
a. Pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut
asas otonomi dan tugas pembantuan;
b. Menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi
urusan pemerintahan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
pelayanan umum dan daya saing daerah;
c. Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki
hubungan pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. Dimana hubungan
tersebut meliputi wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya
alam, dan sumber daya lainnya.

3. Asas-Asas Pemerintahan Daerah


a. Asas Sentralisasi
Secara etimologi sentralisasi adalah seluruh wewenang yang terpusat pada
pemerintah pusat. Sistem sentralisasi itu adalah bahwa seluruh decision
(keputusan/kebijakan) dikeluarkan oleh pusat, daerah tinggal menunggu instruksi
dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut
Undang-undang. (Khairul Ikhwan Damanik dkk. 2012 : 78).

b. Asas Dekonsentrasi
Yaitu pelimpahan kekuasaan dari perlengkapan negara tingkat yang lebih tinggi
kepada pemerintahan yang lebih rendah guna melancarkan pekerjaan didalam
melaksanakan tugas pemerintahan (Yasril Yunus. 2005 : 3). Sedangkan Dalam UU No.
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, dekonsentrasi adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah
dan/ atau kepada instansi vertikal diwilayah tertentu.

Selain itu Dekonsentrasi adalah sebuah kegiatan penyerahan berbagai urusan


dari pemerintahan pusat kepada badan-badan lain. Kemudian ketika sudah diterima
oleh badan-badan lain yang telah diberi wewenang oleh pemerintah maka ketika
badan-badan itu melakukan pelaksanaan tugasnya harus menuruti segala petunjuk
pemerintah pusat dan bertanggung jawab kepadanya. Di Indonesia Penyelenggaraan
Dekonsentrasi ini diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39
Tahun 2001 yang berisi tentang pembagian wilayah dan wewenang yang harus
dijalankan oleh badan-badan dari pemerintahan tersebut. Dalam peraturan ini tentang
wilayah dan wewenang Gubernur berbunyi: Provinsi mempunyai kedudukan sebagai
Daerah otonom sekaligus adalah Wilayah administrasi yaitu Wilayah kerja Gubernur
untuk melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan yang dilimpahkan kepadanya.
Berkaitan dengan itu maka Kepala daerah Otonom disebut Gubernur yang berfungsi
pula selaku Kepala Wilayah Administrasi dan sekaligus sebagai wakil Pemerintah.
Gubernur selain pelaksana asas desentralisasi juga melaksanakan asas dekonsentrasi.

Gubernur sebagai kepala daerah provinsi berfungsi pula selaku wakil Pemerintah
di daerah, dalam pengertian untuk menjembatani dan  memperpendek  rentang
kendali pelaksanaan tugas beserta  fungsi  Pemerintah termasuk dalam sebuah
pembinaan  dan  pengawasan  terhadap  penyelenggaraan  urusan  pemerintahan  di 
daerah kabupaten  dan  kota. (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 7 Tahun
2008) Dan juga Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang administrasi dari
pemerintah pusat kepada pejabat di daerah. Perlu digaris bawahi, pelimpahan
wewenang di sini adalah hanya sebatas wewenang administrasi, untuk wewenang
politik tetap dipegang oleh pemerintah pusat. Pejabat di daerah yang dimaksud adalah
para orang – orang diangkat oleh pemerintah pusat yang kemudian ditempatkan di
daerah – daerah tertentu. Pada dekosentrasi, wewenang yang diberikan adalah
sebatas wewenang administrasi yaitu implementasi kebijakan publik sedangkan
kebijakan politiknya tetap berada di pusat. Karena itu, pejabat yang diangkat oleh
pemerintah pusat tersebut dalam menjalankan seluruh tugas yang dia emban di suatu
daerah, bertanggung jawab bukan kepada masyarakat yang dilayaninya, melainkan
bertanggung jawab kepada pejabat pusat yang telah mengangkatnya atau
menyerahkan wewenang kepadanya. 
Contoh : dari dekonsentrasi adalah kantor pelayanan pajak. Dimana intansi
tersebut tetap dalam status pusat namun para pejabatnya ditempatkan di beberapa
daerah. (Fileesa. 2013). penyelenggaraan dinas perhubungan, penyelenggaraan dinas
pekerjaan umum. 

c. Asas Desentralisasi
Istilah dekonsentrasi berasal dari bahasa latin “de” berarti lepas dan “centrum”
artinya pusat. Desentralisasi merupakan lawan kata dari sentralisasi sebab kata
sebelumnya. Berdasarkan asal perkataannya, desentralisasi ialah melepaskan dari
pusat. Menurut Joeniarto Asas Desentralisasi adalah asas yang bermaksud
memberikan wewenang dari pemerintah negara kepada pemerinatah lokal untuk
mengatur dan mengurus urusan tertentu sebagai urusan rumah tangga sendiri, yang
biasanya di sebut Swatantra atau Otonomi. Contoh dari desentralisasi salah satunya
adalah di intansi dinas yang ada di daerah, misalnya Dinas Pendidikan yang mengatur
bagaimana pola – pola pendidikan, Dinas Perikanan yang mengatur bagaimana potensi
perikanan yang ada di suatu daerah, dan lain-lain. pemilihan kepala
daerah, pembuatan kebijakan oleh DPRD.

d. Otonomi Daerah
Dalam UU No. 32 Tahun 2004, Otonomi Daerah Adalah Hak, wewenang dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri unrusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. 

e. Devolusi
Yaitu memperkuat atau menciptakan level dan unit-unit pemerintahan
independen. Devolusi adalah suatu konsep dan rancangan yang terpisah dengan
desentralisasi. Devolusi merupakan konsep demokrasi politik yang mencerminkan
pembebasan atau pelepasan fungsi-fungsi oleh pemerintahan pusat dan menciptaan
unit-unit baru pemerintahan diluar kontrol wewenang pusat.

f. Atribut dan Delegasi


Menurut Hadjon (1994) menyatakan jika atribusi adalah kewenangan yang
melekat kepada pejabat atau badan tata usaha negara. Sementara delegasi adalah
dalam hal pemindahan pengalihan suatu kewenangan yang ada.

g. Mandat
Dalam hal mandat tidak ada sama selaku pengakuan kewennagan. Dasar
kewenangan hanyalah secara intern, dan menyangkut janji-janji kerja antara penguasa
dan pegawai.
h. Asas Tugas pembantuan
Adalah tugas-tugas untuk turut serta dalam melaksanakan urusan pemerintahan
yang ditugaskan kepada pemerintahan daerah oleh pemerintah atau pemerintahan
daerah diatasnya dengan kewajiban mempertanggung jawabkan kepada yang
menugaskannya. (Yasril Yunus 2005 : 7-9)

4. Landasan Hukum Bagi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah


Dalam hal ini kondisi politik memegang pengaruh peranan yang cukup besar. Selain itu
seluruh perubahan konstitusi NKRI kecuali konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS)
menuntut untuk diterbitkannya Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai
pemerintah daerah. Setidaknya ada 10 landasan hukum yang mengatur tentang
pemerintahan daerah, seperti halnya :
1. UU No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional
Daerah;
2. UU No. 22 Tahun 1948;
3. UU No. 1 Tahun 1957;
4. Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959;
5. UU No. 18 Tahun 1965;
6. UU No. 5 Tahun 1974;
7. UU No. 22 Tahun 1999;
8. UU No. 32 Tahun 2004;
9. UU No. 8 Tahun 2005 tentang perubahan UU No. 32 Tahun 2004;
10. UU No. 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun 2004.

5. Susunan Pemerintahan Daerah Dan Kewenangannya


Landasan hukum diatas dijadikan sebagai sumber pedoman bagi pembentukan
pemerintahan daerah di Indonesia. Setiap Undang-Undang dideklarasikan mempunyai
susunan pemerintahan yang berbeda. Sama halnya dengan pemerintah pusat, pemerintah
daerah juga memiliki kewenangan dalam mengelola kekuasaan Negara di daerahnya guna
mewujudkan tujuan negara. Hal itu diatur dalam peraturan perundang-undnagan. Berikut
penjelasannya.

a. UU RI No. 1 Tahun 1945


Susunan pemerintahan daerah :
1) Badan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan penjelmaan dari Komite Nasional
Daerah;
2) Badan eksekutif daerah yang dipiliholeh Komite Nasional Indonesiabersama
dengan dan dipimpin olehkepala daerah dalam menjalankanpemerintahan sehari-
hari;
3) Kepala daerah merupakan ketua lembaga legislative di daerah.
Kewenangan :
1) Membuat peraturan rumah tangga sendiri (peraturan daerah) selama tidak
bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat;
2) Kepala daerah menjalankan urusan pemerintahan pusat di daerah, kecuali
urusanurusan yang sudah dijalankan oleh kantor-kantor departemen di daerah.

b. UU RI No. 22 Tahun 1948


Susunan pemerintahan daerah :
1) Badan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan penjelmaan dari Komite Nasional
Daerah;
2) Badan eksekutif daerah yang dipiliholeh Komite Nasional Indonesiabersama
dengan dan dipimpin olehkepala daerah dalam menjalankanpemerintahan sehari-
hari;
3) Kepala daerah merupakan ketua lembaga legislative di daerah.

Kewenangan :
1) Membuat peraturan rumah tangga sendiri (peraturan daerah) selama tidak
bertentangan dengan peraturan pemerintah pusat;
2) Kepala daerah menjalankan urusan pemerintahan pusat di daerah, kecuali
urusanurusan yang sudah dijalankan oleh kantor-kantor departemen di daerah;

4. UU RI No. 1 Tahun 1957


Susunan pemerintahan daerah :
1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD);
2) Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
3) Dipilih oleh dan dari anggota DPRD atas dasar perwakilan berimbang dari partai-
partai politik dan diketuai oleh kepala daerah (ex-officio);
4) Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat;
5) DPD dan kepala daerah bertanggung jawab secara kolegial kepada DPRD.

Kewenangan :
1) Mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangganya dalam bentuk perda,
kecuali urusan yang oleh undang-undang diserahkan kepada penguasa lain;
2) Mengatur segala urusan yang belum diatur oleh Pemerintah Pusat di daerah
tingkat atas.

5. Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959


Susunan Pemerintah daerah terdiri dari 2 lembaga, yaitu:
Kepala Daerah, mencakup :
1) Gubernur diangkat dan diberhentikan oleh Presiden bupati/ walikotamadya oleh
Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah;
2) Pengangkatan kepala daerah berasal dari calon yang diajukan dari DPRD yang
bersangkutan, dan dapat dimungkinkan dari luar DPRD;
3) Kepala daerah menjadi alat PemerintahPusat sekaligus Pemerintah;
4) Kepala Daerah dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Badan Pemerintah
Harian yang diangkat dari calon-calon yang diajukan dari DPRD (baik calon dari
anggota DPRD maupun dari luar anggota DPRD);
Dewan Perwakilan RakyatDaerah Gotong Royong (DPRD-GR), mencakup :
1) Terdiri dari wakil golongangolongan politik dan golongangolongan karya;
2) Anggota DPRD-GR diajukan oleh kepala daerah kepada instansi atasan mereka
masing-masing (golongan politik dan golongan karya).
5) Kepala daerah secara ex-officioal dalah Ketua DPRD-GR (bukan anggota).

Kewenangan :
1) Menyelenggarakan urusan rumah tanggadaerah/otonom di mana kepala daerah
bertindak sebagai pemegang eksekutif pelaksanaan urusan tersebut;
2) Menyelenggarakan koordinasi antar- jawatan-jawatanPemerintah Pusat di daerah,
dan antarajawatan-jawatan tersebut dengan pemerintah;
3) Menjalankan kewenangan lain yang terletakdalam bidang urusan Pemerintah
Pusat;

6. UU No. 18 Tahun 1965


Susunan Pemerintah daerah :
1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD);
2) DPRD bertanggung jawab kepada Pemerintah Daerah;
3) Pemerintah Daerah adalah DPRD dan kepala daerah;
4) Komposisi keanggotaan adalah 40-75 orang untuk provinsi(Daerah Tingkat I), 25-
40 oranguntuk kabupaten/kotamadya(Daerah TingkatII), dan 15-25orang untuk
kecamatan/kotapraja(Daerah Tingkat III);
5) Kepala daerah, sebagai alat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang dalam
menjalankan Pemerintahan sehari-hari dibantu oleh Badan Pemerintah Harian
(BPH).

Kewenangan :
1) Daerah memiliki kewenangan dalamurusan otonomi dan tugas pembantuan
yangpelaksanaannya dipertanggungjawabkan olehkepala daerah kepada DPRD.

7. UU RI No. 5 Tahun 1974


Susunan pemerintahan daerah meliputi :
1) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD);
2) Kepala Daerah, mencakup :
1) Kepala Daerah Tingkat I karena jabatannya adalah kepala wilayah provinsi
yang disebut gubernur;
2) Kepala Daerah Tingkat II karena jabatannya adalah kepala wilayah
kabupaten/kotamadya yang disebut bupati/walikotamadya.
Kewenangan :
1) Pemerintah daerah berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri.

8. UU No. 22 Tahun 1999


Susunan pemerintahan daerah :
1) Kepala daerah provinsi (gubernur),kepala daerah kabupaten (bupati),kepala
daerah kota (walikota), camat,dan lurah/kepala desa;
2) Di daerah, dibentuk DPRD (sebagaibadan legislatif daerah) dan pemerintah daerah
(sebagai badaneksekutif daerah);
3) Pemerintah daerah terdiri ataskepala daerah dan perangkat daerah;
4) DPRD berkedudukan sejajar danmenjadi mitra dari pemerintah;
5) Dalam menjalankan tugasnya,gubernur bertanggung jawab kepadaDPRD provinsi,
bupati dan walikotabertanggung jawab kepada DPRD kabupaten/kota.

Kewenangan :
1) Kewenangan menjalankan semua urusan pemerintahan kecuali di bidang politik
luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama;
2) Kewenangan wajib daerah adalah di bidangpekerjaan umum, kesehatan,
pendidikandan kebudayaan, pertanian, perhubungan,industri dan perdagangan,
penanaman modal,lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja;
3) Kewenangan provinsi adalah kewenanganotonomyang meliputi kewenangan
dalambidangpemerintahan yang bersifat lintaskabupaten dan kota, kewenangan
dalam bidangpemerintahan tertentu lainnya, dankewenangan yang tidak atau
belum dapatdilaksanakan kabupaten dan kota.

9. UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 8 Tahun 2005, dan UU No. 12 Tahun 2008
Susunan pemerintahan daerah :
1) Pemerintahan daerah provinsi terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD
provinsi;
2) Pemerintahan daerah kabupaten/ kota terdiri atas pemerintah daerah kabupaten/
kota dan DPRD kabupaten/kota;
3) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud di atas terdiri atas kepala daerah dan
perangkat daerah;
4) DPRD merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai
unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang memiliki fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan;

Kewenangan :
1) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan;
2) Urusan otonom pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang ditentukan
menjadi urusan Pemerintah, yakni politik luar negeri; pertahanan dan keamanan;
yustisi; moneter dan fiskal nasional; dan agama;
3) Urusan tugas pembantuan dalam menyelenggarakan urusan politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.

6. Dasar Hukum Pemerintahan Daerah


Pasal 18 UUD 45 mengatur tentang pembagian wilayah negara kesatuan RI sebagai
berikut: “Pembagian daerah indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan
sususnan pemerintahnya ditetapkan dengan UU, dengan memandang dan mengingati
dasar pemsyawaratan dalam sistem pemeri ntahan negara, dan hak/ hak usul-usul dalam
daerah-daerah yang bersifat istimewa.”

a. Masa Konstitusi RIS


Dalam Pasal 51 Konstitusi RIS
1) Penyeleggaraan pemerintahan tentang pokok-pokok yang terdaftar dalam
lampiran konstitusi dibebankan semata-mata kepad RIS;
2) Daftar lampiran penyelenggaraan pemeri ntahan yang tersebut dalam ayat (1)
diubah, baik atas permintan daerah-daerah bagian bersama-sama ataupun atas
inisiatif pemerintah federal,sesudah mendapatkan persetujuan/persesuaian
dengan daerah-daerah bagian bersama-sama, menurut acara yang ditetapkan
dengan undang-undang federal;
3) Dalam konstitusi tersebut penagturan pemerintahan daerah tidak termasuk
urusan pemerintahan federal, akan tetapi menajdi urusan negara bagian masing-
masing.

Pasal 47 Konstitusi RIS


“Peraturan-peraturan ketatanegaraan negara-negara haruslah menjamin hak atas
kehidupan rakyat sendiri kepada pelbagai persekutuan rakyat didalam lingkungan
daerah mereka dan harus pula mengadakan kemungkinan untuk mewujudkan hal itu
secara keseragaman aturan tentang penyusunan itu secara demokrasi dalam daerah-
daerah otonom.”

Pasal 65
“Mengatur kedudukan daerah-daerah swapraja masuk dalam tugas dan kekuasan
daerah-daerah bagian yang bersangkutan dengan pengertian, bahwa mengatur itu
dilakukan dengan kontrak yang diadakan antar daerah bagian dan daerah-daerah
swapraja bersangkutan dan bahwa dalam kontrak itu kedudukan istimewa swapraja
akan diperhatikan dan bahwa tidak ada satupun dari daerah-daerah swapraja yang
sudah ada daapt dihapuskan atau diperkecil bertentangan kehendaknya, kecuali untuk
kepentinagn umum dan sesudah UU federal yang menyatakan bahawa  kepentingan
umum menuntut penghapusan atau pengecualian itu, memberi kuasa untuk itu
kepada pemerintah daerah bagian bersangkutan.”

b. Masa UUDS 1950


Tentang pemerintahan daerah diatur dalam pasal 131, 132, dan 133.

Pasal 131
1) Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang berhak mengurus
rumah tangganya sendiri, dengan bentuk susunan  pemerintahanya ditetapkan
dengan UU, dengan memandang dan mengingati dasar pemusyawaratan dan
dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara;
2) Kepala daerah diberi otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya
sendiri;
3) Dengan UU dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah
yang tidak termasuk dalam rumah tangganya.

Pasal 132
1) Kedudukan darah swapraja diatur dengan UU dengan ketentuan bahwa dalam
bentuk susunan pemerintahanya harus mengingat pula pasal 131, dasar-dasar
pemusyawaratan dan perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.
2)   ...
3)   ...

Pasal 133
“Sambil menungu ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 132,
maka peraturan-peraturan yang sudah ada tetap berlaku,dengan pengertian bahwa
pejabat lama daerah bagian, yang tersebut dalam peraturan ini diganti.”

c. UU No 22 tahun 1948
Daerah NKRI  tersusun atas tiga tingaktan :
1) Provinsi;
2) Kabupaten/Kota ( Kota Besar);
3) Desa ( kota kecil ).
Sesuai yurisidis fungsional pemerintahn NRI terdiri dari :
1) Wilayah nasional merupakan wewenang pemerintahan pusat;
2) DT I wilayah provinsi wewenang pemerintahan provinsi;
3) DT II wilayah kabupaten/kota wewenang pemerintahan kabupaten/kota;
4) DT III wilayah desa yang merupkan pemerintahan desa.
Keempat wilayah tersebut disebut dengan otonom/swatantra yang menyelenggarakan
pemerintahan sendiri.
d. Arti Dan Terminologi
Pasal 18 A UUD 45, diamanatkan tentang hubungan wewenang antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antara provinsi,
kabupaten dan kota diatur dengan UU dengan memeprhatikan kehususan dan
keragaman daerah. Pasal 18 B UUD 45 negara mengakui dan menghormati satuan-
satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus, atau bersifat istimewa  yang diatur
dengan UU.

Tujuan pemrintahan daerah mempercepat terwujudanya kesejahteran masyarakat


melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta
peningkatan daya saing dareah dengan mempertimbangkan prinsip demokrasi,
pemeratan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam NKRI.
Peningkatan pelayanan dibidang pemerintahan, kemasyarakatan, dan pembangunan
adalah hal yang mendasar guna mendorong/ menunjang dinamika interaksi kehidupan
masyarakat seperti dalam hal rekomendasi, perijinan, dispensasi, hak berusaha, surat
keterangan kependudukan dan lain-lain.

Pemberdayan dan peran serta masyarakat, peran serta masyarakat lebh menonjol
yang dituntut kreativitas masyarakat baik pengusaha, perencana, pengusah jasa,
pengembang. Dalam menuyusun konsep strategi pembangunan daerah dimana
pemerintah hanya berperan sebatas mempasilitasi dan mediasi.

Peningkatan daya saing daerah, bertujuan untuk peningkatan daya saing daerah,
guna tercapainya keungulan lokal dan apabila dipupuk yang pada giliranya dapat
menjadi keunggulan daya saing nasional. Dengan politik hukum ini maka hal penting
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersifat otonom adalah pemberian
kewenangan yang seluas-luasnya kepada adaerah disertai dengan pemberian hak dan
kewajiban tertentu. Sistem pemerintahan di Indonesia terdiri dari :
1) Pemerintahan pusat yaitu pemerintah;
2) Pemerintahan daerah, seperti pemerintah provinisi dan pe merintah
kabupaten/kota;
3) Pemerintahan desa.

Hubungan Antar Kebijakan Politik, Mekanisme Pengawasan, Dan Pertanggung


Jawaban Pemerintah Daerah

Mekanisme Pertangung
UU Kebijakan Politik
Pengawasan Jawaban

Persetujuan pejabat
No 5 tahun 1974 Uniform birokratik Kepada presiden
yang berwenang

No. 22 tahun 1999 Demokratis,transparansi, Sifatnya hanya Tanggung jawab


dan akuntabiitas melaporkan kepada DPRD

Kesetaraan check and Hanya sebatas


No. 32 tahun 2004 Sistem evaluasi
balance laporan

Hubungan Antar Kebijakan Politik, Asas Otonomi, dan Prinsip Penyelenggaraan Pemerintah

Prinsip Penyelenggaraan
UU Kebijakan Politik Asas Otonomi
Pemerintahan

Desentralisasi,
No 5 tahun Nyata dan
Uniform birokratik dekonsentrasi dan
1974 bertanggung jawab
pembantuan

No. 22 Demokratis,transpara- Luas, nyata, dan


Sama
tahun 1999 nsi dan akuntabilitas bertanggung jawab

Seluas-luasnya, nyata
No. 32 Kesetaraan, check and
dan bertanggung Sama
tahun 2004 balances
jawab

Pemerintahan Daerah ( Regional Government ) khusus tentang asas pemerintahan daerah


saja. Terdapat  istilah “pemerintahan daerah” yaitu satuan pemerintahan dibawah pemerintah
pusat yang memiliki wewenang pemerintahan sendiri.menurut UU No 5 tahun 1974
pemerintahandaerah adalah satuan pemerintahandibawah pemerintah pusat yang berhak
untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangga
sendiri. Operasional dari pengertian otonomi mencakup dua komponen yaitu :
a. Komponen menetapkan dan melaksanakan kebijakan sebagai komponen yang mengacu
pada konsep pemerintahan yang terdapat dalam pengertian otonomi.
b. Kemandirian sebagi komponen yang mengacu pada kata-kata oleh, dari, dan untuk rakyat.
1) Komponen pertama memiliki ciri sebagai berikut: Terdapatnya wewenang untuk
menetapkan dan melaksanakan kebijakan tertentu yang diperoleh dari pemerintah
pusat.
2) Ciri kompnen kedua yaitu; Wilayah dan orang yang menjadi sasaran wewenang
( domain of power) dan bidang-bidang (gatra) kehiduan yang terliput dalam wewenang
( scope of power) ditetapkan oleh pemrintah pusat melalui peraturan perundang-
undangan.
Baik domain of power maupun scope of power dapat diubah sehingga berpengaruh
terhadap bobot wewenang ( weight of power)
7. Pemerintah Dan Pemerintahan
Dalam UU No 32/ 2004, kata pemerintah mengacu kepada pemerintah pusat, yaitu
presiden RI beserta para menteri. Merupakan subjek penyelenggara. Pemerintah daerah
mengacu kepada gubernur, bupati/walikota denagn perangkat daerahnya. Pemerintahan
daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan
DPRD.

a. Dalam pasal 18 UUD 45


Pemerintahan dimaksud sebagai subjek dalam arti luas ( pemerintahan eksekutif dan
legislatif). Pemerintahan itu lebih luas cakupan pengertianya dari pada pemerintah,
karena tercakup fungsi legislatif, DPRD juga termasuk unsur penyelenggara
pemerintahan daerah. Pemerintahan mencakup pengertian proses penyelenggaraan
pemerintahan, disamping sebagaii subjek penyelenggara pemerintahan.

b. Dalam bab III UUD 45 tentang kekuasaan pemerintahan negara yang dicakup hanya
cabang eksekutifnya saja artinya :
Pemerintahan bermakna proses, mekanisme atau pun upaya penyelenggaraan
pemerintahan. Dalam kontek pemda ( pemerintahan daerah), menurut pasal 18 UUD
45, pemerintahan bermakna subjek pemerintahan yang mencakup eksekutif dan
legislatif sebagai penyandang hak dan kewajiban sebagi penyelenggara pemerintahan
dalam arti luas.

c. Dalam UU No 32 tahun 2004


Pemerintahan, adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemda dan DPRD
menurut asas otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana
dimaksud dalam UUD 45.

Dalam konsep pemrintahan negara konsep pemerintah dan pemeritahan hanya tercakup
dua makna yaitu sebagai subjek dan sebagai proses :
 Pemerintah sebagai struktur;
 Pemerintah sebagai proses, aktivitas atau substansi penyelenggaraan pemerintahan
negara.
Dalam konsep pemerintahan daerah Pemerintahan mengandung makna :
 Sebagai penyelenggara pemerintahan;
 Proses penyelenggaraan pemerintahan.
Istilah Pemerintahan Daerah
1) Pemerintahan daerah administrative;
2) Pemerintahan daerah otonom.

Pemerintahan daerah administratif dibentuk karena pemerintah pusat tidak dapat


menyelenggarakan seluruh urusan pemerintahan negara dari pusat. Dengan demikian Ia
merupakan wakil pusat didaerah yang tunduk pada pusat. (bertugas sebagai
penyelenggara administratif saja). Pemerintahan daerah administratif berlaku asas
dekonsentrasi, sedangkan dalam daerah otonom berlaku asas desentralisasi. Daerah
otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dalam sistem NKRI. Maka atas
dasar depenisi tersebut terdapat unsur-unsur dari daerah otonom yaitu :
a. Unsur batas wilayah;
b. Unsur pemerinthan (terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD);
c. Unsur masyarakat.

Prinsip otonomi daerah dengan menggunakan prinsif otonomi yang selus-luasnya


artinya daerah diberikan wewenang membuat kebijakan darah untuk memberi pelayanan,
peningktan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk
meningkatakan kesejahteran rakyat. Prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab :
1) Nyata untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas
wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada, serta berpotensi untuk tumbuh,
hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kehasan daerah;
2) Bertanggung jawab ” otonomi yang dalam penyelenggaraanya harus benar-benar
sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk
memberdayakan daerah termasuk meningktkan kesejahteran rakyat yang merupakan
tujuan nasional.
Yang menjadi wewenang dari pemerintah daerah adalah :
1) Bidang legislasi seperti perda dan peraturan kepala daerah;
2) Masalah perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintahan daerah dengan
prinsip adil, proporsional, demokratis, transparan dan bertanggung jawab.

7. Sistem Rumah Tangga Daerah


Sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara
membagi wewenang, tugas, dan tanggung jawab mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan antara pusat dan daerah.Salah satu penjelmaan pembagian tersebut, yaitu
daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan, baik atas dasar penyerahan
atau pengakuan ataupun yang dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah.
Berdasarkan pengertian diatas, maka didapatkan beberapa sistem rumah tangga daerah,
yaitu sistem rumah tangga formal, sistem rumah tangga material, dan sistem rumah
tangga nyata atau riil.

a. Sistem Rumah Tangga Formal


Pada sistem rumah tangga formal, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab
antara pusat dan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
tertentu tidak ditetapkan secara rinci. Sistem rumah tangga formal berpangkal tolak
dari prinsip bahwa tidak ada perbedaan sifat urusan yang diselenggarakan pusat dan
yang diselenggarakan oleh daerah. Pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab
untuk mengatur dan mengurus suatu urusan pemerintahan semata-mata didasarkan
pada keyakinan bahwa suatu urusan pemerintahan akan lebih baik dan lebih berhasil
kalau diurus dan diatur oleh satuan pemerinatahan tertentu, dan begitu pula
sebaliknya. Pertimbangan daya guna (dan hasil guna) merupakan titik perhatian untuk
menentukan pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab tersebut. Secara
teoritik, sistem rumah tangga formal memberikan keleluasaan yang seluas-luasnya
kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urursan pemerintahan dan menjadikan
urursan tersebut sebagai urusan pemerintahan daerah.
Dalam kenyataan, sistem rumah tangga formal tidak selalu menjadi pendorong bagi
daerah untuk mengurus dan mengatur urusan pemerintahan. Ada beberapa kesulitan
dalam mempertinggi hasil guna sistem rumah tangga formal :
1) Tingkat hasil guna dan daya guna sistem rumah tangga formal sangat bergantung
pada kreatifitasdan aktivitas daerah;
2) Hambatan lain adalah aspek keuangan daerah;
3) Tidak pula kalah pentingnya masalah teknis.

Dari kajian diatas, ada beberapa pertimbangan untuk mempergunakan sistem rumah
tangga formal :
1) Adanya anggapan bahwa tidak ada perbedaan sifat urursan pemerintahan;
2) Sistem rumah tangga formal merupakan sarana yang memberikan peluang lebih
luas kepada daerah untuk memperluas wewenang, tugas, dan tanggung jawab
dalam urursan pemerintahan;
3) Sistem rumah tangga formal merupakan salah satu cara untuk memelihara warisan
histories dan kebudayaan ketatanegaraan dan pemerintahan asli dengan
cara tetap membiarakan daerah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
yang secara tradisional termasuk urursan rumah tangganya.

b. Sistem Rumah Tangga Material


Keraguan dan ketidakpastian dalam sistem rumah tangga formal dapat diatasi oleh
(dengan) sistem rumah tangga material. Dalam sistem rumah tangga material ada
pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang rinci antara pusat dan daerah.
Sistem rumah tangga material berpangkal tolak pada pemikiran bahwa memang ada
perbedaan mendasar antara urusan pemerintahn pusat dan daerah. Daerah dianggap
memang mempunyai ruang lingkup urusan pemerintahan tersendiri yang secara
material berbeda dengan urusan pemerintahan yang diatur dan diurus oleh pusat.
Lebih lanjut sistem ini berpangkal pada pemikiran bahwa urusan-urusan
permerintahan itu dapat dipilah-pilah dalam berbagai lingkungan satuan
pemerintahan.

Sistem rumah tangga material sebenarnya berpangkal tolak pada dasar pemikiran
yang keliru yaitu anggapan bahwa urusan pemerintahan itu mungkin rinci dan dipilah-
pilah. Memang dalam hal tertentu tampak sifat atau karakter suatu urusan
pemerintahan misalnya yang menyangkut kepentingan dan ketertiban seluruh negara,
seperti urursan pertahanan keamanan, urusan luar negeri, urusan moneter tertentu.
Tetapi cukup banyak urusan pemerintahan yang menampakan sifat atau karaktrer
ganda, misalnya urusan pemerintahan di bidang pertanian. Tidak mudah untuk
menentukan urusan pembibitan masuk rumah tangga daerah, sedangkan pasca panen
masuk urusan pusat.

Lebih lanjut, sistem rumah tangga daerah tidak memberikan peluang secara cepat
menyesuaikan suatu urusan pemerintahan dengan perubahan-perubahan yang terjadi.
Suatu urusan pemerintahan yang semula dianggap sebagai sesuatu yang bersifat
setempat atau lokal, karena perkembangan dapat berubah menjadi suatu urusan yang
bercorak nasional, sehingga perlu diatur dan diurus secara nasional. Misalnya urusan
persampahan. Pada saat ini dalam pengertian sampah termasuk pula sampah industri,
sampah nuklir, dan sebagainya. Disamping itu, karena sifatnya, sampah-sampah baru
itu memerlukan penanganan dengan menggunakan berbagai teknologi yang dan
tenaga-tenaga yang mungkin sekali tidak tersedia atau tidak mamapu disediakan oleh
daerah, sehingga harus diubah bukan lagi sebagai bagian dari urusan rumah tangga
daerah tetapi menjadi urusan rumah tangga nasional (negara)

c. Sistem Rumah Tangga Nyata (Riil)


Sistem rumah tangga ini lazim pula disebut (sistem) otonomi nyata atau otonomi
riil. Disebut “nyata”, karena isi rumah tangga daerah didasarkan kepada keadaan dan
faktor-faktor yang nyata. Tresna menyebut sistem ini mengambil jalan tengah
antara sistem rumah tangga formal dan sistem rumah tangga material.
Memperhatikan apa yang diutarakan Tresna, terkesan bahwa cara-cara yang
terkandung pada sistem rumah tangga formal merupakan prinsip yang lebih
diutamakan daripada cara-cara menurut sistem rumah tangga material.

Seperti diutarakan di muka, wewenang yang dirumuskan secara umum pada


sistem rumah tangga formal memberikan landasan untuk mewujudkan prinsip
kebebasan dan kemandirian dalam rumah tangga. Di pihak lain telah pula diuraikan
mengenai keberatan-keberatan terhadap sistem rumah tangga material. Sistem rumah
tangga material akan merangsang timbulnya ketidakpuasan daerah dan spanning
hubungan antara pusat dan daerah.

Jadi, sistem rumah tangga formal mengandung dasar-dasar yang lebih kokoh untuk
mewujudkann prinsip dan tujuan rumah tangga daripada sistem rumah tangga
material. Hanya dengan sistem rumah tangga formal yang disertai dengan unsur-unsur
sistem rumah tangga material, tutjuan rumah tangga, khususnya otonomi dapat
diwujudkan secara wajar.

Aspek rumah tangga material dalam sistem rumah tangga nyata ternyata
menimbulkan berbagai kritik. Adanya urusan yang diserahkan pada saat pembentukan
daerah, menyebabkan sistem rumah tangga itu tidak konsekuen. Cara-cara penentuan
urusan rumah tangga seperti tersebut di muka, menurut Boedisoesetyo
memnyebabkan sistem rumah tangga nyata tanpa sistem.
d. Unsur- Unsur Dalam Tugas Pembantuan
Unsur-unsur yang terkandung dalam tugas pembantuan dapat dipilah menjadi
kriteria bidang urusan tugas pembantuan dari Pemerintah Pusat ke Daerah dan Desa,
dasar hukum penugasan dan biaya tugas pembantuan dari pemerintaha pusat ke
daerah dan desa, laporan pertanggung jawaban atas pelaksanaan tugas pembantuan
kepada yang menugaskan serta konsekuensinya.

Maksud diadakan asas tugas pembantuan dalam pembangunan di daerah


bertujuan agar keterbatasan jangkauan aparatur pemerintah pusat dapat
ditanggulangi melalui kewenangan aparatur daerah. Daerah berhak menetapkan
kebijakan Daerah dalam melaksanakan Tugas Pembantuan.Kebijakan Daerah hanya
terkait dengan pengaturan mengenai pelaksanaan Tugas Pembantuan di Daerahnya.

Anggaran untuk melaksanakan Tugas Pembantuan disediakan oleh yang


menugasi.Dokumen anggaran untuk melaksanakan Tugas Pembantuan disampaikan
oleh kepala daerah penerima Tugas Pembantuan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) bersamaan dengan penyampaian rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah APBD dalam dokumen yang terpisah. Laporan pelaksanaan anggaran
Tugas Pembantuan disampaikan oleh kepala daerah penerima Tugas Pembantuan
kepada DPRD bersamaan dengan penyampaian laporan keuangan Pemerintah Daerah
dalam dokumen yang terpisah.

8. Sejarah Otonomi Daerah Di Indonesia


a. Warisan Kolonial
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan staatsblaad No. 329 yang
memberi peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan
sendiri. Kemudian staatblaad ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S.
181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan sebuah undang-
undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah provincie, regentschap,
stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale ressort.
Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat
setempat.

Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan
sejumlah kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian,
dalam masa pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua
administrasi pemerintahan.

b. Masa Pendudukan Jepang


Ketika menjalar Perang dingin II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur
mulai Korea Utara ke Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini
berhasil menaklukkan pemerintahan kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di
Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda. Pemerintahan Jepang yang singkat,
sekitar tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-perubahan yang cukup
fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di wilayah-wilayah
bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang
(Osamu Seire) No. 27/1942  yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan
daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.

c. Masa Kemerdekaan
1) Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitik beratkan pada asas dekonsentrasi,
mengatur pembentukan KND (Komite Nasional Daerah) di keresidenan,
kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh
mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi
dalam tiga tingkatan yakni :
 Provinsi;
 Kabupaten/Kota Besar;
 Desa/Kota Kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera
saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki
penjelasan.

d. Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948


Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU
Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948.
Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
 Propinsi;
 Kabupaten/kota besar;
 Desa/kota kecil;
 Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.

e. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957


Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah
swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus
rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu :
 Daerah swatantra tingkat I, termasuk kota praja Jakarta Raya;
 Daerah swatantra tingkat II;
 Daerah swatantra tingkat III;
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitik beratkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-
luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
f. Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965
Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
 Provinsi (tingkat I);
 Kabupaten (tingkat II);
 Kecamatan (tingkat III).
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan
kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi
antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan
menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat.
Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin
pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan
dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar
pengadilan.

g. Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974


UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah
tangganya berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah,
yaitu daerah tingkat I dan daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut
tingkatannya menjadi :
 Provinsi/ibu kota negara;
 Kabupaten/kotamadya;
 Kecamatan.
Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II
berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi
aspirasi masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab.

h. Periode Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999


Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang
lebih mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22
tahun  1999 adalah sebagai berikut :
1) Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian
kewenangan berdasarkan asas desentralisasi dalam kerangka NKRI;
2) Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah
daerah provinsi sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi
adalah daerah kabupaten dan daerah kota;
3) Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi;
4) Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak membawa kemajuan bagi daerah dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan
masyarakat daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan
kesejahteraan bagi masyarakat.
i. Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah
Daerah yang  dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya
UU ini, UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku
lagi. UU baru ini memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten
dan provinsi, antara provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan
administrasi dan kesatuan wilayah. Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi,
supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan di bawahnya, demikian juga provinsi
terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan kemitraan dan sejajar antara
kepala daerah dan DPRD semakin di pertegas dan di perjelas.

10. Perkembangan Pengaturan Asas Tugas Pembantuan dalam Penyelenggaraan


Pemerintah Daerah
1. Pengaturan Tugas Pembantuan Berdasarkan UU No. 1 tahun 1945;
2. Pengaturan Tugas Pembantuan Berdasarkan UU No. 22 tahun 1948;
3. Pengaturan Tugas Pembantuan Berdasarkan UU NIT No. 44 tahun 1950;
4. Pengaturan Tugas Pembantuan Berdasarkan Penpres UU No. 6 tahun 1959;
5. Pengaturan Tugas Pembantuan Berdasarkan UU No. 18 tahun 1965;
6. Pengaturan Tugas Pembantuan Berdasarkan UU No. 5 tahun 1974;
7. Pengaturan Tugas Pembantuan Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999;
8. Pengaturan Tugas Pembantuan Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004.

10. Organisasi Perangkat Daerah


Untuk penyelenggaraan administrasi pemerintahan serta program dan kegiatan
pemerintah, Kepada Daerah baik itu Gubernur dan Bupati/Walikota dibantu oleh
perangkat daerah. Perangkat Daerah atau Organisasi Perangkat Daerah (OPD) merupakan
organisasi atau lembaga pada Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab kepada Kepala
Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah.Perangkat Daerah
dibentuk oleh masing-masing Daerah berdasarkan pertimbangan karakteristik, potensi,
dan kebutuhan Daerah.

Dasar utama penyusunan organisasi perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi
adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang terdiri
atas urusan wajib dan urusan pilihan, namun tidak berarti setiap penanganan urusan
pemerintahan harus dibentuk kedalam organisasi tersendiri. Pembentukan perangkat
daerah semata-mata didasarkan pada pertimbangan rasional untuk melaksanakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangandaerah secara efektif dan efisien. Urusan wajib
dan urusan pilihan dapat dilihat disini.

Penataan Organisasi Perangkat Daerah serta penyusunan struktur organisasi pada


Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) saat ini dilakukan berdasarkan pada kerangka
regulasi serta kebutuhan obyektif dan kondisi lingkungan strategis daerah. Kerangka
regulasi yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 sebagai
perubahan terhadap PeraturanPemerintah sebelumnya. Selain PP No. 41/2007, penataan
kelembagaan perangkat daerah juga memperhatikan peraturan perundang-undangan yang
memiliki relevansi dengan program penataan organisasi. Berdasarkan Undang-Undang 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah perangkat daerah provinsi dan
kabupaten/kota ditetapkan melalui Peraturan Daerah dengan bentuk sebagai berikut :
a. Perangkat Daerah Provinsi : Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Inspektorat, Dinas
dan Badan;
b. Perangkat Daerah Kabupaten/Kota : Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Inspektorat,
Dinas dan Badan.

Pembentukan organisais perangkat daerah yang berupa Dinas atau Badan


diklasifikasikan berdasarkan Tipe A (beban kerja yang besar), Tipe B (beban kerja yang
sedang) dan Tipe C (beban kerja yang kecil). Penentuan beban kerja bagi Dinas didasarkan
pada jumlah penduduk, luas wilayah, besaran masing-masing Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah, dan kemampuan keuangan Daerah untuk Urusan
Pemerintahan Wajib dan berdasarkan potensi, proyeksi penyerapan tenaga kerja,
dan pemanfaatan lahan untuk Urusan Pemerintahan Pilihan. Sedangkan besaran beban
kerja pada Badan berdasarkan padajumlah penduduk, luas wilayah, kemampuan keuangan
Daerah, dan cakupan tugas. Pemberian nama/nomenklatur Dinas dan Badan disesuikan
dengan perumpunan dan klasifikasi yang telah ditentukan. Perumpunan urusan yang
diwadahi dalam bentuk Dinas terdiri dari :
1) bidang pendidikan, pemuda dan olahraga;
2) bidang kesehatan;
3) bidang sosial, tenaga kerja dan transmigrasi;
4) bidang perhubungan, komunikasi dan informatika;
5) dll.

Perumpunan urusan yang diwadahi dalam bentuk badan, kantor, inspektorat, dan
rumah sakit, terdiri dari :
1) bidang perencanaan pembangunan dan statistik;
2) bidang penelitian dan pengembangan;
3) bidang kesatuan bangsa, politik dan perlindungan masyarakat;
4) bidang lingkungan hidup;
5) bidang ketahanan pangan;
6) dll.

Dengan adanya Presiden dan Wakil Presiden yang baru dan dengan Penetapan


Numenklatur Kementerian baru maka Kementerian Dalam Negeri akan melakukan
pembahasan untuk melakukan perubahan pada PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Perangkat Daerah sehingga dimungkinkan akan berubahnya pedoman dan perumpunan
urusan. Selain perangkat daerah diatas Gubernur/ Bupati/Walikota dapat membentuk unit
pelayanan terpadu untuk meningkatkan dan keterpaduan pelayanan masyarakat di bidang
perizinan yang bersifat lintas sektor. Unit pelayanan terpadu tersebut merupakan gabungan
dari unsur-unsur perangkat daerah yang menyelenggarakan fungsi perizinan. Terkait unit
pelayanan terpadu akan dibahas pada posting selanjutnya. 
11. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah menurut Ketentuan
Umum UU No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah
Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demikratis,
transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan
desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah.Dana
perimbangan ini terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus.
Jumlah dana perimbangan ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN (UU No. 33 Th.
2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 10
tentang Dana Perimbangan:273).

a. Dana Bagi Hasil


Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dibagihasilkan kepada daerah berdasarkan angka presentase tertentu. Dana Bagi hasil
bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil dari pajak meliputi pajak
bumi dan bangunan, penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan
pajak penghasilan. Dan dana bagi hasil dari sumber daya alam berasal dari kehutanan,
pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas
bumi dan pertambangan panas bumi (UU No. 33 Th. 53 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 11 tentang Dana Bagi Hasil: 273).

b. Dana Alokasi Umum (DAU)


DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang
dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan antar daerah melalui
penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU
suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal suatu daerah, yang
merupakan selisih dari kebutuhan daerah dan potensi daerah. Alokasi DAU bagi
daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh
alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun
kebutuhan fiskalnya besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara implisit,
prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal
(Penjelasan UU No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan
Pemerintah Daerah: 324).

DAU untuk daerah propinsi dan daerah kabupaten ditetapkan masing-masing 10%
dan 90% dari DAU. DAU bagi masing-masing propinsi dan kabupaten dihitung
berdasarkan perkalian dari jumlah DAU bagi seluruh daerah, dengan bobot daerah
yang bersangkutan dibagi dengan jumlah masing-masing bobot seluruh daerah di
seluruh Indonesia (Bratakusumah dan Solihin, 2001: 183).
c. Dana Alokasi Khusus (DAK)
DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus di
daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional,
khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar
masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan
pembangunan daerah (Penjelasan UU No. 33 Th. 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pusat dan Pemerintah Daerah : 324).
Dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu
membiayai kebutuhan tertentu :
Dana Bagi Hasil, yaitu Pembagian hasil penerimaan dari,
1. SDA dari, minyak bumi, gas alam, pertambangan umum, kehutanan, dan
perikanan;
2. Penerimaan perpajakan (tax sharring) dari pajak perseorangan (PPh), Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB), dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB).

Pengaturan relasi keuangan pemerintah pusat dan daerah, yang antara lain
dilaksanakan melalui dana perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah
(PKPD) adalah :
1. Dalam rangka pemberdayaan (empowerment) masyarakat dan pemerintah daerah
agar tidak tertinggal di bidang pembangunan;
2. Untuk mengintensifkan aktivitas dan kreativitas perekonomian masyarakat daerah
yang berbasis pada potensi yang dimiliki setiap daerah. Pemda dan DPRD
bertindak sebagai Fasilitator dalam pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh
rakyatnya. Artinya dalam era otda rakyat harus berperan aktif dalam perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan derahnya;
3. Mendukung terwujudnya goog governance oleh Pemda melalui perimbanhan
keuangan secara transparan;
4. Untuk menyelenggarakan otda secara demokratis, efektif, dan efisien dibutuhkan
SDM yang profesional, memiliki moralitas yang baik. Oleh sebab itu, desentralisasi
fiskal yang dilaksanakan melalui perimbangan keuangan akan meningkatkan
kemampuan daerah dalam membangun dan pemberian pelayanan kepada
masyarakat daerah, bukan hanya sekedar pembagian dana, lalu terjadi
“desentralisasi KKN” dari pusat ke daerah.

Sektor atau kegiatan yang tidak dapat dibiayai dari DAK adalah dana administrasi,
biaya penyiapan proyek fisik, biaya penelitian, biaya pelatihan, biaya perjalanan
pegawai daerah dan lain-lain biaya umum sejenis (Bratakusumah dan Solihin, 2001:
188). Besarnya DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN.Sedangkan Dana Darurat,
Pemerintah mengalokasikannya yang bersumber dari APBN untuk keperluan
mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang
tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan menggunakan sumber APBD. Semua
penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus
dimasukkan dalam APBD.
12. Teknik dan Tata Cara Penyusunan APBD Kabupaten Kota berbasis Kinerja
Proses perencanaan dan penyusunan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah) mengacu pada PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,
secara garis besar sebagai berikut :
a. Penyusunan rencana kerja pemerintah daerah;
b. Penyusunan rancangan kebijakan umum APBD serta prioritas dan plafon anggaran
sementara;
c. Penyusunan rencana kerja dan anggaran SKPD;
d. Penyusunan rancangan perda APBD;
e. Penetapan APBD.

1) Rencana Kerja Pemerintah Daerah


Penyusunan APBD didasarkan pada perencanaan yang sudah ditetapkan terlebih
dahulu, mengenai program dan kegiatan yang akan dilaksanakan. Bila dilihat dari
perspektif waktunya, perencanaan di tingkat pemerintah daerah dibagi menjadi tiga
kategori yaitu: (1)Rencana Jangka Panjang Daerah (RPJPD) merupakan perencanaan
pemerintah daerah untuk periode 20 tahun; (2)Rencana Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) merupakan perencanaan pemerintah daerah untuk periode 5 tahun;
(3)Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) merupakan perencanaan tahunan
daerah. Sedangkan perencanaan di tingkat SKPD terdiri dari Rencana Strategi (Renstra)
SKPD merupakan rencana untuk periode 5 tahun, dan Rencana Kerja (Renja) SKPD
merupakan rencana kerja tahunan SKPD. Proses penyusunan perencanaan di tingkat
satker dan pemda dapat diuraikan sebagai berikut :
 SKPD menyusun rencana strategis (Renstra-SKPD) yang memuat visi, misi, tujuan,
strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan yang bersifat indikatif
sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing;
 Penyusunan Renstra-SKPD dimaksud berpedoman pada rencana pembangunan
jangka menengah daerah (RPJMD). RPJMD memuat arah kebijakan keuangan
daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program SKPD, lintas
SKPD, dan program kewilayahan;
 Pemda menyusun rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) yang merupakan
penjabaran dari RPJMD dengan menggunakan bahan dari Renja SKPD untuk jangka
waktu satu tahun yang mengacu kepada Renja Pemerintah;
 Renja SKPD merupakan penjabaran dari Renstra SKPD yang disusun berdasarkan
evaluasi pencapaian pelaksanaan program dan kegiatan tahun-tahun sebelumnya;
 RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas, pembangunan dan
kewajiban daerah, rencana kerja yang terukur dan pendanaannya, baik yang
dilaksanakan langsung oleh pemda maupun ditempuh dengan mendorong
partisipasi masyarakat;
 Kewajiban daerah sebagaimana dimaksud di atas adalah mempertimbangkan
prestasi capaian standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan perundang-
undangan;
 RKPD disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan;
 Penyusunan RKPD diselesaikan selambat-lambatnya akhir bulan Mei tahun
anggaran sebelumnya;
 RKPD ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.

2) Kebijakan Umum APBD serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS)
Suatu jembatan antara proses perumusan kebijakan dan penganggaran merupakan hal
penting dan mendasar agar kebijakan menjadi realitas dan bukannya hanya sekedar
harapan. Untuk tujuan ini harus ditetapkan setidaknya dua aturan yang jelas :
 Implikasi dari perubahan kebijakan (kebijakan yang diusulkan) terhadap sumber
daya harus dapat diidentifikasi, meskipun dalam estimasi yang kasar, sebelum
kebijakan ditetapkan. Suatu entitas yang mengajukan kebijakan baru harus dapat
menghitung pengaruhnya terhadap pengeluaran publik, baik pengaruhnya
terhadap pengeluaran sendiri maupun terhadap departemen pemerintah yang
lain;
 Semua proposal harus dibicarakan/dikonsultasikan dan dikoordinasikan dengan
para pihak terkait : Ketua TAPD, Kepala Bappeda dan Kepala SKPD;
 Dalam proses penyusunan anggaran, tim anggaran pemerintah daerah (TAPD)
harus bekerjasama dengan baik dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD)
untuk menjamin bahwa anggaran disiapkan dalam koridor kebijakan yang sudah
ditetapkan (KUA dan PPAS); dan menjamin semua stakeholders terlibat dalam
proses penganggaran sesuai dengan peraturan yang berlaku;
 Konsultasi dapat memperkuat legislatif untuk menelaah strategi pemerintah dan
anggaran. Dengan pendapat antara legislatif dan pemerintah, demikian juga
dengan adanya tekanan dari masyarakat, dapat memberi mekanisme yang efektif
untuk mengkonsultasikan secara luas kebijakan yang terbaik. Pemerintah harus
berusaha untuk mengambil umpan balik atas kebijakan dan pelaksanaan
anggarannya dari masyarakat, misalnya melalui survey, evaluasi, seminar dan
sebagainya. Akan tetapi, proses penyusunan anggaran harus menghindari tekanan
yang berlebihan dari pihak-pihak yang berkepentingan dan para pelobi, agar
penyusunan anggaran dapat diselesaikan tepat waktu.

a. Kebijakan Umum APBD (KUA)


Proses penyusunan KUA adalah sebagai berikut :
1) Kepala daerah berdasarkan RKPD menyusun rancangan kebijakan umum APBD
(RKUA);
2) Penyusunan RKUA berpedoman pada pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan
oleh Menteri Dalam Negeri setiap tahun. Sebagai contoh untuk bahan penyusunan
APBD Tahun 2007 Menteri Dalam Negeri telah menerbitkan Permendagri Nomor
26 Tahun 2006 tertanggal 1 September 2006 tentang Pedoman Penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2007;
3) Kepala daerah menyampaikan RKUA tahun anggaran berikutnya, sebagai landasan
penyusunan RAPBD, kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan bulan Juni
tahun anggaran berjalan;
4) RKUA yang telah dibahas kepala daerah bersama DPRD dalam pembicaraan
pendahuluan RAPBD selanjutnya disepakati menjadi Kebijakan Umum APBD (KUA);
5) Pedoman Penyusunan Anggaran seperti tercantum dalam Permendagri Nomor 26
Tahun 2006 tersebut di atas memuat antara lain :
 Pokok-pokok kebijakan yang memuat sinkronisasi kebijakan pemerintah
dengan pemerintah daerah;
 Prinsip dan kebijakan penyusunan APBD tahun anggaran bersangkutan;
 Teknis penyusunan APBD; dan
 Hal-hal khusus lainnya.

b. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS)


Untuk penyusunan rancangan APBD, diperlukan adanya urutan Prioritas dan
Plafon Anggaran Sementara (PPAS). PPAS merupakan program prioritas dan patokan
batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD untuk setiap program sebagai
acuan dalam penyusunan RKA-SKPD. Proses penyusunan dan pembahasan PPAS
menjadi PPA adalah sebagai berikut :
1) Berdasarkan KUA yang telah disepakati, pemda dan DPRD membahas rancangan
prioritas dan plafon anggaran sementara (PPAS) yang disampaikan oleh kepala
daerah;
2) Pembahasan PPAS;
3) Pembahasan PPAS dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
 Menentukan skala prioritas dalam urusan wajib dan urusan pilihan;
 Menentukan urutan program dalam masing-masing urusan;
 Menyusun plafon anggaran sementara untuk masing-masing program.
4) KUA dan PPAS yang telah dibahas dan disepakati bersama kepala daerah dan DPRD
dituangkan dalam nota kesepakatan yang ditandatangani bersama oleh kepala
daerah dan pimpinan DPRD;
5) Kepala daerah berdasarkan nota kesepakatan menerbitkan pedoman penyusunan
rencana kerja dan anggaran SKPD (RKA-SKPD) sebagai pedoman kepala SKPD
menyusun RKA-SKPD.

Berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 87 ayat (2) Permendagri


Nomor 13 Tahun 2006, kepala daerah menyampaikan rancangan PPAS kepada DPRD
untuk dibahas bersama antara TAPD dan panitia anggaran DPRD paling lambat minggu
kedua bulan Juli dari tahun anggaran berjalan. Setelah disepakati bersama PPAS
tersebut ditetapkan sebagai Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA) paling lambat pada
akhir bulan Juli tahun anggaran berjalan.
c. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD)
Menurut Pasal 89 ayat (3) Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, setelah ada Nota
Kesepakatan tersebut di atas Tim Anggaran (TAPD) menyiapkan surat edaran kepala
daerah tentang Pedoman Penyusunan RKA-SKPD yang harus diterbitkan paling lambat
awal bulan Agustus tahun anggaran berjalan.

Pengaturan pada aspek perencanaan diarahkan agar seluruh proses penyusunan


APBD semaksimal mungkin dapat menunjukkan latar belakang pengambilan keputusan
dalam penetapan arah kebijakan umum, skala prioritas dan penetapan alokasi serta
distribusi sumber daya dengan melibatkan partisipasi masayarakat. Sementara itu,
penyusunan anggaran dilakukan dengan tiga pendekatan, yaitu pendekatan kerangka
pengeluaran jangka menengah (KPJM), pendekatan anggaran terpadu, dan
pendekatan anggaran kinerja.

Pendekatan KPJM adalah pendekatan penganggaran berdasarkan kebijakan,


dengan pengambilan keputusan terhadap kebijakan tersebut dilakukan dalam
perspektif lebih dari satu tahun anggaran, dengan mempertimbangkan implikasi biaya
keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam
prakiraan maju. Kerangka pengeluaran jangka menengah digunakan untuk mencapai
disiplin fiskal secara berkelanjutan. Gambaran jangka menengah diperlukan karena
rentang waktu anggaran satu tahun terlalu pendek untuk tujuan penyesuaian prioritas
pengeluaran, dan ketidakpastian terlalu besar bila perspektif anggaran dibuat dalam
jangka panjang (di atas 5 tahun). Proyeksi pengeluaran jangka menengah juga
diperlukan untuk menunjukkan arah perubahan yang diinginkan. Dengan
menggambarkan implikasi dari kebijakan tahun berjalan terhadap anggaran tahun-
tahun berikutnya, proyeksi pengeluaran multi tahun akan memungkinkan pemerintah
untuk dapat mengevaluasi biaya-efektivitas (kinerja) dari program yang dilaksanakan.
Sedangkan pada pendekatan anggaran tahunan yang murni, hubungan antara
kebijakan sektoral dengan alokasi anggaran biasanya lemah, dalam arti sumber daya
yang diperlukan tidak cukup mendukung kebijakan/program yang ditetapkan. Akan
tetapi, harus dihindari perangkap dimana pendekatan pemograman multi tahun ini
dengan sendirinya membuka peluang terhadap peningkatan pengeluaran yang tidak
perlu atau tidak relevan.

Penganggaran terpadu (unified budgeting) adalah penyusunan rencana keuangan


tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna
melaksanakan kegiatan pemerintahan yang didasarkan pada prinsip pencapaian
efisiensi alokasi dana dan untuk menghindari terjadinya duplikasi belanja. Sedangkan
penyusunan anggaran berbasis kinerja dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan
antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi
dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Dalam penyusunan anggaran berbasis
kinerja diperlukan indikator kinerja, standar biaya, dan evaluasi kinerja dari setiap
program dan jenis kegiatan.
Pendekatan penganggaran berdasarkan prestasi kerja dilaksanakan dengan
memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dan keluaran yang diharapkan dari
kegiatan dengan hasil kerja dan manfaat yang diharapkan termasuk efisiensi dalam
pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Anggaran Berbasis Kinerja ini disusun
berdasarkan pada :
1) Indikator kinerja;
2) Capaian atau target kinerja;
3) Analisis standar belanja (ASB);
4) Standar satuan kerja, dan
5) Standar pelayanan minimal;

Dokumen penyusunan anggaran yang disampaikan oleh masing-masing satuan


kerja perangkat daerah (SKPD) yang disusun dalam format Rencana Kerja dan
Anggaran (RKA) SKPD harus betul-betul dapat menyajikan informasi yang jelas tentang
tujuan, sasaran, serta korelasi antara besaran anggaran (beban kerja dan harga satuan)
dengan manfaat dan hasil yang ingin dicapai atau diperoleh masyarakat dari suatu
kegiatan yang dianggarkan. Oleh karena itu penerapan anggaran berbasis kinerja
mengandung makna bahwa setiap pengguna anggaran (penyelenggara pemerintahan)
berkewajiban untuk bertanggungjawab atas hasil proses dan penggunaan sumber
dayanya.
Selanjutnya, beberapa prinsip dalam disiplin anggaran yang perlu diperhatikan
dalam penyusunan anggaran daerah antara lain adalah (1) Pendapatan yang
direncanakan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai
untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan
batas tertinggi pengeluaran belanja; (2) Penganggaran pengeluaran harus didukung
dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak
dibenarkan melaksanakan kegiatan yang belum tersedia atau tidak mencukupi kredit
anggarannya dalam APBD/Perubahan APBD; dan (3) Semua penerimaan dan
pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukan dalam
APBD dan dilakukan melalui rekening Kas Umum Daerah.

d. Penyiapan Raperda APBD


RKA-SKPD yang telah disusun, dibahas, dan disepakati bersama antara Kepala SKPD
dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) digunakan sebagai dasar untuk
penyiapan Raperda APBD. Raperda ini disusun oleh pejabat pengelola keuangan
daerah yang untuk selanjutnya disampaikan kepada kepala daerah. Raperda tentang
APBD harus dilengkapi dengan lampiran-lampiran berikut ini :
1) Ringkasan APBD menurut urusan wajib dan urusan pilihan;
2) Ringkasan APBD menurut urusan pemerintahan daerah dan organisasi;
3) Rincian APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, pendapatan,
belanja, dan pembiayaan;
4) Rekapitulasi belanja menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, program,
dan kegiatan;
5) Rekapitulasi belanja daerah untuk keselarasan dan keterpaduan urusan
pemerintahan daerah dan fungsi dalam kerangka pengelolaan keuangan negara;
6) Daftar jumlah pegawai per-golongan dan per-jabatan;
7) Daftar piutang daerah;
8) Daftar penyertaan modal (investasi) daerah;
9) Daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset tetap daerah;
10) Daftar perkiraan penambahan dan pengurangan aset-aset lain;
11) Daftar kegiatan-kegiatan tahun anggaran sebelumnya yang belum diselesaikan dan
dianggarkan kembali dalam tahun anggaran ini;
12) Daftar dana cadangan daerah; dan
13) Daftar penjaman daerah.

Suatu hal penting yang harus diperhatikan adalah bahwa sebelum disampaikan dan
dibahas dengan DPRD, Raperda tersebut harus disosialisasikan terlebih dahulu kepada
masyarakat yang bersifat memberikan informasi tentang hak dan kewajiban pemerintah
daerah serta masyarakat dalam pelaksanaan APBD pada tahun anggaran yang
direncanakan. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi tentang Raperda APBD ini dilaksanakan
oleh Sekretaris Daerah selaku koordinator pengelola keuangan daerah.

e. Penetapan APBD
Proses penetapan APBD melalui tahapan sebagai berikut :
1) Penyampaian dan Pembahasan Raperda tentang APBD
Menurut ketentuan dari Pasal 104 Permendagri No. 13 Tahun 2006, Raperda
beserta lampiran-lampirannya yang telah disusun dan disosialisasikan kepada
masyarakat untuk selanjutnya disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD
paling lambat pada minggu pertama bulan Oktober tahun anggaran sebelumnya
dari tahun anggaran yang direncanakan untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Pengambilan keputusan bersama ini harus sudah terlaksana paling lama 1 (satu)
bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dimulai.

Atas dasar persetujuan bersama tersebut, kepala daerah menyiapkan


rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD yang harus disertai dengan nota
keuangan. Raperda APBD tersebut antara lain memuat rencana pengeluaran yang
telah disepakati bersama. Raperda APBD ini baru dapat dilaksanakan oleh
pemerintahan kabupaten/kota setelah mendapat pengesahan dari Gubernur
terkait. Selanjutnya menurut Pasal 108 ayat (2) Permendagri Nomor 13 Tahun
2006, apabila dalam waktu 30 (tiga puluh hari) setelah penyampaian Raperda
APBD Gubernur tidak mengesahkan raperda tersebut, maka kepala daerah
(Bupati/Walikota) berhak menetapkan Raperda tersebut menjadi Peraturan Kepala
Daerah.
2) Evaluasi Raperda tentang APBD dan Rancangan Peraturan Kepala Daerah
tentang Penjabaran APBD
Raperda APBD pemerintahan kabupaten/kota yang telah disetujui dan
rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan
oleh Bupati.Walikota harus disampaikan kepada Gubernur untuk di-evaluasi dalam
waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja.

Evaluasi ini bertujuan demi tercapainya keserasian antara kebijakan daerah


dan kebijakan nasional, keserasian antara kepentingan publik dan kepentingan
aparatur, serta untuk meneliti sejauh mana APBD kabupaten/kota tidak
bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan yang lebih tinggi dan/atau
peraturan daerah lainnya. Hasil evaluasi ini sudah harus dituangkan dalam
keputusan gubernur dan disampaikan kepada bupati/walikota paling lama 15 (lima
belas ) hari kerja terhitung sejak diterimanaya Raperda APBD tersebut.

3) Penetapan Perda tentang APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang


Penjabaran APBD
Tahapan terakhir adalah menetapkan raperda APBD dan rancangan peraturan
kepala daerah tentang penjabaran APBD yang telah dievaluasi tersebut menjadi
Peraturan Daerah tentang APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang Penjabaran
APBD paling lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya. Setelah itu
Perda dan Peraturan Kepala Daerah tentang penjabaran APBD ini disampaikan
oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur terkait paling lama 7 (tujuh) hari kerja
setelah tanggal ditetapkan.

13. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia


a. Hubungan Wewenang
Dimana ini merupakan sebuah hubungan tentang urusan pemerintahan yang akan
dilaksanakan oleh pemerintah atau pemerintah pusat, urusan pemerintahan yang akan
di laksanakan oleh pemerintah provinsi dan yang di laksanakan oleh pemerintah kota
atau pemerintah kabupaten.

b. Hubungan Keuangan
Para pemerintah daerah yang memiliki SDA yang lebih besar tentunya akan
menyambut dengan senang dan penuh partisipasi namun adanya kesenjangan seperti
daerah yang tidak memiliki SDA yang baik dan miskin akan mendapatkan kekhawatiran
dan ini akan mempengaruhi banyaknya pendapatan daerah yang mereka terima. Dan
daerah otonom akan di berikan tuntutan agar bisa mencari sumber alternatif untuk
mendapatkan sumber pembiayaan dan bantuan dari pemerintahan pusat
c. Pelayanan Umum
Pemerintah pusat dan daerah tidak akan bisa di pisahkan sebagai sarana yang luas
memberikan pelayanan menyeluruh terhadap masyarakat sebuah bangsa. Dan jika
diartikan secara umum maka kedua jenis pemerintahan ini memegang tanggung jawab
yang sejalan.

d. Pemanfaatan SDA dan Sumber Daya Lainnya


Dimana akan terbentuk hubungan yang akan mengatur tentang pemanfaatan
segala sumber kekayaan untuk kepentingan seluruh rakyat.

e. Hubungan Fungsional
Ini merupakan sebuah hubungan yang di dasari oleh konteks penyelenggaraan
program pemerintah. Yang jika diartikan secara umum merupakan sebuah proses
timbal balik yang berupa sebuah hubungan atau bagian yang terjadi karena faktor
proses, kepentingan yang sama danhubungan sebab akibat. Keseluruhan hubungan ini
harus di lakukan dengan adil dan selaras antara pemerintah pusat dan daerah.

14. Hubungan antara APBN dengan Pertumbuhan Ekonomi


APBN dan pertumbuhan ekonomi merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Alokasi dana yang terdapat di dalam APBN digunakan untuk pembangunan. Dengan
adanya pembangunan ekonomi akan tercipta pertumbuhan ekonomi. APBN dan
pertumbuhan ekonomi merupakan dua indikator yang penting dalam menentukan tingkat
kemakmuran rakyat. Indikator-indikator yang menjadi asumsi di dalam penyusunan APBN
adalah indikator makro ekonomi yang menjadi indikator dalam proses pertumbuhan
ekonomi.Beberapa kebijakan dalam pengelolaan APBN senantiasa diarahkan kepada
terciptanya pertumbuhan ekonomi, walaupun pertumbuhan ekonomi itu sendiri tidak bisa
dipaksakan. Ada beberapa alasan yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi bergerak
lambat walaupaun stabilitas ekonomi makro sudah tercapai :

a. Masih tingginya pengangguran dan kerentanan pasar tenaga kerja. Pengangguran yang
tinggi terkait kepada pertambahan penduduk dan kualitas pendidikan dan skill
sebagian terbesar SDM kita. Di lain fihak pasar tenaga kerja juga kurang fleksibel,
artinya, amat mahal bagi perusahaan untuk mengurangi tenaga kerjanya kalau
pasarnya menciut. Biaya pesangon untuk pemutusan hubungan kerja amat tingginya.
Karena hubungan industrial di Indonesia kurang menguntungkan perusahaan maka
banyak bakal investor internasional memilih lokasi Cina dan Vietnam ketimbang
Indonesia;

b. Lemahnya kegiatan investasi dan permasalahan fundamental terkait.Lemahnya


kegiatan investasi baru juga oleh karena bagi pengusaha kepastian hukum sejak
reformasi telah berkurang. Pelaksanaan otonomi daerah menambah ketidak pastian.
Indonesia sekarang terkenal sebagai high-cost economy. Salah suatu sumber ekonomi
biaya tinggi adalah kurang memadainya infra-struktur, karena sejak 1998 praktis tidak
ada investasi pemerintah di bidang infra-struktur ini. Sebetulnya masih ada suatu
rintangan fundamental, yakni intermediasi sistim perbankan belum bisa bekerja secara
normal, karena ketatnya prudential rules yang baru dan masih ada trauma kredit
macet;

c. Pemerintah sendiri harus memaksimalkan investasi lewat anggaran belanjanya,


misalnya untuk membangun infra-struktur yang tidak menguntungkan bagi investor
swasta. Tetapi, pengelolaan APBN ini masih mengandung permasalahan sendiri, yang
juga terkait dengan prinsip kehati-hatian (prudence);

d. Tingginya potensi tekanan inflasi secara struktural;

e. Di level teknis sudah ada kesepakatan antara Pemerintah dan Bank Indonesia untuk
membawa tingkat inflasi jangka panjang ke kisaran 3% setahun. Untuk tahun 2005
sasaran BI adalah 6% plus-minus 1%, untuk tahun 2006 5,5% plus-minus 1% dan untuk
tahun 2007 5% plus-minus 1%. Begitu juga untuk tahun 2008 dan 2009. Pengendalian
inflasi masih menghadapi resiko intern dan ekstern yang cukup besar.

Sumber-sumber pembiayaan untuk pelaksanaan desentralisasi terdiri dari: (1)


Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu pajak daerah, retribusi daerah dan hasil BUMD, (2)
Dana Perimbangan, (3) Pinjaman Daerah dan (4) Penerimaan lain-lain yang sah. Daerah
otonom harus memiliki kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri,
mengelola dan menggunakannya untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan
daerahnya. Ketergantungan kepada bantuan Pusat masih sangat kuat, harus diupayakan
seminimal mungkin. Optimalisasi sumber-sumber PAD perlu dilakukan. Untuk itu
diperlukan intensifikasi dan ekstensifikasi subyek-subyek pendapatan daerah, antara lain
dilakukan dengan cara: memperluas basis penerimaan, memperkuat proses pemungutan,
meningkatkan pengawasan, meningkatkan efisiensi administrasi dan menekan biaya
pemungutan, dan meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih
terarah. Salah satu pilar utama dalam melaksanakan otonomi daerah adalah meningkatkan
kemampuan keuangan daerah. Salah satu aspek dalam upaya optimalisasi penerimaan
pendapatan daerah adalah meningkatkan sumber-sumber pembiayaan untuk pelaksanaan
desentralisasi.

Anda mungkin juga menyukai