Anda di halaman 1dari 12

Nama : I Ketut Adi Endra Darmaputra

NPM : 202110121044

Kelas : A2

Matkul : Hukum Tata Negara

Dosen : 1. Prof. Dr. I Dewa Gede Atmadja, SH.,MS


2. Indah Permatasari, SH.,MH

RESUME DASAR – DASAR HUKUM TATA NEGARA

Pemerintahan Daerah.

Istilah pemerintahan daerah sinonim dengan "pemerintahan lokal" (local government).


Pemerintahan daerah atau pemerintahan lokal adalah satuan pemerintahan yang memiliki
wewenang mengatur dan mengurus daerahnya sendiri di bawah pemerintah pusat. Dalam teori HTN
dikenal ada dua figur pemerintahan daerah atau pemerintahan lokal dari, yaitu:

a. Pemerintahan daerah/lokal administrative pemerintahan wilayah yang merupakan satuan


daerah
atau pemerintahan hanya menjalankan kewenangan yang merupakan urusan pemerintah pusat di
daerah terdiri atas: Wilayah Provinsi, Kabupaten, Kota administratif, dan Kecamatan. Seluruh biaya
penyelenggaraan pemerintahan administratif dananya dan fasilitas bersumber dari pemerintah
pusat (APBN).

b.Pemerintahan daerah/lokal otonom merupakan satuan-satuan pemerintahan di bawah


pemerintah pusat, tetapi berwenang mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (urusan
pemerintahan sendiri) sesuai dengan aspirasi masyarakat). UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan Daerah mengatur kedua figure atau bentuk pemerintahan lokal, pemerintahan
daerah/lokal otonom dan administratif. Dikenal dengan susunan pemerintah daerah yakni: Daerah
Tingkat 1/ Provinsi, Daerah Tingkat II/Kabupaten/Kotamadya, Kota Administratif, dan Kecamatan.
Sejak Proklamasi Kemerdekaan sampai saat ini, UU yang mengatur pemerintahan daerah senantiasa
berganti sesuai dengan konfigurasi politik.

Dapat diketahui dari dinamika penggantian UU Pemerintahan Daerah atau UU Otonomi Daerah.
Tercatat ada tujuh undang-undang pemerintahan daerah, yaitu:
a. UU No 1 Tahun 1945 Tentang Pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID);
b. UU No. 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah;
c. UU No. 1 Tahun 1957 Tentang Pemerintahan Daerah (di bawah UUDS 1950);
d. UU No. 18 Tahun 1965 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah;
e. UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah; () UU No. 22 Tahun
1999 Tentang Pemerintahan Daerah;
f. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah; dan
g. UU No 23 Tahun 2014 Jo. UU No. 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas UU Tentang
Pemerintahan Daerah. Ditambah UU No. 33 Tahun 2004 tentang Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. /

Dasar Hukum dan Asas-Asas Pemerintahan Daerah


1. Dasar Hukum Pemerintahan Daerah
Sesudah amendemen UUD 1945 (Perubahan kedua) dasar hukum Pemerintahan Daerah, yaitu: Pasal
18; Pasal 18A, dan Pasal 188 UUD Negara RI Tahun 1945, yang menentukan jangkauan kewenangan
pemerintahan daerah mencakup: provinsi dan kabupaten/kota. [Pasal 18 ayat (1) UUD Negara RI
Tahun 1945].

2.Asas-Asas Pemerintahan Daerah

Dikenal ada lima asas dalam pemerintahan daerah, dianalisis seperti di bawah ini.
1. Asas sentralisasi, dasar pikiran bahwa penyelenggaraan pemerintahan terpusat, artinya
seluruh wewenang yang merupakan urusan pemerintahan berada di tangan pemerintah
pusat. Alasannya urusan negara semakin kompleks sebagai konsekuensi negara
kesejahteraan (welfare state).
2. Asas Dekonsentrasi, penghalusan dari asas sentralisasi, karena hakikatnya tetap
pemerintah pusat yang menentukan prinsip dan cara penyelenggaraan urusan
pemerintahan di daerah. Pemerintah pusat hanya menempatkan pejabat pejabatnya di
daerah untuk mewakili pemerintah pusat menyelenggarakan urusan pemerintahan di
daerah. Menurut Pasal 1 angka 9 UU Pemerintahan Daerah (UU No. 23 Tahun 2004)
ditentukan bahwa dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
3. Asas Desentralisasi, dasar pikiran bahwa dalam pemerintahan ada penyerahan wewenang
sebagian urusan pemerintahan kepada pemerintah daerah/lolal untuk mengatur dan
mengurus urusan rumah tangga sendiri. Menurut Pasal 1 angka 8 UU Pemerintahan Daerah
(UU No. 23 Tahun 2014). Menurut teori hukum dari Hans Kelsen bahwa desentralisasi
berkaitan dengan pengertian negara sebagai legal order (tatanan hukum)

Pendapat dari Hans Kelsen itu tidak relevan dalam konsep desentralisasi. Menurut ahli HTN, dikenal
ada 4 (empat) jenis desentralisasi, sebagai berikut:

 Desentralisasi territorial atau ketatanegaraan disebut juga desentralisasi politik merupakan


penyerahan wewenang kewilayahan. Artinya yang pemerintah bersifat pusat menyerahkan
wewenang yang merupakan urusan pemerintahan kepada daerah-daerah otonom.

 Desentralisasi administrasi, disebut juga desentralisasi kepegawaian yakni pelimpahan


sebagian wewenang pemerintah pusat kepada pejabat pusat yang ada di daerah untuk
melaksanakan urusan yang menjadi wewenang Pusat di daerah.

 Desentralisasi fungsional, suatu penyerahan urusan pemerintah pusat atau pemerintah


tingkat atasan kepada badan-badan fungsional . Desentaralisasi ini penekanannya pada
fungsi untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, contohnya Subak di Bali sebagai organisasi
tradisional yang menyelenggarakan fungsi pengairan.

 Desentralisasi kebudayaan suatu pemberian hak kepada golongan minoritas dalam


masyarakat untuk menyelenggarakan urusan kebudayaan, seperti mengatur dan mengurus
pendidikan, kesenian dan bidang sosial-budaya lainnya.

4. Asas Otonomi Daerah adalah prinsip dasar bahwa hak daerah untuk mengatur dan
mengurus rumah tangga daerah, dengan anggaran pendapatan dan biaya yang disusun oleh
daerah itu sendiri. Menurut Pasal 1 angka 7 UU Pemerintahan Daerah (UU No. 23 Tahun
2014) didefinisikan, asas otonomi daerah adalah prinsip dasar penyelenggaraan daerah
berdasarkan otonomi daerah.

5. Asas Tugas Pembantuan (Medebewind), prinsip dasar bahwa pemerintah daerah dapat
ditugaskan untuk membantu kewenangan yang merupakan urusan pemerintah pusat di
derah. Pemerintah daerah diberi kebebasan dalam hal cara bantuan itu dilaksanakan
pemerintah meskipun pusat.
Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah
Ditinjau dari pembagian kewenangan secara vertikal dikenal dua model yaitu model negara federal
dan model negara kesatuan. Kedua model tersebut diuraikan sebagai berikut:

 Pertama, pada model negara federal, pembagian kewenangan vertikal antara Pemerintah
Federal (Pusat) dengan Negara Bagian diatur dalam Konstitusinya. Ditentukan bahwa
kewenangan Pemerintah Federal disebutkan secara rinci dalam Konstitusi, sedangkan
"kewenangan sisa" (residual power) berada pada Negara-Negara Bagian. Karena itu model
federal ini dikenal sebagai "Teori Sisa" (Residual Power).

 Kedua, Model negara kesatuan lazimnya diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. Ditentukan
bahwa yang dirinci adalah kewenangan daerah yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat
sesuai dengan asas otonomi daerah. Kewenangan sisa (residual power) berada pada
Pemerintah Pusat, karena wewenang asli pada Negara Kesatuan berada pada Pusat.

Sesudah amendeman UUD 1945, dalam eforia reformasi, Ketentuan Pasal 7 UU No. 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah, merinci kewenangan Pemerintah Pusat, sedangkan kewewenangan
sisa (residual power) berada pada Daerah. Demikian pula sesudah amendemen, Pasal 18 ayat (5)
UUD Negara RI Tahun 1945, menentukan: "Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat.

Selanjutnya diimplementasikan dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai
revisi UU No. 22/1999, dari pemerintahan otonomi yang bersifat horizontal (tidak ada perbedaan
tingkatan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota) .

Namun UU No. 32/2004, tetap menyebutkan ada 6 (enam) urusan yang dirinci merupakan
kewenangan Pemerintah Pusat, Yaitu:
 politik luar negeri;
 pertahanan;
 keamanan;
 moneter dan fiscal;
 yustisi,;
 agama.
(Pasal 10 UU 32/2004). Jika dicermati ketentuan Pasal 18 ayat (5) UUD Negara RI. Tahun 1945 yang
diimplementasikan dalam UU No. 32/2004 bukanlah "kewenangan sisa" (residual power), berada
pada Pemerintah Pusat, namun yang berada pada Daerah hanyalah otoritas yang merupakan
"kewenangan" (legalized power).

Ditinjau dari pembagian urusan yang menjadi kewenangan daerah otonom, doktrin menyebutkan
ada 3 (tiga) ajaran rumah tangga daerah, sebagai berikut:

1) Ajaran rumah tangga material, mengajarkan bahwa yang menjadi urusan pemerintahan
daerah didasarkan pada isi atau substansi yang merupakan kewenangan daerah ditentukan
pembagian secara rinci dan tegas. Ini berarti daerah berhak mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan .

2) Ajaran rumah tangga formal, mengajarkan bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan
prinsipal antara urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pusat dan Daerah. Oleh
karena itu penyerahan urusan yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah, harus
dilakukan berdasarkan UU.

3) Ajaran rumah tangga real, mengajarkan bahwa urusan yang menjadi kewenangan daerah
ditentukan berdasarkan kebutuhan dan keadaan nyata. Tetapi apabila suatu urusan itu
menurut keadaan bersifat nasional, urusan yang menjadi kewenangan daerah dikurangi
sebagai urusan yang perlu diselenggarakan oleh Pusat.

Ada 3 ciri – ciri system rumah tangga riil, yaitu:


a) Adanya urusan pangkal pada saat pembentukan suatu daerah otonom, memberikan
kepastian mengenai urusan rumah tangga daerah. Hal semacam ini tidak mungkin terjadi
pada sistem rumah tangga formil.

b) Di samping urusan rumah tangga yang ditetapkan secara materiil, Daerah-daerah dalam
rumah tangga nyata (rii), dapat mengatur dan mengurus semua urusan pemerintahan bagi
daerahnya sepanjang belum diatur dan diurus oleh pusat atau daerah tingkat lebih atas.
c) Otonomi dalam rumah tangga nyata didasarkan kepada factor-faktor nyata suatu daerah.
Hal ini memungkinkan perbedaan isi dan jenis yang menjadi urusan rumah tangga daerah
sesuai dengan keadaan masing-masing

Dalam realisasinya mengenapi pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pusat
dan Daerah, yang diatur dalam UU Pemerintahan Daerah yang berlaku saat ini (UU No 23 Tahun
2014) memilki corak yang khas sesudah amendemen UUD 1945. Urusan pemerintahan diklasifikasi
atas tiga jenis, yaitu:

(1) Urusan pemerintahan absolut, urusan yang sepenuhnya menjadi urusan pemerintah pusat.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pusat, mencakup:

a) Politik Luar Negeri, contohnya: mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk warga negara
dalam jabatan internasional, kebijakan luar negeri. menetapkan

b) Pertahanan, contohnya: mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan


damai dan perang, menyatakan negara dalam keadaan bahaya, membangun dan
mengembangkan sistem pertahanan nasional dan persenjataan, menetapkan kebijakan
wajib militer, bela negara bagi setiap warga negara.

c) Keamanan, contohnya: mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menetapkan


kebijakan keamanan nasional, menindak setiap orang, kelompok atau organisasi yang
kegiatannya mengganggu keamanan negara.

d) Yustisi, contohnya: mendirikan peradilan, mengangkat hakim dan lembaga dan jaksa,
mendirikan Lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman dan keimigrasian,
memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk UU, Perpu, PP, dan peraturan lain yang
berskala nasional.

e) Moneter dan Fiskal nasional, contohnya: kebijakan makro ekonomi seperti mencetak uang
dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan
peredaran mata uang.
f. Agama, contohnya: menetapkan hari libur nasional, memberikan pengakuan terhadap
keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan
keagamaan.

2.Urusan Pemerintahan Konkuren, urusan pemerintahan yang kewenangannya dibagi antara


Pemerintah Pusat, Daerah provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Urusan pemerintahan konkuren
yang diserahkan ke Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Urusan pemerintahan
konkuren yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan.

3.Urusan Pemerintahan Umum, Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden


sebagai kepala pemerintahan.

Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi serta
Daerah Kabupaten/Kota didasarkan pada empat prinsip, yaitu:

1. Akuntabilitas, ditentukan bahwa penanggung jawab penyelenggara suatu urusan


pemerintahan yakni didasarkan pada kedekatannya dengan luas dampak yang ditimbulkan
oleh penyelenggaraan urusan tersebut.

2. Efisiensi, pemerintahan penyelenggaraan perbandingan tingkat daya guna yang paling tinggi
yang dapat diperoleh.

3. Eksternalitas, penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan ditentukan berdasarkan luas,


besaran, dan jangkuan dampak yang timbul akibat penyelenggaraan urusan pemerintahan
tersebut.

4. Kepentingan strategis nasional, penyelenggaraan suatu urusan pemerintahan didasarkan


pertimbangan dalam rangka menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa, menjaga kedaulatan
Negara, implementasi hubungan luar negeri, pencapaian program strategis nasional dan
pertimbangan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan. [lihat Pasal
13 ayat (1) UU No. 23/2014 dan Butir-butir yang relevan dari perbaikan itu, antara lain,
sebagai berikut:
Petama, dalam hal kewenangan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah berkenaan dengan
urusan pemerintahan yang tumpang tindih, ketidak jelasan dan ketidak seimbangan beban antara
provinsi dan kabupaten/kota didata ulang, dengan pembagian yang rinci atas urusan pemerintahan
konkuren. Misalnya, mengenai urusan pendidikan sebagai urusan wajib yang bersifat pelayanan
dasar, ditentukan untuk Pendidikan Tinggi merupakan kewenangan Pemerintah Pusat.

Kedua, jalinan penyelenggaraan pemerintahan hierarkhis antara Pemerintah Pusat dan yang
Pemerintah Daerah yang selama ini terputus di tingkat Kabupaten/Kota yang menimbulkan
ketidakpatuhan Bupati/Wali Kota kepada Gubernur dirajut kembali. Kabupaten/Kota sebagaimana
halnya Provinsi selain berstatus daerah otonom juga ditetapkan menjadi wilayah administratif dalam
melaksanakan kewenangan urusan pemerintahan umum.

Ketiga, kontrol atau pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Kepala Daerah diperkuat dengan sanksi
baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Misalnya apabila Kepala Daerah melanggar
larangan, berpergian ke luar negeri tanpa izin atau meninggalkan daerahnya selama tujuh hari dalam
satu bulan tanpa izin. Kepala Daerah yang tidak memberikan layanan perizinan secara prima
diancam sanksi pidana.

Selain itu Djohermansah dalam artikel nya di Harian Umum Kompas, 25 April 2015 berjudul "Kado
Hari Otonomi", mengemukakan ada beberapa perbaikan dalam penyelenggaraan Pilkada langsung,
yaitu:

1. Pola pilkada (pemilihan kepala daerah) serentakn dapat menekan biaya demokrasi lokal
lebih murah.
2. Penetapan calon kepala daerah terpilih tidak lagi dengan metode 30 % suara sah, tetapi
dengan sistem simple majority, suara terbanyak tentu tidak akan terjadi pilkada putaran
kedua.

3. Untuk menghukum partai politik (parpol) yang menerima imbalan dalam proses pencalonan
Kepala Daerah yang lazim disebut "uang mahar" atau "sewa perahu" dicantumkan sanksi
bahwa parpol yang melakukannya dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di
daerah itu.
4. Untuk membatasi politik dinasti, calon tidak boleh ikatan perkawinan memiliki hubungan
darah, dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan
petahana, yakni ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, dan menantu;
kecuali telah lewat jeda satu kali masa jabatan.

5. Sengketa hasil pilkada sementara waktu tetap ditangani MK sampai terbentuknya Bada
Peradilan Khusus.

Suatu hal yang dikemukakan mengenai otonomi daerah dan daya jangkau kewenangan dapat
dikatakan menurut Konstitusi, daya kekuasaan negara hanya sampai tingkat kecamatan. Sedangkan
mengenai Desa, Konstitusi "menghormati" dan "mengakui" Desa sebagai kesatuan masyarakat
hukum adat yang otonom bersifat mandiri. [Pasal 18B ayat (2) UUD Negara RI Tahun 12945 . Jimly
Asshiddhiqie menyebut desa sebagai "self governing community" yang bersifat otonom atau
mandiri, pengaturan dan pembinaannya diserahkan kepada dinamika yang hidup dalam masyakat
sendiri secara otonom.

Pemerintahan Desa

UU Pemerintahan Daerah (UU No. 23/2014) tidak mengatur tentang Desa, tetapi diatur tersendiri
dalam UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Ditentukan ada 2 (dua) klasifikasi Desa yaitu: Desa dan
Desa Adat. UU Desa ini berdasarkan ketentuan Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 18 ayat (7) UUD Negara
RI Tahun 1945 menggabungkan Pemerintahan Desa dalam konstruksi prinsip "self governing
community" (Desa Adat) yang sudah ada sebelum berdirinya NKRI dan "local self government"
(Desa) menyatu ke dalam struktur Pemerintahan Daerah/lokal. Dalam kedudukan seperti ini, Desa
Adat dan Desa mendapat perlakuan yang sama dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Kewenangan Desa meliputi:
a) . kewenangan berdasarkan hak asal-usul;
b) . kewenangan lokal berskala desa;
c) . kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi atau
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan
d) . kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi atau
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang undangan. (Pasal
19 UU Desa).
Penyelenggara Pemerintahan Desa yakni Kepala Desa atau disebut dengan nama lain dibantu oleh
perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain. Kepala Desa berfungsi memimpin
penyelenggaraan urusan pemerintahan Desa dan pembangunan Desa. Di sampingnya ada Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) mewakili penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang
pengisian jabatannya secara demokratis. BPD berfungsi menyalurkan aspirasi masyarakat,
menyepakati Rancangan Peraturan mengawasi kinerja Kepala Desa. Desa, dan

Desa Adat yang sudah ada sebelum berdiri NKRI disebutkan, huta/nagori di Sumatera Utara,
gampong di Aceh, nagari di Minangkabau dll. Desa Adat ini dipandang sebagai kesatuan masyarakat
hukum adat yang secara historis mempunyai wilayah dan identitas budaya yang terbentuk atas dasar
teritorian yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa berdasarkan hak
asl usul. Penetapan Desa Adat untuk pertama kalinya berpedoman pada Bab XIII Ketentuan khusus
Desa Adat (Pasal 96-Pasal 111) UU No. 6/2014.

Dalam konteks ini, UU Desa (UU 6/2014) menentukan prinsip pengaturan Kepala Desa/Desa Adat,
mencaup 4 (empat) prinsip:

I. sebutan Kepala Desa/Desa Adat disesuaikan dengan sebutan lokal dalam arti ditentukan
oleh masyarakat Desa Adat yang bersangkutan;
II. Kepala/Desa Adat berkedudukan sebagai Kepala Desa/Desa Adat dan sebagai pemimpin
masyarakat;
III. Kepala Desa dipilih secara demokratis dan langsung oleh masyakat setempat; kecuali bagi
Desa Adat dapat menggunakan mekanisme local.
IV. Pencalonan Kepala Desa dalam pemilihan langsung tidak menggunakan basis partai politik
sehingga Kepala Desa menjadi pengurus partai politik.

Mencermati ketentuan UU Desa mengacu pada pandangan Desa sesuai ketentuan Pasal 188 ayat (2)
dikaitkan Pasal 18 ayat (7) UUD Negara RI Tahun 1945, pemerintahan Desa suatu sintesis dari self
community governmeant dan self local government (otonomi Asli Desa bagi Desa Adat, dan Desa
dalam struktur pemerintahan daerah/lokal). Dengan demikian Pemerintahan Desa terdiri atas
Kepala Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai "parlemen" nya Desa.
Sistem Pemerintahan
Didalam istilah sistem pemerintahan terkandung dua konsep yaitu: sistem dan pemerintahan. Sistem
berarti keseluruhan mempunyai yang terdiri dari bagian-bagian yang hubungan fungsional, sehingga
menimbulkan ketergantungan yang bekerja suatu sistem secara seluruhan. Pemerintahan dalam arti
luas diartikan bukan hanya menjalankan kekuasaan eksekutif saja, melainkan segala urusan yang
dilakukan oleh negara termasuk kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial

Sistem Pemerintahan Parlementer

Pada sistem pemerintahan parlementer Nampak hubungan antara eksekutif dan legislatif sangat
erat. Menteri-menteri juga bertanggung jawab kepada legislatif, sehingga kebijakan (policy) atau
Program Kabinet harus mendapat dukungan dari legislatif atau parlemen. Raja atau Presiden tidak
menjalankan kekuasaan eksekutif secara real, sehingga Raja atau Presiden hanya sebagai Kepala
Negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dalam pemerintahan, semboyannya "King can do
no wrong". Uraian di atas, dapat dirinci ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer, mencakup:

1) Ratu/Raja atau Presiden hanya sebagai Kepala Negara bukan Kepala Pemerintahan. Ia
tidak bertanggung jawab atas kebijakan atau program Kabinet.

2) Kekuasaan pemerintahan arti arti sempit atau kekuasaan eksekutif berada di tangan
Perdana Menteri yang memimpin Kabinet.

3) Kabinet atau eksekutif bertanggung jawab kepada legislatif, artinya jika kabinet
programnya atau kebijakannya yang tidak dipercaya lagi, legislative

4) Dalam sistem dwi partai, yang ditunjuk oleh Kepala Negara sebagai pembentuk/formator
Kabinet yakni Partai pemenang dalam pemilihan umum, sedangkan partai yang kalah
sebagai pihak oposisi.

5) Dalam sistem banyak partai, formatur Kabinet harus membentuk koalisi diantara partai
yang memilki kursi di legislatif/parlemen, karena Kabinet harus mendapat kepercayaan
dari parlemen.
6) Apabila terjadi perselisihan/konflik antara Kabinet dan Parlemen, Perdana Menteri dapat
meminta Kepala Negara untuk membubarkan Parlemen dan dalam waktu tiga puluh hari
setelah pembubaran Parlemen

Anda mungkin juga menyukai