Anda di halaman 1dari 15

NAMA : FRENGKI TINUS BASO

NIM : 1965142034
KELAS : ILMU ADMNISTRASI NEGARA (B)
TUGAS : ADMNISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH

“TUJUH DIMENSI HUBUNGAN PUSAT-DAERAH”


1. HUBUNGAN KEWENANGAN, PEMBAGIAN KEWENANGAN DAN
URUSAN
Menurut S.F. Marbun, kewenangan adalah kekuasaan yang diformalkan
baik terhadap segolongan orang maupun kekuasaanterhadap sesuatu dibidang
pemerintahan tertentu secara bulat yang berasal dari kekuasaan legislatif maupun
dari kekuasaan pemerintahan, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu
bidang tertentu saja. Jadi dapat dipahami bahwa kewenangan adalah kumpulan
dari berbagai wewenang. Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu
tindakan hukum publik berupa kemampuan bertindak yang diberikan oleh
undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.
Hubungan antara kewenangan pusat dengan daerah di Indonesia
mengalami pasang surut sesuai rezim penyelenggaraan negara. Sejak reformasi,
telah terdapat beberapa kali perubahan format otonomi daerah. Dalam Pasal 18
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai landasan
konstitusi dan dasar instrumen pemerintahan daerah dalam pelaksanaannya selalu
tidak konsisten mengenai dekonsentrasi, desentralisasi, dan medebewind. Setelah
dilakukan penelaahan terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dapat diketahui beberapa pokok dalam undang-undang
tersebut. Pertama, perumus dan pelaksana undang-undang berusaha
menyeimbangkan kontekstualitas dan eksistensi pemerintah daerah lebih prudent
atau sebaliknya kembali dalam skema shadow sentralisasi. Hal ini didukung
dalam Pasal 9 menyebutkan urusan pemerintahan dibagi menjadi 3 (tiga) yang
terdiri atas urusan pemerintahan absolut, konkuren, dan umum. Bentuk negara
kesatuan (unitary state) diartikan sebagai penyeragaman daripada perbedaan.
Kedua, lebih digunakannya konsep otonomi daerah melalui sistem rumah tangga
materiil daripada sistem rumah tanggal formal dan nyata (riil). Sehingga, dengan
dekonsentrasi maka suatu sistem pemerintah memiliki kewenangan luas dalam
melaksanakan isu strategis di daerah. Ketiga, pemerintah pusat dengan provinsi
diberikan kewenangan besar untuk mengawasi kotamadya atau kabupaten.
Provinsi yang sebelumnya memiliki daya tawar lemah dan terbatas, diperkuat
dengan penambahan fungsi dan kewenangan kepada gubernur. Keempat, efisiensi
dan efektifitas lebih diutamakan dengan menggerus otonomi daerah yang luas,
nyata dan bertanggung jawab. Prinsip-prinsip demokrasi, peran-serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman
daerah terabaikan.
Hubungan kewenangan antara lain bertalian dengan cara pembagian
urusan penyelenggaraan pemerintahan atau cara menentukan urusan rumah tangga
daerah. Cara penentuan ini menurut Bagir Manan akan mencerminkan suatu
bentuk otonomi terbatas apabila; Pertama; urusanurusan rumah tangga ditentukan
secara kategoris dan pengembangannya diatur denga cara-cara tertentu pula.
Kedua; apabila sistem supervisi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa,
sehingga daerah otonom kehilangan kemandirian untuk menentukan secara bebas
cara-cara mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Ketiga; sistem
hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang menimbulkan hal-hal seperti
keterbatasan kemampuan keuangan asli daerah yang akan membatasi ruang gerak
otonomi daerah.
Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah
menurut Nurcholis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
I. Ultra vires doctrine, yaitu pemerintah pusat menyerahkan wewenang
pemerintahan kepada daerah otonom dengan memperinci satu persatu.
Kemudian daerah otonom hanya menyelenggarakan wewenang yang
diserahkan tersebut. Sedangkan sisa wewenang yang ada tetap menjadi
wewenang pusat. Pemerintah pusat menyerahkan urusan setahap demi
setahap dengan memperhatikan keadaa\n dan kemampuan daerah.
II. Open and arrangement atau general competence, yaitu daerah otonom
menyelenggarakan segala urusan di luar yang dimiliki oleh pemerintah
pusat. Artinya pemerintah pusat menyerahkan kewenangan kepada
daerah untuk menyelenggarakan kewenangan berdasarkan kebutuhan dan
inisiatifnya sendiri di luar kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah
pusat. Cara kewenangan ini dianut dalam Undang- Undang Nomor 23
Tahun 2014.
Pembagian kewenangan dalam hubungan pusat dan daerah adalah
menyangkut pembagian urusan rumah tangga atau dalam bahasa peraturan
perundangan disebut dengan urusan pemerintahan. Menurut Ni’matul Huda, pada
hakikatnya urusan pemerintahan terbagi dalam dua kelompok. Pertama, urusan
pemerintahan yang sepenuhnya diselenggarakan oleh pemerintah tanpa asas
desentralisasi. Berbagai urusan pemerintahan tersebut secara eksklusif menjadi
wewenang pemerintah, baik pemerintah negara kesatuan maupun pemerintah
negara federal. Sejumlah urusan pemerintahan tersebut diselenggarakan dengan
asas sentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Kedua, meski sejumlah
urusan pemerintahan lain dapat diselenggarakan dengan asas desentralisasi,
berbagai urusan pemerintahan tersebut tidak pernah secara eksklusif (sepenuhnya)
menjadi wewenang daerah otonom. Di luar dari sejumlah urusan pemerintahan
yang tidak dapat diselenggarakan oleh pemerintah sub nasional, Maddick
menjelaskan bagian dari urusan pemerintahan tersebut juga menjadi wewenang
pemerintah. Sementara bagian-bagian lainnya didesentralisasikan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 mendefinisikan bahwa “urusan
pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan
penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani,
memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.” Urusan Pemerintahan
Daerah menurut Pasal 9 Undang-Undang No. 23/ 2014 diklasifikasikan menjadi
tiga yaitu: (1) Urusan Pemerintahan Absolut, (2) Urusan Pemerintahan
Konkuren, dan (3) Urusan Pemerintahan Umum. Urusan pemerintahan umum
adalah urusan pemerintahan yang menjadi wewenang presiden sebagai kepala
pemerintahan. Urusan pemerintahan umum meliputi:
a. Pembinaan wawasan kebangsaan dan ketahanan nasional dalam rangka
memantapkan pengalaman pancasila, pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945,
pelestarian Bhineka Tunggal Ika, serta pemertahanan dan pemeliharaan
keutuhan NKRI.
b. Pembinaan persatuan dan kesatuan
c. Pembinaan kerukunan antar suku dan intra suku, umat beragama, ras, dan
golongan lainnya guna mewujudkan stabilitas keamanan lokal, regional,
dan nasional.
d. Penanganan konflik sosial sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
e. Koordinasi pelaksanaan tugas antar instasi pemerintahan yang ada di
wilayah daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota untuk menyelesaikan
permasalahan yang timbul dengan memperhatikan prinsip demokrasi, hak
asasi manusia, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan,
potensi, serta keanekaragaman daerah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
f. Pengembangan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila.
g. Pelaksanaan semua urusan pemerintahan yang bukan merupakan
kewenangan daerah dan tidak dilaksanakan oleh instansi vertikal.

2. HUBUNGAN KELEMBAGAAN, ORGANISASI, HIERARCHI


ORGANISASI
Dengan adanya perubahan dalam kewenangan bagi daerah provinsi dan
kabupaten/kota tersebut, pada giliran berikutnya akan dituntut mengadakan
perubahan atau penataan ulang kelembagaan di Daerah. Struktur kelembagaan
yang baik, selayaknya sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dan beban kerja
yang ada. Namun dalam penerapannya di lapangan tidak semudah yang
dibayangkan, pola pikir birokrasi dan kepentingan birokrat yang sangat menonjol
menghasilkan kelembagaan yang belum sesuai dengan yang diharapkan.
Kelembagaan pemerintah daerah yang rasional yaitu Kelembagaan yang
sesuai dengan kebutuhan daerahnya bukan kebutuhan dari birokrat atau politisi
daerah. Kelembagaan yang rasional, efisien, efektif dan profesional sesuai dengan
kebutuhan perlu dikedepankan sehingga kelembagaan pemerintah daerah yang
kelak terbentuk tidak menjadi beban, baik bagi pemerintah itu sendiri maupun
bagi masyarakat yang mendapatkan layanannya.
Dalam membangun sebuah struktur pemerintahan daerah, maka yang perlu
diperhatikan adalah kebutuhan daerah dengan melihat obyek yang di urus, bukan
subyek yang mengurus. Obyek yang di urus adalah masyarakat dengan segala
kegiatannya. Hal ini juga akan berkaitan dengan urusan wajib dan urusan pilihan
dari masing-masing daerah yang sudah ditetapkan melalui Perda sebagai sebuah
kontrak sosial. Sedangkan subyek yang mengurus adalah birokrasi pemerintah,
yang dari waktu ke waktu pangkatnya semakin tinggi sehingga memerlukan
organisasi yang lebih besar dan eselon yang lebih tinggi, yang pada gilirannya
mendesak waktu pangkatnya semakin tinggi sehingga memerlukan organisasi
yang lebih besar dan eselon yang lebih tinggi, yang pada gilirannya mendesak
terbangunnya birokrasi yang besar. Hal ini terjadi apabila tidak dikembangkan
organisasi fungsional yang dapat menampung tuntutan kenaikan jabatan dan
pangkat ke dalam pekerjaan yang lebih profesional sepanjang hayat atau life long
career.
Banyaknya persoalan kewenangan antar pemerintahan yang terjadi dalam
implementasi otonomi daerah, khususnya antara Gubernur dengan
Bupati/Walikota, menyebabkan perlu adanya pemikiran yang inovatif dalam
merestrukturisasi kelembagaan dalam pelaksanaan otonomi daerah untuk
mewujudkan tata pemerintahan yang baik. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa otonomi daerah lebih banyak dibebankan kepada
kabupaten/kota sebagai daerah otonom, sedangkan provinsi ditempatkan sebagai
wilayah administrasi dan juga sekaligus sebagai daerah otonom. Provinsi
diposisikan sebagai intermediate government yang merupakan penyambung dan
penghubung kepentingan serta kewenangan yang bersifat nasional dengan yang
bersifat lokal. Kedudukan Gubernur pada konteks ini ditempatkan sebagai wakil
pemerintah pusat di daerah sekaligus pula sebagai kepala daerah otonom.
Organisasi pemerintahan daerah merupakan lembaga yang menjalankan
roda pemerintahan dengan sumber legitimasi yang berasal dari masyarakat. Oleh
karena itu, kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada penyelenggara
pemerintah harus diimbangi dengan kinerja yang baik, sehingga pelayanan dapat
ditingkatkan secara efektif dan menyentuh pada masyarakat. Hal ini semakin
diperkuat dengan adanya pemberlakuan sistem desentralisasi pada tata
pemerintahan dalam era otonomi daerah. Otonomi Daerah menuntut Pemerintah
Daerah untuk dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada
masyarakat. Salah satu bentuk pelayanan tersebut adalah memberikan informasi
keuangan yang transparan dan akuntabel. Seperti yang telah dikemukakan oleh
Wardono (2012) yang menyatakan bahwa pemberian otonomi kepada daerah
dimaksudkan untuk meningkatkan dayaguna dan hasil guna penyelenggaraan
pemerintah di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan
terhadap masyarakat serta untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan
kesatuan bangsa. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah telah
ditetapkan untuk mengganti UU Nomor 32 Tahun 2004 yang telah disesuaikan
dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan 2 penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Muatan UU Pemerintahan Daerah tersebut membawa
banyak perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Salah satunya adalah
pembagian urusan pemerintahan daerah. Berdasarkan UU Nomor 23 tahun 2014
klasifikasi urusan pemerintahan terdiri dari tiga urusan yakni urusan pemerintahan
absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan
pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat. Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan
pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan
Daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Prihayanto
(2011), kinerja pegawai merupakan suatu perbuatan, prestasi, dan penampilan
umum dan keterampilan dan kinerja dengan asal kata kerja berarti aktifitas yang
dilakukan oleh seseorang atau organisasi dalam menjalankan tugas yang menjadi
pekerjaannya. Secara umum kinerja merupakan proses tingkah laku seseorang
sehingga ia menghasilkan sesuatu yang menjadi tujuan dari pekerjaannya.
Perbedaan kinerja antara seseorang dengan lainnya di dalam situasi kerja adalah
karena perbedaan karakteristik dari individu. Di samping itu, seseorang dapat
menghasilkan kinerja yang berbeda di dalam situasi yang berbeda pula. Semua ini
menerangkan bahwa kinerja pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya 3 kepemimpinan, motivasi, maupun organisasi. Upaya untuk menjaga
dan meningkatkan kinerja adalah hal yang mutlak dilakukan dalam rangka
mewujudkan tujuan organisasi tersebut. Wardono (2012) mengatakan bahwa ada
beberapa unsur atau faktor yang mendukung kinerja yaitu faktor internal
individual dan faktor eksternal. Faktor internal lebih banyak ditimbulkan oleh
dorongan yang muncul dari diri para pekerja itu sendiri, sementara faktor
eksternal ditimbulkan oleh dorongan dari luar diri mereka sendiri. Contoh
misalnya motivasi kerja bagi pegawai untuk merangsang pegawai agar lebih giat
dan bersemangat dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Disamping motivasi,
kedisiplinan juga mempengaruhi kinerja pegawai. Tidak dapat dipungkiri bahwa
kedisiplinan sering menimbulkan permasalahan tersendiri bagi organisasi
umumnya. Kedisiplinan pegawai mutlak diperlukan agar seluruh aktivitas yang
sedang dan akan dilaksanakan berjalan sesuai dengan mekanisme yang telah
ditentukan (Iriani, 2010).
Rondinelli (1983: 18) menjelaskan bahwa dekonsentrasi adalah
penyerahan sejumlah kewenangan atau tanggung jawab administrasi kepada
cabang departemen atau badan pemerintah yang lebih rendah. Harold F. Aldelfer
(1964: 176) menjelaskan bahwa pelimpahan wewenang dalam bentuk
dekonsentrasi semata-mata menyusun unit administrasi atau field administration,
baik tunggal ataupun ada dalam hierarki, baik itu terpisah atau tergabung, dengan
perintah mengenai apa yang seharusnya mereka 1.6 Administrasi Pemerintahan
Daerah  kerjakan atau bagaimana mengerjakannya. Tidak ada kebijakan yang
dibuat di tingkat lokal serta tidak ada keputusan fundamental yang diambil.
Badanbadan pusat memiliki semua kekuasaan dalam dirinya sementara pejabat
lokal merupakan bawahan sepenuhnya dan mereka hanya menjalankan perintah
(dalam M.R Khairul Muluk, 2002). Walfers (1985: 3) menjelaskan bahwa
dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pada pejabat atau kelompok pejabat
yang diangkat oleh Pemerintah Pusat dalam wilayah administrasi (dalam
Larmour, Qalo, ed, 1985). Sedangkan Henry Maddick (1983) menjelaskan bahwa
dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang untuk melepaskan fungsi-fungsi
tertentu kepada pejabat pusat yang berada di luar kantor pusatnya. Oleh karena
itu, dekonsentrasi menciptakan local state government atau field
administration/wilayah administrasi (dalam Bhenyamin Hoessein, 2000: 10). Jadi,
dalam dekonsentrasi yang dilimpahkan hanya kebijakan administrasi
(implementasi kebijakan politik), sedangkan kebijakan politiknya tetap berada
pada Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, pejabat yang diserahi pelimpahan
wewenang tersebut adalah pejabat yang mewakili Pemerintah Pusat di wilayah
kerja masing-masing atau pejabat pusat yang ditempatkan di luar kantor pusatnya.
Tanda bahwa pejabat tersebut merupakan pejabat pusat yang bekerja di daerah
adalah yang bersangkutan diangkat oleh Pemerintah Pusat, bukan dipilih oleh
rakyat yang dilayani. Karena itu, pejabat tersebut bertanggung jawab kepada
pejabat yang mengangkatnya, yaitu pejabat pusat, bukan kepada rakyat yang
dilayani. Sebagai konsekuensinya maka pejabat daerah yang dilimpahi wewenang,
bertindak atas nama Pemerintah Pusat bukan atas nama dirinya sendiri yang
mewakili para pemilihnya. Dalam asas dekonsentrasi timbul hierarki dalam
organisasi tersebut. Maksudnya terdapat hubungan sub-ordinat antara satuan
organisasi pusat dengan satuan organisasi bawahannya. Misal pada zaman Orde
Baru Pemerintah Pusat membawahi Pemerintah Provinsi-Dati I, Pemerintah
Provinsi-Dati I membawahi Pemerintah Kabupaten/Kotamadya-Dati II,
Pemerintah Kabupaten/Kotamadya-Dati II membawa Kecamatan, dan Kecamatan
membawahi Kelurahan. Atau pada departemen, Departemen membawahi Kanwil,
Kanwil membawahi Kandep, dan Kandep membawahi Kancam. Oleh karena
satuan-satuan organisasi yang berada di wilayah-wilayah negara di luar kantor
pusatnya tersebut milik Pemerintah maka anggarannya menjadi tanggung jawab
Pemerintah Pusat. Karena itu, anggarannya dibebankan pada APBN. Biaya
penyediaan sarana dan prasarana, gaji pegawai, biaya operasional, dan biaya
pemeliharaan menjadi beban APBN.
3. HUBUNGAN PERSONIL, PENGGAJIAN PERSONIL, TANGGUNG
JAWAB
Dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan
Negara sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki
integritas,profesional,netral dan bebas dari intervensi politik serta mampu
menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan
peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka dari itu untuk
mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi perlu
ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban
mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggung jawabkan
kinerjanya. Hubungan personilnya yaitu ASN bertanggung jawab kepada PPK
(Pejabat Pembina Kepegawaian) yaitu pejabat yang mempunyai kewenangan
menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai ASN dan
pembinaan Manajemen ASN di instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang- undangan seperti Menteri,Kepala Lembaga,Kepala Daerah (
Gubernur,Walikota,Bupati). Sehingga PNS antara daerah berbeda hierarki
tanggung jawabnya ( masing-masing memiliki pimpinan yang berbeda).
Sedangkan Penggajian Personil yaitu Untuk meningkatkan produktivitas
dan menjamin kesejahteraan ASN, dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa
ASN berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban kerja,
tanggung jawab, dan resiko pekerjaannya. Selain itu, ASN berhak memperoleh
jaminan sosial seperti jaminan pensiun, jaminan hari tua dan perlindungan.
Tanggung jawab ASN yaitu sebagai perencana, pelaksana, dan pengawas
penyelenggaraan tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional melalui
pelaksanaan kebijakan dan pelayanan publik yang profesional, bebas dari
intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

4. HUBUNGAN KEUANGAN DAERAH, PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN,


SUMBER-SUMBER DARI PUSAT, DAU, DAK, DANA BAGI HASIL
UU No. 33 Tahun 2004 menitikberatkan pada pengaturan perimbangan
keuangan pusat-daerah. Namun demikian, pengaturan tersebut tidak terlepas dari
pendapatan daerah untuk membiayai urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya. Dalam bagian ini yang akan dibahas adalah pendapatan daerah,
khususnya PAD dan dana perimbangan (tidak termasuk mengenai dana otonomi
khusus yang diberikan kepada Provinsi Papua dan Aceh), serta pembiayaan
berupa pinjaman daerah.
UU No. 33 Tahun 2004, memperbaiki sistem perimbangan keuangan pusat
daerah yang diatur sebelumnya dalam UU No. 25 Tahun 1999. Dalam hal jenis
dana perimbangan terdapat istilah baru untuk menyebut dana perimbangan yang
berasal dari pembagian pajak dan sumber daya alam. Dalam UU No. 22 Tahun
1999, dana tersebut disebut sebagai Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi
dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan264. Sementara itu
dalam UU No. 33 Tahun 2004, istilah dana tersebut diubah menjadi dana bagi
hasil (DBH). Perubahan tersebut, tidak hanya sekedar penggantian istilah, namun
juga ditambah dengan perubahan asal dana yang dibagi, yaitu dalam hal jenis
pajak. Khusus mengenai dana perimbangan lainnya, istilah dan substansinya tetap
dipertahankan dalam UU No. 33 Tahun 2004, yaitu dana alokasi umum (DAU),
dan dana alokasi khusus (DAK), namun berbeda dari segi formulanya. Mengenai
DBH, DAU dan DAK akan dibahas selanjutnya.
Hubungan keuangan diatur dengan apa yang disebut Sluitpost
Systeem.Menurut UU No.22 Tahun 1999, ketentuan tentang keuangan Daerah
diatur tersendiri dalam Bab VIII Keuangan Daerah, yang terdiri dari Pasal 78
sampai pasal 86. Penegasan tentang pembiayaan penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah diatur dalam Pasal 78 ayat (1) yang mengatakankan bahwa: Dalam sistem
desentralisasi, Daerah berhak merencanakan, menggali, mengelola dan
menggunakan keuangan Daerah sesuai dengan kondisi Daerah untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya. Dengan demikian, PAD menjadi salah
satu cara untuk mengurangi ketergantungan suatu Daerah kepada Pusat. Pada
prinsipnya semakin besar Pendapatan Asli Daerah kepada APBD akan
menunjukkan semakin kecilketergantungan Daerah kepada Pusat. Sebab, di antara
berbagai jenis penerimaan Daerah yang menjadi sumber daya sepenuhnya dapat
dikelola oleh Daerah adalah dari Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pembiayaan pembangunan terdiri dari beberapa unsur dan adapun beberapa
pendekatan dari pembangunan yaitu meliputi (Holistik-Tematik) yaitu untuk
mencapai sasaran prioritas nasional kedaulatan pangan perlu adanya koordinasi
dengan multi kementerian yaitu antara lain kementan,kemen PUPR,kemen ATR
dll.kemudian, Integratif yaitu pencapaian kedaulatan pangan perlu dilakukan
secara terintegrasi melalui peningkatan produktivitas. Prioritas yang semakin
tajam menjadi dasar dari penajaman alokasi anggaran pembangunan.
I. Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari pajak daerah, retribusi
daerah; hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan lain-lain
PAD yang sah Walaupun daerah diberikan kewenangan untuk
meningkatkan PAD, namun daerah dilarang menetapkan peraturan daerah
(Perda) tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi, dan
menetapkan Perda tentang pendapatan yang menghambat mobilitas
penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah, dan kegiatan
impor/ekspor.
II. Dana perimbangan
i. Dana Bagi Hasil
Komponen DBH dalam UU No. 33 Tahun 2004 terdiri pembagian
beberapa jenis pajak (pusat) dan hasil pengelolaan sumber daya alam.
Pajak pusat yang menjadi sumber DBH dari pajak adalah dari pajak
bumi dan bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.Hal
tersebut berbeda dengan Bagian Daerah atas pajak dalam UU No. 22
Tahun 1999, yang tidak mencantumkan PPh sebagai salah satu
sumber bagian daerah atas pajak
ii. Dana Alokasi Umum(DAU)
DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-
daerah duntuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi.Presentase keseluruhan dana tersebut sekurang-
kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan
dalam APBN. Istilah “sekurang-kurangnya”, berkaitan dengan
kemungkinan bertambahnya presentase DAU jika terdapat kelebihan
penerimaan negara dari minyak bumi dan gas bumi yang ditetapkan
dalam APBN Perubahanyang dialokasikan sebagai DAU tambahan
berdasarkan formula DAU atas dasar celah fiskal.Jika dibandingkan
dengan UU No. 25 Tahun 1999 yang hanya mengatur jumlah DAU
sebesar 25 % dengan formula yang hampir sama, presentase DAU
berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 lebih besar.
iii. Dana Alokasi Khusus(DAK)
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan
tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Berbeda dengan
dana perimbangan lainnya, DAK tidak ditentukan berdasarkan
presentase tertentu. Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam
APBN. Hal ini disebabkan DAK dialokasikan kepada daerah tertentu
untuk mendanai kegiatan khusus sesuai dengan fungsi yang telah
ditetapkan dalam APBN yang merupakan urusan daerah.
Daerah penerima DAK juga ditentukan wajib menyediakan Dana
Pendamping sekurang-kurangnya 10% dari alokasi DAK. Hal ini
dapat dimengerti karena pada dasarnya urusan pemerintahan yang
dibiayai DAK merupakan kewenangan daerah. Namun demikian,
daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan
menyediakan Dana Pendamping.

5. HUBUNGAN PERWAKILAN, DPR, DPD, DPRD


Proses amandemen UUD 1945 telah melahirkan beberapa lembaga negara
baru sebagai konsekuensi pelaksanaan demokrasi dalam kerangka penciptaan
pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
dibentuk sebagai pemenuhan keterwakilan aspirasi daerah dalam tatanan
pembentukan kebijakan ditingkat pusat. Pasal 22D UUD 1945 telah menyebutkan
kewenangan DPD dibidang legislasi yakni pengajuan RUU tertentu, ikut
membahas bersama DPR dan Pemerintah terhadap penyusunan RUU tertentu,
pemberian pandangan dan pendapat terhadap RUU tertentu, pemberian
pertimbangan terhadap RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan
pajak, pendidikan, dan agama, serta pengawasan terhadap pelaksanaan UU
tertentu.UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU
MD3) telah menjelaskan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas dan
kewenangan DPD, namun beberapa ketentuan yang tercantum dalam UU MD3
dinilai belum secara maksimal mengejahwantahkan kewenangan DPD
sebagaimana UUD 1945 hal ini diperkuat dengan adanya Putusan MK Nomor
92/PUU-X/2012 yang telah mengembalikan kewenangan DPD dalam pemenuhan
fungsi legislasinya sebagaimana diatur dalam UUD 1945.Namun demikian, UU
No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DAN DPRD (UU MD3) yang
terbit pasca Putusan Mahkamah Konstitusi dan menggantikan UU No. 27 Tahun
2009, tetap saja memuat ketentuan Pasal-pasal yang mereduksi, menegasikan,
bahkan mengikis kewenangan konstitusional sebagaimana telah ditegaskan oleh
Mahkamah Konstitusi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk UU MD3
nyata-nyata tidak menghargai putusan Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU-X/2012
tersebut. Kondisi yang demikian ini jelas-jelas tidak memberikan teladan bagi
rakyat Indonesia dalam melaksanakan penegakan hukum, karena justru Lembaga
Negara setingkat pembentuk UU juga tidak mengindahkan keputusan lembaga
yang diberi kewenangan konstitusi untuk memutuskan permohonan pengujian UU
terhadap UUD 1945, yakni Mahkamah Konstitusi.Berdasarkan Putusan MK
tersebut, DPD berpandangan perlunya dilakukan penyesuaian dan perubahan
terhadap UU MD3 terutama kaitannya dengan pelaksanaan kewenangan
kelembagaan DPD serta mekanisme pelaksanaan pembahasan legislasi yang
konstitusional.Disisi lain, DPD juga berpandangan bahwa pengaturan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan fungsi, tugas serta kewenangan DPR, DPD, dan DPRD
harus diatur melalui undang-undang yang terpisah. Pengaturan tentang susunan
dan kedudukan serta pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangan MPR, DPR,
DPD, dan DPRD serta pelaksanaan pembahasan legsilasi sebagaimana tercantum
dalam UUD 1945. Secara umum substansi UU MD3 yang mengatur aspek
kelembagaan antara DPR dan DPD sangat timpang (unequal), padahal dalam
sistematika UUD 1945 kedua lembaga ini adalah lembaga negara yang
dipergunakan untuk mengimplementasikan check and balance dalam paradigma
demokrasi-desentralistik. Demokrasi desentralistik adalah konsep partisipasi atau
keikutsertaan daerah (teritorial) dalam perumusan kebijakan publik di tingkat
nasional. Dengan paradigma seperti ini, peran DPD justru sangat strategis guna
mensinkronkan kepentingan daerah (bukan per daerah) dengan kepentingan
politik dan pusat. Ketimpangan pengaturan kelembagaan antara DPR dan DPD di
dalam UU MD3 secara kasat mata nampak dari 3 (tiga) hal:
I. Pengaturan DPR diatur dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 245.
Sedangkan pengaturan DPD diatur dalam Pasal 246 sampai dengan 262.
Hal ini berarti secara umum DPR diatur dalam 178 ketentuan, sedangkan
DPD diatur dalam 16 ketentuan. Hal ini menunjukkan bahwa kesungguhan
dalam menyusun aturan main sungguh sangat timpang. Padahal keduanya
merupakan lembaga perwakilan yang harus saling mengisi demi
implemnetasi check and balance dalam demokrasi desentralistik;
II. Alat kelengkapan diantara DPR dan DPD juga timpang, karena di DPR
ada 10 item alat kelengkapan (Pasal 83 ayat 1 UU MD3), sementara di
DPD hanya ada 7 item alat kelengkapan (Pasal 259 ayat 1 UU MD3). Hal
ini menunjukkan bahwa dukungan aspek struktur organisasi dalam rangka
mendukung pelaksanaan wewenang, fungsi, dan tugas sangat tidak
seimbang. Ketimpangan semacam ini semata-mata bukan karena persoalan
konstitusional, melainkan persoalan politik perundang-undangan yang
dibangun oleh pembentuk UU MD3;
III. Hak anggota DPR dan anggota DPD juga mengalami diskriminasi yang
sangat mencolok. Hak anggota DPR dirumuskan dalam 11 item (Pasal 80
UU MD3), sedangkan hak anggota DPD dirumuskan hanya 7 item (Pasal
257 UU MD3). Perlu diketahui bahwa hak anggota ini merupakan prinsip
yang harus dipergunakan untuk memback up pelaksananaan fungsi
kelembagaan. Tanpa hak yang dirumuskan secara signifikan, maka
dimungkinkan akan mengakibatkan ketiadaan kepastian hukum yang
sama. Dengan demikian jika hak itu tidak diatur secara equal, maka hal ini
jelas melanggar Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Dengan memperhatikan sistematika pengaturan yang demikian ini, jelas
menunjukkan bahwa pelemahan terhadap wewenang, fungsi, dan tugas DPD
memang sengaja dilakukan. Pendek kata, kewenangan konstitusional DPD
sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945 semakin dikebiri, dan jelas tidak
mendukung pelaksanaan fungsi territorial representativeyang dalam tataran
empirik justru lebih berat ketimbang political representative

6. PEMBAGIAN KERJA, CONCUREN DALAM PELAYANAN PUBLIK


Organisasi sebagai suatu proses pembagian kerja melihat bahwa adanya
unsur-unsur yang saling berhubungan, yakni sekelompok orang atau individu,
adanya kerjasama dan adanya tujuan tertentu yang telah ditetapkan. Interaksi
dalam organisasi akan terjadi antara individu dengan individu, individu dengan
kelompok dan kelompok dengan kelompok. Hubungan-hubungan ini terjadi
karena adanya pembagian kerja yang telah jelas dalam suatu sistem. Kerjasama
dalam suatu sistem yang teratur ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu
yang telah disepakati bersama.
Pengelompokan orang-orang dalam suatu pekerjaan yang dilakukan akan
memungkinkan terjadinya hubungan kerjasama yang formal sesuai dengan apa
yang telah ditetapkan disamping itu dapat pula terjadi hubungan yang sifatnya
informal antara individu dengan individu maupun individu dengan kelompok
kerja yang lain, hal ini dapat terjadi karena adanya kepentingan-kepentingan
pribadi masing-masing individu dalam suatu organisasi.
Pembaruan kinerja organisasi publik merupakan suatu issu pada beberapa tahun
terakhir ini, terutama setelah banyaknya keluhan dari para pengguna jasa yang
menyatakan bahwa kinerja organisasi publik adalah sumber kelambanan, pungli,
dan inefisiensi. Citra organisasi publik negara berkembang, termasuk di Indonesia
dalam melayani kepentingan masyarakat pada umumnya amat buruk jika
dibandingkan dengan organisasi swasta. Karenanya tidaklah mengherankan kalau
organisasi swasta seringkali dijadikan sebagai alternatif pilihan kebijakan untuk
menyelesaikan berbagai persoalan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut untuk meningkatkan kinerjanya
dalam rangka
memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada hakekatnya penyelenggaraan
otonomi daerah adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan
prakarsa dan kreatifitas daerah secara aktif, serta meningkatkan peran dan fungsi
DPRD. Format kebijakan otonomi daerah yang ada pada saat ini menandai awal
dari suatu proses perubahan fundamental dalam paradigma penyelenggaraan
pemerintahan di negeri ini. Kalau pada pemerintahan orde baru, pembangunan
menjadi misi terpenting pemerintah (developmentalism) dan pemerintah pada
masa itu menjadikan dirinya pusat kendali proses pembangunan itu (sentralisasi di
tingkat nasional), kini harus mereposisi diri sebagai pelayan dan pemberdaya
masyarakat dan harus menyebarkan aktivitasnya ke berbagai pusat di tingkat
lokal. Dengan kata lain arus baru kehidupan politik kita sekarang adalah realitas
pergeseran kekuasaan dari pusat menuju lokus-lokus daerah dan berbasis pada
kekuatan masyarakat sendiri.Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus
memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian
bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan unsur yang dibakukan
dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan
atau penerima pelayanan.Di dalam suatu organisasi, pelaksanaan pembagian kerja
pasti memerlukan waktu yang tepat, dan setiap organisasi pasti telah memiliki
waktu tertentu untuk melaksanakan pembagian kerja kepada masing-masing
karyawan. Para pimpinan di dalam setiap organisasi juga sudah menentukan
waktu yang tepat dalam memberikan tugas-tugas atau beban kerja kepada masing-
masing karyawan yang menjadi bawahannya. Dengan adanya perencanaan waktu
yang tepat dalam organisasi untuk melaksanakan pembagian kerja, maka akan
terjadi keteraturan dan kelancaran di dalam pelaksanaan tugas dan pekerjaan
karyawan sehari-hari. B. Siswanto Sastrohadiwiryo (2003:127), pekerjaan adalah
sekumpulan atau sekelompok tugas dan tanggung jawab yang akan, sedang, dan
telah dikerjakan oleh tenaga kerja dalam kurun waktu tertentu.
7. HUBUNGAN PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 223 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah diterbitkan
sebagai pedoman pembinaan dan pengawasanpenyelenggaraan
pemerintahan daerah. PP ini memisahkan antara pembinaan dan pengawasan
dalam Bab yang berbeda, yaitu Bab II dan Bab III. Mengenai pembinaan
dikatakan bahwa pembinaan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi:
a. Koordinasi pemerintahan antar susunan Pemerintahan;
b. pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan Pemerintahan;
c. pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan
pemerintahan;
d. pendidikan dan pelatihan; dan
e. perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan dan evaluasi
pelaksanaan urusan Pemerintahan.
Pembinaan sebagaimana tersebut dilakukan terhadap kepala daerah atau
wakil kepala daerah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, perangkat
daerah, pegawai negeri sipil daerah, dan kepala desa, perangkat desa, dan anggota
badan permusyawaratan desa.Pada pengaturan mengenai pengawasan, disebutkan
bahwa pengawasan pelaksanaan urusan Pemerintahan di daerah meliputi:a)
pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah provinsi; b) pelaksanaan urusan
pemerintahan di daerah kabupaten/kota; dan c) pelaksanaan urusan pemerintahan
desa. Pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah provinsi tersebut terdiri dari : a)
pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah yang bersifat wajib; b) pelaksanaan
urusan pemerintahan di daerah yang bersifat pilihan; dan c) pelaksanaan urusan
pemerintahan menurut dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pengawasan
terhadap urusan pemerintahan di Konsiderans PP No. 79 Tahun 2008 Tentang
Tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah dilaksanakan oleh Aparat Pengawas Intern Pemerintah sesuai dengan
fungsi dan kewenangannya,361 yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal
Departemen, Unit Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Departemen,
Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota.Pelaksanan pengawasan
tersebut dilakukan oleh pejabat pengawas pemerintah yang ditetapkan sesuai
dengan peraturan perundang- undangan
Persoalan tentang pembinaan terutama sekali untuk dikaji ialah pembinaan
itu pengertiannya apa, macam-macam bentuk pembinaan dan lembaga yang
melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pemerintah daerah. Konsep-
konsep tentang pengertian pembinaan tidak ada ditemui di dalam ketentuan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004. Para ilmuwan mendefinisikan “pembinaan”, sebagaimana yang dikemukan
oleh Tubagus Ronny Rahman Nitibaskoroadalah: “Yang dimaksud dengan
pembinaan adalah lebih ditekankan pada memfasilitasi dalam upaya
pemberdayaan daerah otonomi”. Instrumen hukum yang mengatur pembinaan dan
pengawasan ini diatur dengan Peraturan Pemerintah, sebagaimana yang dimaksud
Pasal 223 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah.
Untuk mewujudkan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 30 Desember
Tahun 2005 menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 165 Tahun 2005.Dari konsep ini
pembinaan merupakan sarana dan upaya pemberdayaan daerah otonom. Hal ini
mengandung suatu maksud untuk memperlancar daerah otonom dalam rangka
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya.
Selanjutnya Sadu Wasistiono, melihat dari sudut bidang kewenangan
pembinaan yaitu: “Bidang kewenangan pembinaan mencakup upaya-upaya
pemberdayaan institusi Pemerintah, non Pemerintah Dari konsep ini terlihat
tujuan dari pembinaan itu adalah suatu upaya untuk pemberdayaan lembaga
Pemerintah dan sebagainya.Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut diatas,
dapat ditarik suatu gambaran inti dari pembinaan itu yaitu: “Pemberdayaan
lembaga Pemerintah, khususnya pemerintah daerah dalam rangka mengatur dan
mengurus rumah tangga daerahnya. Dalam bahasa yuridisnya lebih tepat
pengertian pemberdayaan itu diartikan, memajukan atau meningkatkan”. Hal ini
sasaran penyelenggara-an pemerintahan itu pada intinya untuk mencapai tujuan
nasional, seperti termuat di dalam alinea keempat pembukuan (Preambule) UUD
1945 yaitu: “Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa……” atas dasar itu pembinaan terhadap pemerintah daerah dan
pengawasan sebagai penyelenggaraan pemerintahan harus diupayakan untuk
mewujudkan tercapainya penyelenggaraan otonomi daerah. Pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah ini adalah salah satu
bentuk hubungan antara pemerintah dan pemerintah daerah, dalam rangka untuk
mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Pembinaan
terhadap penyelenggaraanpemerintahan daerah ini adalah salah satu bentuk
hubungan antara pemerintah dan pemerintah daerah, dalam rangka untuk
mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Sebagai
landasan hukumnya diatur dalam Pasal 18 dan Pasal 18A UUD 1945.Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974 belum ada ketentuan-ketentuan pasalnya yang
mengatur tentang pembinaan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Berkaitan dengan hal itu, tidak perlu dibahas. Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999, hanya memuat satu Pasal yang mengatur
pembinaan, yaitu diatur dalam Pasal 112, bunyi lengkap Pasal 112 menyatakan:
I. “Dalam rangka pembinaan, Pemerintahmemfasilitasi penyelenggaraan
Otonomi Daerah.
II. Pedoman mengenai pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan
Otonomi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah”.Dari ketentuan
Pasal 112 ayat (1) tersebut di atas, menetapkan yaitu: “Pemerintah Pusat
memfasilitasi penyelenggaraan Otonomi Daerah dalam rangka
pembinaan”.
Hal ini mengandung suatu pengertian, tanggung jawab pembinaan pemerintah
daerah, tidak terlepas tanggung jawab Pemerintah dalam rangka upaya
pemberdayaan daerah otonom dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal
ini sejalan maksud memfasilitasi adalah upaya pemberdayaan daerah otonom
melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan super visi
(penjelasan Pasal 112 ayat (1)). Azas yang terkandung dalam ketentuan Pasal 112
ayat (1) tersebut, mengandung azas dekonsentrasi. Setelah itu Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Anda mungkin juga menyukai