Untuk yang berkaitan dengan kinerja ada tiga laporan yang harus disusun oleh Pemda, yaitu
LKPJ ( Laporan Keterangan Pertanggungjawaban. Laporan Kepala Daerah kepada DPRD yang
berkiatan dengan pertanggung jawaban pelaksanaan program. Isi laporan ini hanya
mengungkapkan apa yang sudh dikerjakan tidak menggambarkan apakah sasaran pemda
berhasil atau tidak. Kemudian yang berikutnya adalah LAKIP ( Laporan Kinerja Instansi
Pemerintah), Laporan ini secara teori harusnya menggambarkan kinerja suatu instansi. Yang
dimaksud kinerja instansi adalah gambaran capaian sasaran yang telah ditetapkan dalam
perencanaan, namun kenyataannya lakip tidak menggambarkan capaia kinerja suatu
instansi, melainkan hanya menggambarkan program/kegiatan yang sudah dikerjakan. Hal ini
dikarenakan sistem perancanaan yang dietarapkan tidak sesuai dengan yang harus
dilaporkan dalam lakip. Yang terkhir adalah LPPD ( Laporan Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah), Laporan ini mengambarkan kinerja urusan yang ditangani oleh Pemda. Untuk itu
Depdagri menetapkan Indikator Kinerja Kunci untuk masing-masing urusan. Pemda harus
mengisi realisasi capaian masing-masing indikator yang telah ditetapkan tersebut. Kinerja
yang terbaik setiap Pemda bukan ditetapkan berdasarkan standard, melainkan melalui
proses perbandingan antara Pemda. Jadi bisa saja terjadi yang terbaik diantara yang
terjelek. Dalam pengisian realisasi capaian masing-masing kurang data yang akurat.
Dasar hukum LKPJ dan LPPD adalah UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan, sedangkan
LAKIP adalah Inpres No 7 Tahun 1999 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah.
Sebenarnya berkaitan dengan kinerja sudah ada dasar hukumnya yaitu PP No 8 Tahun 2006
tentang Laporan Keuangan dan Kinerja, namun amanh dari PP tersebut yaitu Perpres tentang
SAKIP,sampai saat ini belum keluar.
Harmonisasi yang dilontarkan oleh BPKP merupakan harapan yang ditunggu-tungu oleh
PEMDA
Kondisi ini terlihat baik dari segi dokumentasi maupun implemenatasi pelaksanaan tugas pokok dan
fungsi instansi tersebut di lapangan. Dokumentasi perencanaan kinerja serta penetapan kinerja (indikator
kinerja utama) masih merumuskan keluaran (output) sebagai sasaran maupun indikator kinerja, seperti
rumusan berikut :
Rumusan sasasan stratejik dan IKU tersebut masih mencerminkan keluaran (output) dan bukannya hasil
(outcome). Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 29 tahun 2010 menyatakan bahwa :
Kementerian/Lembaga/PemerintahProvinsi/Kabupaten/Kota melaporkan pencapaian tujuan/sasaran
strategis yang bersifat hasil (outcome); Unit kerja organisasi eselon I pada Kementerian/ Lembaga dan
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) melaporkan pencapaian tujuan/sasaran strategis yang bersifat
hasil (outcome) dan atau keluaran (output) penting; unit kerja mandiri lainnya melaporkan pencapaian
sasaran strategis yang bersifat keluaran (output) penting dan atau keluaran (output) lainnya.
Dalam implementasi program maupun kegiatannya, paradigma keluaran (output) para aparatur terlihat
antara lain dari fenomena sebagi berikut:
Tidak berkelanjutannya pelaksanaan suatu kegiatan atau program pada periode berikutnya,
karena program hanya dirancang secara tahunan, tanpa diikuti dengan program atau kegiatan
lanjutan seperti monitoring program atau kegiatan yang telah berlangsung tahun sebelumnya. Selain
itu, pada rencana kerja tahun berikutnya terdapat rencana program atau kegiatan baru yang tidak ada
kaitannya dengan program atau kegiatan sebelumnya.
Tidak tersedianya data capaian hasil (outcome) suatu program atau kegiatan, seperti data
tentang jumlah warga miskin yang telah menempati rumah susun (Program Penyediaan Rumah
Susun layak huni bagi warga miskin), tidak tersedianya data tingkat capaian kompetensi
pengembangan SDM (Program Pengembangan Kompetsni Pegawai)
Paradigma ini mendorong aparatur pemerintah hanya berfokus pada tema yang penting pekerjaan
selesai atau yang penting penyerapan anggaran telah terlaksana seratus persen, dan mengabaikan
pada hasil yang mampu memberikan pertanggungjawaban apakah pelaksanaan tugas pokok dan fuungsi
tersebut telah memenuhi kebutuhan masyarakat atau tidak.
Analisis pada beberapa dokumen renstra menunjukkan bahwa ternyata sebagian besar rentra tidak
memiliki alur logika yang jelas, tidak adanya kesinambungan logis antara rumusan visi, misi, tujuan,
sasaran dan program, seperti :
Rumusan misi tidak teruraikan dalam rumusan tujuan atau sasaran stratejik atau sebaliknya
rumusan sasaran stratejik tidak ada kaitan atau hubungan logis dengan rumusan misi.
Beberapa sasaran stratejik tidak diuraikan dalam langkah-langkah logis strategi program dan
kegiatan ; atau sebaliknya rumusan program dan kegiatan dalam renstra tidak terkait dengan
sasaran stratejik.
Rumusan renstra yang tidak menggambarkan hubungan logis antara rumusan visi, misi, tujuan, sasaran
dan program stratejik tersebut mengakibatkan dokumen renstra tidak dijadikan acuan dalam penyusunan
rencana kerja tahunan serta penganggaran. Kondisi yang sering diketemukan antara lain tidak adanya
hubungan antara renstra dengan penyusunan rencana dan anggaran (RKA-KL/RKA SKPD). Akibat
selanjutnya, ketika program dan kegiatan dilaksanakan, maka hasil capaian kinerja program dan kegiatan
tidak dapat dikaitkan dengan sasaran stratejik dalam Renstra, sehingga menyulitkan dalam penyusunan
LAKIP pada tahap pengukuran kinerja serta evaluasi kinerja.
Selain itu, renstra yang kehilangan alur logis tersebut menjadikan visi dan misi instansi pemerintah hanya
sebatas dokumen yang tidak mampu mengikat komitmen seluruh aparatur pemerintah di instansi tersebut
untuk merealisasikan amanah yang diembannya, sehingga masing-masing bagian organisasi
melaksanakan tugas pokok dan fungsi dengan pikiran, bahasa dan tindakan mereka masing-masing.
Akibat selanjutnya, ketika LAKIP disusun, maka seluruh data kinerja yang tersedia sulit untuk
digabungkan dalam suatu ukuran yang menyatakan capaian kinerja instansi.
Sebagai sebuah janji, sudah barang tentu, seseorang ingin merealisasikan target yang lebih mudah
dicapai. Dengan demikian, penyusunan penetapan kinerja mempunyai kecenderungan untuk
menetapkan target kinerja yang bersifat keluaran (output) daripada target kinerja yang bersifat hasil
(outcome). Selain itu, paradigma para aparatur pemerintah sebagaimana diuraikan dalam butir
permasalahan 1, memberikan kontribusi bahwa penetapan kinerja yang dituangkan dalam Dokumen
Penetapan Kinerja hingga saat ini masih banyak bersifat keluaran (output) dan belum bersifat hasil
(outcome). Kondisi ini ditambah lagi dengan ketentuan bahwa penetapan kinerja harus disusun dengan
merujuk pada dokumen perencanaan jangka menengah yaitu Rencana Pembangunan Nasional Jangka
Mennengah (RPJM); sedangkan target kinerja yang ditetapkan dalamRPJM juga masih lebih bersifat
keluaran (output) daripada hasil (outcome). Oleh karena itu, indikator kinerja utama dalam dokumen
penetapan kinerja tersebut merupakan kelemahan yang mendapatkan nilai kurang memuaskan dalam
evaluasi LAKIP.
Sebagian besar kelemahan proses penyusunan LAKIP adalah minimnya informasi analisis capaian
kinerja, baik pengungkapan mengenai hambatan dan kendala, serta analisis lainnya. Hal ini antara lain
disebabkan :
Pengukuran kinerja yang dilaporkan pada umumnya adalah capaian kinerja masukan (input)
berupa anggaran serta keluaran (output) yang pada umumnya telah tercapai 100 %. Jika capaian
kinerja, dalam hal ini, yang dilaporkan hanya sebatas keluaran (ouput) sebesar 100 %, sudah barang
tentu tidak ditemukan hambatan dan kendala capaian kinerja.
Minimnya data-data yang terkait dengan informasi kinerja, sehingga tidak memberikan informasi
yang cukup bagi penyusun untuk melakukan analisis atas capaian kinerja. Data yang tersedia
umumnya hanya data penyerapan anggaran serta realisasi fisik pekerjaan yang bersifat keluaran
(output).
Tidak tersedianya data kinerja tersebut juga disebabkan karena beberapa kegiatan yang
dilaksanakan tidak berkesinambungan dengan kegiatan lanjutan tahun berikutnya, sehingga setelah
satu jenis kegiatan terlaksananya tidak lagi dilakukan aktivitas minitoring untuk memantau capaian
kinerja yang bersifat hasil (outcome). Dengan demikian, setiap tahun dengan berakhirnya tahun
anggaran, hanya diperoleh data capaian kinerja yang bersifat keluaran (output)
Kompetensi tim penyusun LAKIP yang kurang memadai untuk mengumpulkan, membaca dan
menganalisis data-data kinerja serta latar belakang data tersebut. Tim penyusun, pada umumnya
hanya melakukan penggabungan dari laporan capaian kinerja dari unit kerja di bawahnya, tanpa
melakukan analisis yang mendalam atas data-data capaian kinerja dari unit kerja di bawahnya.