Tantangan dalam Penyelenggaraan Evaluasi Kinerja Berbasis Hasil (Outcome-Bbased) untuk Pemerintah Daerah di Indonesia 1. Pengantar
Terminologi kinerja menjadi sangat familiar dalam penyelenggaraan Manajemen Pemerintahan di Indonesia saat ini, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Terlebih sejak dikeluarkannya berbagai regulasi yang terkait dengan reformasi manajemen pemerintahan yang antara lain ditandai dengan terbitnya Inpres 7/1999 (Revisi melalui SK Kepala LAN No.239/IX/6/8/2003, 25 Maret 2003) tentang Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, PP 105/2000 (jo. PP 58/2005), UU No.17/2003, UU No. 25/2004, UU No.32/2004, UU No.1/2005, UU No.15/2004, UU No. 33/2004, PP 3/2007 dan PP 6/2008. Berbagai peraturan dan kebijakan pendukung lainnya, demikian juga telah banyak diterbitkan, dalam upaya meningkatkan kinerja instansi pemerintah. Mengacu kepada berbagai regulasi tersebut, penerapan manajemen yang berorientasi kepada kinerja hasil (outcome) di lingkungan instansi pemerintah di Indonesia merupakan sebuah keniscayaan dan keharusan. Seluruh aktivitas dalam lingkungan instansi pemerintah akan diukur dari sisi akuntabilitas kinerjanya, baik dari sisi kinerja individu, kinerja unit kerja dan kinerja instansi, dan bahkan juga kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Di masa lalu pengukuran kinerja Pemerintah Indonesia masih terfokus pada pengukuran masukan (input) dan keluaran (output). Dibanding dengan pengukuran hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampak (impact). Pengukuran ini masih berfokus pada sisi sumberdaya yang telah dihabiskan tentang anggaran dan realisasi anggaran, akan tetapi belum memberi perhatian yang memadai kepada hasil dan dampak nyata program dan kegiatan pemerintah terhadap proses pelayanan masyarakat. Hal yang sama juga tercermin dalam proses pelaporan dan pengawasan kinerja penyelenggaraan pemerintahan Pertanyaan besarnya adalah; apakah di era reformasi ini dengan diterbitkannya berbagai regulasi yang ada telah memperlihatkan upaya perbaikan terhadap kinerja instansi Pemerintah? Bagaimanakah hasil nyata dari berbagai langkah kebijakan tersebut terhadap perbaikan manajemen di instansi pemerintah, khususnya dalam siklus manajemen Instansi Pemerintah, seperti proses perencanaan, implementasi, pengendalian dan pengawasan, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja dan evaluasi kinerja?. Apakah berbagai kebijakan/peraturan tersebut telah didukung dengan sistem manajemen yang baik yang dapat mendukung penerapan kebijakan/peraturan tersebut?
Page 1
www.lgsp.or.id
Pemda Baik (9,49%), 61 Pemda nilai cukup (38.61%), selebihnya 79 Pemda bernilai kurang (50 %). Ditengarai berbagai kelemahan dalam pengembangan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP), antara lain muncul dalam semua komponen fungsi pemyelenggaraan pemerintahan, sejak di perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, pelaporan kinerja, evaluasi kinerja, dan pencapaian kinerja itu sendiri. Berbagai kelemahan utama dalam penyusunan laporan kinerja belum menyajikan data kinerja yang memadai serta masih berorientasi untuk kepentingan vertikal. Kelemahan pencapaian kinerja terletak pada proses penyusunan output dan outcome yang tidak tepat, informasi kinerja output dan outcome tidak dapat diandalkan serta kinerja outcome tidak selaras dengan indikator kinerja dalam RPJMD dan RKPD. Khusus dalam komponen evaluasi kinerja kelemahan dasar yang dialami oleh Pemda di Indonesia antara lain adalah Pemda belum melakukan pemantauan mengenai pencapaian kinerja beserta hambatan dan kendala pencapaiannya, Pemda belum melakukan evaluasi LAKIP SKPD, serta lemahnya alat ukur yang digunakan oleh Pemda untuk melakukan evaluasi. LGSP USAID setelah melakukan penguatan kapasitas mitranya dalam perencanaan berbasis kinerja, penyusunan anggaran berbasis kinerja serta penyusunan laporan kinerja, bermaksud untuk mendorong Pemerintah Daerah mampu melakukan evaluasi kinerja yang berbasis hasil serta mampu mengapresiasi dan mengimplementasikan berbagai regulasi terkini yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat secara tepat dengan mengembangkan model instrumen evaluasi kinerja sebagai alternatif metode dalam melakukan evaluasi kinerja.
3. Temuan Umum
Berbagai permasalahan yang mengemuka sebagai penyebab penerapan manajemen kinerja, khususnya evaluasi kinerja di indonesia berjalan lamban, antara lain; (a) legal yuridis yang ada (tumpang tindih, disorientasi dan partial) dalam manajemen kinerja di Indonesia;, (b ) Manajemen kinerja dan pengukuran kinerja belum dan tidak disatukan dalam fungsi manajemen pemerintah daerah, seperti halnya dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pelaporan, evaluasi dan monitoring dan audit ;(c) tidak terdapatnya manajemen kompensasi (mekanisme reward dan punishment) yg merefleksikan pelakasanaan manajemen kinerja di tingkat manajemen publik; (d) lemahnya kapasitas teknis sumberdaya manusia aparatur, dalam transisi paradigma sdm dari paradigma input ke dalam paradigma baru yang mengukur kesuksesan kerja melalui pengukuran hasil outcome oriented; (e) peran publik masih lemah untuk memaksa Pemda mampu berlaku akuntabel dan transparan. Pada tataran implementasi penganggaran berbasis kinerja tidak didukung dengan ketersediaan data dasar kinerja sebagai milestones pencapaian kinerja. Di samping itu kemampuan daerah dalam mengintegrasikan indikator kinerja dalam proses anggaran masih sangat lemah. Sejauh proses pendampingan LGSP-USAID dilakukan, sebagian besar Pemda masih berada dalam kesibukan dalam menentukan jenis indikator, sedangkan pelaporan kinerja cenderung bersifat formal, seperti halnya dalam LAKIP. Berbagai regulasi pelaporan kinerja cenderung menekankan pada realisasi input dan output (realisasi anggaran) ketimbang outcome. Tinjauan ini merupakan kompilasi umum dari hasil lokakarya tentang Evaluasi KInerja Pemerintah Indonesia Berbasis Hasil di Hotel Sheraton Surabaya, September
Local Governance Support Program Page 2 www.lgsp.or.id
2008 dan Lokakarya Pengembangan Indikator Evaluasi Kinerja Berbasis Hasil Pemerintah Daerah di Hotel Grand-Mahakam Jakarta, Agustus 2009. Alur pikir dan sistematika pembahasan akan dialirkan ke dalam 2 garis besar. Pertama, adalah tinjauan kendala yang merupakan ranah dominan Pemerintah Pusat di Tingkat Nasional dan Kedua, yang merupakan wilayah kompetensi pemerintahan daerah.
kerangka hukum audit sektor publik telah diamanatkan melalui UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Keuangan Negara, di dalamnya terdapat 3 fokus utama, antara lain; kinerja keuangan, kinerja pelayanan program dan audit khusus/investigatif. Meskipun Undang-undang telah dirilis sejak 5 tahun yang lalu, akan tetapi sejauh ini BPK sebagai pihak auditor independen belum menyusun cetak biru pelaksanaan audit kinerja secara komprehensif dan sistematik. BPK pada saat ini masih memfokuskan diri pada pelaksanaan audit keuangan negara dan daerah, dimana audit kinerja hanya menjadi bagian kecil di dalamnya, yang pelaksanaannya dilakukan melalui uji petik kinerja kegiatan. Kelemahan lainnya adalah pelaksanaan audit kinerja hanya melhat hasil fisik tetapi belum masuk ke wilayah fungsi/outcome.
5. Tantangan Daerah
dalam
Pelaksanaan
bagi
Pemerintah
Ada beragam tantangan yang dihadapi pemerintah daerah dalam menerapkan reformasi anggaran dan keuangan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku selain dari sekedar peraturan yang saling bertentangan yang dikeluarkan oleh kementrian di tingkat nasional seperti digambarkan di atas. Kesulitan muncul dalam keseluruhan siklus keuangan pemerintah daerah, mulai dari pengesahan anggaran sampai ke penyusunan laporan keuangan, yang disebabkan oleh kompleksitas peraturan, kurangnya SDM, buruknya koordinasi dan tidak memadainya teknologi yang digunakan.1 Beberapa contoh yang lebih spesifik antara lain:
Perencanaan Berbasis data Penyusunan perencanaan pembangunan daerah pada umumnya masih jauh dari menggunakan data kinerja yang valid, up date dan reliable. Ketersediaan data sebatas pada data dasar yang disusun oleh pihak BPS, sedangkan data penyelenggaraan pelayanan, melalui urusan dan kewenangan, yang merupakan data sektoral pelayanan masih lemah dan belum terlembagakan. Bahkan sebagian besar SKPD pada pemerintahahan daerah belum memiliki mekanisme pengumpulan data pelayanan program dan kegiatan pada masyarakat. Akibatnya penyusunan perencanaan tahunan maupun lima tahunan tidak didasarkan kepada milestone pencapaian kinerja yang ada. Bahkan ironi tercipta karena penyusunan perencanaan daerah jarang dibarengi dengan penetapan target yang realistik dan valid. Keterpaduan Perencanaan Dokumen Perencanaan Akibat selanjutnya dari perencanaan yang tidak berbasis data, menyebabkan keterkaitan, sinkronisasi dan harmoni antar dokumen perencanaan pembangunan daerah menjadi terabaikan. Mengukur keterhubungan antar dokumen perencanaan, termasuk di dalamnya mengevaluasi pencapaian kinerja perencanaan menjadi sulit dilakukan akibat lemhanya indikator, target kinerja serta sasaran yang sangat kualitatif. Integrasi perencanaan dan penganggaran masih lemah, dimana penetapan plafond anggaran SKPD maupun program tidak terhubungkan dengan penetapan target yang hendak dicapai pada tahun perencanaan. DI daerah
Pengalaman LGSP dalam membahas isu ini serta isu-isu yang lebih mikro berkaitan dengan keberhasilan pelaksanakan program peningkatan kemampuan seperti yang dijelaskan dalam lampiran.
1
Page 4
www.lgsp.or.id
dampingan LGSP dapat disebutkan beberapa daerah yang telah cukup baik menerapkan keterpaduan ini antara lain; Kab Probolinggo, Kota Mojokerto, Kab Solok dan Kab Serdang Bedagai/ Pelaksanaan Anggaran dan Sistem Akuntansi: Mekanisme otorisasi dan pencairan anggaran tidak didasarkan kepada progress kinerja di tingkat lapangan. Akibatnya penyalahgunaan anggaran sering terjadi. Budget administrasi seharusnya dihubungkan dengan kemajuan/progres pelaksanaan kegiatan riil. Hal ini memerlukan prosedur administrasi yang mengakomodasi hubungan antara dokumen anggaran dan kinerja program serta mensyaratkan adanya mekanisme pengawasan dalam pencairan anggaran. Pelaporan KInerja: Prakarsa penyusunan laporan daerah berbasis kinerja telah dimulai sejak era reformasi digulirkan. Akab tetapi evaluasi dasawarsa reformasi menunjukkan model laporan kinerja daerah masih cenderung berorientasi pada akuntabilitas vertikal, formalistik dan berorientasi pada laporan penggunaan input fisik. Ciri yang kedua adalah terlalu banyaknya laporan yang harus disiapkan oleh Pemeritah Daerah. Menurut Bappenas diidentifkasi terdapat lebih dari 54 jenis laporan yang harus disiapkan oleh Pemda setiap tahunnya. Hal ini belum ditambah dengan laporan lainnya yang ditujukan kepada pelaksanaan DAK dan tugas pembantuan dari pusat plus pelaporan untuk kegiatan sektoral di daerah. Kelembagaan Daerah Penataan kelembagaan, hubungan antarlembaga serta kejelasan tupoksi antar lembaga menjadi sangat penting dalam proses penerapan manajemen kinerja di daerah. Termasuk di dalamnya adalah pelaksanaan model pertanggungjawaban (akuntabilitas) horisontal antara Pemda dengan DPRD dan Pemda dengan masyarakat. Diluar itu penataan internal hubungan inter dan intra SKPD dalam penyusunan kinerja perlu mendapatkan perhatian. Selama ini fungsi ini hanya dijalankan oleh Bappeda dan atau Bagian Pmerintahan di bawah Sekda di Pemerintahan Daerah. Hambatan dalam SDM: Keterbatasan SDM merupakan perkara yang klasik. Bukan dari jumlah akan tetapi dari sisi kompetensi teknis. Cara pandang karywan belum berubah sebagaimana era orde baru berkuasa dimana kesuksesan pelaksanaan program/kegiatan mengacu kepada kemampuan menyerap anggaran (input oriented). Transformasi paradigma input based menuju output based dan selanjutnya outcome oriented memerlukan skenario yang terarah serta disertai alokasi sumberdaya APBD yang cukup dana berkesinambungan. Penguatan sumberdaya manusia daerah yang aware dengan proses pengukuran kinerja menjadi bagian yang paling serius dan menantang. Intervensi Politik dalam wilayah Administrasi Sisi lain yang sangat berkontribusi penting dalam kegagalan penerapan manajemen kinerja di daertah adalah tidak adanya sinergi antara proses politik dan lembaga politik dengan ranah adminsitrasi pemerintahan. Kegagalan mengukur kinerja kerja politik di DPRD berakibat kepada lemahnya fungsi pengawasan, legislasi, representasi dan fungsi anggaran daerah. Kepentingan-kepentingan subyektif partai politik masih dominan ketimbang refleski aspirasi publik. Pada gilirannya penyusunan, pelaksanaan dan pelaporan hasil kerja kebijakan publik jauh dari indikator yang terukur. Menjadi kesulitan besar bagi daerah untuk setiap akhir
Page 5
www.lgsp.or.id
tahun perencanaan melihat ketercapaian atau kegagalan target perencanaan yang telah disusun pada awal tahun perencanaan.
Page 6
www.lgsp.or.id