Peran Pemerintah Daerah dalam Mempromosikan Tata Pemerintahan Bidang Ekonomi yang Terdesentralisasi di Indonesia
Pendahuluan
Salah satu fungsi penting yang menjadi mandat pemerintah daerah di Indonesia, sesuai perundangan desentralisasi sejak 1999 adalah mempromosikan pengembangan ekonomi. Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi semata merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Kemampuan pemerintah daerah dalam mengemban mandat baru ini terbatas, sementara perundangan juga belum spesifik menjelaskan apa lingkup dan bagaimana mandat tersebut dibagi antara pemerintah kabupaten/kota, provinsi dan pemerintah pusat. Pemerintah daerah di Indonesia bergerak sangat perlahan dalam mengambil tanggung jawab pengemAda pemahaman lebih terang mengenai peran pemerintah bangan ekonomi. Sebagian karena ketiadaan panduan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, meskipun perbedaan yang jelas dan sebagian lain karena tuntutan kebutuhan peran antar tingkat pemerintahan belum benar-benar berbeda terkait desentralisasi. Namun demikian, terjelaskan. beberapa pemerintah daerah telah menyambut tantangan itu dan peraturan perundangan tambahan juga telah diberlakukan untuk memperjelas peran pemerintah dalam mempromosikan pertumbuhan, khususnya dalam mendukung UMKM. Pemerintah daerah masih berada pada tahap awal dalam menjalankan mandat mempromosikan pertumbuhan ekonomi. Peraturan dan perundangan terus menerus berkembang dan ada pemahaman yang lebih jelas tentang peran pemerintah yang selayaknya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, walaupun apa peran tiap tingkatan pemerintahan belum cukup dibicarakan. Pada Agustus 2008, Local Governance Support Program (LGSP) mengadakan lokakarya nasional mengundang perwakilan dari 17 daerah (termasuk mitra dari unsur pemerintah dan bukan-pemerintah) yang mendapatkan bantuan teknis LGSP dalam mendukung pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Lokakarya ini dirancang sebagai tempat saling berbagi dan menganalisis pengalaman tiap daerah, juga untuk memberikan perbandingan pengalaman dari negeri lain dan untuk mengidentifikasi bentuk dukungan pemerintah daerah yang terbaik bagi peran barunya dalam memajukan UMKM.
Februari 2 0 09
Ringkasan ini dikembangkan dari hasil lokakarya nasional tersebut ditujukan untuk:
Memaparkan kemajuan yang dilakukan pemerintah daerah dalam melaksanakan peran pengembangan ekonomi; Mengidentifikasi kesenjangan antar perangkat kebijakan dan perundangan yang menghambat kemajuan; dan Memberikan pelajaran yang diperoleh dari pengalaman terkini pemerintah daerah dalam memulai kegiatan pengembangan ekonomi lokal (PEL).
Pemerintah daerah sekarang mempunyai mandat umum untuk pengembangan ekonomi lokal, berbagi dengan pemerintah provinsi dan nasional Pemerintah pada semua tingkatan bekerja bersama dan mendukung, inisiatif sektor swasta dalam pengembangan ekonomi Dukungan pemerintah secara spesifik ditujukan bagi UMKM.
Indonesia berada pada tahap awal pengembangan ekonomi atas inisiatif daerah dan karena itu masih sedikit hasil yang bisa dievaluasi. Pada saat yang sama, kita dapat membandingkan secara umum kebijakan PEL dan langkah awal yang diambil di tingkat daerah dengan konsensus best practice PEL yang datang dari seluruh dunia1.
1
Untuk best practice dan aplikasi PEL dari seluruh dunia dapat dilihat pada website LED dari the International Labour Organization di www.ilo.org/led.
Indonesia mengikuti kecenderungan umum dari strategi PEL dan mencatat beberapa ciri-ciri kunci:
Perundangan nasional menegaskan bahwa peran pemerintah adalah mendukung dan memfasilitasi inisiatif sektor swasta. Dukungan pemerintah menempatkan titik tekan pada pertumbuhan UMKM. Kegiatan awal PEL di Indonesia menitik-beratkan dialog swasta-komunitas-pemerintah sehingga menjamin pelayanan daerah dan kegiatan PEL yang responsif terhadap kebutuhan pelaku usaha setempat. Kegiatan PEL diinisiasi pada tingkat daerah dan mencerminkan prioritas dan komitmen lokal.
Walaupun upaya awal nampaknya sudah dilakukan dengan benar, namun Indonesia ketinggalan dalam beberapa hal penting:
Masih kecilnya perhatian yang diberikan terhadap penyederhanaan peraturan dan perizinan usaha. Padahal ini yang akan mengurangi biaya memulai usaha dan mengurangi korupsi. Permendagri No. 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Pembentukan Pelayanan Satu Pintu telah membantu beberapa pemerintah daerah untuk membentuk pelayanan tersebut. Namun demikian, perubahan budaya yang mendorong birokrasi untuk lebih berorientasi melayani (tidak sekedar berorientasi kekuasaan) masih perlu ditingkatkan agar keberhasilannya lebih nampak2. Pembagian peran yang tepat dari pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam PEL masih belum jelas betul, dan masih sedikit upaya pengembangan kegiatan lintas kewenangan dan kerjasama antar daerah dalam klaster.
Singkatnya, karena tidak adanya petunjuk kebijakan yang spesifik, pemerintah daerah (kota dan kabupaten) bereaksi terhadap mandat yang diterimanya dengan sikap ad hoc dan oportunistis. Beberapa pemerintah daerah bergerak agresif sementara yang lain bekerja sangat sedikit. Meskipun seluruh pemerintah daerah dengan kadar berbeda-beda mendukung inisiatif ini, mereka sering melakukannya tanpa membuat perubahan yang berarti. Peran usaha mikro, kecil dan menengah di Indonesia, dalam konteks pengembangan ekonomi sesungguhnya besar. Selama dua dekade terakhir telah terbukti bahwa usaha kecil merupakan mesin utama pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia. Juga semakin diakui bahwa usaha kecil sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang ada di bawah kendali pemerintah daerah. Sebagai contoh, usaha kecil sangat tergantung pada pelayanan publik di daerah, terutama pelayanan prasarana, dan sering terkendala dalam soal perijinan, peraturan dan aturan perpajakan dan retribusi daerah. Pemerintah daerah dapat menentukan tumbuh atau bangkrutnya UMKM.
World Economic Forum Global Competitiveness Report 2008-09 mengutip birokrasi yang tidak efisien merupakan faktor kendala terbesar dalam berbisnis Indonesia. (http://www.weforum.org/documents/GCR0809/index.html).
Kini telah semakin diakui bahwa UMKM faktanya memang mendominasi ekonomi Indonesia. Batasan usaha mikro, kecil dan menengah yang berlaku di Indonesia adalah seperti di bawah ini. Definisi UMKM Tergantung sumbernya, UMKM di Indonesia didefinisikan berdasar penjualan tahunan dan nilai asset nya, atau menurut jumlah tenaga kerjanya. Definisi yang paling baru adalah yang diberikan oleh UU No. 20/2008:
Usaha Mikro: nilai aset bersih hingga Rp 50 juta; penjualan tahunan hingga Rp 300 juta; Usaha Kecil: nilai aset bersih Rp 50 500 juta; penjualan tahunan Rp 300 juta 2,5 milyar. Usaha Menengah: nilai aset bersih Rp 500 juta 10 milyar; penjualan tahunan Rp 2,5 50 milyar; Usaha Besar: nilai aset bersih di atas Rp 10 milyar; penjualan tahunan di atas Rp 50 milyar.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS)3 mendasarkan definisinya pad jumlah tenaga kerja, dimana mikro, kecil, menengah dan besar adalah: 1- 4, 5 19, 20 99, dan di atas 100 orang.
Lebih dari 95% tenaga kerja Indonesia bekerja pada UMKM. Dan, usaha mikro dan kecil merupakan 99% lebih dari jumlah usaha di Indonesia4, dan menyumbang 55% dari PDB. Dengan peran yang begitu besar bagi ekonomi Indonesia, membangun usaha berarti membangun UMKM. Strategi pemberdayaan UMKM di Indonesia menyangkut rentang bentuk-bentuk intervensi atau program yang luas, misalnya: subsidi kredit dan bahan baku, pengembangan dan pelatihan sumber daya manusia; bantuan manajemen dan sistem inkubasi bisnis; program kemitraan usaha kecil dan besar; pemasaran, dukungan promosi dan ekspor. Program-program ini secara tipikal lebih merupakan tanggung jawab kementerian dan lembaga pemerintah di tingkat pusat, yang dilaksanakan oleh provinsi sebagai pembantu pemerintah pusat, dari pada menjadi tanggung jawab lembaga pemerintah daerah sendiri. Sebagai tambahan untuk mengubah locus perencanaan pengembangan ekonomi, peraturan perundangan yang baru juga memprioritaskan dukungan kepada UMKM. Seperti disebut di atas, dalam sejarahnya UMKM telah tercatat sebagai sasaran khusus program-program pembangunan ekonomi di Indonesia, dan juga sudah menunjukkan peran yang besar dalam perekonomian. Undang-undang No. 32/2004 dan Peraturan Pemerintah No. 38/2007 secara spesifik menyebut dukungan bagi UKM sebagai salah satu fungsi pemerintah. Undangundang No. 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, Menengah yang disyahkan pada Agustus 2008 menegaskan lagi hal itu. Istilah yang digunakan undang-undang itu menegaskan bahwa pemerintah pusat dan daerah (menggabungkan provinsi dan kabupaten/kota dalam satu istilah pemerintah daerah) bertugas memberdayakan UMKM menciptakan lingkungan yang mendukung usaha dalam rangka memperluas peluang usaha. Undang-undang
Disebut dalam Tambunan, Tulus. Journal of Development Entrepreneurship. Entrepreneurship Development: SMEs in Indonesia. Vol 12, No I (2007), halaman 95-118. Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, 2008
ini juga merinci aktivitas yang dimandatkan: memperbaiki iklim usaha, memfasilitasi kapasitas pengembangan usaha UMKM, menyediaan pembiayaan dan jaminan pinjaman, dan memfasilitasi kemitraan antara usaha besar (UB) dan UMKM. Walaupun undang-undang ini secara eksplisit menjadikan upaya mendukung UMKM sebagai fungsi pemerintah, undang-undang itu juga belum menjelaskan perbedaan peran antara pemerintah nasional, provinsi dan kabupaten/kota dalam menyediakan dukungan itu.
Identifikasi ini dilakukan sebagai bagian dari pendampingan tehnis LGSP untuk pemerintah daerah mitra.Termasuk loka karya untuk mengidentifikasi pelayanan apa yang menjadi prioritas masing-masing pemerintah daerah, diikuti penyusunan Skema Tindakan Peningkatan Pelayanan Publik (STTP) untuk melaksanakan perbaikan layanan yang disepakati.
Banyak kabupaten/kota memberikan pelayanan yang mengkombinasikan lebih dari satu elemen di atas. Di Kota Kediri misalnya, pemerintah daerah telah menyalurkan dana kepada bank milik daerah untuk kredit mikro, dan juga memberikan pelayanan untuk organisasi/forum kemitraan UMKM. Pada kasus lain, organisasi kemitraan pengembangan ekonomi lokal menjadi wahana bagi perencanaan dan koordinasi baik bagi klinik usaha maupun pelayanan pembiayaan mikro. Pemilihan jenis intervensi atau program bagi pengembangan ekonomi lokal ini sebagai titik awal bagi inisiatif PEL masih memerlukan diskusi lebih lanjut. Ketiga jenis intervensi tersebut dikembangkan sebagian besar atas dasar adaptasi dari pengalaman di Indonesia. Sebagai contoh, pembiayaan mikro punya sejarah panjang di Indonesia, dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang didirikan lebih dari 100 tahun yang lalu, adalah lembaga pembiayaan mikro utama dengan 3,5 juta peminjam di seluruh wilayah tanah air. Banyak jenis lembaga pembiayaan mikro lainnya juga ditemukan di Indonesia, mulai dari tukang kredit informal, arisan, perkumpulan simpan-pinjam, pegadaian, lembaga swadaya masyarakat dan koperasi, hingga proyek formal pembiayaan mikro formal oleh pemerintah. Mirip dengan itu, pusat pelayanan pengembangan usaha (business development center) telah dikenal luas sejak lebih dari 15 tahun yang lalu sebagai cara untuk mendukung pertumbuhan UMKM sering dengan bantuan donor eksternal. Kemitraan pengembangan usaha yang tumbuh dari inisiatif perencanaan partisipatif lokal dan lahir dalam kaitan dengan perencanaan pembangunan prasarana perkotaan pada akhir 1980an, merupakan komponen kunci dari bantuan teknis LGSP dan pendahulunya. Kurangnya petunjuk yang jelas tentang bagaimana mereka harus menangani PEL, membuat pemerintah daerah menjadi cukup kreatif dalam mengadopsi model yang ada. Berdasar pengalaman pemerintah daerah yang dibandingkan dengan pengalaman pemerintah lokal di bagian dunia lain, loka karya nasional LGSP mengidentifikasi sejumlah kendala yang dihadapi pemerintah daerah dalam merancang dan melaksanakan inisiatif PEL: Tidak adanya pertukaran pengetahuan tentang model-model PEL. Sementara sudah banyak variasi program dukungan bagi pengembangan ekonomi lokal dan UMKM di Indonesia selama beberapa tahun terutama melalui lembaga tingkat nasional dokumentasi pelajaran dari pengalaman (lesson learned) dan ketersediaan petunjuk praktis bagi pemerintah daerah masih terbatas. Tidak adanya pendekatan terkonsolidasi bagi PEL. Sebagian karena pemerintah daerah kekurangan model yang bagus, dan sebagian karena mereka masih pada tahap awal penyusunan rencana PEL, banyak daerah kemudian tidak punya fokus yang terpadu pada misi PEL. Pada banyak kasus, tiap satuan kerja perangkat daerah (SKPD) punya program sendiri, hasilnya pun cuma pendekatan yang sepotong-sepotong dan bukan strategi pengembangan ekonomi lokal yang terintegrasi. Ini sangat umum terjadi dalam kondisi lembaga pemerintah daerah yang tersekat-sekat sektoral. Sebagai contoh, satu produk pertanian yang bergerak melalui rantai nilai mulai dari panen hingga menjadi produk dalam kaleng harus melalui kewenangan beberapa satuan kerja pemerintah yang berbeda, yang tidak berkomunikasi dengan baik satu dengan lainnya. Juga, rencana pembangunan daerah jarang ditujukan untuk menciptakan sinergi di antara pembangunan prasarana, manajemen lahan, dan PEL. Persaingan di antara kewenangan pemerintahan yang berbeda. Kurangnya petunjuk yang jelas tentang peran tiap level pemerintahan bisa memicu terjadinya persaingan antar daerah dan antar tingkatan pemerintah. Ada keterbatasan pemahaman tentang keterkaitan peran antara provinsi, kabupaten dan kota dalam pengembangan ekonomi wilayah. Lebih luas lagi, terlihat kurangnya koordinasi dalam
perencanaan pengembangan ekonomi lokal dan penyelenggaraan pelayanan antar tingkatan pemerintah. Suatu perkecualian adalah Provinsi Jawa Tengah melalui Forum Pengembangan Ekonomi dan Sumber Daya (FPESD), jejaring Forum Pengembangan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja (FEDEP) dan forum klaster UMKM pada beberapa kabupaten/kota, mereka berkolaborasi untuk tujuan pengembangan ekonomi lokal bersama. FPESD juga telah membentuk Resource Development Center (RDC) yang melayani pelatihan, konsultansi, kemitraan dengan jejaring penyedia pelayanan (service providers), dan jasa pelayanan pemasaran. Pandangan yang masih bertahan bahwa pemerintah daerah lebih merupakan penyedia dari pada fasilitator pelayanan PEL. Meskipun kebijakan nasional saat ini mendukung konsep pemerintah sebagai fasilitator PEL dan bukan penyedia pelayanan langsung, banyak aparat daerah masih menggunakan paradigma lama. Sebagai contoh, ide pemerintah daerah untuk memberikan kredit mikro berbunga rendah sangat kuat. Sebagai tambahan, banyak UMKM yang masih melihat pemerintah sebagai penyedia dan bukan sebagai fasilitator atau mitra cenderung meminta pemerintah menjadi penyedia dana daripada sebagai pembina iklim usaha. Keterbatasan kapasitas manajemen dari pemerintah daerah. Pemerintah daerah di Indonesia masih berupaya untuk merampungkan perluasan mandat dalam desentralisasi, termasuk perluasan tanggung jawab dalam PEL. Oleh karena pemerintah daerah masih sibuk membangun kapasitas manajemen dan sistem kepemerintahannya, pelayanan PEL terkendala terbatasnya kemampuan manajemen dalam proses perencanaan, penganggaran, penyelenggaraan pelayanan dan koordinasi. Sistem pengukuran kinerja masih terbatas. Ada kelemahan umum terkait monitoring dan analisis efektivitas kinerja PEL. Sebagai contoh, dalam kasus pinjaman mikro, belum ada ukuran kinerja selain dari memantau penyerapan dananya. Secara umum, pengukuran kinerja bagi pelayanan PEL adalah yang paling jarang dikembangkan dan diterapkan oleh daerah di Indonesia. LGSP telah berhasil menangani beberapa isu tersebut melalui peningkatan kemampuan manajemen pemerintah daerah khususnya dalam memberdayakan UMKM sebagai tulang punggung ekonomi lokal. Namun demikian, upaya yang lebih luas diperlukan untuk menciptakan iklim yang lebih kondusif bagi PEL, terutama melalui pengelolaan sumber daya yang lebih berkeadilan menyangkut lahan, prasarana dan keuangan. Pemerintah daerah harus menyeimbangkan antara kerangka kebijakan yang mendorong investasi dengan upaya pelestarian lingkungan. Mereka harus berupaya lebih keras untuk mengelola sumber daya publik secara lebih transparan dan adil sebagai upaya untuk membangun fondasi bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Upaya-upaya ini tidak memerlukan biaya yang banyak untuk membuatnya lebih efekif. Peningkatan yang berarti dapat dicapai melalui langkah-langkah yang relatif langsung, seperti restrukturisasi organisasi, penyederhanaan prosedur, pengintegrasian proses perencanaan dan penganggaran, dan konsultansi periodik di antara unsur-unsur pemerintah daerah untuk mengaitkan strategi pertumbuhan ekonomi mereka dengan pengukuran kinerja ekonomi.
Mendokumentasi Pembelajaran (Lessons Learned) dan Praktek-praktek Terbaik. Dari pertukaran pengalaman dalam PEL antar daerah mitra LGSP yang terpilih menunjukkan bahwa pengalaman yang bernilai sudah bermunculan dan perlu didokumentasi. Meskipun LGSP sudah terlibat memfasilitasi hal ini untuk pemerintah daerah mitranya, upaya nasional yang lebih luas perlu dipertimbangkan agar dapat memberi petunjuk kepada seluruh pemerintah daerah saat mereka mengambil fungsi baru ini. Kegiatan ini dapat dimulai berdasar pengalaman beberapa mitra utama LGSP pada tiga area (untuk detailnya, lihat lampiran 2):
Kemitraan Pengembangan Ekonomi Lokal (kota Kediri, Kabupaten Probolinggo, Klaten, Kebumen, dan Provinsi Jawa Tengah) Pusat Pelayanan Pengembangan Usaha (kota-kota Tebing Tinggi, Pematang Siantar dan Palopo, dan Kabupaten Jeneponto) Pembiayaan-mikro (Kota Kediri, Kabupaten Enrekang)
Menyediakan Perangkat Praktek Terbaik dari Pengalaman Internasional. Ada banyak studi-studi kasus internasional tentang inisiatif-inisiatif PEL yang inovatif yang bisa dipaketkan secara tepat untuk pemerintah daerah di Indonesia bersama dengan dokumentasi lessons learned yang diusulkan di atas. Kumpulan pengetahuan praktis ini akan sangat bermanfaat bagi daerah di Indonesia saat mereka melaksanakan tugas pengembangan ekonomi lokal. Program Percontohan dalam Kemitraan Antar Pemerintah. Lebih banyak upaya perlu dilakukan untuk mengembangkan dan menguji pendekatan PEL agar bisa menggerakkan bersama pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana Forum Pengembangan Ekonomi dan Sumber Daya (FPESD) Jawa Tengah. Suatu paket kegiatan percontohan tidak saja memberikan model atau contoh penerapan di daerah tetapi juga memberikan basis untuk regulasi yang lebih baik tentang peran yang tepat bagi tingkatan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota dan kerjasama kemitraan diantara mereka. Program Percontohan dalam Pemantauan Kinerja PEL. Alat pengukuran dan analisis berorientasi kinerja yang dapat digunakan pemerintah daerah dalam menilai program dukungan bagi PEL dan pemberdayaan UMKM masih terbatas, karena sebagian besar pemerintah daerah masih pada taraf awal dalam formulasi program PEL. Sekarang lah saatnya untuk membantu pemerintah daerah dengan mengenalkan prosedur penilaian kinerja yang praktis. Pada tahun terakhir kerjanya, LGSP akan bekerja dengan daerah dampingan untuk mendokumentasi praktekpraktek baik yang dikembangkan dan pengalaman bernilai pada wilayah kerja pemberdayaan UMKM, serta mengembangkan indikator-indikator untuk memantau kinerja dari inisiatif PEL secara lebih baik.
Lampiran 1: Peraturan perundangan tingkat Nasional yang mempengaruhi Peran Pemerintah Daerah dalam PEL
Mengokohkan otonomi pemerintah daerah, terutama pada tingkat kabupaten/kota. Undang-undang ini juga menegaskan bahwa otoritas tertinggi dalam pemerintahan daerah ada pada legislatif, yang dipilih oleh rakyat, dan memperoleh kewenangan anggaran yang diperluas, termasuk dalam program pengembangan ekonomi lokal (PEL). Dengan semangat undang-undang itu, pemerintah daerah mendadak menjadi penanggung jawab penyedia berbagai pelayanan yang dulunya dipegang oleh pemerintah pusat, termasuk yang menyangkut PEL.
Revisi dari UU 22/1999 di atas, mengurangi peran legislatif daerah dan memberikan kembali kewenangan gubernur. Dalam kaitan dukungan bagi UKM, undang-undang ini memberikan tugas sekaligus kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagai urusan wajib untuk memfasilitasi pengembangan koperasi dan UKM. Sementara pemerintah provinsi menangani program antar-daerah dimandatkan oleh Pemerintah (programprogram dekonsentrasi), pemerintah kabupaten/kota melaksanakan mandatnya sendiri dalam PEL yang menjadi tanggung jawabnya, dengan pemerintah provinsi yang mengkoordinasi untuk menjamin konsistensinya.
Peraturan Pemerintah No. 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
Menjelaskan arahan UU 32/2004 di atas. Menyangkut dukungan bagi UMKM, menetapkan bahwa untuk urusan UMKM, peran nasional, provinsi dan kabupaten/kota adalah serupa dan termasuk pemberdayaan UMKM (memperbaiki iklim usaha, memperluas pembiayaan dan akses ke kredit bagi UMKM), begitu pula kegiatan pembinaan dan evaluasinya terkait pemberdayaan UMKM. Peraturan ini juga mencatat bahwa provinsi dan kabupaten/kota mempunyai urusan pilihan. Peraturan ini belum memberikan petunjuk sebagai acuan saat provinsi atau kabupaten/kota akan melaksanakan fungsi-fungsi tersebut, dan apa perbedaan peran masing-masing.
Peraturan Pemerintah No. 50/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah
Memberikan dasar hukum bagi provinsi dan kabupaten/kota dalam bekerja sama atau bermitra dengan daerah lain atau dengan lembaga publik lain dan dengan sektor swasta dalam manajemen pelayanan public.
Menguraikan lingkup tanggung jawab pemerintah nasional dan daerah dalam pemberdayaan UMKM. Undangundang ini menguraikan detail kegiatan pelayanan seperti: (a) memperbaiki iklim usaha (misal meningkatkan akses kepada pembiayaan, penyederhanaan prosedur perijinan); (b) fasilitasi pengembangan kapasitas pengembangan usaha; (c) menyediakan bantuan pembiayaan dan jaminan kredit; dan (d) memfasilitasi kemitraan antara usaha besar dan UMKM. Undang-undang ini juga menyebutkan bahwa fungsi-fungsi tersebut adalah tanggung jawab baik pemerintah nasional maupun daerah, tetapi sekali lagi tidak menyatakan bagaimana interaksi antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam menyelenggarakan pelayanan.
9
10
Provinsi
Daerah
Kemajuan
Membentuk klinik pengembangan usaha UMKM sebagai unit pelayanan dengan manajemen profesional
Sumatera Utara
Membentuk klinik pengembangan usaha UMKM sebagai unit pelayanan dengan manajemen profesional
Membentuk pusat pelayanan bagi UMKM di tingkat Kabupaten untuk bimbingan produksi dan pemasaran
Provinsi
Mendukung FPESD sebagai koordinator dan pengembangan kapasitas lembaga untuk PEL, dan membantu pemantapan RDC
Jawa Tengah
Kebumen (kabupaten)
Jepara (kabupaten)
Membentuk forum pengembangan UMKM di tingkat kabupaten untuk merumuskan kebijakan pengembangan ekonomi dan meningkatkan pelayanan publik bagi UMKM Meningkatkan kinerja manajemen Jepara Trade and Tourism Center (JTTC) dalam pemasaran pariwisata dan produk UMKM daerah
Klaten (kabupaten)
Mendorong terbentuknya Badan Koordinasi Pengembangan Ekonomi Daerah (BKPED) untuk meningkatkan inisiatif pemerintah daerah, asosiasi pengusaha dan LSM dalam recovery dan pembangunan kembali UMKM pasca gempa bumi
Probolinggo (kabupaten)
Meningkatkan manajemen forum pengembangan usaha yang menghubungkan UMKM, SKPD terkait dan para pelaku ekonomi untuk mempromosikan PEL dalam rencana jangka menengah (RPJMD)
Kediri (kota)
Meningkatkan manajemen forum pengembangan UMKM di tingkat kabupaten dikombinasi dengan pendampingan pelayanan pembiayaan mikro
Jawa Timur
Malang (kabupaten)
Meningkatkan pelayanan bagi pengembangan usaha UMKM pada satu pilot unit wilayah pelayanan, untuk direplikasi kepada wilayah lainnya
Batu (kabupaten)
Meningkatkan manajemen pusat pelayanan bagi UMKM di tingkat kabupaten dan mengembangkan jejaring antar kelompok UMKM
Mojokerto (kota)
Meningkatkan manajemen forum pengembangan usaha yang menghubungkan tiap satuan kerja terkait UMKM dan pelaku ekonomi lainnya untuk mempromosikan UMKM
Jeneponto (kabupaten)
Membentuk pusat pelayanan UMKM di tingkat kabupaten dan meningkatkan kinerja SKPD pembinanya
Soppeng (kabupaten)
Sulawesi Selatan
PangKep (kabupaten)
Membentuk klinik pengembangan UMKM sebagai unit pelayanan kabupaten dengan manajemen yang profesional
Enrekang (kabupaten)
Palopo (kota)
Meningkatkan manajemen pusat informasi pengembangan UMKM di tingkat kabupaten, dikaitkan dengan pendampingan pelayanan kredit mikro Membentuk klinik pengembangan UMKM sebagai unit pelayanan kabupaten dengan manajemen yang profesional
11
Tentang LGSP
Local Governance Support Program (LGSP) memberikan bantuan teknis guna mendukung kedua sisi dalam tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) di Indonesia. Bagi pemerintah daerah, LGSP membantu meningkatkan kompetensi pemerintah dalam melaksanakan tugastugas pokok di bidang perencanaan dan penganggaran yang terintegrasi, meningkatkan kemampuan dalam memberikan pelayanan yang lebih baik serta mengelola sumber daya. Bagi DPRD dan organisasi masyarakat, LGSP memberi bantuan untuk memperkuat kapasitas mereka agar dapat melakukan peran-peran perwakilan, pengawasan dan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. LGSP bekerja di lebih dari 60 kabupaten dan kota di sembilan provinsi di Indonesia: Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Papua Barat. Buku ini terwujud berkat bantuan yang diberikan oleh United States Agency for International Development (USAID) berdasarkan kontrak dengan RTI International nomor 497-M-00-05-00017-00, mengenai pelaksanaan Local Governance Support Program (LGSP) di Indonesia. Pendapat yang tertuang di dalam laporan ini tidak mencerminkan pendapat dari USAID. Program LGSP dilaksanakan atas kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan, pemerintah daerah dan organisasi masyarakat dalam wilayah provinsi mitra LGSP. Program LGSP didanai oleh USAID dan dilaksanakan oleh RTI International berkolaborasi dengan International City/ County Management Association (ICMA), Computer Assisted Development Incorporated (CADI) dan Democracy International (DI). Program dilaksanakan mulai 1 Maret 2005 dan berakhir 30 September 2009.
Kantor Pusat LGSP Gedung Bursa Efek Indonesia 1, Tower I Lantai 29, Jl. Jend. Sudirman Kav. 52-53, Jakarta 12190, Indonesia Tel: +62 21 515 1755 Fax: +62 21 515 1752 Email: info@lgsp.or.id Website: www.lgsp.or.id