Anda di halaman 1dari 18

BIROKRASI DAN REFORMASI ORGANISASI

Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah Kapita Selekta Administrasi

UIN SUSKA RIAU

Dosen Pengampu : Syukron Mufid, S.Sos, M.Si

Disusun Oleh Kelompok 5:


Rizki Safitri
Nesa Gusma Dewi
Desi Sulastri
Hifzil Maulana Sofi
Renal Sabli

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
1440 H / 2018 M
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan pertolongannya
kami akhirnya dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan baik. Tidak lupa pula ucapan
terimakasih kami haturkan kepada teman-teman atau orang yang ikut serta mendukung
terselesainya makalah ini.
Makalah ini menjelaskan tentang Birokrasi dan Reformasi Organisasi yang kami susun
dan kami rangkum dari berbagai buku ataupun sumber penunjang informasi lainnya. Makalah ini
kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang dimiliki masih sangat terbatas.
Oleh karena itu diharapkan kepada pembaca untuk memberi masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini dan semoga makalah yang kami sediakan
bermanfaat.

Pekanbaru, Oktober 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii


DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................
2.1 Pengertian Birokrasi................................................................................. 3
2.2 Teori Birokrasi ......................................................................................... 3
2.3 Konsep Birokrasi Model Max Weber ..................................................... 4
2.4 Reformasi Organisasi dalam Konteks Teoritik ........................................ 8
2.5 Birokrasi dan Reformasi Organisasi ........................................................ 11
2.5.1 Performansi Ekonomis .................................................................. 11
2.5.2 Pandangan Berbeda Mengenai Performansi dan Birokrasi ........... 11
BAB III PENUTUP ..................................................................................................
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Birokrasi mungkin bagi sebagian orang di Indonesia merupakan suatu prosedur yang
berbelit-belit, dari meja satu ke meja lainnya, yang ujung-ujungnya adalah biaya yang serba
mahal. Pendapat yang seperti itutidaklah dapat disalahkan seluruhnya, namun demikian apabila
orang-orang yang duduk dibelakangmeja taat pada prosedur dan aturan serta berdisiplin dalam
menjalankan tugasnya, maka birokrasi akan berjalan lancar dan ”biaya tinggi” akan dapat
dihindarkan.
Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan
yang baik (goodgovernance). Dengan dilaksanakannya reformasi birokrasi tersebut, dapat
menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional, efektif dan efisien.Reformasi birokrasi juga
merupakan langkah strategis membangun sumber daya aparatur negara yang memiliki daya guna
dan hasil guna yang profesional dalam rangka menunjang jalannnya pemerintah dan
pembangunan nasional. Untuk itu reformasi birokrasi harus dimulai dari penataan kelembagaan
dan sumber daya manusia aparatur. Sebagai wujud komitmen nasional untuk melakukan
reformasi birokrasi, pemerintah telah menetapkan reformasi birokrasi dan tata kelola
pemerintahan menjadi prioritas utama, hal ini terdapat dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun
2010 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010 – 2014.
Reformasi birokrasi juga diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81
Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010 – 2025 dan Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi
2010 – 2014, dijelaskan bahwa program penataan organisasi bertujuan untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas kelembagaan pemerintah pusat dan daerah secara proporsional sesuai
dengan kebutuhan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, sehingga organisasi birokrasi menjadi
tepat fungsi dan tepat ukuran. Dengan target yang ingin dicapai melalui program ini adalah untuk
menurunnya tumpang tindih pelaksanaan tugas pokok dan fungsi antar organisasi perangkat
daerah dan meningkatnya kapasitas kelembagaan dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi
organisasi perangkat daerah.
Dari momentum reformasi birokrasi ini menuntut seluruh satuan kerja dan organisasi
pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah untuk bergerak cepat merespon dinamika

1
masyarakat. Organisasi birokrasi dituntut profesional, efektif dan efisien dalam melaksanakan
tugas pokok dan fungsinya dengan tujuan untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran
strategisnya untuk melayani masyarakat. Dewasa ini, pemerintah daerah perlu melakukan
penataan ulang organisasi perangkat daerah, ditetapkan dengan peraturan daerah yang
berpedoman pada Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi
Berbagai persoalan birokrasi mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan tidak
berjalan dengan baik dan harus ditata ulang atau diperbaharui. Reformasi birokrasi dilaksanakan
dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (goodgovernance). Dengan kata
lain, reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih
berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan
nasional.
Selain itu dengan sangat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan
komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk
direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Masyarakat mengharapkan
bahwa dengan terjadinya reformasi,akan diikuti pula dengan perubahan besar pada desain
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang menyangkut dimensi kehidupan
politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Perubahan struktur, kultur dan paradigma birokrasi
dalam berhadapan dengan masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan
mengingat birokrasi mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis
multidimensional yang tengah terjadi sampai saat ini. Namun, harapan terbentuknya kinerja
birokrasi yang berorientasi pada pelanggan sebagaimana birokrasi di negara–negara maju
tampaknya masih belum mampu diwujudkan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Konsep Birokrasi Model Max Weber?
2. Bagaimana Birokrasi dan Reformasi Organisasi itu?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Birokrasi


Secara etimologi birokrasi yang dalam bahasa inggris disebut bureaucracy berasal dari
dua kata yaitu “bureau” yang artinya meja dan “ cratein” berarti kekuasaan .jadi maksudnya
kekuasaan yang berada pada orang-orang yang dibelakang meja. Sedangkan menurut kamus
besar bahasa Indonesia kata “birokrasi “ artinya sistem pemerintahan yang di jalankan oleh
pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan , cara bekerja
atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta menurut tata aturan yang banyak liku-
likunya.
Menurut Pryudi Atmosudirdjo dalam Harbani Pasolong(2007: 67) mengemukakan bahwa
birokrasi mempunyai tiga arti yaitu (1) birokrasi sebagai suatu tipe organisasi tertentu ,
(2)birokrasi sebagai system (3)birokrasi sebagai jiwa kerja.
2.2 Teori birokrasi
Budi Setiono dalam Harbani Pasolong ( 2007:74 ), membagi empat teori birokrasi yaitu :
1. Teori Rasional Administrative Model(RAM)
Dikemukakan oleh weber yang menyatakan bahwa birokrasi yang ideal ialah birokrasi
yang berdasarkan pada system peraturan yang rasional sebagai organisasi social yang
diandalkan, terukur dan dapat diprediksikan dan efisien.
2. Teori Power Blok Model (PBM)
Teori yang berdasarkan pemikiran bahwa birokrasi merupakan alat penghalang
atau blok rakyat dalam melaksanakan kekuasaan.
3. Teori Bureaucrati Oversupply Model (BOM)
Yaitu teori berbasis pada pemikiran ideology liberalism yang muncul pada tahun 1970-
an, oleh William niskanen dalam buku representative government(1971), sebagai respon
terhadap teori birokrasi weber maupun teori marx. Teori ini juga banyak pembahasan ahli
politik seperti konsep reinventing government, new public management, public choise
teory, managerialism, teori ini menuntut agar kapasitas birokrasi dikurangi dan peran yang
selama ini dilakukan hendaknya di delegasikan kepada sector swasta ( privat sector) dan
mekanisme pasar.

3
4. Teori New Public Service(NPS)
Teori NPS memandang bahwa birokrasi adalah alat rakyat dan harus tunduk pada
kepada apapun suara rakyat ,sepanjang suara itu rasioanal dan legimate secara normative
dan konstitusional sebab birokrasi menjalankan tugas sebagai pelayan public.
2.3 Konsep Birokrasi Model Max Weber
Max Weber adalah seorang sosiolog besar asal Jerman yang pemikirannya tentang
birokrasi telah menjadi sangat klasik dalam literatur akademis, Weber menggunakan istilah
birokratisasi untuk menjelaskan semakin luasnya penerapan prinsip-prinsip birokrasi dalam
berbagai organisasi dan institusi modern. Menurut Weber dalam Miftah Thoha ( 2010 : 17-18
), tipe ideal birokrasi yang rasional itu dilakukan dalam cara-cara sebagai berikut:
1. Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia
menjalankan tugas-tugas atau kepentingan individual dalam jabatannya. Pejabat tidak
bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk
keluarganya.
2. Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarki dari atas ke bawah dan ke samping.
Konsekuensinya ada jabatan atasan dan bawahan, dan ada pula yang menyandang
kekuasaan lebih besar dan ada yang lebih kecil.
3. Tugas dan fungsi masing-masing jabatan dalam hierarki itu secara spesifik berbeda satu
sama lainnya.
4. Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus dijalankan. Uraian tugas (job
description) masing-masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang dan
tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak.
5. Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalitasnya, idealnya hal tersebut
dilakukan melalui ujian yang kompetitif.
6. Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan
tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa me-mutuskan untuk
keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai dengan keinginannya dan kontraknya bisa
diakhiri dalam keadaan tertentu.
7. Terdapat struktur pengembangan karier yang jelas dengan promosi berdasarkan senioritas
dan merit sesuai dengan pertimbangan yang objektif.

4
8. Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources
instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
9. Setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan
secara disiplin.
Weber dalam Harbani Pasolong ( 2007 : 72 ), menyusun karakteristik birokrasi menjadi
7, sebagai berikut:
1. Spesialisasi pekerjaan , yaitu semua pekerjaan dilakukan dalam kesederhanaan,rutinitas
,dan mendefinisikan tugas dengan baik.
2. Hierarki kewenangan yang jelas, yaitu sebuah struktur multi tingkat yang formal,dengan
posisi hierarki atau jabatan, yang memastikan bahwa setiap jabatan yang lebih rendah
berada dibawah supervise dan control dari yang lebih tinggi.
3. Formalisasi yang tinggi , yaitu semua anggota organisasi diseleksi dalam basis kualifikasi
yang didimonstrasikan dengan pelatiah, pendidikan, atau latihan formal.
4. Pengambilan keputusan mengenai penempatan pegawai yang didasrkan atas kemampuan,
yaitu pengambilan keputusan tentang seleksi dan promosi didasarkan atas kualifikasi teknik
,kemampuan dan prestasi para calon.
5. Bersifat tidak pribadi ( impersonalitas ), yaitu sanksi-sanksi diterapak secara seragam dan
tanpa perasaan pribadi untuk menghindari keterlibatan denga kepribadian individual dan
preferensi pribadi para anggota.
6. Jejak karier bagi para pegawai, yaitu para pegawai diharapkan mengejar karier dalam
organisasi. Sebagai imbalan atas komitmen terhadap karier tersebut, para pegawai
mempunyai masa jabatan, artinya mereka akan dipertahankan meskipun mereka kehabisan
tenaga atau jika kepandaiannya tidak terpakai lagi.
7. Kehidupan organisasi yang dipisahkan dengan jelas dari kehidupan pribadi , yaitu pejabat
tidak bebas menggunakan jabatan nya untuk keperluan pribadinya termasuk keluarganya.
Konsep birokrasi weber dalam R Soegiatno Tjakranegara (1992:8) dapat dirangkum kan
didalam jenis definisi ini : dengan birokrasi yang dimaksud adalah suatu badan
administrative tentang pejabat yang diangkat.

Pejabat memiliki ciri yang membedakannya dengan pekerja : ialah memilki otoritas.
sesuai dengan teori nya bahwa keyakinan dalam legitimasi adalah dasar bagi semua system

5
otoritas. Ia mulai dengan mengemukakan lima keyakinan yang berkaitan padanya otoritas yang
sah tergantung pada:
a. Bahwa dengan ditegakkan nya peraturan (kode) yang sah maka dapat menuntut
kepatuhan daripada anggota organisasi tersebut.
b. Bahwa hokum merupakan suatu system aturan- aturan abstrak yang diterapkan pada
kasus-kasus tertentu, sedangkan administrasi mengurus kepentingan-kepentingan
organisasi yang ada batas-batas hokum.
c. Bahwa manusia yang menjalankan otoritas juga mematuhi tatanan impersonal tersebut.
d. Bahwa qua memberi(anggota yang taat)yang benar- benar mematuhi hokum.
e. Bahwa kepatuhan itu seharusnya tidak kepada person yang menjaminnya untuk
menduduki jabatan itu.
Berdasarkan konsepsi legitimasi ini Weber dalam harbani pasolong(2007:71) menyusun
delapan proposisi tentang penyusunan system otorita legal, yaitu:
1. Tugas-tugas pejabat diorganisir atas dasar aturan yang berkesinambungan;
2. Tugas-tugas tersebut dibagi atas bidang-bidang yang berbeda sesuai dengan fungsi-
fungsinya, yang masing-masing dilengkapi dengan syarat otoritas dan sanksi-sanksi;
3. Jabatan-jabatan tersusun secara hirarkis, yang disertai dengan rincian hak-hak kontrol
dan pengaduan (complaint);
4. Aturan-aturan yang sesuai dengan pekerjaan diarahkan baik secara teknis maupun secara
legal. Dalam kedua kasus tersebut, manusia yang terlatih menjadi diperlukan;
5. Anggota sebagai sumber daya organisasi berbeda dengan anggota sebagai individu
pribadi;
6. Pemegang jabatan tidaklah sama dengan jabatannya;
7. Administrasi didasarkan pada dokumen-dokumen tertulis dan hal ini cenderung
menjadikan kantor (biro) sebagai pusat organisasi modern; dan
8. Sistem-sistem otoritas legal dapat mengambil banyak bentuk, tetapi dilihat pada bentuk
aslinya, sistem tersebut tetap berada dalam suatu staf administrasi birokratik.
Selanjutnya, Weber dalam R. soegijatno tjakranegara (1992:8-10) melanjutkan ke sisi
pekerja (staf) di organisasi yang legal-rasional. Bagi Weber, kedudukan staf di sebuah
organisasi legal-rasional adalah sebagai berikut:

6
o para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan tugas-tugas
impersonal sesuai dengan jabatan mereka;
o terdapat hirarki jabatan yang jelas;
o fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas;
o para pejabat diangkat berdasarkan suatu kontrak;
o para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan pada suatu
diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian;
o Para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi hak-hak pensiun. Gaji bersifat
berjenjang menurut kedudukan dalam hirarki.
o Pejabat dapat selalu menempati posnya, dan dalam keadaan-keadaan tertentu, pejabat
juga dapat diberhentikan;
o pos jabatan adalah lapangan kerja yang pokok bagi para pejabat;
o suatu struktur karir dn promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan keahlian (merit)
serta menurut pertimbangan keunggulan (superior);
o pejabat sangat mungkin tidak sesuai dengan pos jabatannya maupun dengan sumber-
sumber yang tersedia di pos terbut, dan;
o pejabat tunduk pada sistem disiplin dan kontrol yang seragam.
Weber juga menyatakan, birokrasi itu sistem kekuasaan, di mana pemimpin
(superordinat) mempraktekkan kontrol atas bawahan (subordinat). Sistem birokrasi
menekankan pada aspek “disiplin.” Sebab itu, Weber juga memasukkan birokrasi sebagai
sistem legal-rasional. Legal oleh sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis dan dapat disimak
oleh siapa pun juga. Rasional artinya dapat dipahami, dipelajari, dan jelas penjelasan sebab-
akibatnya. Khususnya, Weber memperhatikan fenomena kontrol superordinat atas
subordinat. Kontrol ini, jika tidak dilakukan pembatasan, berakibat pada akumulasi kekuatan
absolut di tangan superordinat. Akibatnya, organisasi tidak lagi berjalan secara rasional
melainkan sesuai keinginan pemimpin belaka.
Bagi Weber, perlu dilakukan pembatasan atas setiap kekuasaan yang ada di dalam
birokrasi, yang meliputi point-point berikut:
a. Kolegialitas. Kolegialitas adalah suatu prinsip pelibatan orang lain dalam pengambilan
suatu keputusan.

7
b. Pemisahan Kekuasaan. Pemisahan kekuasaan berarti pembagian tanggung jawab
terhadap fungsi yang sama antara dua badan atau lebih. Misalnya, untuk menyepakati
anggaran negara, perlu keputusan bersama antara badan DPR dan Presiden. Pemisahan
kekuasaan, menurut Weber, tidaklah stabil tetapi dapat membatasi akumulasi kekuasaan.
c. Administrasi Amatir. Administrasi amatir dibutuhkan tatkala pemerintah tidak mampu
membayar orang-orang untuk mengerjakan tugas birokrasi
d. Demokrasi Langsung. Demokrasi langsung berguna dalam membuat orang bertanggung
jawab kepada suatu majelis. Misalnya, Gubernur Bank Indonesia, meski merupakan
prerogatif Presiden guna mengangkatnya, terlebih dahulu harus di-fit and proper-test oleh
DPR. Ini berguna agar Gubernur BI yang diangkat merasa bertanggung jawab kepada
rakyat secara keseluruhan.
2.4 Reformasi Organisasi Dalam Konteks Teoritik
Reformasi administrasi sektor publik sering diidentifikasikan sebagai perubahan yang
subtantif yang terkait dengan mesin pemerintahan/machenery of government (Campbell and
Peters, 1988), agency merger (Hult, 1987), reorganisasi (Peters, 1992), dan menciptakan
kinerja tinggi bagi organisasi pemerintah (Popowivich, 1998). Perubahan mesin
pemerintahan ditandai karena keprihatinannya pada tingkat organisasi makro dari sistem
pemerintahan. Agency Merger dan reorganisasi dipahami sebagai rencana untuk transfer,
elimanate, menggabungkan dan memisahkan unit untuk mengubah garis batas pada tingkat
kantor, biro, badan atau lembaga eksekutif untuk mengkoordinasikan seluruh program dan
menambah atau mengurangi fungsi yang ada. Bahkan Pollit dan Bouckaert (2011)
mengatakan bahwa reformasi manajemen sektor publik itu merupakan perubahan yang
disengaja pada struktur organisasi dan prosesnya untuk mencapai tujuannya sehingga dapat
berjalan lebih baik.
Oleh karena itu, reformasi organisasi sektor publik menjadi isu yang menarik dalam
kajian publik administrasi saat ini. Sebab perkembangan teori reformasi organisasi sektor
telah berkembang sangat dinamis dengan berbagai sudut pandang yang berbeda, Glyn, dkk
(1999) melihat 5 perkembangan terkait dengan teori reformasi organisasi sektor publik, yaitu:
Pertama, melihat pemikiran reformasi sektor publik dengan pendekatan yang normatif.
Pemikiran ini dimulai sejak tahun 1918 yang dikenal dengan Haldane Report di Amerika.
Kedua, lebih fokusnya lebih sempit yang menilai perubahan organisasi pada departemen

8
pemerintah tertentu dan menjelaskan secara detail tentang proses dan kesulitan perubahan
organisasi dalam konteks departemen tertentu dan cenderung menekankan konsekuensi dari
restrukrisasi dari segi pola, dan alasan reorganisasi. Ketiga, reformasi memiliki cakupan yang
agak luas dengan fokus pada evaluasi dan membandingkan skala luas reorganisasi
pemerintah. Contohnya analisis oleh Boston (1991) pada tahun 1990 reorganisasi di Selandia
Baru. Keempat, lebih focus pada kajian teoritis dan komparatif yang melihat perubahan
mesin pemerintah yang disebabkan oleh adanya perhatian terhadap akibat adanya tuntutan
efisiensi pemerintah, akuntabilitas dan kedaulatan rakyat. Kelima,melihat pada
perubahanmesin organisasi pemerintah berdasarkan studi longitudinal dan dinamis di
negara-negara tertentu.
Perkembangan kajian reformasi organisasi sektor publik tidak terlepas dari
dimanamika yang terjadi di America dan Inggris yang sudah dimulai sejak tahun 1918. Guy
Peters (1994) mengklasifikasikan sebagian besar literatur teoritis ini menjadi tiga besar
perspektif tentang reformasi administrasi dan reorganisasi, yaitu: purposive (topdown) model,
lingkungan (bottom-up) model, dan model kelembagaan. Model ini berguna untuk
menjelaskan dan memahami pendekatan dan motif reformasi dan reorganisasi yang
dilakukan oleh pemerintah modern. Mereka juga menyediakan kerangka kerja konseptual
untuk analisis organisasi dan reorganisasi pemerintahan modern dan administrasi publik.
a. Model Purposive (Top Down)
Model mengasumsikan bahwa beberapa aktor atau elit, individu yang berkuasa,
atau pemerintah yang memiliki tujuan tertentu dalam melakukan reformasi dan
reorganisasi. Model ini mengasumsikan bahwa para pemimpin politik memandang
masalah atau mengembangkan ide-ide inovatif dengan reformasi dan reorganisasi sektor
publik. Salah satu model tersebut adalah administration as usual yang umum digunakan
dalam administrasi publik, di mana kebutuhan yang dirasakan untuk reformasi dan
reorganisasi ditentukan dari atas (top down).
Pendekatan ilmu politik adalah kategori kedua dalam model top-down. Di sini
alasan politik "ungovernability" dan pemerintah "overload," dan alasan-alasan yang
sama dianggap alasan-alasan dalam melakukan perubahan pemerintahan yang
mempengaruhi administrasi publik. Akibatnya, manajemen cutbacks, privatisasi, dan
perampingan yang umum digunakan istilah diterapkan oleh model purposive atau top-

9
down.
Kelemahan utama dari model ini adalah bahwa mereka sangat elitis dalam
pendekatan mereka untuk reformasi dan reorganisasi, pemberian biasa warga dan
peringkat-dan-file anggota organisasi pemerintah sedikit mengatakan di proses. Seluruh
ide reformasi dapat sepenuhnya didikte ke bawah.
b. Model Kondisi Lingkungan (Bottom Up)
Model menganggap bahwa pemerintah dan administrasi termasuk sistem dan
struktur harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang cenderung mendikte
perubahan dalam struktur. Lingkungan mungkin ekonomi, politik, budaya, atau sosial.
Dalam ilmu politik dan administrasi publik pendekatan untuk model, pemerintah dan elit
politik/administrasi mendeteksi inovasi atau tekanan dalam lingkungan yang memerlukan
respon pemerintah. Akibatnya, struktur administrasi atau organisasi tertentu bereaksi
dengan mengadopsi perubahan melalui reformasi dan reorganisasi untuk beradaptasi
terhadap lingkungan.
Teori sistem memberikan penjelasan teoritis yang menjelaskan untuk model.
Salah satu masalah yang terkait dengan model ini adalah bahwa mereka melakukan tidak
menunjukkan kapan dan bagaimana perubahan dalam sinyal lingkungan administrasi
beradaptasi. Struktur harus beradaptasi dengan lingkungan untuk bertahan dan untuk
mengembangkan pola-pola organisasi yang fungsional untuk pemenuhan tujuan kolektif
mereka.
c. Model Kelembagaan
Model kelembagaan merupakan kelompok yang terpisah pendekatan untuk
reorganisasi dan reformasi. Selain itu, mereka berdua reaksi terhadap perilaku
sebelumnya teori organisasi dan reorganisasi dan respon terhadap ketidakcukupan model-
model lain. Hal ini terutama jelas dalam meningkatnya minat dalam "Institusionalisme
baru" gerakan di mana perubahan organisasi harus mengambil tempat melalui perubahan
dan modifikasi nilai-nilai organisasi internal dan budaya, serta struktur. Hal ini terutama
jelas dalam meningkatnya minat dalam gerakan "Institusionalisme baru" di mana
perubahan organisasi harus mengambil tempat melalui perubahan dan modifikasi nilai-
nilai organisasi internal dan budaya, serta struktur. Daripada melihat perubahan
organisasi sebagai berasal dari pemimpin politik individu organisasi/bawah model

10
purposive atau menanggapi perintah lingkungan, model kelembagaan fokus pada
kebutuhan untuk memodifikasi nilai-nilai kolektif, budaya, dan struktur untuk membuat
organisasi adaptif dan dinamis.
Berdasarkan teori diatas, maka reorganisasi sektor publik merupakan persyaratan penting
untuk keberhasilan pelaksanaan kebijakan dan program pembangunan di negara-negara
kurang berkembang (Farazmand, 2002). Proses pembangunan mendikte fleksibilitas,
kreativitas, dan inovasi dalam sistem administrasi. Sangat sering, kakunya struktur sistem
administrasi yang tidak cocok dalam melaksanakan program-program pembangunan.
Reorganisasi menjadi keharusan jika diharapkan pembangunan dapat berhasil. Oleh karena
itu, reorganisasi dan reformasi yang sangatfungsional untuk keberhasilan pengembangan di
seluruh dunia.
2.5 BIROKRASI DAN REFORMASI ORGANISASI
Dalam kaitannya dengan desain ataupun bentuk organisasi, seringkali muncul pertanyaan
mengenai hubungan antara birokrasi dengan performansi suatu organisasi. Pada bagian ini
akan diperlihatkan berbagai pandangan yang muncul mengenai hubungan performansi
ekonomis organisasi dengan tingkat birokrasinya.
2.5.1 Performansi Ekonomis
John Child meneliti sejumlah perusahaan di Inggris untuk melihat hubungan
tingkat birokrasi perusahaan-perusahaan tersebut dengan performansi ekonomisnya.
Child meneliti hubungan antara tingkat birokrasi dan performansi ekonomis organisasi
dengan mengontrol variabel ukuran dari organisasi itu. Penelitian ini akhirnya
menyimpulkan bahwa pada organisasi yang berukuran besar terdapat hubungan yang
erat antara performansi ekonomisnya dengan birokrasi, sementara perusahaan yang
mencoba untuk tetap tidak birokratis mempunyai performansi yang tidak cukup baik.
Untuk organisasi berukuran kecil (kurang dari 2000 karyawan) dijumpai hal yang
sebaliknya, yaitu performansi yang baik justru dicapai oleh organisasi yang bersifat
tidak formal (tidak birokratis). Dengan demikian berhasil dibuktikan bahwa terdapat
hubungan antara ukuran, birokrasi, dan performansi organisasi.
2.5.2 Pandangan Berbeda mengenai Performansi dan Birokrasi
Penelitia Child mengukur performansi organisasi dengan menggunakan tingkat
keuntungan dan indikator ekonomis lainnya. Jika performansi tidak di ukur dengan

11
indikator ekonomis, tetapi dengan kepuasan karyawan, kualitas manajemen, maupun
indikator lainnya, ternyata terdapat pandangan yang saling bertentangan mengenai
manfaat birokrasi. Organisasi berukuran besar seringakali dikritik karena dianggap
menghambat kelancaran proses dalam masyarakat, misalnya karena dianggap kaku,
tidak manusiawi, dan sebagainya. Dari pihak lain, organisasi birokratis sering juga
dianggap baik karena mampu menciptakan keadaan yang menguntungkan.
 Kepuasan karyawan
Organisasi birokratis sering di kritik karena mempunyai peraturan,
standardisasi, dan spesialisasi yang dianggap berlebihan, sehingga dipandang akan
mengurangi spontanitas, menghambat kebebasan, dan menghambat munculnya
kreatifitas. Birokraksi dianggap tidak memberikan kesempatan bagi perkembangan
diri pribadi karyawan, memandang karyawan secara tidak manusiawi sehingga
akan menimbulkan ketidakpuasan dalam bekerja, dan menurunkan prestasi.
Birokrasi juga seringkali dianggap salah karena menciptakan pekerjaan
yang sempit, rutin, dan sederhana (karena adanya spesialisasi), yang dianggap
tidak memberikan tantangan yang cukup besar sehingga karyawan menjadi tidak
kreatif dan tidak bersemangat. Tetapi dari pihak lain, birokrasi dapat mengurangi
ketidakpastian sehingga menguntungkan bagi karyawan. Semua aspek dalam
pekerjaan menjadi jelas dan pasti, dan karyawan dapat terhindar dari keputusan-
keputusan atasan yang tidak rasional. Spesialisasi dalam birokrasi juga
menyebabkan jenis pekerjaan memungkinkan karyawan menguasai segala aspek
dari pekerjaan tersebut secara baik sehingga bisa menjadi ahli dan mampu
berkembang.
 Perubahan
Birokrasi juga sering dianggap sebagai penghambat untuk mencapai
performansi organisasi yang baik. Perubahan lingkungan yang cepat tidak dapat
diikuti oleh organisasi birokratis, karena sifatnya yang kaku, adaptasinya yang
buruk, dan juga responnya yang lambat. Pendapat tersebut juga dibantah oleh
sebagaian orang yang berpendapat bahwa justru birokrasi yang sesuai pada
lingkungan yang mengalami perubahan. Birokrasi dikatakan akan menyebabkan
munculnya perilaku yang seragam dan bisa di duga sebelumnya dalam suatu

12
organisasi. Hal ini memang mengakibatkan inovasi menjadi agak lambat, tetapi
akan menjadikan organisasi menjadi efisien dan bisa dipercaya, sehingga para
anggota organisasi mempunyai keberanian untuk mengambil resiko. Dengan
argumentasi seperti itu, dikatakan bahwa organisasi sangat sesuai untuk digunakan
oleh suatu organisasi yang berada pada lingkungan yang relatif stabil ataupun
berubah dengan kecepatan yang tidak terlalu besar.
 Manajemen
Organisasi besar yang bersifat birokratis, seringkali sulit untuk dikelola
dengan baik. Tidak ada seorang pun anggota organisasi yang mampu memahami
organisasi secara keseluruhan. Suatu bagian seringkali tidak mengerti mengenai
apa yang terjadi dibagian lainnya. Rumitnya organisasi juga menyebabkan
koordinasi serta pengawasan dari puncak organisasi juga sulit dilaksanakan dengan
baik.

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sifat impersonal dari birokrasi ternyata seringkali menimbulkan pengalaman negatif bagi
para anggotanya maupun bagi pihak-pihak lain yang berhubungan dengan organisasi itu.
Karena itu, tidak mengherankan jika kemudian birokrasi selalu dipandang negatif, rumit,
lamban, dan cenderung menghambat dalam kehidupan manusia. Tidak mengherankan jika di
kepala kebanyakan orang segera akan muncul gambaran mengenai sesuatu yang buruk dan
negatif begitu mendengar istilah “birokrasi”.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, model organisasi birokratis diperkenalkan pertama
kali oleh Max Weber. Weber membahas peran organisasi dalam suatu masyarakat, dan
mencoba menjawab pertanyaan mengenai bentuk organisasi yang sesuai bagi sebuah
masyarakat industri seperti yang dibutuhkan di eropa pada akhir abad ke-19.
Menurut Weber bentuk organisasi birokratis merupakan jenis organisasi yang
mempunyai karakteristik yang sesuai bagi sebuah masyarakat industri, baik untuk lembaga
pemerintahan, maupun untuk organisasi usaha. Organisasi birokratis, menurut pendapatnya,
dapat menjamin tercapainya alokasi sumber yang terbatas pada sebuah masyarakat kompleks
seperti masyarakat Eropa yang pada saat itu sedang mengalami revolusi industri.

14
DAFTAR PUSTAKA

S. B. Hari Lubis dan Martani Huseini (2009),”Pengantar Teori Organisasi:Suatu Pendekatan


Makro,Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia.
Jurnal Reformasi Organisasi Oleh Isnaini Muallidin
PDF Birokrasi

15

Anda mungkin juga menyukai