Anda di halaman 1dari 5

Soal Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Sistem Pemerintahan Daerah

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Pemerintahan Daerah menurut Undang-Undang


Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah?
2. Siapa yang dimaksud dengan “Pemerintah Daerah” menurut Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah?
3. Sebutkan empat (4) perbedaan mendasar antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
dengan 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah!
4. Akhir-akhir ini sedang diperdebatkan masalah keharusan cuti bagi Kepala Daerah yang
mencalonkan lagi menjadi Gubernur/Bupati/Walikota. Bahkan Gubernur DKI Jakarta
sampai mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi terkait aturan tersebut.
Tolong berikan analisis saudara tentang kasus tersebut dari perspektif hukumnya.

5. “Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku masih ada persoalan menyangkut aspek legal
dalam pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Pulau Batam, Bintan, dan
Karimun (BBK). “Ada permasalahan dari aspek legal. Pertama, soal peraturan
perundangan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di BBK, yang tidak otoritatif dan
tidak efektif di lapangan,” kata Presiden Jokowi saat memimpin rapat terbatas Kabinet
Kerja di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Selasa (5/1). Rapat yang dihadiri Wapres Jusuf
Kalla, khusus membahas tentang harmonisasi pengurusan hak pengelolaan lahan dan
pengalokasian penggantian tanah di pulau Batam, Rampang, Setotok, Galang, dan Galang
Baru. Presiden Jokowi mengungkapkan, disharmonisasi di lapangan tercermin dalam
penerapan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan
Peraturan Pengganti Undang Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas jo UU Nomor 36/2000 jo UU No 44/2007 yang
menyatakan ketua dan anggota dewan kawasan ditetapkan oleh presiden atas usul
gubernur bersama DPRD. Berikan analisis saudara terkait masalah tersebut!

6. Jakarta -Eksplosivitas pembangunan infrastruktur sebagai highlight dari pemerintahan


Jokowi sesungguhnya dapat dilihat sebagai semacam aksi firesale dari pemerintah
pusat. Firesale pemerintah di sini beda konsepnya dengan konsep korporasi. Namun
konsepnya mirip, yaitu penyelesaian masalah melalui lingkaran setan yang terus-menerus
merugikan diri sendiri.
Dengan regulasi pengadaan barang dan jasa yang rigid dan membatasi kompetisi pada
kekuatan kapital serta konsep kemudahan investasi yang tidak dibarengi dengan
perubahan paradigma berbirokrasi, maka uang pembayar pajak yang disalurkan dalam
belanja modal yang besar atas infrastruktur, pada layer primernya diterima kembali oleh
subsistem dari pemerintah dalam entitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Pada pemerintahan Jokowi kali ini, satu sisi, firesale dilakukan karena adanya
kekurangan penunjang infrastruktur untuk menghasilkan pembayar pajak dalam
mengurangi likuiditas pemerintah. Sisi lainnya, penerima proyek ini pada akhirnya
dipaksa untuk berkontribusi sebesar-besarnya melalui pengembalian deviden yang
ditargetkan secara signifikan dan pembayaran pajak penghasilan kepada APBN oleh
BUMN.
Kemenangan pengerjaan infrastruktur oleh BUMN ini bahkan tidak berpihak pada
masyarakat di daerah yang mewakili suaranya dalam pemerintah daerah. Pemerintah
daerah dapat menganggarkan proyek infrastrukturnya yang besar dengan inisiatif sendiri
tanpa dorongan dari pemerintah pusat, namun pada akhirnya hanya BUMN saja yang
dapat melakukan proyek tersebut.
Bersyukurnya pemerintah daerah yang tidak harus melakukan banyak pembangunan
infrastruktur dalam belanja APBD. Alokasi belanja pegawainya dapat ditingkatkan
melalui tunjangan kinerja daerah yang besar, dan berbeda dibandingkan dengan belanja
pegawai pemerintah pusat, khususnya ketika kepala daerah petahana berkepentingan
mengambil suara pegawainya dalam periode kepemimpinan keduanya, maupun
berkepentingan dalam mempromosikan kekuasaan pada tingkat pemerintahan yang lebih
tinggi.
Kepala daerah sendiri terjebak dalam dilema; satu sisi harusnya uang untuk
pembangunan infrastuktur dapat menjadi milestone dari kepemimpinannya, di sisi lain
uang ini hanya akan sampai ke BUMN, yang tidak berpengaruh langsung kepada
peredaran uang bagi masyarakat di daerahnya, maupun kekuatan finansial politiknya
sendiri.
Masyarakat di daerah menjadi korban konkuren dari firesale ini, yang artinya masyarakat
di daerah tidak memperoleh derivasi langsung dari pembelanjaan pemerintah pusat,
meskipun pada akhirnya infrastruktur pemerintah pusat di daerah dapat menstimulus
masyarakat itu sendiri untuk dapat berwiraswasta lebih baik lagi, selama terdapat akses
kepada pembiayaan melalui lembaga perbankan, yang sebenarnya, selain infrastruktur,
menjadi perhatian besar pemerintahan (pusat) Jokowi juga.
Pemerintah daerah tidak melakukan kerja apa-apa pada titik ini.

Kewenangan membangun yang diberikan oleh pemerintah pusat melalui 32 urusan


pemerintahan mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga pariwisata hanya dapat dijalankan
secara inkremental, di mana tidak diperlukan kepala daerah yang visioner dan
memberikan janji-janji pelayanan yang baik kepada masyarakat di tingkat nasional selain
berdisiplin menjalankan secara rutin APBD yang dijalankan tahun-ke tahun.

Dan, disiplin berinkremental dalam APBD itu merupakan resep paling sederhana untuk
menjadi kepala daerah yang paling berprestasi sekalipun, sejak otonomi daerah digelar
hingga sampai saat ini. (Sebutlah, siapa kepala daerah yang Anda anggap paling
berprestasi, maka strategi paling fundamentalnya adalah disiplin berinkremental dalam
APBD tersebut).
Dari situ, maka harus disadari oleh semua pihak, bahwa kue pembangunan BUMN,
sekarang maupun ke depannya, baik dari sisi infrastruktur maupun sisi akses pembiayaan
perbankan, harus dapat dibagikan kepada pemerintah daerah melalui Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD). Meskipun, sebagaimana keunggulan tersirat BUMN yang seperti
tersebut di atas, BUMD belum memiliki 2 hal fundamental yaitu, kapital dan keahlian.

Dalam masa transisi untuk memfasilitasi pembangunan yang ingin dicapai oleh kepala
daerah, BUMN dan BUMD harus dapat bersinergi, di luar sisi inkremental dari
pembangunan yang dilakukan melalui APBD dan pembangunan visioner yang pada titik
ini sepertinya hanya dapat dilakukan oleh kepala negara melalui APBN, dengan
penekanan kepada kepala daerah untuk mampu melakukan pendekatan kepada pengambil
keputusan pada BUMN.
Faktanya telah terdapat beberapa "kamuflase" sinergi BUMN dan BUMD di Indonesia.
Kawasan Industri Pulogadung, kawasan industri Surabaya, merupakan usaha patungan
negara dan daerah yang konsepnya bukan BUMN dan bukan BUMD. Sementara, Sarana
Pembangunan Jalan Tol (SPJT) di Jawa Tengah merupakan BUMD Jawa Tengah pada
awalnya yang didirikan untuk memodali bersama entitas BUMN (Jasa Marga) yang
mengelola Jalan Tol di Jawa Tengah, namun kemudian mundur.
Kondisi yang tergambar dari situ adalah, masyarakat di daerah Jawa Tengah beruntung,
tapi tidak dengan pemerintah daerahnya. Begitu juga Jasa Marga Bali Tol yang
merupakan patungan Provinsi Bali dan BUMN di mana (pemerintah) daerah tidak
memiliki kekuatan yang cukup dalam menghasilkan derivatif langsung bagi
pembangunan (masyarakat) Bali.
Sederhananya, sinergi BUMN dan BUMD banyak menghasilkan bargaining power yang
rendah bagi daerah saat ini, dan perubahan pengaturan BUMN dan BUMD perlu
dilakukan untuk menghasilkan sinergi, yang efeknya adalah peran pembangunan yang
lebih besar kepada pemerintah daerah.
Konsep Kawasan Industri Pulogadung dan kawasan industri Surabaya, sebagai contoh,
yang mampu beroperasi dan menghasilkan pengaruh bagi pemerintah daerah, merupakan
model awal bagi pemerintah daerah dalam upaya keluar dari
lingkaran firesale pembangunan pemerintah pusat dengan menitikberatkan pada kejelasan
status badan usaha tersebut sebagai BUMD, untuk kemudian dikembangkan pada BUMD
dengan bidang usaha infrastruktur dan lembaga keuangan.
Satu entitas BUMD yang bekerja sama kepemilikan modalnya dengan BUMN terdiri dari
sedikitnya 51% modal saham yang dimiliki oleh daerah dan sisanya oleh BUMN, bukan
seperti kawasan-kawasan industri tersebut yang sahamnya langsung dimiliki oleh negara.
BUMN --dan bukan negara-- yang langsung memiliki saham minoritas di satu BUMD,
penting untuk digarisbawahi mengingat BUMN-lah yang memiliki keahlian dalam
bidang usaha.
BUMD bidang infrastruktur dan lembaga keuangan sendiri sudah cukup banyak di
Indonesia. Hampir seluruh pemerintah daerah memiliki BUMD yang bergerak di bidang
infrastruktur dan lembaga keuangan.
Adagium demokrasi Indonesia yang pada awal Reformasi adalah perubahan konsep
"daerah membangun negara" --dari yang sebelumnya "negara membangun daerah" akan
dapat lebih diejawantahkan lagi melalui desentralisasi BUMN dalam kepemilikan
sahamnya dengan kurang dari 49% pada BUMD infrastruktur dan perbankan.
Terakhir, kesadaran mengenai kepemilikan modal BUMD infrastruktur ini telah mulai
berkembang dengan adanya inisiatif dari pemerintah pusat melalui BUMN Angkasa Pura
untuk memiliki saham kurang dari 49% pada BUMD Bandara Internasional Kertajati
yang dimiliki oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat. Meski begitu pengembangannya
masih mengarah kepada minimnya peran pemerintah daerah.
Harus ada semacam arbitrase atau wasit yang menjembatani kepentingan pemerintah
daerah dalam melakukan kerja sama di luar urusan pemerintahan dalam melaksanakan
pembangunan melaui BUMD-nya. Untuk itu, ke depannya, harus terdapat juga unsur
pemerintah pusat yang membidangi urusan pemerintah daerah untuk memfasilitasi kerja
sama kepemilikan modal BUMD oleh BUMN (sebagai minoritas) sebagai bentuk model
lain dalam desentralisasi.
Kasihan presiden Indonesia ke depannya, kalau konsentrasi atas negara besar ini
termasuk Moneter-Fiskal, Keagamaan, Yustisi, Luar Negeri, sebagai urusan absolut
pemerintah pusat, harus dibarengi juga dengan kepentingan untuk membangun satu per
satu kilometer jalan, pembayaran sewa gudang pelabuhan sampai pembangunan terminal
warganya.
Secara formil, pemerintah pusat harus tetap dapat meregulasi 32 urusan wajib dan pilihan
pemerintahan daerah, dan 5 urusan absolut pemerintah pusat tersebut. Dan, secara
materiil kepercayaan harus terus diberikan melalui porsi APBD dari APBN yang terus
meningkat. Sejalan dengan itu, substansi kebijakan yang berada di luar kerangka formil
dan materiil kebijakan pemerintah pusat, yaitu desentralisasi BUMN melalui kepemilikan
modal minoritas pada BUMD, telah mendesak.
Ke depannya, proyek-proyek pembangunan pemerintah pusat, kalau tidak boleh lagi,
didominasi oleh BUMD, bukan BUMN lagi. Akan halnya urusan pemerintahan yang
didominasi oleh pemerintah daerah. Hal ini sejalan dengan konsep desentralisasi secara
umum yang artinya menyerahkan sebagian urusan pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah. Desentralisasi BUMN kali ini pada layer utamanya adalah penyerahan kapital
dan keahlian BUMN kepada BUMD. Berikan analisis hukum masalah di atas!

7. Anggota Badan Permusyawaratan Desa di Bangkalan Fiktif


TEMPO.CO, Bangkalan - Anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Kabupaten
Bangkalan, Jawa Timur, banyak yang Fiktif. Hal itu terungkap dari hasil pendataan
ulang oleh Badan Pemerintahan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten
Bangkalan terhadap identitas anggota BPD di 18 kecamatan di kabupaten tersebut.
"Temuan ini mengungkap praktek curang oknum kepala desa," kata Kepala Badan
Pemerintahan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bangkalan, Ismet
Efendi, Senin, 16 Mei 2016.
Menurut Ismet, pendataan dilakukan guna membenahi sistem pembayaran honor
anggota BPD sebesar Rp 1 juta per bulan. Jika sebelumnya honor anggota BPD
disalurkan melalui kepala desa, mulai tahun ini disalurkan langsung ke rekening
masing-masing anggota BPD. "Pendataan ulang dilakukan sebagai respons kami setelah
mendengar keluhan anggota BPD karena tak pernah mendapat honor, padahal kami
rutin membayarnya," ujar Ismet.
Ismet menjelaskan, pendataan dilakukan dengan cara menelusuri arsip surat keputusan
(SK) pengangkatan anggota BPD di tiap desa. Saat itulah diketahui ada seorang warga
yang namanya tercantum dalam SK, tapi tidak pernah merasa ditunjuk menjadi anggota
BPD oleh kepala desanya. "Modusnya, kepala desa mendaftarkan nama si A, tapi waktu
dilantik, orang lain yang datang, sehingga jatah honor si A diduga diambil oknum
kepala desa," ucap Ismet.
Modus lainnya, kata Ismet, oknum kepala desa tidak melapor bila ada anggota BPD-
nya pergi merantau ke luar negeri atau meninggal dunia. Seharusnya, bila ada anggota
BPD yang tidak bisa lagi menjalankan tugas karena berbagai sebab, harus dilakukan
pergantian antarwaktu (PAW). "Orangnya sudah meninggal dunia, tapi honornya tetap
kami bayar melalui kepala desa," tuturnya. . Berikan analisis hukum masalah di
atas sesuai dengan UU. Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa!

Catatan:
- Jawablah semua pertanyaan secara benar dan tepat!
- Ujian bersifat mandiri dan dilarang bekerjasama dalam menjawab soal ujian
- Jawaban dikumpulkan paling lambat tanggal 15-Juni-2019 melalui email:
suyikno@uinsby.ac.id
Selamat mengerjakan!

Anda mungkin juga menyukai