2
2.1. PARADIGMA PEMBANGUNAN ERA OTONOMI DAERAH
Keberadaan desentralisasi di Negara Indonesia telah menjadi konsensus nasional. Dalam setiap UUD
yang pernah berlaku selalu terdapat pasal yang mengatur penyelenggaraan desentralisasi di
Indonesia. Untuk mewujudkan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan oleh UUD hampir setiap
kabinet yang terbentuk di masa lalu mencantumkan desentralisasi sebagai salah satu program
kerjanya. Bahkan dalam masa Orde Baru, strategi bagi penyelenggaraan desentralisasi selalu
tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, sedangkan kebijakan dan programnya terjabar
dalam Repelita Nasional. Ratusan peraturan perundang-undangan telah terbentuk dalam rangka
penyelenggaraan desentralisasi. Sejumlah sumber daya telah terserap untuk memperkuat program
desentralisasi melalui serangkaian kajian dan penelitian. Masa kini desentralisasi merupakan salah
satu agenda reformasi. Sungguh tidak keliru apabila dalam tahun limapuluhan Maryanov (1958) dari
Universitas Cornell pernah menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa desentralisasi di Indonesia telah
diterima sebagai aksioma.
Konsensus nasional mengenai keberadaan desentralisasi dalam Negara Kesatuan Indonesia tersebut
mengandung arti bahwa penyelenggaraan organisasi dan administrasi negara Indonesia tidak hanya
semata-mata atas dasar asas tersebut, tetapi juga atas dasar desentralisasi dengan otonomi daerah
sebagai perwujudannya. Dengan demikian, setidak-tidaknya di kalangan Pembentuk UUD 1945 dan
penyelenggara organisasi negara Indonesia telah diterima pemikiran yang mendasar bahwa
sentralisasi dan desentralisasi masing-masing sebagai asas organisasi tidak ditempatkan pada kutub
yang berlawanan (dichotomy), tetapi kedua asas tersebut merupakan suatu rangkaian kesatuan
(continuum). Kedua asas ini memiliki fungsi yang berlainan, tetapi saling melengkapi bagi keutuhan
organisasi negara. Sentralisasi berfungsi menciptakan keseragaman, sedangkan desentralisasi
menciptakan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan. Walapun demikian berbagai aspek
dinamik dalam mengaplikasikan kedua asas tersebut selalu menimbulkan isu. Tanggap Pemerintah
Besaran perubahan yang dikehendaki dalam reformasi tersebut dapat disimak dari pergeseran
sejumlah model dan paradigma pemerintahan daerah yang terjadi. 'Structural efficiency model' yang
menekankan efisiensi dan keseragaman pemerintahan lokal ditinggalkan dan dianut 'local democracy
model' yang menekankan, nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Seiring dengan pergeseran model tersebut terjadi pula pergeseran dari pengutamaan
dekonsentrasi ke pengutamaan desentralisasi.
Dilakukan pula pemangkasan dan pelangsingan struktur organisasi dalam rangka menggeser model
organisasi yang hirarkis dan bengkak ke model organisasi yang datar dan langsing. Hubungan antara
Dati II dengan Dati I yang semula 'dependent' dan 'subordinate' kini hubungan antara Kabupaten/Kota
dengan Provinsi menjadi 'independent' dan 'coordinate'. Pola hubungan tersebut tercipta sebagai
konsekuensi perubahan dari dianutnya 'integrated prefectoral system' yang utuh ke 'integrated
prefectural system' yang parsial hanya pada tataran provinsi. Dianutnya 'integrated prefectoral system'
pada propinsi dengan peran ganda Gubemur sebagai KDH dan Wakil Pemerintah dimaksudkan untuk
mengintegrasikan kembali daerah otonom yang secara desentral memiliki karakteristik keterpisahan.
Distribusi urusan pemerintahan kepada daerah otonom yang semula dianut ultra-vires doctrine'
dengan merinci urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi daerah otonom diganti dengan
'general competence' atau 'open end arrangement' yang merinci fungsi pemerintahan yang menjadi
kompetensi Pemerintah dan Provinsi. Pengawasan Pemerintah terhadap daerah otonom yang semula
cenderung koersif bergeser ke persuasif agar diskresi dan prakarsa daerah otonom lebih tersalurkan.
Konsekuensinya, pengawasan Pemerintah terhadap kebijakan Daerah yang semula secara preventif
Konsep Pemerintah Daerah yang semula mencakup KDH dan DPRD menurut UU No. 5 Tahun 1974
kini konsep tersebut hanya merujuk kepada KDH dan Perangkat Daerah, sedangkan DPRD berada di
luar Pemerintah Daerah. KDH yang semula tidak akuntabel terhadap DPRD kini diciptakan akuntabel.
Hubungan Pemerintah dan daerah otonom yang selama UU No. 5 Tahun 1974 bersifat searah dari
atas ke bawah diganti dengan model hubungan yang bersifat resiprokal.
Namun perubahan sejumlah paradigma dan model tersebut tidak berakar pada strategi. Desentralisasi
bukanlah tujuan tetapi sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Dalam TAP MPR No. IV/WR/2000
ditegaskan bahwa kebijakan otonomi daerah diarahkan kepada pencapaian peningkatan pelayanan
publik dan pengembangan kreativitas pemerintah daerah, keselerasan hubungan antara Pemerintah
dengan Daerah dan antar Daerah dalam kewenangan dan keuangan, untuk menjamin peningkatan
rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan ruang yang lebih luas
bagi kemandirian Daerah. Tujuan desentralisasi tersebut belum tertampung dalam strategi reformasi
pemerintahan daerah yang digulirkan melalui kedua undang-undang tersebut.
Pada hakekatnya desentralisasi adalah otonomisasi suatu masyarakat yang berada dalam teritoir
tertentu. Sebagai pancaran paham kedaulatan rakyat, tentu otonomi diberikan oleh Pemerintah
kepada masyarakat dan sama sekali bukan kepada daerah ataupun Pemerintah Daerah. Ketegasan
pernyataan otonomi milik masyarakat dan masyarakat sebagai subyek dan bukan obyek otonomi perlu
dicanangkan di masa depan untuk meluruskan penyelenggaraan otonomi daerah. Telah lama Hatta
(1957) menegaskan bahwa otonomisasi suatu masyarakat oleh Pemerintah tidak saja berarti
melaksanakan demokrasi tetapi juga mendorong berkembangnya prakarsa sendiri dalam
pembentukan dan pelaksanaan kebijakan untuk kepentingan masyarakat setempat. Dengan
berkembangnya prakarsa sendiri tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi yaitu
pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan
juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri. Dengan visi yang sama, Kartohadikusumo (1955)
mengatakan bahwa pada hakekatnya otonomi merupakan usaha untuk mendapatkan jawaban kembali
semangat dan kekuatan rakyat guna membangun masa depan mereka sendiri yang luhur.
Pengejawantahan desentralisasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom. Secara yuridis, dalam
konsep daerah otonom dan otonomi daerah mengandung elemen wewenang mengatur dan
mengurus. Wewenang mengatur dan mengurus merupakan substansi otonomi daerah. Aspek spasial
Konsep urusan pemerintahan menunjukan dua indikator penting, yaitu fungsi atau aktivitas dan asal
urusan pemerintahan tersebut. Urusan pemerintahan yang didistribusikan hanya berasal dari Presiden
dan tidak berasal dari Lembaga Negara Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara lainnya. Oleh karena
itu, dalam konteks ini muncul berbagai urusan pemerintahan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan
umum dan lain-lain. Dalam hal ini tidak lazim untuk menyebut urusan konstitusi. legislasi dan yudikasi
dalam tataran otonomi daerah. Dengan demikian, pendefinisian konsep urusan pemerintahan dirasa
sangat mendesak dalam UU Pemerintahan Daerah di masa depan, agar tidak menimbulkan
penafsiran yang menyesatkan.
Dalam organisasi negara bangsa selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang sepenuhnya
diselenggarakan secara sentralisasi beserta penghalusannya dekonsentrasi. Tetapi tidak pernah
terdapat suatu urusan pemerintahan apapun yang diselenggarakan sepenuhnya secara desentralisasi.
Urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup berbangsa dan
bernegara lazimnya diselenggarakan secara sentralisasi dan dekonsentrasi. Urusan pemerintahan
yang mengandung dan menyangkut kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) diselenggarakan
secara desentralisasi.
Baik secara teoritik maupun empirik urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi daerah otonom
dimanifestasikan dalam pelayanan publik bagi masyarakat setempat dalam semangat welfare state
sesuai dengan arahan UUD 1945 dan TAP MPR No. IV/MPR/2000. Voice dan choice masyarakat
setempat akan dijadikan orientasi daerah otonom. Lowndes (1996) secara filosofis mengutarakan
bahwa:
"Ideas of locality and community are fundamental to the rationale for local government. Such ideas
have a ‘practical' and a 'moral' dimension. Practically, local government is suited to the provision of
basic-level services consumed by individuals, households and communities. Morally, it can be argued
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi wewenang daerah otonom dalam rangka
otonomi daerah dilakukan oleh DPRD dan Kepala Daerah serta Perangkat Daerah. Sekalipun menurut
UU No. 32 Tahun 2004 secara struktural Pernerintah Daerah terpisah dari DPRD, namun secara
konseptual sulit untuk dipisahkan. Konsep Pemerintah Daerah mencakup DPRD dan KDH sesuai
dengan konsep "local government” atau "local authority" yang selalu juga mengacu kepada "council"
dan lembaga pemerintahan lainnya. Amandemen pasal 18 UUD 1945 juga menganut paham tersebut.
Wewenang pengaturan dilakukan oleh kedua lembaga tersebut, sedangkan wewenang pengurusan
dilakukan oleh Kepala Daerah dengan instrumen birokrasi setempat yang disebut Perangkat Daerah.
Pada tahap implementasi ini, DPRD berperan sebagai lembaga pengawasan dan KDH akuntabel
kepadanya. Dalam kerangka "good governance" perlu dibangun saluran-saluran untuk memungkinkan
terciptanya ",participatory democracy", baik dalam proses pembuatan kebijakan maupun
implementasinya.
Dewan-dewan itu adalah tempat untuk menyatakan perhatian dan rasa tanggungjawab terhadap
keselamatan dan kesejahteraan umum. Dewan-dewan itu bukanlah tempat untuk mencari rezeki.
Siapa yang ingin mencari rezeki dan memperoleh keuntungan, janganlah menjadi angota DPRD,
menjadilah saudagar atau pengusaha atau pengacara atau mengerjakan pekerjaan lain yang
menghasilkan nafkah hidup.
Sesuai dengan arahan TAP MPR No. IV/MPR/2000 penyelenggaraan pemerintahan daerah ditujukan
untuk kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemberian layanan publik dan pembangunan
lokalitas. Dalam rangka "good governance ", pemberian layanan dan barang publik perlu melibatkan
sektor swasta dan komunitas dengan tetap menjunjung tinggi berbagai prinsip: transparansi,
Sejak bergulirnya gerakan reformasi, istilah Good Governance begitu popular. Hampir di setiap event
atau peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan, istilah ini tak pernah ketinggalan.
Bahkan dalam pidato-pidato, pejabat negara sering mengutip kata-kata di atas. Pendeknya Good
Governance telah menjadi wacana yang kian popular di tengah masyarakat.
Meskipun kata Good Governance sering disebut pada berbagai event dan peristiwa oleh berbagai
kalangan, pengertian Good Governance bisa berlainan antara satu dengan yang lain. Ada sebagian
kalangan mengartikan Good Governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja
pemerintahan suatu negara, perusahaan atau organisasial masyarakat yang memenuhi prasyarat-
prasyarat tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan good governance sebagai
penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang
sustainabilitas demokrasi itu sendiri.
Masih banyak lagi ‘tafsir’ Good Governance yang diberikan oleh berbagai pihak. Seperti yang
didefinikan oleh World Bank sebagai berikut: Good Governance adalah suatu penyelenggaraan
manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi
dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik
secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political
framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
Namun untuk ringkasnya Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan
pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance.
1. Partisipasi Masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara
langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka.
Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan
mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.
3. Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan,
lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan
informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.
8. Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat
bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang
berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung
dari jenis organisasi yang bersangkutan.
9. Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata
pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang
dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki
pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi
perspektif tersebut.
Memiliki jajaran staf yang terampil tidak cukup jika organisasi pemerintahan tidak memiliki
kapasitas untuk memanfaatkan keterampilan ini dengan sebaik-baiknya. Kemampuan organisasi-
organisasi pemerintahan merupakan faktor kunci yang untuk menyiapkan layanan-layanan jasa
bagi kepentingan usaha maupun masyarakat, dan untuk menyiapkan kondisi bagi kemajuan
ekonomi serta kohesi sosial.
Struktur organisasi dan sistem manajemen pemerintahan telah mengalami perubahan di banyak
negara anggota OECD. Masalah yang sering ditemuia adalah sentralisasi yang berlebihan,
ketidakluwesan, serta kurang efisien. Ini dipecahkan terutama dengan menyediakan manajer
serta staf yang memiliki otonomi yang lebih luas dalam hal-hal operasional, dan sebaliknya,
memikul beban tanggungjawab yang lebih besar. Di negara-negara lain, masalahnya muncul
akibat kurangnya peraturan serta rendahnya disiplin administrasi, yang seringkali berkaitan
dengan korupsi. Dalam situasi seperti ini, masalah diatasi dengan memusatkan pemecahannya
pada memperkuat sistem dasar pemerintahan, termasuk meningkatkan birokratisasi pada tahap
tertentu.
3. Kepastian Hukum
Aturan hukum mengacu pada proses kelembagaan untuk menyusun, menafsirkan dan
menerapkan hukum serta aturan-aturan lainnya. Ini berarti keputusan yang diambil oleh
pemerintah harus memiliki dasar hukum dan perusahaan-perusahaan swasta serta masyarakat
dilindungi dari kesewenang-wenangan.
Kepastian hukum memerlukan pemerintahan yang bebas dari insentif-insentif yang distortif,
melalui korupsi, kolusi, nepotisme atau terjebak dalam kepentingan sempit kelompok kepentingan
tertentu; menjamin hak-hak kepemilikan dan pribadi; serta mencapai stabilitas sosial dalam tahap
tertentu. Ini akan memberi kepastian hukum yang penting bagi perusahaan dan masyarakat untuk
mengambil keputusan yang baik.
Kepastian hukum memerlukan stabilitas politik. Pemerintahan harus mampu membuat komitmen-
komitmen yang bisa dipercaya, dan meyakinkan sektor swasta bahwa keputusan-keputusan yang
diambil pada akhirnya tidak akan dicabut akibat ketidakpastian politik. Meski hal ini tidak secara
khusus terkait dengan sistem politik tertentu dalam jangka pendek, dalam jangka panjang
demokrasi meningkatkan stabilitas dengan memberikan pada masyarakat suara untuk
mengekspresikan pilihan-pilihan mereka melalui persaingan yang terbuka.
4. Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban dapat menjadi tujuan -yaitu mencerminkan nilai-nilai demokratik- serta dapat
pula menjadi cara menuju pengembangan organisasi yang lebih efektif dan efisien. Para politisi
serta pegawai negeri sipil memiliki kekuasaan yang besar melalui hukum dan aturan yang mereka
terapkan, sumber daya yang mereka kendalikan serta organisasi yang mereka kelola.
Pertanggungjawaban adalah kunci untuk menjami bahwa kekuasaan ini digunakan secara layak
dan sesuai dengan kepentingan publik. Pertanggungjawaban memerlukan kejelasan tentang
siapa yang bertanggungjawab pada siapa, untuk apa dan bahwa pegawai negeri sipil, organisasi
serta para politisi harus mempertanggungjawabkan keputusan serta kerja mereka.
Pemerintah memiliki akses terhadap banyak informasi penting. Penyebaran informasi melalui
transparansi dan sistem informasi yang terbuka dapat menyediakan informasi-informasi rinci yang
dibutuhkan perusahaan dan masyarakat untuk mengambil keputusan yang baik. Pasar modal,
misalnya, tergantung pada keterbukaan informasi.
6. Partisipasi
Partisipasi dapat mencakup pertemuan-pertemuan konsultasi dalam pengembangan kebijakan
dan pengambilan keputusan serta proses-proses demokratik. Partisipasi memberikan pada
pemerintah akses pada informasi penting tentang kebutuhan dan prioritas orang per orang,
masyarakat serta usaha swasta. Pemerintah, yang mencakup masyarakat, akan berada dalam
posisi yang lebih baik untuk mengambil keputusan dan keputusan tersebut akan memperoleh
dukungan yang lebih besar setelah diambil. Meski tidak ada hubungan langsung antara demokrasi
dan setiap aspek good governance, jelas bahwa pertanggungjawaban, transparansi dan
partisipasi diperkuat oleh demokrasi, dan ketiga faktor ini merupakan pendukung kualitas
demokrasi.
1. Negara
a. Menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil;
b. Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan;
c. Menyediakan public service yang efektif dan accountable;
d. Menegakkan HAM;
e. Melindungi lingkungan hidup;
f. Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik.
2. Sektor Swasta
a. Menjalankan industri;
b. Menciptakan lapangan kerja;
c. Menyediakan insentif bagi karyawan;
d. Meningkatkan standar hidup masyarakat;
e. Memelihara lingkungan hidup;
f. Menaati peraturan;
g. Transfer ilmu pengetahuan dan tehnologi kepada masyarakat;
h. Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM.
3. Masyarakat Madani
a. Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi;
b. Mempengaruhi kebijakan publik;
c. Sebagai sarana cheks and balances pemerintah;
d. Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah;
e. Mengembangkan SDM;
f. Sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat.
1. Agenda Politik
Masalah politik seringkali menjadi penghambat bagi terwujudnya Good Governance. Hal ini dapat
terjadi karena beberapa sebab, diantaranya adalah acuan konsep politik yang tidak/kurang
demokratis yang berimplikasi pada berbagai persoalan di lapangan. Krisis politik yang melanda
bangsa Indonesia dewasa ini tidak lepas dari penataan sistim politik yang kurang demokratis.
Oleh karena itu perlu dilakukan pembaharuan politik yang menyangkut masalah-masalah penting
seperti:
a. Amandemen UUD 1945 Sebagai sumber hukum dan acuan pokok penyelenggaraan
pemerintahan;
b. Perubahan Undang-Undang Politik dan Undang-Undang Keormasan yang lebih menjamin
partisipasi dan mencerminkan keterwakilan rakyat;
c. Reformasi agraria dan perburuhan;
d. Penegakan supremasi hukum.
2. Agenda Ekonomi
Krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan
mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh. Mengingat begitu banyak permasalahan
ekonomi di Indonesia, perlu dilakukan prioritas-priotitas kebijakan. Prioritas yang paling mendesak
untuk pemulihan ekonomi saat ini antara lain:
a. Agenda Ekonomi Teknis
Otonomi Daerah. Pemerintah dan rakyat Indonesia telah membuat keputusan politik untuk
menjalankan otonomi daerah yang esensinya untuk memberikan keadilan, kepastian dan
kewenangan yang optimal dalam pengelolaan sumber daya daerah guna memungkinkan
daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya. Agar pelaksanaan otonomi
daerah ini berjalan tanpa gejolak dibutuhkan serangkaian persiapan dalam bentuk strategi,
kebijakan program dan persiapan institusi di tingkat pusat dan daerah.
3. Agenda Sosial
Masyarakat yang berdaya, khususnya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan merupakan
perwujudan riil Good Governance. Masyarakat semacam ini akan solid dan berpartisipasi aktif
dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Selain itu masyarakat semacam ini juga
akan menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan
pemerintahan.
Sebaliknya, pada masyarakat yang masih belum berdaya di hadapan negara, dan masih banyak
timbul masalah sosial di dalamnya seperti konflik dan anarkisme kelompok, akan sangat kecil
kemungkinan Good Governance bisa ditegakkan. Salah satu agenda untuk mewujudkan Good
Governance pada masyarakat semacam ini adalah memperbaiki masalah sosial yang sedang
dihadapi.
Masalah sosial yang cukup krusial dihadapi bangsa Indonesia akhir-akhir ini adalah konflik yang
disertai kekejaman sosial luar biasa yang menghancurkan kemanusiaan dan telah sampai pada
titik yang membahayakan kelanjutan kehidupan dalam bentuk kekerasan komunal dan
keterbuangan sosial dengan segala variannya.
Oleh karena itu masyarakat bersama pemerintah harus melakukan tindakan pencegahan
terhadap daerah lain yang menyimpan potensi konflik. Bentuk pencegahan terhadap kekerasan
komunal dapat dilakukan melalui; memberikan santunan terhadap mereka yang terkena korban
4. Agenda Hukum
Hukum merupakan faktor penting dalam penegakan Good Governance. Kekurangan atau
kelemahan sistim hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintahan secara
keseluruhan. Dapat dipastikan, Good Governance tidak akan berjalan mulus di atas sistim hukum
yang lemah. Oleh karena itu penguatan sistim hukum atau reformasi hukum merupakan
kebutuhan mutlak bagi terwujudnya Good Governance.
Sementara itu posisi dan peran hukum di Indonesia tengah berada pada titik nadir, karena hukum
saat ini lebih dianggap sebagai komiditi daripada lembaga penegak keadilan. Kenyataan demikian
ini yang membuat ketidakpercayaan dan ketidaktaatan pada hukum oleh masyarakat.
Untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap hukum dalam rangka mewujudkan
Good Governance diperlukan langkah-langkah kongkret dan sistimatis. Langkah-langkah tersebut
adalah:
a. Reformasi Konstitusi. Konstitusi merupakan sumber hukum bagi seluruh tata penyelenggaran
negara. Untuk menata kembali sistim hukum yang benar perlu diawali dari penataan konstitusi
yang oleh banyak kalangan masih banyak mengandung celah kelemahan.
b. Penegakan Hukum. Syarat mutlak pemulihan kepercayaan rakyat terhadap hukum adalah
penegakan hukum. Reformasi di bidang penegakkan hukum yang bersifat strategis dan
mendesak untuk dilakukan adalah; pertama, reformasi Mahkamah Agung dengan
memperbaiki sistim rekrutmen (pengangkatan), pemberhentian, pengawasan dan penindakan
yang lebih menekankan aspek transparansi dan partisipasi masyarakat. Kedua, reformasi
Kejaksaan. Untuk memulihkan kinerja kejaksaan saat ini khususnya dalam menangani kasus-
kasus KKN dan pelanggaran HAM, perlu dilakukan fit and proper test terhadap Jaksa Agung
dan pembantunya sampai eselon II untuk menjamin integritas pribadi yang bersangkutan.
Selain itu untuk mengawasi kinerja kejaksaan perlu dibentuk sebuah komisi Independen
Pengawas Kejaksaan.
c. Pemberantasan KKN. KKN merupakan penyebab utama dari tidak berfungsinya hukum di
Indonesia. Untuk memberantas KKN diperlukan setidaknya dua cara; pertama dengan cara
mencegah (preventif) dan kedua, upaya penanggulangan (represif). Upaya pencegahan
dilakukan dengan cara memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka (open
e. Pengakuan Terhadap Hukum Adat dan Hak Ekonomi Masyarakat. Untuk menjamin hak-hak
masyarakat hukum adat, maka diperlukan proses percepatan di dalam menentukan wilayah
hak ulayat adat secara partisipatif. Dengan begitu rakyat akan mendapatkan jaminan di dalam
menguasai tanah ulayat adat mereka dan juga akses untuk mengelola sumber daya alam di
lingkungan dan milik mereka sendiri.
Penerapan penegak hukum harus dilakukan secara kontekstual dengan menggunakan kebijakan
‘selective enforcement’ sehingga keadilan memang berasal dari rasa keadilan yang hidup di
masyarakat.
Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara
pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan publik dan pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan penyelenggara pelayanan publik adalah
instansi pemerintah yang meliputi:
Satuan kerja/satuan organisasi Kementrian;
Departemen;
Lembaga Pemerintah Non Departemen;
Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara;
Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
Instansi Pemerintah lainnya, baik pusat maupun daerah termasuk dinas-dinas dan badan.
Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, aparatur pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan
pelayanan yang terbaik kepada masyarakat dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik dari pemerintah karena masyarakat
telah memberikan dananya dalam bentuk pembayaran pajak, retribusi, dan berbagai pungutan lainnya.
Namun demikian, meskipun kewajiban pemberian pelayanan publik terletak pada pemerintah,
pelayanan publik juga dapat diberikan oleh pihak swasta dan pihak ketiga, yaitu organisasi nonprofit,
relawan (volunteer), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Jika penyelenggaraan pelayanan
publik tertentu diserahkan kepada swasta datau pihak ketiga, maka yang terpenting dilakukan oleh
pemerintah adalah memberikan regulasi, jaminan keamanan, kapasitas hukum, dan lingkungan yang
kondusif.
Pelayanan publik yang harus diberikan oleh pemerintah dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori
utama, yaitu:
1. Pelayanan Kebutuhan Dasar
Pelayanan kebutuhan dasar yang harus diberikan oleh pemerintah meliputi kesehatan, pendidikan
dasar dan bahan kebutuhan pokok masyarakat.
a. Kesehatan
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat, maka kesehatan adalah hak
bagi setiap warga masyarakat yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar. Setiap negara
b. Pendidikan Dasar
Selain kesehatan, bentuk pelayanan dsar lainnya adalah pendidikan dasar. Sama halny
dengan kesehatan, pendidikan merupakan suatu bentuk investasi sumberdaya manusia.
Masa depan suatu bangsa akan sangat ditentukan oleh seberapa besar perhatian pemerintah
terhadap pendidikan masyarakatnya. Tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap tingkat
kemiskinan karena pendidikan merupakan salah satu komponen utama dalam lengkaran
setan kemiskinan. Oleh karena itu, untuk memotong lingkaran setan kemiskinan salah satu
caranya adalah melalui perbaikan kualitas pendidikan.
Dalam hal penyediaan bahan kebutuha pokok, pemerintah perlu menjamin stabilitas harga
kebutuhan pokok masyarakat dan menjaga ketersediaannya di pasar maupun gudang dalam
bentuk cadangan ataupersediaan.
2. Pelayanan Umum
Selain pelayanan kebutuhan dasar, pemerintah sebagai instansi penyedia pelayanan publik juga
harus memberikan pelayanan umum kepada masyarakatnya. Pelayanan umum yang harus
diberikan pemerintah terbagi dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Pelayanan Administratif
b. Pelayanan Barang
Pelayanan barang adalah pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang
menjadi kebutuhan publik, misalnya : jaringan telepon, listrik, air bersih, dll.
c. Pelayanan Jasa
Pelayanan jasa adalah pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan
publik, misalnya : jasa transportasi atau angkutan, dll.
Kemunculan konsep pelayanan publik berhubungan dengan bagaimana peningkatan kapasitas dan
kemampuan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan yang dianggap pokok bagi seluruh anggota
masyarakat. Konsep kebutuhan pokok terus berkembang seiring dengan tingkat perkembangan sosio-
ekonomi masyarakat. Artinya suatu jenis barang dan jasa yang sebelumnya dianggap sebagai barang
mewah dan terbatas kepemilikannya dapat berubah menjadi barang yang pokok diperlukan bagi
sebagian besar lapisan masyarakat. Perkembangan konsep kebutuhan pokok dengan demikian terkait
erat dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, serta perubahan politik. Hasil-hasil
pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi pada gilirannya harus didistribusikan dan dialokasikan
kepada tiap anggota masyarakat yang turut berpartisipasi dalam mendorong pertumbuhan tersebut.
Fungsi distribusi dan alokasi tersebut dijalankan oleh birokrasi lembaga-lembaga pemerintahan
sebagai wujud dari fungsi pelayanan berdasarkan kepentingan publik yang dilayaninya. Konsep
kepentingan publik itu sendiri didefinisikan melalui pemahaman dibawah ini.
“Something in which the public, the community at large, has some pecuniary interest, or some interest
by which their legalrights or liabilities are affected. It does not mean anything so narrow as mere
curiosity, or as the interest of particular localities”.
Dari pemahaman yang demikian terlihat adanya hak dan pertanggungjawaban yang melekat pada
masyarakat banyak dimana pengertian umum disitu diartikan sebagai public. Perwujudan public
interest itu muncul dalam kaitannya dengan sumber daya dan alokasinya. Proses pengalokasian itu
terwujud dalam jasa pelayanan publik demi terciptanya pemenuhan kebutuhan masyarakat, sehingga
public service didefinisikan sebagai berikut:
Karena pelayanan publik terkait erat dengan jasa dan barang dipertukarkan maka penting pula untuk
memasukkan definisi dari public utilities sebagai pelayanan atas komoditi berupa barang atau jasa
dengan mempergunakan sarana milik umum yang dapat dilakukan oleh orang/badan keperdataan.
Pihak yang mengelola alokasi sumber daya bagi kepentingan publik dapat dilakukan oleh badan
birokrasi baik oleh negara maupun swasta melalui kedudukan dan wewenang public office dimana
kedudukan tersebut merupakan bentuk pendelegasian kekuasaan pemerintahan negara kepada
pejabat publik (public official) tertentu. Sementara yang dimaksud dengan pejabat publik (public
official) adalah orang yang menjalankan kedudukan pada jabatan umum tersebut dengan posisinya
sebagai bagian dari penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara.
Di Indonesia, banyak dari kantor-kantor pelayanan publik masih berada dibawah birokrasi
pemerintahan sehingga dalam situasi yang demikian birokrasi yang diacu lebih kepada birokrasi
pemerintahan. Secara teoritik ada tiga fungsi yang dijalankan oleh birokrasi yaitu fungsi pelayanan,
fungsi pembangunan, dan fungsi pemerintah umum.
Fungsi pelayanan berhubungan dengan unit organisasi pemerintahan yang pada hakikatanya
merupakan bagian atau berhubungan dengan masyarakat. Fungsi utamanya adalah pelayanan
(service) langsung kepada masyarakat. Lalu fungsi pembangunan berhubungan dengan organisasi
pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang sektor khusus guna mencapai tujuan
pembangunan. Fungsi pokoknya adalah development function atau adaptive function. Yang ketiga
adalah fungsi pemerintah umum berhubungan dengan rangkaian organisasi pemerintahan yang
menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan.
Fungsinya lebih kepada fungsi pengaturan (regulative function).
Sektor pelayanan publik lebih berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan,
kegiatan pemberian berbagai pelayanan umum maupun fasilitas sosial kepada masyarakat seperti
penyediaan pendidikan, kesehatan, pengurusan sampah, air minum, dan sebagainya. Singkatnya
pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh individu atau sekelompok individu dengan
Hal penting yang menunjang pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut adalah kemampuan dan kapabilitas
birokrasi pemerintah dalam mengelola dan menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang
ekonomis, efektif, efisien, dan akuntabel kepada seluruh masyarakat. Pelaksanaan fungsi tersebut
idealnya didasarkan pada prinsip equity yang artinya birokrasi pemerintahan tidak boleh memberikan
pelayanan diskriminatif yang memandang masyarakat yang dilayani atas landasan status, pangkat,
dan golongan, meskipun pada kenyataannya di banyak negara berkembang prinsip tersebut masih
diabaikan karena adanya bias birokrasi dan kelas sosial.
Pada tingkat pelaksanaan tidak semua fungsi tersebut harus dikerjakan oleh pemerintah, ada bagian
dari fungsi-fungsi tersebut yang dilaksanakan oleh pihak swasta dengan pola kemitraan. Pola
kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam memberikan berbagai pelayanan kepada
masyarakat tersebut sejalan dengan gagasan reinventing government yang dikembangkan oleh
Osborne dan Gaebler. Oleh karenanya pola kemitraan dalam pelayanan publik tetap memperhatikan
kepuasan dari publik dalam mengkonsumsi barang atau jasa yang disediakan baik oleh swasta
maupun pemerintah seperti gagasan dasar Osborne dan Gaebler.
“… A public service or quasi-public corporation is one private in its ownership, but which has an
appropriate franchise from the state to provide necessity or convenience of the general public…owe a
duty to the public which they may be complled to perform”.
Sementara itu, desain sistem manajemen kinerja sektor publik tidak dapat dipisahkan dari penentuan
standar pelayanan publik. Manajemen kinerja sektor publik belum dikatakan lengkap bila tidak
ditetapkan standar pelayanan publik yang menjadi acuan bagi manajemen dalam bertindak. Standar
pelayanan publik merupakan standar kinerja minimal yang harus dipenuhi oleh organisasi sektor
publik. Dalam rangka memenuhi standar pelayanan publik tersebut, setiap unit pelayanan harus
menerapkan Standar Pelayanan Minimum (SPM).
Menguatnya hembusan desentralisasi membawa harapan dan tantangan tersendiri bagi proses dan
pencapaian tujuan-tujuan pembangunan kesejahteraan sosial. Berpijak pada argumen bahwa tanpa
Good Governance (tata pemerintahan yang baik), maka desentralisasi akan lebih meminggirkan
pembangunan kesejahteraan sosial. Terutama pada masa transisi dan pencarian makna sejati
desentralisasi, pemerintahan di daerah cenderung lebih bergairah dalam meningkatkan investasi
ekonomi secepatnya daripada melakukan investasi sosial jangka panjang. Tanpa sikap dan komitmen
yang jelas mengenai makna good governance, desentralisasi dapat menimbulkan jebakan-jebakan
bagi strategi dan implementasi pembangunan kesejahteraan sosial di daerah.
Pembangunan kesejahteraan sosial sejatinya adalah segenap strategi dan aktifitas yang dilakukan
oleh pemerintah, dunia usaha, maupun civil society untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia
melalui kebijakan dan program yang bermatra pelayanan sosial, penyembuhan sosial, perlindungan
sosial dan pemberdayaan masyarakat.
Seperti kata Jones, tujuan pembangunan kesejahteraan sosial, yang pertama dan utama, adalah
penanggulangan kemiskinan dalam segala bentuk manifestasinya (Suharto, 2005). Maknanya,
meskipun pembangunan kesejahteraan sosial dirancang guna memenuhi kebutuhan publik yang luas,
target utamanya adalah para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), yakni mereka yang
termasuk kelompok kurang beruntung (disadvantaged groups), seperti orang miskin, anak-anak dan
wanita korban tindak kekerasan, anak jalanan, pekerja anak, orang dengan kemampuan berbeda
(difabel), serta kelompok rentan dan marjinal lainnya. Pemberdayaan masyarakat, rehabilitasi sosial,
bantuan sosial, asuransi sosial, jaring pengaman sosial, dan penguatan kapasitas kelompok marjinal
adalah beberapa contoh program pembangunan kesejahteraan sosial.
Di negara-negara maju, terutama yang menganut ideologi ‘kesejahteraan negara’ (welfare state),
pembangunan kesejahteraan sosial merupakan wujud dari kewajiban negara (state obligation) dalam
menjamin hak-hak dasar warga negara.
Di Indonesia, meskipun konstitusinya secara de jure (legal-formal) merujuk pada sistem kesejahteraan
negara, implementasi dari pembelaan negara terhadap hak-hak fakir miskin, anak telantar dan
penyelenggaraan jaminan sosial masih dihadapkan beragam tantangan.
Good governance, tata pemerintahan yang baik, menunjuk pada kompetensi kelembagaan dalam
mengelola sumberdaya alam dan manusia secara akuntabel, transparan dan responsif terhadap
kebutuhan-kebutuhan anggotanya. Good governance dapat dilihat dari adanya proses, mekanisme
dan lembaga-lembaga yang mampu mengartikulasikan kepentingan-kepentingan, hak-hak dasar,
tanggungjawab dan perbedaan-perbedaan warga masyarakat (AUSAID, 2006; van der Hoeven, 2006).
Good governance tidak hanya berkaitan dengan peran negara dan pemerintah saja, melainkan pula
dengan peran civil society dan dunia usaha.
Good governance adalah prasyarat penting dalam mencapai keberhasilan pembangunan yang
berkelanjutan. Banyak negara yang memiliki sumberdaya alam dan struktur sosial yang relatif sama
telah menunjukkan kemampuan yang berbeda dalam mensejahterakan rakyatnya, dikarenakan
perbedaaan dalam standar good governance di negara yang bersangkutan.
Dengan kata lain, poor governance, tata pemerintahan yang buruk, menghambat pembangunan. Di
negara-negara yang ditandai oleh tingginya korupsi, rendahnya kontrol anggaran publik, lemahnya
akuntabilitas, dan banyaknya pelanggaran hak azasi manusia, ternyata pembangunan ekonomi
maupun kesejahteraan sosialnya sangat rendah. Ada dua kata kunci dalam good governance, yaitu
legitimasi dan akuntabilitas.
Legitimasi menunjuk pada kapasitas atau kompetensi sebuah institusi (pemerintah, civil society
maupun dunia usaha) dalam menciptakan lingkungan politik dan kelembagaan untuk melindungi hak
azasi manusia, menghargai prinsip-prinsip demokrasi dan aturan hukum, serta menjamin kelompok-
kelompok kurang beruntung dalam masyarakat, termasuk anak-anak, wanita, orang miskin dan
kelompok rentan lainnya.
Akuntabilitas berkaitan dengan kapasitas sebuah institusi dalam mengelola sumberdaya alam dan
manusia serta perangkat-perangkat ekonomi dan finansial secara bertanggungjawab, terukur dan
Desentralisasi sesungguhnya membawa angin segar bagi tumbuhnya demokrasi dan partisipasi warga
dalam segenap aktivitas pembangunan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesetaraan antar
golongan, memperluas keadilan sosial dan memperbaiki kualitas kehidupan rakyat banyak. Konsep
tentang demokrasi representatif dan partisipatoris, misalnya, lebih mudah diterapkan di tingkat
pemerintahan daerah, karena skala kedaerahan dan kedekatannya dengan komunitas lokal.
Namun dalam kenyataannya, suara-suara yang terdengar dari realisasi desentralisasi itu tidak terlalu
memuaskan. Umumnya, argumentasi pesimis menyatakan bahwa desentralisasi hanya memperkuat
elit-elit lokal, menyuburkan primordialisme, ‘men-daerahkan KKN’ dan ‘meng-KKN-kan daerah’.
Bahkan argumentasi yang lebih pesimis lagi menyatakan bahwa desentralisasi menyulut disintegrasi
bangsa.
Meskipun pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
desentralisasi seringkali hanya menguntungkan penguasa dan pengusaha setempat, bukan
memperhatikan suara dan kepentingan kaum marginal. Sebagaimana dikemukakan Gaventa (2005:
12), hambatan-hambatan kekuasaan, pengucilan sosial, kecilnya kemampuan individu dan kapasitas
organisasional kolektif menyebabkan rakyat kecil hanya menikmati sangat sedikit dari desentralisasi.
Mengutip pengamatan Manor, Gaventa menyatakan “…belum ada bukti tentang elite lokal yang lebih
bijak dan baik hati ketimbang orang-orang yang berada di atasnya.”
Sejumlah penelitian memberi pesan jelas mengenai kian lebarnya kesenjangan antara rakyat biasa,
terutama kaum miskin dengan lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupan mereka, khususnya
pemerintah. Ini terjadi bukan hanya di negara-negara selatan, melainkan pula di utara (Gaventa,
2005). Berdasarkan penelitian partisipatoris di 23 negara, laporan Bank Dunia, World Development
Report (2000), misalnya, menyajikan paparan mengenai Voices of the Poor (suara-suara orang
miskin) yang menemukan bahwa sebagian besar rakyat miskin di berbagai belahan dunia memandang
institusi-institusi besar, terutama lembaga-lembaga negara, sangat berjarak, tidak bertanggungjawab,
dan korup. Seperti dipaparkan Narayan dkk, riset tersebut memberi kesimpulan sebagai berikut:
”Menurut sudut pandang rakyat miskin di berbagai belahan dunia, krisis sedang terjadi dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Walaupun ada begitu banyak institusi yang berperan penting dalam
kehidupan rakyat miskin, kaum miskin tersebut tetap tersisih dari peluang untuk berpartisipasi dalam
pemerintahan. Lembaga-lembaga negara, entah itu yang diwakili oleh kementerian-kementerian di
Suara-suara orang miskin yang dilaporkan Bank Dunia bukanlah satu-satunya temuan mengenai
kekecewaan warga negara terhadap pemerintahan mereka. Penelitian lain yang dilakukan
Commonwealth Foundation (1999) di lebih dari 40 negara juga menemukan hal serupa. Korupsi
merajalela, respon terhadap kebutuhan rakyat miskin sangat kurang dan tidak ada partisipasi atau
hubungan antara pemerintah dengan warga negara biasa. Bukti empiris ini menunjukkan bahwa
semakin banyak perhatian harus diberikan pada cara-cara meningkatkan akuntabilitas dan daya
responsif institusi-institusi pemerintahan melalui perubahan desain kelembagaan dan pemberdayaan
struktur-struktur pemerintahan yang baik (good governance). Tanpa good governance, maka
desentralisasi dapat menimbulkan berbagai jebakan yang menghambat pembangunan, khususnya di
bidang kesejahteraan sosial. Beberapa jebakan desentralisasi tersebut yaitu:
1. Money follows function atau function follows money? Idealnya, UU Pemerintahan Daerah
berpedoman pada prinsip money follows function, uang mengikuti kewenangan. Artinya, otonomi
daerah tidak ditentukan oleh seberapa besar Pendapatan Asli Daerahnya (PAD), melainkan oleh
kemampuannya menjalankan kewenangan sesuai dengan kebutuhan. Setiap daerah
dipersilahkan menentukan kewenangannya masing-masing. Namun dalam prakteknya, prinsip
function follows money seringkali lebih dominan. Pemda yang memiliki prosentase PAD yang
besar terhadap APBD-nya, memiliki kewenangan yang besar. Sebaliknya, Pemda yang memiliki
PAD yang rendah memiliki otonomi yang rendah pula. Bahkan, jika PAD-nya hanya 5 atau 10
persen saja dari APBD, Pemda dianggap tidak layak memiliki otonomi. Akibatnya, perlombaan
meningkatkan PAD lebih mengemuka ketimbang menjalankan (apalagi meningkatkan) kewajiban
memberi pelayanan dasar dan perlindungan sosial bagi publik.
3. Godaan lokalisme dan primordialisme. Sudah menjadi rahasia umum, di beberapa daerah,
institusi-institusi kesejahteraan sosial digabung, dirampingkan atau dihapus dengan alasan
disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Tanpa menghiraukan konsepsi dan substansi
kesejahteraan sosial yang benar, ada suatu daerah yang menggabungkan bidang kesejahteraan
sosial dengan urusan kebakaran, pasar atau pemakaman. Di daerah yang lain lagi,
primordialisme yang terlalu dominan tidak jarang mengesampingkan prinsip meritokrasi dan
kompetensi sumberdaya kesejahteraan sosial. Dalam banyak kasus, lembaga-lembaga
kesejahteraan sosial dipandang sebagai pos yang bisa diisi oleh siapa saja dengan latar belakang
pendidikan dan pengalaman yang tidak relevan sekalipun.
Sebagaimana pengamatan Fung dan Wright (Gaventa, 2005), kemerosotan legitimasi institusi-institusi
negara sangat menguntungkan kaum ‘kanan’ untuk meningkatkan serangan terhadap pentingnya
pembangunan kesejahteraan sosial. Deregulasi, swastanisasi, pengurangan pelayanan sosial,
pemotongan anggaran negara telah menjadi rumus utama desentralisasi, bukannya peningkatan sikap
responsif dan bentuk-bentuk investasi negara yang lebih demokratis dan partisipatoris. Reinventing
government, yakni mengubah pemerintah untuk berperilaku seperti perusahaan swasta, dianggap
sebagai ‘obat’ paling mujarab guna mengubah perilaku pemerintah agar lebih baik (good governance).
Faktanya, teramat banyak perusahaan swasta yang bangkrut dan membangkrutkan pemerintah.
Respon terhadap tuntutan good governance seharusnya tidak terfokus pada pelucutan wewenang dan
kewajiban negara dalam menjamin hak-hak dasar warganya, melainkan pada upaya memperkuat
strategi pembangunan kesejahteraan sosial dan mencari bentuk-bentuk baru sistem
pengoperasiannya. Dalam pusaran desentralisasi dan good governance, pemerintah dan aparatur
pemerintah tetap merupakan aktor penting dalam menjalankan proses dan praktek pengelolaan
organisasi serta perancangan kebijakan-kebijakan publik. Sebagaimana dinyatakan Rossenbaum
(2006: 1), terlepas dari banyaknya kritik terhadap tata pemerintahan dewasa ini, negara dan
pemerintah tetap merupakan institusi yang paling kuat dan penting dalam masyarakat. Seberapa
Pasar tidak dapat menggantikan peran pemerintah dalam menjalankan daftar kegiatan di atas, begitu
pula gerakan-gerakan sosial maupun organisasi swadaya masyarakat lainnya, betapa pun besar dan
signifikannya mereka. Merajut kembali jalinan antara pemerintah daerah dan warganya memerlukan
metode yang melampaui pendekatan ‘masyarakat sipil’ maupun ‘pendekatan berbasis negara’
sehingga ditemukan fokus pada titik temu kedua belah pihak. Agenda ini melibatkan sedikitnya tiga
prasyarat utama, yaitu adanya:
1. Transparansi dalam manajemen pelayanan kemanusiaan yang responsif dan fokus pada
masalah-masalah sosial yang spesifik dan nyata;
2. Profesionalisasi dalam penetapan SDM kesejahteraan sosial berdasarkan prinsip meritokrasi
yang menghargai kualifikasi dan kompetensi pekerjaan sosial kontemporer;
3. Partisipasi dan pelibatan beragam pemangku kepentingan (stakeholders) dalam segenap
prencanaan, implementasi dan evaluasi pelayanan sosial.
Tekanan terhadap organisasi sektor publik, khususnya organisasi pemerintah baik pusat dan daerah
serta perusahaan milik pemerintah, dan organisasi sektor publik lainnya untuk memperbaiki kinerjanya
mendorong dibangunnya sistem manajemen organisasi sektor publik yang berbasis kinerja
(performance-based management). Kemunculan manajemen berbasis kinerja merupakan bagian dari
reformasi New Public Management yang dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Anglo-
Amerika sejak tahun 1980-an. Fokus manajemen berbasis kinerja adalah pengukuran kinerja
organisasi sektor publik yang berorientasi pada pengukuran outcome (hasil), bukan lagi sekedar
pengukuran input atau output saja. Beberapa pihak menyebut manajemen publik yang berorientasi
pada hasil tersebut dengan rama ‘result-oriented government’ (ROM). Osborne dan Gaebler (1992, ch.
5) menyebutnya dengan istilah ‘result-oriented governement’ yaitu pemerintahan yang membiayai
outcome bukan input.
Pendekatan manajemen berbasis kinerja ditandai dengan munculnya teori-teori organisasi dan
manajemen seperti model Classical Organization Theory, Scientific Management, City Manager
Movement, Performance Budgeting atau Budgeting for Results (BFR), PPBS, Zero Based Budgeting,
Management by Objectives (MBO), Management by Results, Result-Oriented Management (RPM),
Program Evaluation, dan yang terakhir adalah Reinventing Government (Davis dan Larkey, 1980:
Orsborne dan Gaebler, 1992).
Pemerintah selama beberapa dekade telah bergulat dengan pengukuran input (means measure)
bukan outcome (ends measure). Pembahasan antara eksekutif dan legislatif hanya berkutat pada
anggaran dan realisasi anggaran. Pengukuran demikian hanya berfokus pada penjelasan bagaimana
sibuknya pemerintah, namun tidak menjelaskan mengenai dampak nyata aktivitas pemerintah
terhadap masyarakat. Padahal bagi masyarakat yang terpenting adalah hasilnya (outcome). Hal itu
tidak berarti pengukuran input tidak penting bagi pemerintah. Pemerintah perlu mengukur input,
misalnya berapa banyak anggaran yang dibelanjakan dan apa yang telah dilakukan. Namun demikian,
apabila pengukuran kinerja hanya berfokus pada input dan output saja (anggaran dan realisasinya),
bukan outcome, manfaat dan dampak terhadap masyarakat, maka akibatnya organisasi sektor publik
Pengukuran kinerja dan manajemen berbasis kinerja merupakan dua hal yang berkaitan satu sama
lain. Akuntabilitas kinerja dapat dicapai apabila organisasi sektor publik memiliki manajemen kinerja
yang baik dan pengukuran yang baik. Osborne dan Gaebler (1992, pp. 146-154) menyatakan bahwa
pengukuran kinerja memiliki kekuatan yang sangat besar kaitannya dengan konsep pemerintah yang
beorientasi pada hasil (results-oriented government).
Pada akhirnya, Manajemen Berbasis Kinerja merupakan suatu metode untuk mengukur kemajuan
program atau aktivitas yang dilakukan organisasi sektor publik dalam mencapai hasil atau outcome
yang diharapkan oleh klien, pelanggan, dan stakeholder lainnya. Dalam Performance Management
Handbook Departemen Energi USA, manajemen berbasis kinerja didefinisikan sebagai berikut:
Manajemen kinerja membutuhkan proses sistematis. Untuk itu, perlu dibuat desain sistem manajemen
kinerja yang tepat untuk mencapai kinerja optimal. Sistem merupakan serangkaian prosedur, langkah
atau tahap yang tertata dengan baik. Demikian juga sistem manajemen kinerja sektor publik juga
mengandung prosedur, langkah dan tahapan yang membentuk suatu siklus kinerja. Tahap-tahap
sistem manajemen kinerja tersebut meliputi (Mahmudi SE., MSi. Ak., 2005):
1. Tahap Perencanaan Kinerja;
2. Tahap Pelaksanaan Kinerja;
3. Tahap Penilaian Kinerja;
4. Tahap Review Kinerja;
5. Tahap Perbaikan Kinerja.
Secara umum, penetapan parameter pembangunan Kota Serang tetap mengacu serta memperhatikan
keselarasan dan keterkaitannya dengan parameter-parameter pembangunan di tingkat nasional dan
juga provinsi. Hal tersebut diupayakan agar tercipta sinergitas dan konsistensi pembangunan
khususnya dalam kerangka pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan baik pada level nasional
(makro) maupun daerah (mikro).
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah
Tabel 2.2
Indikator Kemajuan Otonomi Daerah
NO. PARAMETER INDIKATOR SUB INDIKATOR
1. Skala Kehidupan Pertumbuhan Pertumbuhan Pendapatan
Ekonomi Pertumbuhan Investasi
Pertumbuhan Kesempatan Kerja
Pemerataan Distribusi Pendapatan
Pemerataan Akses Modal
Kesinambungan Daya Dukung Lingkungan
Daya Dukung Manusia Berkeahlian
Pemberdayaan Pemberdayaan Ekonomi Lemah
Pemberdayaan Ekonomi Lokal
2. Layanan Publik Efisiensi Keterpaduan Birokrasi
Sanitari Birokrasi
Sufisiensi Ketersediaan Kebutuhan Dana Sosial
Ketersediaan Infrastruktur
Fasilitasi Fasilitasi Partisipasi Sosial
Kesetaraan Gender
Fasilitasi Resolusi Konflik
3. Resiko-resiko Lokal Keamanan Keamanan Hak Sipil
Keamanan Hak Politik
Keamanan Hak Ekonomi
Stabilitas Kesinambungan Politik
Kesehatan Makro Ekonomi
Integrasi Sosial
Demokrasi Supremasi Hukum
Kontrol dan Pertimbangan
Pertanggungjawaban Politik
Kebebasan Pers
Otonomi Kemandirian Daerah
Lokalisme Lokal
Tabel 2.3
Pengukuran Kinerja Penyelenggaraan Otonomi Daerah
Air Bersih :
Akses terhadap air bersih
Transportasi Umum :
Rasio jumlah kendaraan umum roda 4 per
10.000 penduduk
Pemerintahan Kepegawaian :
Rasio jumlah penduduk dengan jumlah PNS
Pemda
Keuangan :
Rasio PAD dengan jumlah penduduk