Anda di halaman 1dari 35

BAB

2
2.1. PARADIGMA PEMBANGUNAN ERA OTONOMI DAERAH

Keberadaan desentralisasi di Negara Indonesia telah menjadi konsensus nasional. Dalam setiap UUD
yang pernah berlaku selalu terdapat pasal yang mengatur penyelenggaraan desentralisasi di
Indonesia. Untuk mewujudkan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan oleh UUD hampir setiap
kabinet yang terbentuk di masa lalu mencantumkan desentralisasi sebagai salah satu program
kerjanya. Bahkan dalam masa Orde Baru, strategi bagi penyelenggaraan desentralisasi selalu
tertuang dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, sedangkan kebijakan dan programnya terjabar
dalam Repelita Nasional. Ratusan peraturan perundang-undangan telah terbentuk dalam rangka
penyelenggaraan desentralisasi. Sejumlah sumber daya telah terserap untuk memperkuat program
desentralisasi melalui serangkaian kajian dan penelitian. Masa kini desentralisasi merupakan salah
satu agenda reformasi. Sungguh tidak keliru apabila dalam tahun limapuluhan Maryanov (1958) dari
Universitas Cornell pernah menyimpulkan hasil penelitiannya bahwa desentralisasi di Indonesia telah
diterima sebagai aksioma.

Konsensus nasional mengenai keberadaan desentralisasi dalam Negara Kesatuan Indonesia tersebut
mengandung arti bahwa penyelenggaraan organisasi dan administrasi negara Indonesia tidak hanya
semata-mata atas dasar asas tersebut, tetapi juga atas dasar desentralisasi dengan otonomi daerah
sebagai perwujudannya. Dengan demikian, setidak-tidaknya di kalangan Pembentuk UUD 1945 dan
penyelenggara organisasi negara Indonesia telah diterima pemikiran yang mendasar bahwa
sentralisasi dan desentralisasi masing-masing sebagai asas organisasi tidak ditempatkan pada kutub
yang berlawanan (dichotomy), tetapi kedua asas tersebut merupakan suatu rangkaian kesatuan
(continuum). Kedua asas ini memiliki fungsi yang berlainan, tetapi saling melengkapi bagi keutuhan
organisasi negara. Sentralisasi berfungsi menciptakan keseragaman, sedangkan desentralisasi
menciptakan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan. Walapun demikian berbagai aspek
dinamik dalam mengaplikasikan kedua asas tersebut selalu menimbulkan isu. Tanggap Pemerintah

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 1


dan DPR mengenai isu tersebut tertuang dalam perubahan berbagai UU tentang Pemerintahan
Daerah.
Sekalipun setiap perubahan UU Pemerintahan Daerah pada dasarnya merupakan reformasi
pemerintahan daerah, namun terdapat perbedaan mengenai gradasi, skala dan besaran substansi
perubahan yang dikehendaki oleh UU Pemerintahan Daerah yang dicanangkan. Perubahan yang
dikehendaki oleh UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang selanjutnya diganti oleh UU
No. 32 dan UU No. 33 Tahun 2004, tergolong perubahan yang radikal (radical change) atau drastik
(drastic change) dan bukan perubahan yang gradual (gradual change). Oleh karena itu, konflik, krisis
dan goncangan yang menyertai reformasi tersebut lebih besar daripada serangkaian reformasi yang
pemah terjadi sebelumnya. Dibandingkan dengan reformasi pemerintahan daerah di berbagai negara
berkembang lainnya pun reformasi pemerintahan daerah di Indonesia masih tergolong sangat besar.
Reformasi pemerintahan daerah di Indonesia tergolong big bang approach.

Besaran perubahan yang dikehendaki dalam reformasi tersebut dapat disimak dari pergeseran
sejumlah model dan paradigma pemerintahan daerah yang terjadi. 'Structural efficiency model' yang
menekankan efisiensi dan keseragaman pemerintahan lokal ditinggalkan dan dianut 'local democracy
model' yang menekankan, nilai demokrasi dan keberagaman dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Seiring dengan pergeseran model tersebut terjadi pula pergeseran dari pengutamaan
dekonsentrasi ke pengutamaan desentralisasi.

Dilakukan pula pemangkasan dan pelangsingan struktur organisasi dalam rangka menggeser model
organisasi yang hirarkis dan bengkak ke model organisasi yang datar dan langsing. Hubungan antara
Dati II dengan Dati I yang semula 'dependent' dan 'subordinate' kini hubungan antara Kabupaten/Kota
dengan Provinsi menjadi 'independent' dan 'coordinate'. Pola hubungan tersebut tercipta sebagai
konsekuensi perubahan dari dianutnya 'integrated prefectoral system' yang utuh ke 'integrated
prefectural system' yang parsial hanya pada tataran provinsi. Dianutnya 'integrated prefectoral system'
pada propinsi dengan peran ganda Gubemur sebagai KDH dan Wakil Pemerintah dimaksudkan untuk
mengintegrasikan kembali daerah otonom yang secara desentral memiliki karakteristik keterpisahan.

Distribusi urusan pemerintahan kepada daerah otonom yang semula dianut ultra-vires doctrine'
dengan merinci urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi daerah otonom diganti dengan
'general competence' atau 'open end arrangement' yang merinci fungsi pemerintahan yang menjadi
kompetensi Pemerintah dan Provinsi. Pengawasan Pemerintah terhadap daerah otonom yang semula
cenderung koersif bergeser ke persuasif agar diskresi dan prakarsa daerah otonom lebih tersalurkan.
Konsekuensinya, pengawasan Pemerintah terhadap kebijakan Daerah yang semula secara preventif

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 2


dan represif, kini hanya secara represif. Dalam keuangan daerah otonom, terjadi pergeseran dari
pengutamaan specific grant ke block grant.

Konsep Pemerintah Daerah yang semula mencakup KDH dan DPRD menurut UU No. 5 Tahun 1974
kini konsep tersebut hanya merujuk kepada KDH dan Perangkat Daerah, sedangkan DPRD berada di
luar Pemerintah Daerah. KDH yang semula tidak akuntabel terhadap DPRD kini diciptakan akuntabel.
Hubungan Pemerintah dan daerah otonom yang selama UU No. 5 Tahun 1974 bersifat searah dari
atas ke bawah diganti dengan model hubungan yang bersifat resiprokal.

Namun perubahan sejumlah paradigma dan model tersebut tidak berakar pada strategi. Desentralisasi
bukanlah tujuan tetapi sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Dalam TAP MPR No. IV/WR/2000
ditegaskan bahwa kebijakan otonomi daerah diarahkan kepada pencapaian peningkatan pelayanan
publik dan pengembangan kreativitas pemerintah daerah, keselerasan hubungan antara Pemerintah
dengan Daerah dan antar Daerah dalam kewenangan dan keuangan, untuk menjamin peningkatan
rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan ruang yang lebih luas
bagi kemandirian Daerah. Tujuan desentralisasi tersebut belum tertampung dalam strategi reformasi
pemerintahan daerah yang digulirkan melalui kedua undang-undang tersebut.

Pada hakekatnya desentralisasi adalah otonomisasi suatu masyarakat yang berada dalam teritoir
tertentu. Sebagai pancaran paham kedaulatan rakyat, tentu otonomi diberikan oleh Pemerintah
kepada masyarakat dan sama sekali bukan kepada daerah ataupun Pemerintah Daerah. Ketegasan
pernyataan otonomi milik masyarakat dan masyarakat sebagai subyek dan bukan obyek otonomi perlu
dicanangkan di masa depan untuk meluruskan penyelenggaraan otonomi daerah. Telah lama Hatta
(1957) menegaskan bahwa otonomisasi suatu masyarakat oleh Pemerintah tidak saja berarti
melaksanakan demokrasi tetapi juga mendorong berkembangnya prakarsa sendiri dalam
pembentukan dan pelaksanaan kebijakan untuk kepentingan masyarakat setempat. Dengan
berkembangnya prakarsa sendiri tercapailah apa yang dimaksud dengan demokrasi yaitu
pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri, melainkan
juga dan terutama memperbaiki nasibnya sendiri. Dengan visi yang sama, Kartohadikusumo (1955)
mengatakan bahwa pada hakekatnya otonomi merupakan usaha untuk mendapatkan jawaban kembali
semangat dan kekuatan rakyat guna membangun masa depan mereka sendiri yang luhur.

Pengejawantahan desentralisasi adalah otonomi daerah dan daerah otonom. Secara yuridis, dalam
konsep daerah otonom dan otonomi daerah mengandung elemen wewenang mengatur dan
mengurus. Wewenang mengatur dan mengurus merupakan substansi otonomi daerah. Aspek spasial

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 3


dan masyarakat yang memiliki dan terliput dalam otonomi daerah telah jelas sejak pembentukan
daerah otonom. Yang perlu kejelasan lebih lanjut adalah materi wewenang yang tercakup dalam
otonomi daerah. Oleh karena itu, disamping pembentukan daerah otonom tercakup dalam konsep
desentralisasi adalah penyerahan materi wewenang atau disebut oleh amandemen pasal 18 UUD
1945 urusan pemerintahan. Dengan penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah kepada
daerah otonom berarti terjadi distribusi urusan pemerintahan yang secara implisit distribusi wewenang
antara Pemerintah dan daerah otonom.

Konsep urusan pemerintahan menunjukan dua indikator penting, yaitu fungsi atau aktivitas dan asal
urusan pemerintahan tersebut. Urusan pemerintahan yang didistribusikan hanya berasal dari Presiden
dan tidak berasal dari Lembaga Negara Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara lainnya. Oleh karena
itu, dalam konteks ini muncul berbagai urusan pemerintahan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan
umum dan lain-lain. Dalam hal ini tidak lazim untuk menyebut urusan konstitusi. legislasi dan yudikasi
dalam tataran otonomi daerah. Dengan demikian, pendefinisian konsep urusan pemerintahan dirasa
sangat mendesak dalam UU Pemerintahan Daerah di masa depan, agar tidak menimbulkan
penafsiran yang menyesatkan.

Dalam organisasi negara bangsa selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang sepenuhnya
diselenggarakan secara sentralisasi beserta penghalusannya dekonsentrasi. Tetapi tidak pernah
terdapat suatu urusan pemerintahan apapun yang diselenggarakan sepenuhnya secara desentralisasi.
Urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup berbangsa dan
bernegara lazimnya diselenggarakan secara sentralisasi dan dekonsentrasi. Urusan pemerintahan
yang mengandung dan menyangkut kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) diselenggarakan
secara desentralisasi.

Baik secara teoritik maupun empirik urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi daerah otonom
dimanifestasikan dalam pelayanan publik bagi masyarakat setempat dalam semangat welfare state
sesuai dengan arahan UUD 1945 dan TAP MPR No. IV/MPR/2000. Voice dan choice masyarakat
setempat akan dijadikan orientasi daerah otonom. Lowndes (1996) secara filosofis mengutarakan
bahwa:

"Ideas of locality and community are fundamental to the rationale for local government. Such ideas
have a ‘practical' and a 'moral' dimension. Practically, local government is suited to the provision of
basic-level services consumed by individuals, households and communities. Morally, it can be argued

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 4


that the local community constitutes the well-spring of citizenship and democracy and is fundamental
building block for any government system ".

Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi wewenang daerah otonom dalam rangka
otonomi daerah dilakukan oleh DPRD dan Kepala Daerah serta Perangkat Daerah. Sekalipun menurut
UU No. 32 Tahun 2004 secara struktural Pernerintah Daerah terpisah dari DPRD, namun secara
konseptual sulit untuk dipisahkan. Konsep Pemerintah Daerah mencakup DPRD dan KDH sesuai
dengan konsep "local government” atau "local authority" yang selalu juga mengacu kepada "council"
dan lembaga pemerintahan lainnya. Amandemen pasal 18 UUD 1945 juga menganut paham tersebut.
Wewenang pengaturan dilakukan oleh kedua lembaga tersebut, sedangkan wewenang pengurusan
dilakukan oleh Kepala Daerah dengan instrumen birokrasi setempat yang disebut Perangkat Daerah.
Pada tahap implementasi ini, DPRD berperan sebagai lembaga pengawasan dan KDH akuntabel
kepadanya. Dalam kerangka "good governance" perlu dibangun saluran-saluran untuk memungkinkan
terciptanya ",participatory democracy", baik dalam proses pembuatan kebijakan maupun
implementasinya.

Guna tercapainya kesejahteraan masyarakat diperlukan kestabilan penyelenggaraan pemerintah


daerah. Visi mensejahterakan masyarakat harus dibangun dan dijadikan acuan oleh kedua lembaga
tersebut. Menurut Hatta (1957) demokrasi tidak saja mendidik orang bertanggungjawab mengenai
keselamatan dan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga menanam
perhatian terhadap usaha-usaha publik. Setiap orang harus bersedia mencurahkan perhatian dan
tenaganya untuk membela kepentingan umum tanpa mengharapkan imbalan jasa. Kewajiban
membela kepentingan bersama, keselamatan dan kesejahteraan umum di dalam lingkungan hidup
yang besar dan kecil. Oleh karena itu, secara kbusus Hatta mengingatkan kepada DPRD bahwa:

Dewan-dewan itu adalah tempat untuk menyatakan perhatian dan rasa tanggungjawab terhadap
keselamatan dan kesejahteraan umum. Dewan-dewan itu bukanlah tempat untuk mencari rezeki.
Siapa yang ingin mencari rezeki dan memperoleh keuntungan, janganlah menjadi angota DPRD,
menjadilah saudagar atau pengusaha atau pengacara atau mengerjakan pekerjaan lain yang
menghasilkan nafkah hidup.

Sesuai dengan arahan TAP MPR No. IV/MPR/2000 penyelenggaraan pemerintahan daerah ditujukan
untuk kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemberian layanan publik dan pembangunan
lokalitas. Dalam rangka "good governance ", pemberian layanan dan barang publik perlu melibatkan
sektor swasta dan komunitas dengan tetap menjunjung tinggi berbagai prinsip: transparansi,

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 5


akuntabilitas, efisensi, keadilan dan penegakan hukum. Strategi demikian juga terkait dengan
sejumlah kendala yang dihadapi daerah otonom termasuk dalam sumber daya manusia yang
dibutuhkan untuk dapat memuaskan para pelanggannya yang berstatus juga sebagai warga
masyarakat (citizen). Oleh karena itu, distribusi barang dan jasa publik tidak mungkin sepenuhnya
dipikul oleh birokrasi setempat. Sesuai dengan paradigma reinventing government kini berkembang
bergesernya peran Pemerintah Daerah dari services provider ke services enabler untuk
mengakomodasi pergeseran paradigma dari rowing the boat ke steering the boat yang terkandung
dalam konsep good governance.

2.1.1. KONSEP GOOD GOVERNANCE

Sejak bergulirnya gerakan reformasi, istilah Good Governance begitu popular. Hampir di setiap event
atau peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan, istilah ini tak pernah ketinggalan.
Bahkan dalam pidato-pidato, pejabat negara sering mengutip kata-kata di atas. Pendeknya Good
Governance telah menjadi wacana yang kian popular di tengah masyarakat.

Meskipun kata Good Governance sering disebut pada berbagai event dan peristiwa oleh berbagai
kalangan, pengertian Good Governance bisa berlainan antara satu dengan yang lain. Ada sebagian
kalangan mengartikan Good Governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja
pemerintahan suatu negara, perusahaan atau organisasial masyarakat yang memenuhi prasyarat-
prasyarat tertentu. Sebagian kalangan lain ada yang mengartikan good governance sebagai
penerjemahan konkret demokrasi dengan meniscayakan adanya civic culture sebagai penopang
sustainabilitas demokrasi itu sendiri.

Masih banyak lagi ‘tafsir’ Good Governance yang diberikan oleh berbagai pihak. Seperti yang
didefinikan oleh World Bank sebagai berikut: Good Governance adalah suatu penyelenggaraan
manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi
dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik
secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political
framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.

Namun untuk ringkasnya Good Governance pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan
pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Good Governance.

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 6


 Prinsip-Prinsip Good Governance
Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya.
Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolok ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya
pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip Good
Governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip Good Governance diurai satu persatu
sebagaimana tertera di bawah ini:

1. Partisipasi Masyarakat
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara
langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka.
Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan
mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.

2. Tegaknya Supremasi Hukum


Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-
hukum yang menyangkut hak asasi manusia.

3. Transparansi
Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan,
lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan
informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.

4. Peduli pada Stakeholder


Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang
berkepentingan.

5. Berorientasi pada Konsensus


Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi
terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok
masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan.

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 7


6. Kesetaraan
Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan
kesejahteraan mereka.

7. Efektifitas dan Efisiensi


Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga
masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.

8. Akuntabilitas
Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat
bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang
berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung
dari jenis organisasi yang bersangkutan.

9. Visi Strategis
Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata
pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang
dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki
pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi
perspektif tersebut.

 Faktor Kunci Good Governance


Pelaksanaan good governance tergantung pada kemampuan untuk menggunakan kekuasan dan
mengambil keputusan sepanjang waktu, dalam spektrum ekonomi, sosial, lingkungan dan sektor-
sektor lainnya. Ini juga terkait dengan kemampuan pemerintahan untuk mengetahui, menengahi,
mengalokasikan sumber daya, menerapkan serta memelihara hubungan-hubungan yang penting.
Meski terdapat banyak rumusan tentang good governance, secara umum ada konsensus tentang
faktor-faktor kuncinya sebagai berikut:

1. Kemampuan Teknis dan Manajerial


Kemampuan teknis dan manajerial para pegawai negeri sipil merupakan faktor yang jelas harus
dimiliki dalam good governance. Pada saat ini, kedua kemampuan ini tidak terlalu menjadi
hambatan lagi, sebagaimana di masa lalu, karena membaiknya tingkat pendidikan, tapi
perubahan yang cepat membutuhkan pengembangan keterampilan yang terus menerus.

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 8


2. Kapasitas Organisasi
Good governance harus dibangun berdasarkan kualitas organisasi, sehingga pengembangannya
dilakukan berdasarkan pada hal ini, bukan hanya pada kemauan politik, maupun kemauan pribadi
seorang pemimpin yang kuat serta kekuasaan negara, yang tidak akan bertahan lama dalam
jangka panjang.

Memiliki jajaran staf yang terampil tidak cukup jika organisasi pemerintahan tidak memiliki
kapasitas untuk memanfaatkan keterampilan ini dengan sebaik-baiknya. Kemampuan organisasi-
organisasi pemerintahan merupakan faktor kunci yang untuk menyiapkan layanan-layanan jasa
bagi kepentingan usaha maupun masyarakat, dan untuk menyiapkan kondisi bagi kemajuan
ekonomi serta kohesi sosial.

Struktur organisasi dan sistem manajemen pemerintahan telah mengalami perubahan di banyak
negara anggota OECD. Masalah yang sering ditemuia adalah sentralisasi yang berlebihan,
ketidakluwesan, serta kurang efisien. Ini dipecahkan terutama dengan menyediakan manajer
serta staf yang memiliki otonomi yang lebih luas dalam hal-hal operasional, dan sebaliknya,
memikul beban tanggungjawab yang lebih besar. Di negara-negara lain, masalahnya muncul
akibat kurangnya peraturan serta rendahnya disiplin administrasi, yang seringkali berkaitan
dengan korupsi. Dalam situasi seperti ini, masalah diatasi dengan memusatkan pemecahannya
pada memperkuat sistem dasar pemerintahan, termasuk meningkatkan birokratisasi pada tahap
tertentu.

3. Kepastian Hukum
Aturan hukum mengacu pada proses kelembagaan untuk menyusun, menafsirkan dan
menerapkan hukum serta aturan-aturan lainnya. Ini berarti keputusan yang diambil oleh
pemerintah harus memiliki dasar hukum dan perusahaan-perusahaan swasta serta masyarakat
dilindungi dari kesewenang-wenangan.

Kepastian hukum memerlukan pemerintahan yang bebas dari insentif-insentif yang distortif,
melalui korupsi, kolusi, nepotisme atau terjebak dalam kepentingan sempit kelompok kepentingan
tertentu; menjamin hak-hak kepemilikan dan pribadi; serta mencapai stabilitas sosial dalam tahap
tertentu. Ini akan memberi kepastian hukum yang penting bagi perusahaan dan masyarakat untuk
mengambil keputusan yang baik.

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 9


Kepastian hukum tidak berarti semakin banyak aturan semakin baik. Rincian aturan yang
berlebihan dapat mengarah pada kekakuan dan mengundang resiko untuk memilih-milih
penerapan aturan tertentu. Penafsiran dan penerapan aturan bagi masyarakat memerlukan
keluwesan sehingga ada alternatif-alternatif dalam derajat tertentu. Keluwesan ini dapat diimbangi
dengan aturan prosedur administrasi, dan peninjauan keputusan oleh pihak-pihak luar seperti
mekanisme banding, peninjauan keputusan pengadilan (judicial review) serta ombudsman.

Kepastian hukum memerlukan stabilitas politik. Pemerintahan harus mampu membuat komitmen-
komitmen yang bisa dipercaya, dan meyakinkan sektor swasta bahwa keputusan-keputusan yang
diambil pada akhirnya tidak akan dicabut akibat ketidakpastian politik. Meski hal ini tidak secara
khusus terkait dengan sistem politik tertentu dalam jangka pendek, dalam jangka panjang
demokrasi meningkatkan stabilitas dengan memberikan pada masyarakat suara untuk
mengekspresikan pilihan-pilihan mereka melalui persaingan yang terbuka.

4. Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban dapat menjadi tujuan -yaitu mencerminkan nilai-nilai demokratik- serta dapat
pula menjadi cara menuju pengembangan organisasi yang lebih efektif dan efisien. Para politisi
serta pegawai negeri sipil memiliki kekuasaan yang besar melalui hukum dan aturan yang mereka
terapkan, sumber daya yang mereka kendalikan serta organisasi yang mereka kelola.
Pertanggungjawaban adalah kunci untuk menjami bahwa kekuasaan ini digunakan secara layak
dan sesuai dengan kepentingan publik. Pertanggungjawaban memerlukan kejelasan tentang
siapa yang bertanggungjawab pada siapa, untuk apa dan bahwa pegawai negeri sipil, organisasi
serta para politisi harus mempertanggungjawabkan keputusan serta kerja mereka.

Pertanggungjawaban dapat diperkuat melalui persyaratan pelaporan formal, dan pengawasan


eksternal, seperti lembaga audit yang mandiri, ombudsmen dll. Pertanggungjawaban demokratis,
sebagaimana yang dicerminkan oleh pertanggungjawaban para menteri pada parlemen, serta
parlemen pada rakyat, dapat dipandang sebagai tujuan demokrasi, namun juga dapat
memperkuat mekanisme pertanggungjawaban secara umum. Banyak negara OECD yang
memperkuat mekanisme pertanggungjawabannya melalui fokus yang lebih besar pada
pertanggungjawaban kinerja, ketimbang membatasi pertanggungjawabab pada aturan-aturan
hukum yang ada pada keputusan yang diambil.

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 10


5. Transparansi dan Sistem Informasi yang Terbuka
Keterbukaan merupakan aspek yang penting dalam good governance, dan pengambilan
keputusan yang transparan penting bagi sektor swasta untuk membuat keputusan serta investasi
yang baik. Pertanggungjawaban dan aturan hukum memerlukan keterbukaan dan informasi yang
baik sehingga jenjang administrasi yang lebih tinggi, pengawas eksternal serta masyarakat umum
dapat melakukan verifikasi terjadap kinerja administrasi pemerintahan dan kesesuaiannya
terhadap hukum.

Pemerintah memiliki akses terhadap banyak informasi penting. Penyebaran informasi melalui
transparansi dan sistem informasi yang terbuka dapat menyediakan informasi-informasi rinci yang
dibutuhkan perusahaan dan masyarakat untuk mengambil keputusan yang baik. Pasar modal,
misalnya, tergantung pada keterbukaan informasi.

6. Partisipasi
Partisipasi dapat mencakup pertemuan-pertemuan konsultasi dalam pengembangan kebijakan
dan pengambilan keputusan serta proses-proses demokratik. Partisipasi memberikan pada
pemerintah akses pada informasi penting tentang kebutuhan dan prioritas orang per orang,
masyarakat serta usaha swasta. Pemerintah, yang mencakup masyarakat, akan berada dalam
posisi yang lebih baik untuk mengambil keputusan dan keputusan tersebut akan memperoleh
dukungan yang lebih besar setelah diambil. Meski tidak ada hubungan langsung antara demokrasi
dan setiap aspek good governance, jelas bahwa pertanggungjawaban, transparansi dan
partisipasi diperkuat oleh demokrasi, dan ketiga faktor ini merupakan pendukung kualitas
demokrasi.

7. Hubungan antara Aspek-aspek Good Governance


Aspek-aspek yang berbeda dalam good governance memiliki hubungan yang rumit satu sama lain.
Dalam banyak hal, beberapa faktor dapat dilihat sebagai prekondisi bagi yang lain. Kemampuan
teknis dan manajerial, sebagai contoh, merupakan prekondisi bagi kemampuan organisasi, dan
kemampuan organisasi merupakan kondisi yang harus ada untuk menegakkan aturan hukum.
Namun, ada pula efek lain yang tidak kalah penting, yang muncul dari arah sebaliknya, misalnya
kemampuan organisasi memperkuat kemampuan teknis dan manajerial, pertanggungjawaban
memperkuat aturan hukum.

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 11


 Pilar-Pilar Good Governance
Good Governance hanya bermakna bila keberadaannya ditopang oleh lembaga yang melibatkan
kepentingan publik. Jenis lembaga tersebut adalah sebagai berikut:

1. Negara
a. Menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil;
b. Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan;
c. Menyediakan public service yang efektif dan accountable;
d. Menegakkan HAM;
e. Melindungi lingkungan hidup;
f. Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik.

2. Sektor Swasta
a. Menjalankan industri;
b. Menciptakan lapangan kerja;
c. Menyediakan insentif bagi karyawan;
d. Meningkatkan standar hidup masyarakat;
e. Memelihara lingkungan hidup;
f. Menaati peraturan;
g. Transfer ilmu pengetahuan dan tehnologi kepada masyarakat;
h. Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM.

3. Masyarakat Madani
a. Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi;
b. Mempengaruhi kebijakan publik;
c. Sebagai sarana cheks and balances pemerintah;
d. Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah;
e. Mengembangkan SDM;
f. Sarana berkomunikasi antar anggota masyarakat.

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 12


 Agenda Good Governance
Good Governance sebagai suatu gerakan adalah segala daya upaya untuk mewujudkan suatu
pemerintahan yang baik. Oleh karena itu gerakan Good Governance harus memiliki agenda yang jelas
tentang apa yang mesti dilakukan agar tujuan utamanya dapat dicapai. Untuk kasus Indonesia,
agenda Good Governance harus disesuaikan dengan kondisi riil bangsa saat ini, yang meliputi:

1. Agenda Politik
Masalah politik seringkali menjadi penghambat bagi terwujudnya Good Governance. Hal ini dapat
terjadi karena beberapa sebab, diantaranya adalah acuan konsep politik yang tidak/kurang
demokratis yang berimplikasi pada berbagai persoalan di lapangan. Krisis politik yang melanda
bangsa Indonesia dewasa ini tidak lepas dari penataan sistim politik yang kurang demokratis.
Oleh karena itu perlu dilakukan pembaharuan politik yang menyangkut masalah-masalah penting
seperti:
a. Amandemen UUD 1945 Sebagai sumber hukum dan acuan pokok penyelenggaraan
pemerintahan;
b. Perubahan Undang-Undang Politik dan Undang-Undang Keormasan yang lebih menjamin
partisipasi dan mencerminkan keterwakilan rakyat;
c. Reformasi agraria dan perburuhan;
d. Penegakan supremasi hukum.

2. Agenda Ekonomi
Krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan
mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh. Mengingat begitu banyak permasalahan
ekonomi di Indonesia, perlu dilakukan prioritas-priotitas kebijakan. Prioritas yang paling mendesak
untuk pemulihan ekonomi saat ini antara lain:
a. Agenda Ekonomi Teknis
Otonomi Daerah. Pemerintah dan rakyat Indonesia telah membuat keputusan politik untuk
menjalankan otonomi daerah yang esensinya untuk memberikan keadilan, kepastian dan
kewenangan yang optimal dalam pengelolaan sumber daya daerah guna memungkinkan
daerah dapat mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya. Agar pelaksanaan otonomi
daerah ini berjalan tanpa gejolak dibutuhkan serangkaian persiapan dalam bentuk strategi,
kebijakan program dan persiapan institusi di tingkat pusat dan daerah.

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 13


Kemiskinan dan Ekonomi Rakyat. Pemulihan ekonomi harus betul-betul dirasakan oleh rakyat
kebanyakan. Hal ini praktis menjadi prasarat mutlak untuk membantu penguatan legitimasi
pemerintah, yang pada giliranya merupakan bekal berharga bagi percepatan proses
pembaharuan yang komprehensif menuju Indonesia baru.

b. Agenda Pengembalian Kepercayaan


Hal-hal yang diperlukan untuk mengembalikan atau menaikkan kepercayaan terhadap
perekonomian Indonesia adalah kepastian hukum, jaminan keamanan bagi seluruh
masyarakat, penegakkan hukum bagi kasus-kasus korupsi, konsistensi dan kejelasan
kebijakan pemerintah, integritas dan profesionalisme birokrat, disiplin pemerintah dalam
menjalankan program, stabilitas sosial dan politik, dan adanya kepemimpinan nasional yang
kuat.

3. Agenda Sosial
Masyarakat yang berdaya, khususnya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan merupakan
perwujudan riil Good Governance. Masyarakat semacam ini akan solid dan berpartisipasi aktif
dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Selain itu masyarakat semacam ini juga
akan menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan
pemerintahan.

Sebaliknya, pada masyarakat yang masih belum berdaya di hadapan negara, dan masih banyak
timbul masalah sosial di dalamnya seperti konflik dan anarkisme kelompok, akan sangat kecil
kemungkinan Good Governance bisa ditegakkan. Salah satu agenda untuk mewujudkan Good
Governance pada masyarakat semacam ini adalah memperbaiki masalah sosial yang sedang
dihadapi.

Masalah sosial yang cukup krusial dihadapi bangsa Indonesia akhir-akhir ini adalah konflik yang
disertai kekejaman sosial luar biasa yang menghancurkan kemanusiaan dan telah sampai pada
titik yang membahayakan kelanjutan kehidupan dalam bentuk kekerasan komunal dan
keterbuangan sosial dengan segala variannya.

Oleh karena itu masyarakat bersama pemerintah harus melakukan tindakan pencegahan
terhadap daerah lain yang menyimpan potensi konflik. Bentuk pencegahan terhadap kekerasan
komunal dapat dilakukan melalui; memberikan santunan terhadap mereka yang terkena korban

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 14


konflik, mencegah berbagai pertikaian vertikal maupun horizontal yang potensial mengorbankan
kepentingan bangsa dan mencegah pula segala bentuk anarki sosial yang terjadi di masyarakat.

4. Agenda Hukum
Hukum merupakan faktor penting dalam penegakan Good Governance. Kekurangan atau
kelemahan sistim hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintahan secara
keseluruhan. Dapat dipastikan, Good Governance tidak akan berjalan mulus di atas sistim hukum
yang lemah. Oleh karena itu penguatan sistim hukum atau reformasi hukum merupakan
kebutuhan mutlak bagi terwujudnya Good Governance.

Sementara itu posisi dan peran hukum di Indonesia tengah berada pada titik nadir, karena hukum
saat ini lebih dianggap sebagai komiditi daripada lembaga penegak keadilan. Kenyataan demikian
ini yang membuat ketidakpercayaan dan ketidaktaatan pada hukum oleh masyarakat.
Untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap hukum dalam rangka mewujudkan
Good Governance diperlukan langkah-langkah kongkret dan sistimatis. Langkah-langkah tersebut
adalah:
a. Reformasi Konstitusi. Konstitusi merupakan sumber hukum bagi seluruh tata penyelenggaran
negara. Untuk menata kembali sistim hukum yang benar perlu diawali dari penataan konstitusi
yang oleh banyak kalangan masih banyak mengandung celah kelemahan.

b. Penegakan Hukum. Syarat mutlak pemulihan kepercayaan rakyat terhadap hukum adalah
penegakan hukum. Reformasi di bidang penegakkan hukum yang bersifat strategis dan
mendesak untuk dilakukan adalah; pertama, reformasi Mahkamah Agung dengan
memperbaiki sistim rekrutmen (pengangkatan), pemberhentian, pengawasan dan penindakan
yang lebih menekankan aspek transparansi dan partisipasi masyarakat. Kedua, reformasi
Kejaksaan. Untuk memulihkan kinerja kejaksaan saat ini khususnya dalam menangani kasus-
kasus KKN dan pelanggaran HAM, perlu dilakukan fit and proper test terhadap Jaksa Agung
dan pembantunya sampai eselon II untuk menjamin integritas pribadi yang bersangkutan.
Selain itu untuk mengawasi kinerja kejaksaan perlu dibentuk sebuah komisi Independen
Pengawas Kejaksaan.

c. Pemberantasan KKN. KKN merupakan penyebab utama dari tidak berfungsinya hukum di
Indonesia. Untuk memberantas KKN diperlukan setidaknya dua cara; pertama dengan cara
mencegah (preventif) dan kedua, upaya penanggulangan (represif). Upaya pencegahan
dilakukan dengan cara memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka (open

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 15


government) dengan memberikan jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati perilaku
pejabat, hak memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
dan hak mengajukan keberatan bila ketiga hak di atas tidak dipenuhi secara memadai.

Sedangkan upaya penanggulangan dapat diatasi dengan mempercepat pembentukan Badan


Independen Anti Korupsi yang berfungsi melakukan penyidikan dan penuntutan kasus-kasus
korupsi, memperkenalkan hakim-hakim khusus yang diangkat khusus untuk kasus korupsi
(hakim ad hoc) dan memperlakukan asas pembuktian terbalik secara penuh.

d. Sumbangan Hukum dalam Mencegah dan Menanggulangi Disintegrasi Bangsa. Pengakuan


identitas terhadap nilai-nilai lokal, pemberian kewenangan dan representasi yang lebih luas
kepada daerah, pemberdayaan kemampuan masyarakat dan akses pengelolaan terhadap
sumber daya alam lokal menjadi isu penting yang sangat stategis di dalam menciptakan
integritas sosial, karena selama lebih dari tiga dekade masyarakat selalu ditempatkan sebagai
obyek, tidak diakui berbagai eksistensinya dan diperlakukan tidak adil. Akumulasi dari
permasalahan tersebut akhirnya menciptakan potensi yang sangat signifikan bagi proses
disintegrasi.

e. Pengakuan Terhadap Hukum Adat dan Hak Ekonomi Masyarakat. Untuk menjamin hak-hak
masyarakat hukum adat, maka diperlukan proses percepatan di dalam menentukan wilayah
hak ulayat adat secara partisipatif. Dengan begitu rakyat akan mendapatkan jaminan di dalam
menguasai tanah ulayat adat mereka dan juga akses untuk mengelola sumber daya alam di
lingkungan dan milik mereka sendiri.

f. Pemberdayaan Eksekutif, Legislatif dan Peradilan. Untuk lebih meningkatkan representasi


kepentingan daerah di tingkat nasional, perlu dilakukan rekomposisi keanggotaan utusan
daerah, di mana keterwakilan rakyat di daerah secara kongkret diakomodasi melalui pemilihan
anggota utusan daerah secara langsung oleh rakyat. Sistim pemilihan langsung juga
dilakukan untuk para pejabat publik di daerah khususnya gubernur, bupati/walikota.

Penerapan penegak hukum harus dilakukan secara kontekstual dengan menggunakan kebijakan
‘selective enforcement’ sehingga keadilan memang berasal dari rasa keadilan yang hidup di
masyarakat.

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 16


2.1.2. KONSEP PELAYANAN PUBLIK

Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara
pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan publik dan pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan penyelenggara pelayanan publik adalah
instansi pemerintah yang meliputi:
 Satuan kerja/satuan organisasi Kementrian;
 Departemen;
 Lembaga Pemerintah Non Departemen;
 Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara;
 Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
 Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
 Instansi Pemerintah lainnya, baik pusat maupun daerah termasuk dinas-dinas dan badan.

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, aparatur pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan
pelayanan yang terbaik kepada masyarakat dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik dari pemerintah karena masyarakat
telah memberikan dananya dalam bentuk pembayaran pajak, retribusi, dan berbagai pungutan lainnya.

Namun demikian, meskipun kewajiban pemberian pelayanan publik terletak pada pemerintah,
pelayanan publik juga dapat diberikan oleh pihak swasta dan pihak ketiga, yaitu organisasi nonprofit,
relawan (volunteer), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Jika penyelenggaraan pelayanan
publik tertentu diserahkan kepada swasta datau pihak ketiga, maka yang terpenting dilakukan oleh
pemerintah adalah memberikan regulasi, jaminan keamanan, kapasitas hukum, dan lingkungan yang
kondusif.

Pelayanan publik yang harus diberikan oleh pemerintah dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori
utama, yaitu:
1. Pelayanan Kebutuhan Dasar
Pelayanan kebutuhan dasar yang harus diberikan oleh pemerintah meliputi kesehatan, pendidikan
dasar dan bahan kebutuhan pokok masyarakat.
a. Kesehatan
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar masyarakat, maka kesehatan adalah hak
bagi setiap warga masyarakat yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar. Setiap negara

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 17


mengakui bahwa kesehatan menjadi modal terbesar untuk mencapai kesejahteraan. Oleh
karena itu, perbaikan pelayanan kesehatan pada dasarnya merupakan suatu investasi
sumberdaya manusia untuk mencapai masyarakat yang sejahtera (welfare society).

Tingkat kesehatan masyarakat akan sangat berpengaruh terhadaptingkat kesejahteraan


masyarakat, karena tingkat kesehatan memiliki keterkaitan yang erat dengan tingkat
kemiskinan. Sementara, tingkat kemiskinan akan terkait dengan tingkat kesejahteraan.
Keterkaitan tingkat kesehatan dengan kemiskinan dapat dilihat pada siklus lingkaran setan
kemiskinan (the vicious circle of poverty). Dalam suatu lingkaran setan kemiskinan tersebut,
terdapat tiga poros utama yang menyebabkan seseorang menjadi miskin, yaitu: 1) rendahnya
tingkat kesehatan; 2) rendahnya pendapatan; dan 3) rendahnya tingkat pendidikan.

b. Pendidikan Dasar
Selain kesehatan, bentuk pelayanan dsar lainnya adalah pendidikan dasar. Sama halny
dengan kesehatan, pendidikan merupakan suatu bentuk investasi sumberdaya manusia.
Masa depan suatu bangsa akan sangat ditentukan oleh seberapa besar perhatian pemerintah
terhadap pendidikan masyarakatnya. Tingkat pendidikan juga berpengaruh terhadap tingkat
kemiskinan karena pendidikan merupakan salah satu komponen utama dalam lengkaran
setan kemiskinan. Oleh karena itu, untuk memotong lingkaran setan kemiskinan salah satu
caranya adalah melalui perbaikan kualitas pendidikan.

c. Bahan Kebutuhan Pokok Masyarakat


Selain kesehatan dan pendidikan yang tersebut di atas, pemerintah juga harus memberikan
pelayanan kebutuhan dasar yang lain, yaitu bahan kebutuhan pokok seperti beras, minyak
goreng, minyak tanah, gula pasir, dan lain-lain.

Dalam hal penyediaan bahan kebutuha pokok, pemerintah perlu menjamin stabilitas harga
kebutuhan pokok masyarakat dan menjaga ketersediaannya di pasar maupun gudang dalam
bentuk cadangan ataupersediaan.

2. Pelayanan Umum
Selain pelayanan kebutuhan dasar, pemerintah sebagai instansi penyedia pelayanan publik juga
harus memberikan pelayanan umum kepada masyarakatnya. Pelayanan umum yang harus
diberikan pemerintah terbagi dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Pelayanan Administratif

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 18


Pelayanan administratif adalah pelayanan berupa penyediaan berbagai bentuk dokumen yang
dibutuhkan oleh publik, misalnya : pembuatan KTP, Sertifikat Tanah, SIM, dll.

b. Pelayanan Barang
Pelayanan barang adalah pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang
menjadi kebutuhan publik, misalnya : jaringan telepon, listrik, air bersih, dll.

c. Pelayanan Jasa
Pelayanan jasa adalah pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan
publik, misalnya : jasa transportasi atau angkutan, dll.

Kemunculan konsep pelayanan publik berhubungan dengan bagaimana peningkatan kapasitas dan
kemampuan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan yang dianggap pokok bagi seluruh anggota
masyarakat. Konsep kebutuhan pokok terus berkembang seiring dengan tingkat perkembangan sosio-
ekonomi masyarakat. Artinya suatu jenis barang dan jasa yang sebelumnya dianggap sebagai barang
mewah dan terbatas kepemilikannya dapat berubah menjadi barang yang pokok diperlukan bagi
sebagian besar lapisan masyarakat. Perkembangan konsep kebutuhan pokok dengan demikian terkait
erat dengan tingkat pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, serta perubahan politik. Hasil-hasil
pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi pada gilirannya harus didistribusikan dan dialokasikan
kepada tiap anggota masyarakat yang turut berpartisipasi dalam mendorong pertumbuhan tersebut.
Fungsi distribusi dan alokasi tersebut dijalankan oleh birokrasi lembaga-lembaga pemerintahan
sebagai wujud dari fungsi pelayanan berdasarkan kepentingan publik yang dilayaninya. Konsep
kepentingan publik itu sendiri didefinisikan melalui pemahaman dibawah ini.

“Something in which the public, the community at large, has some pecuniary interest, or some interest
by which their legalrights or liabilities are affected. It does not mean anything so narrow as mere
curiosity, or as the interest of particular localities”.

Dari pemahaman yang demikian terlihat adanya hak dan pertanggungjawaban yang melekat pada
masyarakat banyak dimana pengertian umum disitu diartikan sebagai public. Perwujudan public
interest itu muncul dalam kaitannya dengan sumber daya dan alokasinya. Proses pengalokasian itu
terwujud dalam jasa pelayanan publik demi terciptanya pemenuhan kebutuhan masyarakat, sehingga
public service didefinisikan sebagai berikut:

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 19


“Enterprises of certain kinds of corporations, which specially serve the needs of the general public or
conduce to comfort and convenience of an entire community… A public service or quasi-public
corporation is one private in its ownership, but which has an appropriate franchise from the state to
provide necessity or convenience of the general public…owe a duty to the public which they may be
complled to perform”.

Karena pelayanan publik terkait erat dengan jasa dan barang dipertukarkan maka penting pula untuk
memasukkan definisi dari public utilities sebagai pelayanan atas komoditi berupa barang atau jasa
dengan mempergunakan sarana milik umum yang dapat dilakukan oleh orang/badan keperdataan.

Pihak yang mengelola alokasi sumber daya bagi kepentingan publik dapat dilakukan oleh badan
birokrasi baik oleh negara maupun swasta melalui kedudukan dan wewenang public office dimana
kedudukan tersebut merupakan bentuk pendelegasian kekuasaan pemerintahan negara kepada
pejabat publik (public official) tertentu. Sementara yang dimaksud dengan pejabat publik (public
official) adalah orang yang menjalankan kedudukan pada jabatan umum tersebut dengan posisinya
sebagai bagian dari penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan negara.

Di Indonesia, banyak dari kantor-kantor pelayanan publik masih berada dibawah birokrasi
pemerintahan sehingga dalam situasi yang demikian birokrasi yang diacu lebih kepada birokrasi
pemerintahan. Secara teoritik ada tiga fungsi yang dijalankan oleh birokrasi yaitu fungsi pelayanan,
fungsi pembangunan, dan fungsi pemerintah umum.

Fungsi pelayanan berhubungan dengan unit organisasi pemerintahan yang pada hakikatanya
merupakan bagian atau berhubungan dengan masyarakat. Fungsi utamanya adalah pelayanan
(service) langsung kepada masyarakat. Lalu fungsi pembangunan berhubungan dengan organisasi
pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang sektor khusus guna mencapai tujuan
pembangunan. Fungsi pokoknya adalah development function atau adaptive function. Yang ketiga
adalah fungsi pemerintah umum berhubungan dengan rangkaian organisasi pemerintahan yang
menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum termasuk memelihara ketertiban dan keamanan.
Fungsinya lebih kepada fungsi pengaturan (regulative function).

Sektor pelayanan publik lebih berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas umum pemerintahan,
kegiatan pemberian berbagai pelayanan umum maupun fasilitas sosial kepada masyarakat seperti
penyediaan pendidikan, kesehatan, pengurusan sampah, air minum, dan sebagainya. Singkatnya
pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh individu atau sekelompok individu dengan

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 20


landasan faktor material melalui sistem, prosedur, metode tertentu dalam usaha memenuhi
kepentingan orang lain sesuai dengan haknya. Apabila mengacu pada aturan pemerintah pelayanan
umum didefinisikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi
pemerintah di tingkat pusat, daerah, dan di lingkungan BUMN dalam bentuk barang atau jasa, baik
dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan
perundang-undangan. Stiglitz memberikan dua elemen yang selalu ada pada setiap pelayanan publik.
Pertama, adanya ketidakmungkinan untuk untuk menjatah (rationing) barang-barang atau jasa-jasa
publik bagi tiap individu. Kedua, apabila hal tersebut mungkin dilakukan maka hal itu amatlah sulit.

Hal penting yang menunjang pelaksanaan fungsi-fungsi tersebut adalah kemampuan dan kapabilitas
birokrasi pemerintah dalam mengelola dan menghasilkan barang dan jasa (pelayanan) yang
ekonomis, efektif, efisien, dan akuntabel kepada seluruh masyarakat. Pelaksanaan fungsi tersebut
idealnya didasarkan pada prinsip equity yang artinya birokrasi pemerintahan tidak boleh memberikan
pelayanan diskriminatif yang memandang masyarakat yang dilayani atas landasan status, pangkat,
dan golongan, meskipun pada kenyataannya di banyak negara berkembang prinsip tersebut masih
diabaikan karena adanya bias birokrasi dan kelas sosial.

Pada tingkat pelaksanaan tidak semua fungsi tersebut harus dikerjakan oleh pemerintah, ada bagian
dari fungsi-fungsi tersebut yang dilaksanakan oleh pihak swasta dengan pola kemitraan. Pola
kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam memberikan berbagai pelayanan kepada
masyarakat tersebut sejalan dengan gagasan reinventing government yang dikembangkan oleh
Osborne dan Gaebler. Oleh karenanya pola kemitraan dalam pelayanan publik tetap memperhatikan
kepuasan dari publik dalam mengkonsumsi barang atau jasa yang disediakan baik oleh swasta
maupun pemerintah seperti gagasan dasar Osborne dan Gaebler.

“… A public service or quasi-public corporation is one private in its ownership, but which has an
appropriate franchise from the state to provide necessity or convenience of the general public…owe a
duty to the public which they may be complled to perform”.

Sementara itu, desain sistem manajemen kinerja sektor publik tidak dapat dipisahkan dari penentuan
standar pelayanan publik. Manajemen kinerja sektor publik belum dikatakan lengkap bila tidak
ditetapkan standar pelayanan publik yang menjadi acuan bagi manajemen dalam bertindak. Standar
pelayanan publik merupakan standar kinerja minimal yang harus dipenuhi oleh organisasi sektor
publik. Dalam rangka memenuhi standar pelayanan publik tersebut, setiap unit pelayanan harus
menerapkan Standar Pelayanan Minimum (SPM).

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 21


Standar pelayanan publik wajib dimiliki oleh institusi penyelenggara pelayanan publik untuk menjamin
diberikannya pelayan yang berkualitas oleh penyedia layanan publik sehingga masyarakat penerima
pelayanan publik merasakan adanya nilai yang tinggi atas pelayanan tersebut. Tanpa adanya standar
pelayanan publik maka akan sangat mungkin terjadi pelayanan yang diberikan jauh dari harapan
publik. Dalam keaadan seperti itu akan timbul kesenjangan harapan (expectation gap) yang tinggi.
Standar pelayanan publik berfungsi untuk memberikan arah bertindak bagi institusi penyedia layanan
publik. Standar tersebut akan memudahkan instansi penyedia layanan untuk menentukan strategi dan
prioritas. Bagai pemerintah sebagai otoritas yang bertanggungjawab atas pelaksanaan pelayanan
publik, penetapan standar pelayanan untuk menjamin dilakukannya akuntabilitas pelayanan publik
sangat penting. Standar pelayanan publik dapat digunakan sebagai alat motivasi untuk selalu
meningkatkan mutu pelayanan. Selain itu, standar pelayanan juga dapat dijadikan selah satu dasar
untuk menghitung besarnya subsidi yang harus diberikan oleh pemerintah untuk pelayan publik
tertentu.

Cakupan pelayanan publik yang harus ditetapkan sekurang-kurangnya maliputi:


1. Prosedur Pelayanan; dalam hal ini harus ditetapkan standar prosedur pelayanan yang dibakukan
bagi pemberi dan penerima pelayanan, termasuk prosedur pengadaan.
2. Waktu Penyelesaian; harus ditetapkan standar waktu penyelesaian pelayanan yang ditetapkan
sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan.
3. Biaya Pelayanan; harus ditetapkan standar biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang
ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan. Hendaknya setiap kenaikan tarif/biaya pelayanan
diikuti dengan peningkatan kualitas pelayanan.
4. Produk Pelayanan; harus ditetapkan standar produk (hasil) pelayanan yang akan diterima sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan harga pelayanan yang telah dibayarkan oleh
masyarakat, mereka akan mendapat pelayanan berupa apa saja. Produk pelayanan ini harus
distandarkan.
5. Sarana dan Prasarana; harus ditetapkan standar sarana dan prasarana pelayanan yang memadai
oleh penyelenggara pelayanan publik.
6. Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan; perlu ditetapkanstandar kompetensi petugas pemberi
pelayanan berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilam, sikap, dan perilaku yang
dibutuhkan.

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 22


2.1.3. PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

Menguatnya hembusan desentralisasi membawa harapan dan tantangan tersendiri bagi proses dan
pencapaian tujuan-tujuan pembangunan kesejahteraan sosial. Berpijak pada argumen bahwa tanpa
Good Governance (tata pemerintahan yang baik), maka desentralisasi akan lebih meminggirkan
pembangunan kesejahteraan sosial. Terutama pada masa transisi dan pencarian makna sejati
desentralisasi, pemerintahan di daerah cenderung lebih bergairah dalam meningkatkan investasi
ekonomi secepatnya daripada melakukan investasi sosial jangka panjang. Tanpa sikap dan komitmen
yang jelas mengenai makna good governance, desentralisasi dapat menimbulkan jebakan-jebakan
bagi strategi dan implementasi pembangunan kesejahteraan sosial di daerah.

Pembangunan kesejahteraan sosial sejatinya adalah segenap strategi dan aktifitas yang dilakukan
oleh pemerintah, dunia usaha, maupun civil society untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia
melalui kebijakan dan program yang bermatra pelayanan sosial, penyembuhan sosial, perlindungan
sosial dan pemberdayaan masyarakat.

Seperti kata Jones, tujuan pembangunan kesejahteraan sosial, yang pertama dan utama, adalah
penanggulangan kemiskinan dalam segala bentuk manifestasinya (Suharto, 2005). Maknanya,
meskipun pembangunan kesejahteraan sosial dirancang guna memenuhi kebutuhan publik yang luas,
target utamanya adalah para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), yakni mereka yang
termasuk kelompok kurang beruntung (disadvantaged groups), seperti orang miskin, anak-anak dan
wanita korban tindak kekerasan, anak jalanan, pekerja anak, orang dengan kemampuan berbeda
(difabel), serta kelompok rentan dan marjinal lainnya. Pemberdayaan masyarakat, rehabilitasi sosial,
bantuan sosial, asuransi sosial, jaring pengaman sosial, dan penguatan kapasitas kelompok marjinal
adalah beberapa contoh program pembangunan kesejahteraan sosial.

Di negara-negara maju, terutama yang menganut ideologi ‘kesejahteraan negara’ (welfare state),
pembangunan kesejahteraan sosial merupakan wujud dari kewajiban negara (state obligation) dalam
menjamin hak-hak dasar warga negara.

Di Indonesia, meskipun konstitusinya secara de jure (legal-formal) merujuk pada sistem kesejahteraan
negara, implementasi dari pembelaan negara terhadap hak-hak fakir miskin, anak telantar dan
penyelenggaraan jaminan sosial masih dihadapkan beragam tantangan.

Selain pemahaman dan komitmen penyelenggara negara terhadap pembangunan kesejahteraan

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 23


sosial masih belum solid, faham neo-liberalisme yang mengedepankan kekuatan pasar, investasi
modal finansial, dan pertumbuhan ekonomi agregat dianggap lebih menjanjikan kemakmuran
dibandingkan dengan pendekatan kesejahteraan sosial yang mengedepankan keadilan sosial,
investasi sosial dan penguatan kapasitas sumberdaya manusia. Desentralisasi yang terutama
digerakan oleh globalisasi pada aras internasional dan reformasi pada aras nasional, mencuatkan isu-
isu yang mempengaruhi perkembangan kesejahteraan sosial di daerah.

Good governance, tata pemerintahan yang baik, menunjuk pada kompetensi kelembagaan dalam
mengelola sumberdaya alam dan manusia secara akuntabel, transparan dan responsif terhadap
kebutuhan-kebutuhan anggotanya. Good governance dapat dilihat dari adanya proses, mekanisme
dan lembaga-lembaga yang mampu mengartikulasikan kepentingan-kepentingan, hak-hak dasar,
tanggungjawab dan perbedaan-perbedaan warga masyarakat (AUSAID, 2006; van der Hoeven, 2006).
Good governance tidak hanya berkaitan dengan peran negara dan pemerintah saja, melainkan pula
dengan peran civil society dan dunia usaha.

Good governance adalah prasyarat penting dalam mencapai keberhasilan pembangunan yang
berkelanjutan. Banyak negara yang memiliki sumberdaya alam dan struktur sosial yang relatif sama
telah menunjukkan kemampuan yang berbeda dalam mensejahterakan rakyatnya, dikarenakan
perbedaaan dalam standar good governance di negara yang bersangkutan.

Dengan kata lain, poor governance, tata pemerintahan yang buruk, menghambat pembangunan. Di
negara-negara yang ditandai oleh tingginya korupsi, rendahnya kontrol anggaran publik, lemahnya
akuntabilitas, dan banyaknya pelanggaran hak azasi manusia, ternyata pembangunan ekonomi
maupun kesejahteraan sosialnya sangat rendah. Ada dua kata kunci dalam good governance, yaitu
legitimasi dan akuntabilitas.

Legitimasi menunjuk pada kapasitas atau kompetensi sebuah institusi (pemerintah, civil society
maupun dunia usaha) dalam menciptakan lingkungan politik dan kelembagaan untuk melindungi hak
azasi manusia, menghargai prinsip-prinsip demokrasi dan aturan hukum, serta menjamin kelompok-
kelompok kurang beruntung dalam masyarakat, termasuk anak-anak, wanita, orang miskin dan
kelompok rentan lainnya.

Akuntabilitas berkaitan dengan kapasitas sebuah institusi dalam mengelola sumberdaya alam dan
manusia serta perangkat-perangkat ekonomi dan finansial secara bertanggungjawab, terukur dan

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 24


responsif terhadap kebutuhan publik. Akuntabilitas juga menyentuh aspek efisiensi dalam
menyediakan pelayanan publik.

Desentralisasi sesungguhnya membawa angin segar bagi tumbuhnya demokrasi dan partisipasi warga
dalam segenap aktivitas pembangunan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesetaraan antar
golongan, memperluas keadilan sosial dan memperbaiki kualitas kehidupan rakyat banyak. Konsep
tentang demokrasi representatif dan partisipatoris, misalnya, lebih mudah diterapkan di tingkat
pemerintahan daerah, karena skala kedaerahan dan kedekatannya dengan komunitas lokal.
Namun dalam kenyataannya, suara-suara yang terdengar dari realisasi desentralisasi itu tidak terlalu
memuaskan. Umumnya, argumentasi pesimis menyatakan bahwa desentralisasi hanya memperkuat
elit-elit lokal, menyuburkan primordialisme, ‘men-daerahkan KKN’ dan ‘meng-KKN-kan daerah’.
Bahkan argumentasi yang lebih pesimis lagi menyatakan bahwa desentralisasi menyulut disintegrasi
bangsa.

Meskipun pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
desentralisasi seringkali hanya menguntungkan penguasa dan pengusaha setempat, bukan
memperhatikan suara dan kepentingan kaum marginal. Sebagaimana dikemukakan Gaventa (2005:
12), hambatan-hambatan kekuasaan, pengucilan sosial, kecilnya kemampuan individu dan kapasitas
organisasional kolektif menyebabkan rakyat kecil hanya menikmati sangat sedikit dari desentralisasi.
Mengutip pengamatan Manor, Gaventa menyatakan “…belum ada bukti tentang elite lokal yang lebih
bijak dan baik hati ketimbang orang-orang yang berada di atasnya.”

Sejumlah penelitian memberi pesan jelas mengenai kian lebarnya kesenjangan antara rakyat biasa,
terutama kaum miskin dengan lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupan mereka, khususnya
pemerintah. Ini terjadi bukan hanya di negara-negara selatan, melainkan pula di utara (Gaventa,
2005). Berdasarkan penelitian partisipatoris di 23 negara, laporan Bank Dunia, World Development
Report (2000), misalnya, menyajikan paparan mengenai Voices of the Poor (suara-suara orang
miskin) yang menemukan bahwa sebagian besar rakyat miskin di berbagai belahan dunia memandang
institusi-institusi besar, terutama lembaga-lembaga negara, sangat berjarak, tidak bertanggungjawab,
dan korup. Seperti dipaparkan Narayan dkk, riset tersebut memberi kesimpulan sebagai berikut:

”Menurut sudut pandang rakyat miskin di berbagai belahan dunia, krisis sedang terjadi dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Walaupun ada begitu banyak institusi yang berperan penting dalam
kehidupan rakyat miskin, kaum miskin tersebut tetap tersisih dari peluang untuk berpartisipasi dalam
pemerintahan. Lembaga-lembaga negara, entah itu yang diwakili oleh kementerian-kementerian di

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 25


tingkat pusat ataupun pemerintah-pemerintah daerah, seringkali tidak responsif atau tak
bertanggungjawab terhadap rakyat miksin; lebih dari itu, laporan tersebut juga membeberkan arogansi
dan penghinaan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara terhadap rakyat miskin. Celakanya,
rakyat miskin tak menemukan jalan lain kecuali menjadi korban ketidakadilan, kriminalitas,
penyalahgunaan kekuasaan, dan korupsi yang dilakukan oleh institusi-institusi tersebut. Tak heran,
kaum lelaki dan perempuan miskin tidak percaya pada institusi-isntitusi negara, meskipun mereka
mengakui masih ingin bermitra dengan lembaga-lembaga itu berdasarkan aturan-aturan main yang
lebih adil” (Gaventa, 2005: 2-3).

Suara-suara orang miskin yang dilaporkan Bank Dunia bukanlah satu-satunya temuan mengenai
kekecewaan warga negara terhadap pemerintahan mereka. Penelitian lain yang dilakukan
Commonwealth Foundation (1999) di lebih dari 40 negara juga menemukan hal serupa. Korupsi
merajalela, respon terhadap kebutuhan rakyat miskin sangat kurang dan tidak ada partisipasi atau
hubungan antara pemerintah dengan warga negara biasa. Bukti empiris ini menunjukkan bahwa
semakin banyak perhatian harus diberikan pada cara-cara meningkatkan akuntabilitas dan daya
responsif institusi-institusi pemerintahan melalui perubahan desain kelembagaan dan pemberdayaan
struktur-struktur pemerintahan yang baik (good governance). Tanpa good governance, maka
desentralisasi dapat menimbulkan berbagai jebakan yang menghambat pembangunan, khususnya di
bidang kesejahteraan sosial. Beberapa jebakan desentralisasi tersebut yaitu:

1. Money follows function atau function follows money? Idealnya, UU Pemerintahan Daerah
berpedoman pada prinsip money follows function, uang mengikuti kewenangan. Artinya, otonomi
daerah tidak ditentukan oleh seberapa besar Pendapatan Asli Daerahnya (PAD), melainkan oleh
kemampuannya menjalankan kewenangan sesuai dengan kebutuhan. Setiap daerah
dipersilahkan menentukan kewenangannya masing-masing. Namun dalam prakteknya, prinsip
function follows money seringkali lebih dominan. Pemda yang memiliki prosentase PAD yang
besar terhadap APBD-nya, memiliki kewenangan yang besar. Sebaliknya, Pemda yang memiliki
PAD yang rendah memiliki otonomi yang rendah pula. Bahkan, jika PAD-nya hanya 5 atau 10
persen saja dari APBD, Pemda dianggap tidak layak memiliki otonomi. Akibatnya, perlombaan
meningkatkan PAD lebih mengemuka ketimbang menjalankan (apalagi meningkatkan) kewajiban
memberi pelayanan dasar dan perlindungan sosial bagi publik.

2. Pembangunan ekonomi dulu baru kemudian pembangunan kesejahteraan sosial. Keragaman


sumberdaya manusia dan potensi ekonomi daerah kerapkali menimbulkan pandangan
generalisasi bahwa pembangunan kesejahteraan sosial hanya perlu dilakukan oleh daerah-

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 26


daerah yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi. Desentralisasi yang memberi kewenangan
lebih luas pada daerah, kemudian dijadikan momentum untuk memangkas anggaran dan institusi-
institusi sosial dan bahkan meniadakannya sama sekali. Alasannya: pembangunan kesejahteraan
sosial dianggap boros dan karenanya baru perlu dilakukan apabila pertumbuhan ekonomi (PAD)
telah tinggi. Padahal, studi di beberapa negara menunjukkan bahwa kemampuan ekonomi tidak
secara otomatis dan linier berhubungan dengan pembangunan kesejahteraan sosial (Suharto,
2005a).

3. Godaan lokalisme dan primordialisme. Sudah menjadi rahasia umum, di beberapa daerah,
institusi-institusi kesejahteraan sosial digabung, dirampingkan atau dihapus dengan alasan
disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Tanpa menghiraukan konsepsi dan substansi
kesejahteraan sosial yang benar, ada suatu daerah yang menggabungkan bidang kesejahteraan
sosial dengan urusan kebakaran, pasar atau pemakaman. Di daerah yang lain lagi,
primordialisme yang terlalu dominan tidak jarang mengesampingkan prinsip meritokrasi dan
kompetensi sumberdaya kesejahteraan sosial. Dalam banyak kasus, lembaga-lembaga
kesejahteraan sosial dipandang sebagai pos yang bisa diisi oleh siapa saja dengan latar belakang
pendidikan dan pengalaman yang tidak relevan sekalipun.

Sebagaimana pengamatan Fung dan Wright (Gaventa, 2005), kemerosotan legitimasi institusi-institusi
negara sangat menguntungkan kaum ‘kanan’ untuk meningkatkan serangan terhadap pentingnya
pembangunan kesejahteraan sosial. Deregulasi, swastanisasi, pengurangan pelayanan sosial,
pemotongan anggaran negara telah menjadi rumus utama desentralisasi, bukannya peningkatan sikap
responsif dan bentuk-bentuk investasi negara yang lebih demokratis dan partisipatoris. Reinventing
government, yakni mengubah pemerintah untuk berperilaku seperti perusahaan swasta, dianggap
sebagai ‘obat’ paling mujarab guna mengubah perilaku pemerintah agar lebih baik (good governance).
Faktanya, teramat banyak perusahaan swasta yang bangkrut dan membangkrutkan pemerintah.

Respon terhadap tuntutan good governance seharusnya tidak terfokus pada pelucutan wewenang dan
kewajiban negara dalam menjamin hak-hak dasar warganya, melainkan pada upaya memperkuat
strategi pembangunan kesejahteraan sosial dan mencari bentuk-bentuk baru sistem
pengoperasiannya. Dalam pusaran desentralisasi dan good governance, pemerintah dan aparatur
pemerintah tetap merupakan aktor penting dalam menjalankan proses dan praktek pengelolaan
organisasi serta perancangan kebijakan-kebijakan publik. Sebagaimana dinyatakan Rossenbaum
(2006: 1), terlepas dari banyaknya kritik terhadap tata pemerintahan dewasa ini, negara dan
pemerintah tetap merupakan institusi yang paling kuat dan penting dalam masyarakat. Seberapa

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 27


besar dan berpengaruhnya seorang individu, sebuah perusahaan swasta atau organisasi sosial,
mereka pada akhirnya harus tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan lebih tegas
lagi, faktanya, pemerintah adalah satu-satunya lembaga di masyarakat manapun yang memiliki
legitimasi untuk mengambil kepemilikan, kebebasan dan bahkan kehidupan warganya.
Menurut Anthony Giddens (2000), dalam pembaharuan pembangunan kesejahteraan sosial, sudah
saatnya para pelaku pemerintahan mengembangkan jalan alternatif pembangunan kesejahteraan
sosial yang berpijak pada prinsip-prinsip demokrasi sosial. Mengacu pada Giddens (2000: 54), peran
pemerintah daerah dalam pembangunan kesejahteraan sosial diantaranya adalah:
 Mengatur pasar menurut kepentingan publik dan menjaga persaingan pasar manakala monopoli
mengancam kepentingan publik. Dengan demikian, selain ‘ramah pasar’ ( market friendly),
pemerintah juga perlu, dan ini yang lebih penting, ‘ramah rakyat’ (people friendly);
 Menciptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka dimana isu-isu kebijakan sosial bisa
didiskusikan secara bebas;
 Menyediakan sarana bagi perwakilan kepentingan-kepentingan yang beragam dan memfasilitasi
sebuah forum rekonsiliasi dan sinergi bagi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing ini;
 Menyelenggarakan beragam pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan warganya, termasuk
bentuk-bentuk perlindungan dan kesejahteraan kolektif;
 Mendukung perkembangan sumberdaya manusia dan mengambil peran penting dalam
penetapan kebijakan investasi sosial dalam bidang jaminan kesehatan, pendidikan dan pelatihan
vokasional.

Pasar tidak dapat menggantikan peran pemerintah dalam menjalankan daftar kegiatan di atas, begitu
pula gerakan-gerakan sosial maupun organisasi swadaya masyarakat lainnya, betapa pun besar dan
signifikannya mereka. Merajut kembali jalinan antara pemerintah daerah dan warganya memerlukan
metode yang melampaui pendekatan ‘masyarakat sipil’ maupun ‘pendekatan berbasis negara’
sehingga ditemukan fokus pada titik temu kedua belah pihak. Agenda ini melibatkan sedikitnya tiga
prasyarat utama, yaitu adanya:
1. Transparansi dalam manajemen pelayanan kemanusiaan yang responsif dan fokus pada
masalah-masalah sosial yang spesifik dan nyata;
2. Profesionalisasi dalam penetapan SDM kesejahteraan sosial berdasarkan prinsip meritokrasi
yang menghargai kualifikasi dan kompetensi pekerjaan sosial kontemporer;
3. Partisipasi dan pelibatan beragam pemangku kepentingan (stakeholders) dalam segenap
prencanaan, implementasi dan evaluasi pelayanan sosial.

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 28


2.2. MANAJEMEN BERBASIS KINERJA

Tekanan terhadap organisasi sektor publik, khususnya organisasi pemerintah baik pusat dan daerah
serta perusahaan milik pemerintah, dan organisasi sektor publik lainnya untuk memperbaiki kinerjanya
mendorong dibangunnya sistem manajemen organisasi sektor publik yang berbasis kinerja
(performance-based management). Kemunculan manajemen berbasis kinerja merupakan bagian dari
reformasi New Public Management yang dilakukan oleh negara-negara maju di Eropa dan Anglo-
Amerika sejak tahun 1980-an. Fokus manajemen berbasis kinerja adalah pengukuran kinerja
organisasi sektor publik yang berorientasi pada pengukuran outcome (hasil), bukan lagi sekedar
pengukuran input atau output saja. Beberapa pihak menyebut manajemen publik yang berorientasi
pada hasil tersebut dengan rama ‘result-oriented government’ (ROM). Osborne dan Gaebler (1992, ch.
5) menyebutnya dengan istilah ‘result-oriented governement’ yaitu pemerintahan yang membiayai
outcome bukan input.

Pendekatan manajemen berbasis kinerja ditandai dengan munculnya teori-teori organisasi dan
manajemen seperti model Classical Organization Theory, Scientific Management, City Manager
Movement, Performance Budgeting atau Budgeting for Results (BFR), PPBS, Zero Based Budgeting,
Management by Objectives (MBO), Management by Results, Result-Oriented Management (RPM),
Program Evaluation, dan yang terakhir adalah Reinventing Government (Davis dan Larkey, 1980:
Orsborne dan Gaebler, 1992).

Pemerintah selama beberapa dekade telah bergulat dengan pengukuran input (means measure)
bukan outcome (ends measure). Pembahasan antara eksekutif dan legislatif hanya berkutat pada
anggaran dan realisasi anggaran. Pengukuran demikian hanya berfokus pada penjelasan bagaimana
sibuknya pemerintah, namun tidak menjelaskan mengenai dampak nyata aktivitas pemerintah
terhadap masyarakat. Padahal bagi masyarakat yang terpenting adalah hasilnya (outcome). Hal itu
tidak berarti pengukuran input tidak penting bagi pemerintah. Pemerintah perlu mengukur input,
misalnya berapa banyak anggaran yang dibelanjakan dan apa yang telah dilakukan. Namun demikian,
apabila pengukuran kinerja hanya berfokus pada input dan output saja (anggaran dan realisasinya),
bukan outcome, manfaat dan dampak terhadap masyarakat, maka akibatnya organisasi sektor publik

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 29


tidak akan mampu melihat keberadaanya sendiri bahwa ia ada untuk melayani masyarakat (Smith,
1996; Schacter, 1999).

Pengukuran kinerja dan manajemen berbasis kinerja merupakan dua hal yang berkaitan satu sama
lain. Akuntabilitas kinerja dapat dicapai apabila organisasi sektor publik memiliki manajemen kinerja
yang baik dan pengukuran yang baik. Osborne dan Gaebler (1992, pp. 146-154) menyatakan bahwa
pengukuran kinerja memiliki kekuatan yang sangat besar kaitannya dengan konsep pemerintah yang
beorientasi pada hasil (results-oriented government).

Pentingnya pengukuran kinerja tersebut dinyatakan dalam kalimat sebagai berikut:


i. Apa yang dapat diukur, dapat dilakukan (What gets measure gets done);
ii. Jika anda tidak mengukur hasil, anda tidak bisa mengenali keberhasilan dan kegagalan (If you
don’t measure result, you can’t tell success from failure);
iii. Jika anda tidak dapat melihat keberhasilan, anda tidak dapat memberi imbalan ( If you can’t see
success, you can’t reward it) ;
iv. Jika anda tidak dapat memberi imbalan atas keberhasilan, anda mungkin memberi imbalan atas
kegagalan (If you can’t rewards success, you’re probably rewarding failure);
v. Jika anda tidak dapat melihat keberhasilan, anda tidak dapat belajar darinya (If you can’t see
success, you can’t learn form it);
vi. Jika anda tidak dapat mengenali kegagalan, anda tidak dapat memperbaikinya ( If you can’t
recognize failure, you can’t correct it);
vii. Jika anda dapat menunjukkan hasil, anda dapat memperoleh dukungan publik (If you can
demonstrate results, you can win public support).

Pada akhirnya, Manajemen Berbasis Kinerja merupakan suatu metode untuk mengukur kemajuan
program atau aktivitas yang dilakukan organisasi sektor publik dalam mencapai hasil atau outcome
yang diharapkan oleh klien, pelanggan, dan stakeholder lainnya. Dalam Performance Management
Handbook Departemen Energi USA, manajemen berbasis kinerja didefinisikan sebagai berikut:

“Performanced-based management is a systematic approach to performance improvement


through an ongoing process of establishing strategic performance objectives; measuring
performance; collecting, analyzing, reviewing, and reporting performance data; and using
that data to drive performance improvement”

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 30


(Manajemen berbasis kinerja merupakan suatu pendekatan sistematik untuk memperbaiki
kinerja melalui proses berkelanjutan dalam penetapan sasaran-sasaran kinerja strategik;
mengukur kinerja; mengumpulkan; menganalisis; menelaah; dan melaporkan data kinerja;
serta menggunakan data tersebut untuk memacu perbaikan kinerja).

Berdasarkan definisi tersebut, kata kunci manajemen berbasis kinerja, yaitu:


1. Proses yang sistematik;
2. Untuk memperbaiki kinerja;
3. Melalui proses berkelanjutan dan berjangka panjang;
4. Meliputi penetapan sasaran kinerja strategik;
5. Mengukur kinerja;
6. Mengumpulkan, menganlaisis, menelaah, dan melaporkan data kinerja;
7. Menggunakannya untuk perbaikan kinerja secara berkelanjutan.

Manajemen kinerja membutuhkan proses sistematis. Untuk itu, perlu dibuat desain sistem manajemen
kinerja yang tepat untuk mencapai kinerja optimal. Sistem merupakan serangkaian prosedur, langkah
atau tahap yang tertata dengan baik. Demikian juga sistem manajemen kinerja sektor publik juga
mengandung prosedur, langkah dan tahapan yang membentuk suatu siklus kinerja. Tahap-tahap
sistem manajemen kinerja tersebut meliputi (Mahmudi SE., MSi. Ak., 2005):
1. Tahap Perencanaan Kinerja;
2. Tahap Pelaksanaan Kinerja;
3. Tahap Penilaian Kinerja;
4. Tahap Review Kinerja;
5. Tahap Perbaikan Kinerja.

2.3. PENETAPAN PARAMETER

Secara umum, penetapan parameter pembangunan Kota Serang tetap mengacu serta memperhatikan
keselarasan dan keterkaitannya dengan parameter-parameter pembangunan di tingkat nasional dan
juga provinsi. Hal tersebut diupayakan agar tercipta sinergitas dan konsistensi pembangunan
khususnya dalam kerangka pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan baik pada level nasional
(makro) maupun daerah (mikro).

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 31


Sebagai salah satu landasan/pedoman penyelenggaraan pemerintahan daerah, Undang-Undang No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mengamanatkan bahwa tujuan penyelenggaraan
pemerintahan daerah adalah untuk “Mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui:
Peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat; serta Peningkatan daya saing
daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI”.

Secara diagramatis, alur/kerangka pemikiran pengukuran kinerja penyelenggaraan pemerintahan


daerah berdasarkan Undang-Undang 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, disajikan sebagai
berikut:

Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah

Sebagai bentuk operasionalisasi dari kerangka pencapaian tujuan pembangunan sebagaimana


diamanatkan Undang-Undang 32/2004 tersebut, maka beberapa lembaga nasional telah menyusun
beberapa parameter beserta indikatornya masing-masing untuk mengukur keberhasilan pembangunan

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 32


di daerah berdasarkan pendekatan-pendekatan tertentu, seperti pendekatan kemajuan otonomi
daerah, pendekatan penyelenggaraan otonomi daerah dan pendekatan indeks pembangunan daerah.

Tabel 2.2
Indikator Kemajuan Otonomi Daerah
NO. PARAMETER INDIKATOR SUB INDIKATOR
1. Skala Kehidupan Pertumbuhan Pertumbuhan Pendapatan
Ekonomi Pertumbuhan Investasi
Pertumbuhan Kesempatan Kerja
Pemerataan Distribusi Pendapatan
Pemerataan Akses Modal
Kesinambungan Daya Dukung Lingkungan
Daya Dukung Manusia Berkeahlian
Pemberdayaan Pemberdayaan Ekonomi Lemah
Pemberdayaan Ekonomi Lokal
2. Layanan Publik Efisiensi Keterpaduan Birokrasi
Sanitari Birokrasi
Sufisiensi Ketersediaan Kebutuhan Dana Sosial
Ketersediaan Infrastruktur
Fasilitasi Fasilitasi Partisipasi Sosial
Kesetaraan Gender
Fasilitasi Resolusi Konflik
3. Resiko-resiko Lokal Keamanan Keamanan Hak Sipil
Keamanan Hak Politik
Keamanan Hak Ekonomi
Stabilitas Kesinambungan Politik
Kesehatan Makro Ekonomi
Integrasi Sosial
Demokrasi Supremasi Hukum
Kontrol dan Pertimbangan
Pertanggungjawaban Politik
Kebebasan Pers
Otonomi Kemandirian Daerah
Lokalisme Lokal

Tabel 2.3
Pengukuran Kinerja Penyelenggaraan Otonomi Daerah

NO. PARAMETER UMUM INDIKATOR


1. Derajat Kesejahteraan Umum Ekonomi Pertumbuhan ekonomi daerah :
 Tingkat Pendapatan rata-rata Perkapita Per
Tahun (PDRB atau Net Income)
Sosial  Penurunan angka pengangguran terbuka
 Kenaikan angka partisipasi kerja
 Penurunan Indeks Kemiskinan Manusia
(IKM)
 Kenaikan Indeks Pembangunan Manusia
(IPM)

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 33


NO. PARAMETER UMUM INDIKATOR
2. Derajat Pelayanan Publik Infrastruktur Jaringan jalan :
 Rasio panjang jalan dengan luas wilayah
 Rasio panjang jalan dengan kondisi tidak
rusak per panjang jalan keseluruhan
 Rasio panjang jalan dengan jumlah
kendaraan umum roda 4
Sanitasi :
 Penurunan peresentase penduduk tanpa
akses terhadap sanitasi

Kebutuhan Dasar Kesehatan :


 Penurunan angka kematian bayi
 Penurunan angka kematian ibu
 Rasio jumlah penduduk dengan
 Jumlah rumah sakit dan fasilitas kesehatan
lainnya
Pendidikan :
 Rasio jumlah murid per jumlah sekolah
 Rasio jumlah murid per jumlah guru
 Rasio jumlah guru per jumlah sekolah
 Angka partisipasi sekolah
 Penurunan angka putus sekolah
 Nilai rata-rata Ebta Murni/UAN

Air Bersih :
 Akses terhadap air bersih

Transportasi Umum :
 Rasio jumlah kendaraan umum roda 4 per
10.000 penduduk

Pemerintahan Kepegawaian :
 Rasio jumlah penduduk dengan jumlah PNS
Pemda

Keuangan :
 Rasio PAD dengan jumlah penduduk

3. Derajat Kehidupan Demokrasi Politik Pemilu :


Lokal
 Rasio jumlah pemilih yang melakukan
pemilihan dengan jumlah penduduk yang
mempunyai hak pilih
 Komposisi Parpol Dalam Pemilu
 Rasio jumlah Partai Politik pemenang Pemilu
Lokal yang memperoleh kursi di Legislatif
dengan jumlah seluruh Partai Politik peserta
Pemilu Lokal

Angka Kejadian Politik Praktis Massa :


 Kejadian Politik Praktis Massa/Demo dalam
satu tahun

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 34


Tabel 2.4
Indeks Pembangunan Daerah
KRITERIA SUB-KRITERIA INDIKATOR
(BOBOT) (BOBOT) (BOBOT)
1. Keberdayaan Kapabilitas aparat (0,46)  Presentase jumlah desa yang memiliki kepala
Pemerintah (0,36) desa yang berpendidikan SMA keatas
 Rasio jumlah aparat terhadap jumlah
penduduk
 Rasio jumlah PAD per PNS
Keuangan daerah (0,32)  Rasio PAD terhadap total PDRB non-migas
 Rasio pengeluaran pembangunan terhadap
total pengeluaran daerah
 Rasio transfer pusat terhadap penerimaan
daerah
Sarana dan prasarana (0,22)  Rasio belanja non-pegawai terhadap
pengeluaran rutin daerah
 Jumlah saluran telepon per 100 penduduk
 Luas wilayah per jumlah desa/kelurahan
2. Perkembangan Fasilitas publik (0,49)  Rasio tingkat pelayanan kesehatan terhadap
Wilayah (0,22) jumlah penduduk
 Rasio jumlah SMU/sederajat terhadap
penduduk usia sekolah SMU/sederajat
 Rasio panjang jalan terhadap luas wilayah
3. Keberdayaan Ekonomi wilayah (0,28)  PDRB per kapita
Masyarakat (0,42)  Inceremental capital output ratio -Rasio jumlah
desa yang memiliki bank/BPR terhadap jumlah
desa
Kondisi fisik (0,23)  Rasio luas kawasan lindung terhadap total
luas wilayah
 Rasio jumlah desa terkena pencemaran air
terhadap jumlah desa
 Rasio jumlah desa terkena pencemaran udara
terhadap jumlah desa
Kependudukan dan  Tingkat partisipasi angkatan kerja
ketenagakerjaan (0,23)  Rasio tenaga kerja manufaktur terhadap
industri non-manufaktur
 Rasio tenaga kerja tamatan SLTA terhadap
total tenaga kerja
Kesejahteraan masyarakat  Prosentase penduduk miskin
(0,52)  Angka kematian bayi per 1000 kelahiran hidup
 Konsumsi non makan per total konsumsi
Sosial, politik dan budaya  Rasio jumlah desa yang mempunyai
(0,24) LMD/BPD atau lembaga sejenis terhadap
jumlah desa
 Rasio jumlah desa yang memiliki kegiatan
sosial/kemasyarakatan terhadap jumlah desa
 Rasio jumlah desa yang mengalami tindak
kriminal terhadap jumlah desa

Survei Parameter Pembangunan Kota Serang II - 35

Anda mungkin juga menyukai