1. Pendahuluan
Dalam teori pemerintahan, secara garis besar dikenal adanya dua model dalamformasi
negara, yaitu model negara federal dan model negara kesatuan. Model negarafederal
berangkat dari satu asumsi dasar bahwa ia dibentuk oleh sejumlah negara atauwilayah
independen, yang sejak awal memiliki kedaulatan atau semacam kedaulatanpada dirinya
masing-masing. Negara-negara atau wilayah-wilayah itu yang kemudianbersepakat membentuk
sebuah federal. Negara dan wilayah pendiri federasi itu kemudianberganti status menjadi
negara bagian atau wilayah administrasi dengan nama tertentudalam lingkungan federal.
Dalam negara kesatuan, asumsi dasarnya berbeda secaradiametrik dari negara federal. Formasi
negara kesatuan dideklarasikan saat kemerdekaanoleh pendiri negara dengan mengklaim
seluruh wilayahnya sebagai bagian dari suatunegara. Tidak ada kesepakatan para penguasa
daerah, apalagi negara-negara, karenadiasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk
didalamnya bukanlah bagian-bagianwilayah yang bersifat independen. Dengan dasar itu, maka
negara membentuk daerah-daerah atau wilayah-wilayah yang kemudian diberi kekuasaan atau
kewenangan olehpemerintah pusat untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya.
Diasumsikanbahwa negara adalah sumber kekuasaan. Kekuasaan daerah pada dasarnya
adalahkekuasaan pusat yang didesentralisasikan, dan selanjutnya terbentuklah daerah-
daerahotonom (Andi A. Mallarangeng & M. Ryaas Rasyid, 1999)
Otonomi daerah yang berkembang saat ini telah menjadi wacana berbagai
lapisanmasyarakat. Banyak terjadi
“bias”antara tataran teoritik dan tataran praktik. Salah satubias yang paling mencolok
adalah pengertian bahwa otonomi daerah hanya merupakanpersoalan mewujudkan
kemandirian daerah (kabupaten dan kota) baik dalam mengelolauang maupun urusannya
sendiri. Dengan kecenderungan tersebut maka fokus perhatiankabupaten dan kota hanya
kepada seberapa besar dana, sumber dana, dan urusan yangdiserahkan oleh pemerintah pusat
kepada kabupaten dan kota. Memperhatikan fenomenatersebut maka dalam konteks
kepentingan kabupaten dan kota, pengertian otonomidaerah perlu diletakkan dalam kerangka
dan substansi yang proporsional. Pelaksanaanotonomi daerah harus mampu memberikan
pelayanan publik yang optimal kepadaseluruh masyarakat, sehingga pada akhirnya mampu
mewujudkan kesejahteraanmasyarakat. Isu tentang otonomi daerah tidak dapat dipisahkan dari
isu desentralisasikarena pemberian otonomi kepada daerah bersumber dari kebijakan
desentralisasi.
2. Pembahasan
2.1. Desentralisasi: Konsep & Aplikasi Dalam Penyelenggaraan ManajemenPemerintaha
n di IndonesiaSetiap negara memiliki fungsi-fungsi tertentu sebagai upaya untuk
mencapaitujuan negara. Menurut Pratikn (2006), terdapat 3 fungsi yang di miliki oleh negara
yaitu:fungsi pelayanan public
Rondinelli (1981)
organisasi yangberada di luar struktur pemerintah pusat dan hanya secara tidak
langsung dikontrol olehpemerintah pusat .
good governance
mulai dari akar rumput politik. Dengan demikian, setiapkeputusan harus dibicarakan
bersama dan pelaksanaan dari keputusan itudidesentralisasikan menjadi elemen penting dalam
proses demokratisasi. Kebijakan desentralisasi yang melahirkan otonomi daerah adalah salah
satu bentuk implementasidari kebijakan demokratisasi. Berarti tidak ada demokrasi
pemerintahan tanpa desentralisasi
Dalam negara yang berbentuk kesatuan tidak mungkin ada daerah yang bersifat
“staat ”. Konsekuensinya adalah timbul hubungan hukum antara pemerintah pusat dan
Dalam sistem sentralisasi semua kewenangan ada pada pemerintah pusat, yangberarti
semua daerah terkooptasi oleh pemerintah pusat. Dalam sistem desentralisasiterjadi
penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah. Daerah
yangmendapat kewenangan mengatur rumah tangganya sendiri disebut
daerah otonom.Pemberian otonomi kepada daerah pada hakekatnya merupakan manifestasi
darisistem desentralisasi dalam pemerintahan di suatu negara. Konsep desentralisasi itusendiri
didalam ilmu administrasi publik merupakan sebuah pendekatan dan teknikmanajemen yang
berkenaan dengan fenomena tentang pendelegasian wewenang dantanggung jawab
(delegation of authority and responsibility ) dari tingkat pemerintahan yanglebih tinggi kepada
tingkat yang lebih rendah. Kebijakan desentralisasi menyangkutperubahan hubungan
kekuasaan di berbagai tingkat pemerintahan. Namun terdapatperbedaan pandangan diantara
para ahli tentang pengertian yang tercakup dalam konsepdesentralisasi. Sebagaimana
dikemukakan oleh Siedentopf (1987), desentralisasi adalahsuatu istilah yang memiliki
pengertian atau konotasi yang berbeda bagi masyarakat yangberbeda atau bagi masyarakat
yang sama dalam situasi atau konteks yang berbeda.Menurut Bird dan Vaillancort 1998), ada
tiga variasi desentralisasi berkaitan denganderajat kemandirian pengambilan keputusan yang
dilakukan daerah. Pertama,desentralisasi berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam
lingkunganpemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah atau ke pemerintah daerah.
Kedua,delegasi berhubungan dengan suatu situasi, yaitu daerah bertindak sebagai perwakilan
pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga,adalah
devolusi (pelimpahan) yakni berhubungan dengan suatu situasi yang bukan sajaimplementasi
tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan,berada di daerah.
tingkat daerah. Dengan kata lain, local government adalah wadah yang
pada council dan major (dewan dan kepala daerah) yang rekrutmen
Dalam arti ini, local government sama dengan pemerintahan daerah, yaitu
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Nah, dengan pengertian ini,
cabang dan fungsi yudikatif (Antoft dan Novack, 1998). Istilah legislatif dan eksekutif
juga tidak lazim digunakan pada local government. Istilah yang lazim digunakan dalam local
government adalah fungsi pembentukan kebijakan (policy making function) lembaganya yang
disebut council dan fungsi pelaksanaan kebijakan (policy executing function) yang lembaganya
disebut local bureaucrate. Fungsi pembentukan kebijakan dilakukan oleh pejabat yang dipilih
melalui pemilu, sedangkan fungsi pelaksanaan kebijakan dilakukan oleh pejabat yang
diangkat/birokrat lokal (Bhenyamin Hoessein, 2001: 10). Dalam UU Nomor 22/1999, DPRD
disebut sebagai badan legislatif daerah. Sesuai dengan penjelasan, istilah ini tidak tepat karena
badan legislatif hanya terdapat pada pemerintah pusat, yaitu DPR. DPRD bukan anak DPR,
tetapi lembaga pembuatan kebijakan untuk urusan pemerintahan yang didesentralisaikan.
Dalam UU Nomor 23/2014, DPRD tidak disebut sebagai badan legislatif daerah, tetapi sebagai
badan pembuat peraturan daerah. Local government dalam pengertian ketiga, yaitu sebagai
daerah otonom (local self-government). Hal tersebut dapat disimak dalam definisi yang
diberikan oleh The United Nations Division of Public Administration, yaitu subdivisi politik
nasional yang diatur oleh hukum dan secara substansial mempunyai kontrol atas urusan-urusan
lokal, termasuk kekuasaan untuk memungut pajak atau memecat pegawai untuk tujuan
tertentu. Badan pemerintah ini secara keseluruhan dipilih atau ditunjuk secara lokal (United
Nations, 1961: 11). Dalam pengertian ini, local government memiliki otonomi (lokal) dalam arti
self-government, yaitu mempunyai kewenangan mengatur (rules making = regeling) dan
mengurus (rules aplication = bestuur) kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri. Dalam istilah administrasi publik, masing-masing wewenang tersebut lazim disebut
wewenang membentuk kebijakan (policy making) dan wewenang melaksanakan kebijakan
(policy executing) (Bhenyamin Hoessein, 2002). Mengatur merupakan perbuatan menciptakan
norma hukum yang berlaku umum. Dalam konteks otonomi daerah, norma hukum tertuang
dalam peraturan daerah dan peraturan KDH yang bersifat pengaturan. Adapun mengurus
merupakan perbuatan yang menerapkan norma hukum yang berlaku umum pada situasi
konkret dan individual (beschikking) atau perbuatan material berupa pelayanan dan
pembangunan objek tertentu (Bhenyamin Hoessein, 2002). Hal inilah yang disebut dengan
otonomi daerah, yaitu dimilikinya daerah otonom yang mengatur dan mengurus urusan lokal
yang menjadi kewenangannya. Namun demikian, menurut Harris, pemerintahan daerah (local
self-government) adalah pemerintahan yang diselenggarakan oleh badan-badan daerah yang
dipilih secara bebas dengan tetap mengakui supremasi pemerintahan nasional. Pemerintahan
ini diberi kekuasaan, diskresi (kebebasan mengambil kebijakan), dan tanggung jawab tanpa
dikontrol oleh kekuasaan yang lebih tinggi. De Guzman dan Taples menyebutkan unsur-unsur
pemerintahan daerah sebagai berikut. 1. Pemerintahan daerah adalah subdivisi politik dari
kedaulatan bangsa atau negara. 2. Pemerintahan daerah diatur oleh hukum. 3. Pemerintahan
daerah mempunyai badan pemerintahan yang dipilih oleh penduduk setempat. 4.
Pemerintahan daerah menyelenggarakan kegiatan berdasarkan peraturan perundangan. 5.
Pemerintahan daerah memberikan pelayanan dalam wilayah yurisdiksinya
3. Penutup
4. Daftar Pustaka
Andi A. Mallarangeng & M. Ryaas Rasyid. 1999. “Otonomi dan Federalisme” dalam St.
Sularto dan T Jakob Koekerits (penyunting).
. Jakarta: Kompas.
Baharuddin Tjenreng, 1990. “Masalah Hak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangga
Sendiri Dalam
Ot
Mills, Anne. 1991. “Isu dan Konsep Desentralisasi”, dalam Anne Mills dkk. (editor).
”. Makalah