Anda di halaman 1dari 26

Konsep Desentralisasi, Dekonsentrasi Dan Otonomi Daerah

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis urgensi desentralisasi,


dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagai asas otonomi daerah NKRI.
Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang bersifat preskriptif dengan
menggunakan studi kepustakaan. Hasil penelitian menunjukan bahwa
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan sangat penting guna menjaga
keutuhan NKRI. Ketiga asas tersebut menjadi jembatan kemandirian daerah
dengan tetap di bawah binaan dan pengawasan pemerintah pusat, sehingga
pemerintahan tidak terpusat (sentral) pada satu sisi dan di sisi lain daerah juga
tidak “terlepaskan” sebagaimana negara bagian dalam negara yang berbentuk
federasi.

Kata Kunci : Desentralisasi, Dekonsentrasi, Otonomi Daerah


Abstract

This article aims to analyze the urgency of decentralization,


deconcentration and co-administration as the regional autonomy principle of
NKRI. This research is a prescriptive normative research using literature study.
The results show that decentralization, deconcentration and co-administration are
very important to maintain the integrity of NKRI. These three principles become
the bridge of regional independence under the guidance and supervision by the
central government, so the government is not centered on one side and on the
other side, the region also not "liberated" as states within a federal state.

Keywords: regional autonomy, decentralization, deconcentration, co-


administration
1. PENDAHULUAN
Negara Kesatuan merupakan bentuk negara yang berdasarkan
kesepakatan perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia (UUDNRI 1945) sampai kapanpun tidak akan diubah. Dalam rangka
menyelenggarakan pemerintahan daerah, diupayakan pelaksanaannya berdasarkan
prinsip otonomi daerah. Hal ini supaya penyelenggaraan pemerintahan dapat
menjangkau sampai dengan daerah-daerah terjauh dari pusat pemerintahan. Setiap
daerah otonom yang melaksanakan fungsi dan prinsip otonomi daerah memiliki
pemerintah daerah yang menyelenggarakan pemerintahan daerah.
Penyelenggaraan urusan Pemerintahan daerah dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD
NRI 1945, hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU No. 23 Tahun
2014). Pengaturan dalam UU No. 23 Tahun 2014 tersebut sejatinya merupakan
amanah pengaturan Pemerintahan Daerah dalam konstitusi, yakni Pasal 18 UUD
NRI 1945, yang berbunyi:
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan
undang-undang.
2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan.
3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum.
4. Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan
daerah provinsi kabupaten, dan kota di[ilih secara demokratis.
5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat.
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturanperaturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan Pemerintah Daerah diatur dalam
undang-undang.
Selain itu, pasal berikutnya yakni Pasal 18A UUD NRI 1945
mengamanatkan tentang hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi,
kabupaten serta kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan
kekhususan dan keragaman daerah. Hubungan keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam, serta sumber daya lainnya antara pemerintah
pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang. (Mustanir & Jaya, 2016)
Pengaturan dalam kedua pasal tersebut sekaligus apa yang diatur dalam
undang-undang organiknya, dalam penerapan memiliki implikasi “ikutan” yakni
adanya hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
otonom, terdapat pelimpahan maupun penyerahan beberapa urusan dari pusat ke
daerah sampai dengan kemandirian yang coba untuk dibangun di daerah-daerah
otonom. Adanya penyerahan atau pelimpahan urusan dari pusat ke daerah juga
diakui sebagaimana UU No. 23 Tahun 2014 mengartikan apa itu otonomi daerah,
yakni hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Mustanir & Abadi, 2017)
Sedangkan untuk daerah otonom diartikan sebagai kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Baik penyerahan maupun pelimpahan urusan dari Pemerintah
Pusat ke Pemerintah Daerah Otonom sesungguhnya harus benar-benar diatur
secara serius, melihat bahwasannya negara kita konsisten untuk mempertahankan
bentuk negara kesatuan, maka konsep yang harus dibangun dalam hal hubungan
kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus diatur
sedemikian rupa sehingga tidak sampai mengancam kedaulatan dan keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, sekalipun daerah diberikan hak untuk
bertumbuh secara mandiri. Atau paling tidak, jangan sampai penerapan otonomi
daerah nantinya, justru menghasilkan tarik menarik hubungan yang kemudian
memunculkan apa yang oleh Bagir Manan (1994 : 22-23), disebut dengan spanning
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. (Mustanir et al., 2019)

2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Medebewind
1. Definisi Desentralisasi
Sebagai konsep, desentralisasi tumbuh dan berkembang seiring
dengan tuntutan dan kebutuhan negara demorkasi sejak lama. Konsep
desentralisasi baru banyak diperdebatkan, khususnya di negara-negara
sedang berkembang pada tahun 1950-an. Pada periode ini dapat dikatakan
sebagai “gelombang” pertama konsep desentralisasi telah mendapat
perhatian khusus, dan telah diartikulasikan sebagai konsep yang paling
relevan untuk memperkuat dan memberdayakan penyelenggaraan
pemerintahan lokal. (Mustanir, Yasin, et al., 2018)
Gelombang kedua gerkana desentralisasi, utamanya di negara-negara
sedang berkembang adalah pada akhir tahun 1970-an. Desentralisasi adalah
asas penyelenggaraan pemerintahan yang dipertentangkan dengan
sentralisasi. Desentralisasi menghasilkan pemerintahan lokal, disana
terjadi “...a superior government – one encompassing a large
jurisdiction – assigns responsibility, authority, or function to „lower‟
govenment unit – one cencompassing a smaller jurisdiction – that is
assumed to have some degree of authonomy.” (Ibrahim et al., 2020)
Adanya pembagian kewenangan serta tersedianya ruang gerak yang
memadai untuk memaknai kewenangan yang diberikan kewenangan yang
diberikan kepada unit pemerintahan yang lebih rendah (pemerintah lokal),
merupakan perbedaan terpenting antara konsep desentralisasi dan
sentralisasi. Namun perbedaan konsep yang jelas ini menjadi remang-
remang tatkala diterapkan dalam dinamika pemerintahan yang sebenarnya.
Aneka bentuk desentralisasi pada dasarnya dapat dibedakan menurut
tingkat peralihan kewenangan. Kewenangan untuk merencanakan,
memutuskan, dan mengatur dari pemerintahan pusat ke lembaga-lembaga
yang lain. Ada empat bentuk utama desentralisasi, yaitu (1) dekonsentrasi,
(2) delegasi ke lembaga-lembaga semi-otonom atau antar daerah, (3)
pelimpahan kewenangan (devolusi) ke pemerintah daerah, dan (4)
peralihan fungsi dari lembaga-lembaga negara ke lembaga swadaya
masyarakat. (Jamal et al., 2020)
2. Definisi Dekonsentrasi
Definisi dekonsentrasi adalah diartikan sebagai pelimpahan
sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah
Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi
vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota
sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. (Sapri, S.,
Mustanir, A., Ibrahim, M., Adnan, A. A., Wirfandi, 2019)
Dekonsentrasi (Belanda: deconcentratie, Prancis: déconcentration)
adalah sebuah kegiatan penyerahan berbagai urusan
dari pemerintahan pusat kepada badan-badan lain. Sumber lain
menjelaskan bahwa dekonsentrasi itu merupakan pelimpahan wewenang
dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Hal ini tercantum di dalam
Undang-undang No. 5 Tahun 1974. Kemudian ketika sudah diterima oleh
badan-badan lain yang telah diberi wewenang oleh pemerintah maka
ketika badan-badan itu melakukan pelaksanaan tugasnya harus menuruti
segala petunjuk pemerintah pusat dan bertanggung jawab kepadanya.
(Ahmad Mustanir1, Hariyanti Hamid2, 2019)
Dekonsentrasi sebenarnya berasas sentralisasi (pemusatan)
berlawanan dengan desentralisasi. Sistem ini banyak dipakai
di Prancis.[1] Di Indonesia terutama dijalankan di kalangan inspektorat-
inspektorat perpajakan, kesehatan, pertanian, dan sebagainya. (Andi
Uceng, 2019)
Di Indonesia Penyelenggaraan Dekonsentrasi ini diatur di dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2001 yang
berisi tentang pembagian wilayah dan wewenang yang harus dijalankan
oleh badan-badan dari pemerintahan tersebut. Dalam peraturan ini tentang
wilayah dan wewenang Gubernur berbunyi: Provinsi mempunyai
kedudukan sebagai Daerah otonom sekaligus adalah Wilayah administrasi
yaitu Wilayah kerja Gubernur untuk melaksanakan fungsi-fungsi
kewenangan yang dilimpahkan kepadanya. (Mustanir & Rusdi, 2019)
Berkaitan dengan itu maka Kepala daerah Otonom disebut
Gubernur yang berfungsi pula selaku Kepala Wilayah Administrasi dan
sekaligus sebagai wakil Pemerintah. Gubernur selain pelaksana asas
desentralisasi juga melaksanakan asas dekonsentrasi. Besaran dan isi
dekonsentrasi harus mempunyai sifat dekat dengan
kepentingan masyarakat dan bermakna sebagai upaya mempertahankan
dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan pemberdayaan,
menumbuhkan prakarsa, dan kreativitas masyarakat serta
kesadaran nasional. (Siriattakul et al., 2019)
Oleh sebab itu Gubernur memegang peranan yang sangat penting
sebagai unsur perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di samping
itu pertimbangan dan tujuan diselenggarakannya asas dekonsentrasi yaitu:
a. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan,
pengelolaan pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum;
b. Terpeliharanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya
dalam sistem administrasi negara;
c. Terpeliharanya keserasian pelaksanaan pembangunan nasional;
d. Terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia

3. Definisi Medebewind
Arti medebewind atau zelfbestuur merupakan pemberian
kemungkinan pemerintah pusat atau pemerintah daerah untuk meminta
bantuan kepada pemerintah daerah lainnya. (Fitrah et al., 2021)
Mengutip dari jurnal bertajuk Urgensi Desentralisasi,
Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan dalam Menjamin Keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Anajeng Esri Edhi Maharani,
medebewind dapat dilakukan hanya kepada pemerintah dengan tingkatan
yang lebih rendah. (Sulaeman et al., 2019)
Di Indonesia, medebewind dikenal dengan tugas pembantuan yang
biasa ditujukan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom. Tujuannya
untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintah pusat dan daerah. Bagir Manan (2004) dalam jurnal tersebut
menjelaskan, urusan rumah tangga yang dibantu dalam tugas pembantuan
hanya mencakup tata cara penyelenggaraan urusan pemerintahan.
Sedangkan substansinya tetap berada pada satuan pemerintahan yang
dibantu. (Rappang & Sulawesi, 2017)
Pemberian medebewind dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan,
dan pelayanan umum.Tugas pembantuan dilakukan dengan prinsip
otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Hal itu sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar (UUD) NKRI 1945. (Akhmad et al., 2006)
Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah juga menegaskannya. Pengaturan dalam undang-
undang yang sama merupakan amanah pengaturan mengenai pemerintahan
daerah dalam konstitusi. Tidak jarang masyarakat Indonesia juga keliru
membedakan medebewind atau tugas bantuan dengan dekonsentrasi.
(Surya Adi Tama & Wirama, 2020)
Menurut jurnal Urgensi Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas
Pembantuan dalam Menjamin Keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia oleh Anajeng Esri Edhi Maharani, tugas pembantuan adalah
penugasan dari pemerintah kepada daerah dan atau desa atau sebutan lain.
Kewajibannya yakni melaporkan dan mempertanggungjawabkan
pelaksanaan tugas pembantuan kepada pihak yang menugaskan. (Mustanir,
Hamid, et al., 2020)
Penyelenggaraan medebewind memberikan konsekuensi terhadap
pengaturan pendanaan. Semua urusan pemerintahan yang sudah
diserahkan menjadi kewenangan pemerintah daerah harus didanai dari
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Sedangkan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah harus didanai dari
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) melalui bagian anggaran
kementerian atau lembaga. (Mustanir & Jusman, 2016)
Dana tugas pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN dan
dilaksanakan oleh daerah maupun desa. Itu mencakup semua penerimaan
dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Pendanaan
tugas pembantuan membiayai kegiatan yang bersifat fisik dan ditujukan
kepada gubernur/bupati/wali kota selaku kepala daerah otonom. (Kholifah
R & Mustanir, 2019)

B. Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah


Ada lima prinsip penyelenggaraan pemerintah daerah yaitu:
1. Prinsip Kesatuan Otonomi daerah harus menunjang aspirasi perjuangan
rakyat untuk memperkokoh negara kesatuan dan mempertinggi tingkat
kesejahteraan masyarakat lokal.
2. Prinsip Riil dan tanggung jawab Otonomi daerah nyata dan bertanggung
jawab untuk kepentingan seluruh masyarakat. Pemda berperan mengatur
proses pemerintahan dan pembangunan daerah.
3. Prinsip Penyebaran Asas desentralisasi dan dekonsentrasi bermanfaat untuk
masyarakat melakukan inovasi pembangunan daerah.
4. Prinsip Keserasian Daerah otonom mengutamakan aspek keserasian dan
tujuan di samping aspek demokrasi
5. Prinsip Pemberdayaan Tujuan otonomi daerah adalah bisa meningkatkan
daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di daerah. Utamanya
dalam aspek pelayanan dan pembangunan masyarakat. Selain itu dapat
meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.

C. Dasar-Dasar Hukum Otonomi Daerah


Dasar hukum dilaksanakan otonomi daerah adalah UUD 1945, Pasal
18, 18A, dan 18B Tap MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan
Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya
Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
dalam Kerangaka NKRI Tap MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi
Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah UU No. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Pemerintah Daerah. (Latif, Mustanir, & ir, 2019)

3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau doktrinal, yaitu
penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (Peter Mahmud,
2014:55-56). Dalam penelitian ini penulis hendak meniliti perihal urgensi
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan dalam menjamin keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifat penelitian ini adalah sifat penelitian
yang bersifat preskriptif. (Ahmad mustanir, monalisa ibrahim, Muhammad rusdi,
2016)
Pendekatan penelitian yang dipakai penulis dalam penulisan hukum ini
adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan pustaka. Pendekatan
undang-undang digunakan untuk melakukan telaah terhadap UUD NRI 1945, UU
No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana diubah oleh UU No.
9 Tahun 2015. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan
sekunder yang berkaitan dengan Hukum Tata Negara. (Mustanir, Ali, et al., 2020)
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan.
Selanjutnya teknis analisis bahan hukumnya mengunakan metode deduktif yang
berpangkal dari premis mayor berupa pengaturan mengenai otonomi daerah dan
asas-asasnya dalam negara kesatuan Indonesia sebagaimana diatur dalam UUD
NRI 1945 maupun undang-undang pemerintahan daerah. Dan diajukan premis
minor yaitu relevansi antara asas-asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan dalam menjaga keutuhan, kemudian dianalisis dan ditarik kesimpulan
(conclusio) apakah asas-asas tersebut memiliki urgensi atau manfaat bagi
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Mustanir & Yasin, 2018)

4. Hasil Penelitian dan Pembahasan


1. Kajian Otonomi Daerah
Penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanah Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berimplikasi pada
kebijakan politik hukum yang ditempuh oleh pemerintah terhadap
pemerintahan daerah sehingga dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya
saing daerah, dengan mempertimbangkan prinsip demokrasi, pemerataan,
keadilan, keistimewaan, dan kekhususan daerah dalam sistem NKRI (Siswanto
Sunarno, 2009 : 2). (Mustanir, Dema, et al., 2018)
Istilah otonomi merupakan pemenggalan dua kata yang berasal dari
Yunani yakni autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti undangundang.
Secara sederhana dapat dikatakan otonomi bermakna membuat perundang-
undangan sendiri (zelfwetgeving), namun dalam perkembangan saat ini konsep
otonomi mencakup pemerintahan sendiri (zelfbestuur) Lebih lanjut, pandangan
otonomi dimaknai sebagai tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara
membagi wewenang, tugas, dan tanggung jawab mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan antara pusat dan daerah (Ni’matul Huda, 2010 : 83-84).
Selanjutnya Ni’matul Huda (2010 : 84) juga menerangkan bahwa:
Otonomi daerah kemudian dimaknai sebagai pemberian wewenang kepada
daerah yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan
sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah berdasarkan asas desentralisasi. Mencermati hal tersebut, bahwa
pelaksanaan otonomi daerah harus akuntabel dan sejalan dengan tujuan dan
tidak bertentangan dengan cita-cita nasional. (Latif, Mustanir, & Irwan, 2019)
Penyelenggaraan otonomi daerah juga harus selalu berorientasi pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan
kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu,
penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan
antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Artinya, mampu membangun
kerja sama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan
mencegah ketimpangan antardaerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa
otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi
antardaerah dengan pemerintah. Artinya, harus mampu memelihara dan
menjaga keutuhan wilayah negara dan tegaknya NKRI dalam rangka
mewujudkan tujuan negara. (Ar et al., 2021)
Otonomi daerah, pada dasarnya bukanlah tujuan melainkan alat bagi
terwujudnya cita-cita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat. Kebijakan
otonomi daerah yang berorientasi kepada kepentingan rakyat tidak akan pernah
terwujud apabila pada saat yang sama agenda demokratisasi tidak berlangsung.
Dengan kata lain, otonomi daerah yang di satu sisi bisa meminimalisasi konflik
Pusat-Daerah, dan di sisi lain dapat menjamin cita-cita keadilan, demokrasi,
dan kesejahteraan bagi masyarakat lokal, hanya dimungkinkan di dalam
kerangka besar demokratisasi kehidupan bangsa di bidang politik, hukum, dan
ekonomi. (Mustanir, Fitriani, et al., 2020)
Ini berarti bahwa otonomi daerah harus diagendakan sebagai bagian yang
tak terpisahkan dari demokratisasi kehidupan bangsa, seperti restrukturisasi
lembaga perwakilan serta sistem pemilihan bagi eksekutif dan legilsatif;
penegakan hukum; dan pemberdayaan masyarakat lokal. (Mustanir,
Jermsittiparsert, et al., 2020)
2. Hubungan Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan dalam
Menjamin Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam UU No. 23 Tahun 2014, telah diatur mengenai asas-asas yang
kemudian dianut dalam Pemerintah Daerah di Indonesia dewasa ini. Penulis
mengambil definisi masing-masing asas dengan meminjam definisi dari
undang-undang Pemerintahan Daerah tersebut. Desentralisasi diartikan sebagai
penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah
otonom berdasarkan Asas Otonomi. (Mustanir, Justira, et al., 2018)
Untuk definisi dekonsentrasi adalah diartikan sebagai pelimpahan
sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu, dan/atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai
penanggung jawab urusan pemerintahan umum. Sedangkan, tugas pembantuan
adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk
melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah
kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah provinsi. Membahas tentang desentralisasi,
penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui sistem desentralisasi yang
berinti pokok atau bertumpu pada otonomi sangat mutlak dalam negara
demokrasi. Ditegaskan, bahwa prinsip universal dari demokrasi adalah “dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.
Melalui prinsip tersebut dikembangkan sistem pemerintahan
terdesentralisasi sebagai anak kandung demokrasi. Esensi desentralisasi adalah
“memecahkan masalah setempat, dengan cara setempat, dan oleh orang
setempat”. Melalui desentralisasi, lebih banyak rakyat – baik secara langsung
maupun melalui wakil-wakilnya di parlemen – dilibatkan dalam proses
perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan publik untuk kepentingan
masyarakat. Dengan cara demikian, rakyat akan lebih merasa ikut memiliki
negara atau daerah karena mereka dilibatkan secara aktif sejak awal, terutama
dalam menyusun kebijakan publik yang menyangkut kepentingan mereka(Sadu
Wasistiono dan Yonatan, 2009 : 6).
Adanya pilihan pada pemencaran kekuasaan penyelenggaraan
pemerintahan negara, yakni adanya kekuasaan pemerintahan pusat dan
kekuasaan pemerintahan daerah dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, didasarkan pada tujuan supaya jangkauan pemerintahan akan lebih
adil dan merata mengingat luas wilayah Indonesia dari Sabang sampai
Merauke serta meninjau kondisi geografis yang berkepulauan, sehingga
pengawasan dan pembangunan daerah akan lebih dapat terjangkau melalui
pemencaran kekuasaan ini. Penyerapan aspirasi dan kehendak rakyat oleh
DPRD, dan penyelenggara kebijakan pemerintahan oleh Kepala Daerah,
dimaksudkan agar permasalahan daerah setempat dapat diselesaikan secara
efektif dan efisien oleh pemerintah yang memang memiliki kewenangan di
daerah.
Desentralisasi diartikan juga bukan hanya sekedar pemencaran kekuasaan,
tetapi juga mengandung pengertian pembagian wewenang untuk mengatur dan
mengurus penyelenggaraan pemerintahan negara antara pemerintah pusat
dengan satuan-satuan pemerintahan tingkatan lebih rendah.Dalam hal
hubungan kewenangan pemerintah pusat dengan daerah ditunjukkan bahwa
kewenangan yang dipegang pemerintah pusat bersifat nasional sedangkan
kewenangan yang diserahkan kepada daerah bersifat lokal kedaerahan (Hanif
Nurcholis, 2006).Melalui desentralisasi, wewenang atau urusan pemerintahan
dapat dibagi-bagi oleh Pemerintah Pusat kepada Daerah.Dalam hal ini terdapat
urusan-urusan wajib yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan ada
pula urusan konkuren bahkan pilihan yang dapat dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah.
Dengan adanya desentralisasi, pemerintah diharapkan dapat menjadi
motor penggerak untuk memberdayakan orang-orang di daerah. Desentralisasi
tidak dapat disalahtafsirkan untuk memperlemah peran pemerintah pusat,
sebaliknya, dengan penerapan desentralisasi yang efektif diperlukan
pemerintahan yang kuat.Faktanya, negara-negara yang menjadi pemenang
dalam kompetisi global adalah negara-negara yang dapat menerapkan
pemerintahannya berdasarkan prinsip-prinsip desentralisasi. Dengan kata lain,
desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan adalah kata kunci yang tidak
terelakkan dalam suatu negara yang ingin menjadi pemenang dalam persaingan
global dan peningkatan pelayanan masyarakat(Siswanto Sunarno, 2009 : 12).
Desentralisasi setidaknya memiliki dua peran untuk masyarakat, yang
pertama meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan yang kedua tujuan politik
pembangunan.Melalui desentralisasi, pembangunan kesejahteraan masyarakat
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi daerah. Melalui desentralisasi pula,
masyarakat daerah akan merasa diikutsertakan dalam pembangunan daerahnya,
baik secara langsung maupun melalui wakil rakyat dan kepala daerah pilihan
masyarakat sendiri, sehingga akhirnya akan terbentuk civil society yang
berdaya saing baik dengan daerah yang lain maupun dunia internasional. Akan
tetapi perlu diingat desentralisasi yang notabenenya merupakan asas
penyerahan urusan dari pemerintah pusat kepada daerah untuk mengurus
rumah tangganya sendiri, tidak serta merta dapat dimaknai bahwa daerah bebas
melaksanakan kewenangan yang diberikan kepadanya tanpa kendali dari
pemerintah pusat.
Dengan kata lain, seluas apapun kewenangan yang diberikan Pemerintah
Pusat, namun tetap berada dalam ranah pengaturan perundang-undangan yang
lebih tinggi. Peraturan perundang-undangan di atas peraturan daerah dalam
hierarki peraturan perundang-undangan, dimaksudkan sebagai patokan bagi
daerah untuk melaksanakan urusan-urusan yang dimiliki, khususnya dalam
pembentukan peraturan daerah yang merupakan bentuk legalitas
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini tentunya sangat berhubungan
dengan konsep awal bentuk negara kesatuan, tetap menghendaki setiap daerah
otonom selaras dengan tujuan negara dalam hal penyelenggaraan pemerintahan
daerah-nya.
C.W. van der Pot dalam M. Laica Marzuki (2006 : 161), memahami
konsep otonomi daerah sebagai eigen huishouding (menjalankan rumah
tangganya sendiri). Menyelenggarakan rumah tangga sendiri berarti
menjalankan suatu kepercayaan/amanah dari pemerintah pusat atas dasar
desentralisasi, asas otonomi dan tugas pembantuan. Memiliki kewenangan
untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, bukan berarti daerah berada
terpisah dari pemerintahan pusat. Prinsip eigen huishouding melahirkan konsep
otonomi di setiap peraturan perundang-undangan. Pada prinsipnya, UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengandung otonomi yang nyata,
bertanggungjawab dan dinamis. S.H. Sarundjang sebagaimana dikutip oleh J.
Nadeak (2015 : 6), menjelaskan hal tersebut sebagi berikut:
Otonomi yang nyata maksudnya adalah pemberian urusan daerah
disesuaikan dengan faktor-faktor tertentu yang hidup dan berkembang secara
objektif di daerah. Otonomi yangbertanggung jawab, harus diwujudkan dengan
keselarasan dan keserasian tujuan otonomi dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat dengan turut berpartisipasi untuk
mewujudkan hak-hak rakyat di daerah. Otonomi yang dinamis menghendaki
agar pelaksanaan otonomi senantiasa menjadi sarana yang dapat membuat
perubahan yang lebih baik dari masa yang lalu dalam meningkatkan kualitas
pelayanan dan pendapatan daerah.
Adanya asas desentralisasi yang memberikan kebebasan daerah untuk
mengurus rumah tangganya sendiri dengan tetap dibatasi merupakan
konsekuensi mutlak dan wajar dalam negara kesatuan, sebagaimana dalam
negara kesatuan yang tidak menghendaki adanya negara dalam negara. Untuk
itu, dalam penyelenggaraan otonomi daerah, asas desentralisasi ini juga
dilengkapi dengan adanya asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang
menunjukkan masih adanya hubungan timbal balik antara pusat dan daerah
yang melahirkan adanya hubungan kewenangan dan pengawasan. Selain
karena konsekuensi negara kesatuan yang tidak mungkin menggunakan asas
desentralisasi murni, dekonsentrasi dan tugas pembantuandiselenggarakan
karena memang tidak semua wewenangdan tugas pemerintahan dapat
dilakukandengan rnenggunakan asas desentralisasi.
Dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah berdasar asas
dekonsentrasi, sebenarnya merupakan suatu konsekensi bahwa Pemerintah
Pusat harus bertanggungjawab secara nasional untuk menjamin agar otonomi
daerah dapat berjalan secara optimal.Meskipun kondisi geografis yang sangat
luas, tidak kemudian menghapus pertanggungjawaban Pemerintah Pusat dalam
mengontrol, mengawasi dan “merangkul” daerah. Untuk itulah, berdasarkan
prinsip ”dekonsentrasi”, Pemerintah kemudian menugaskan Gubernur selaku
wakil pemerintah di daerah untuk melakukan kegiatan supervisi dan fasilitasi.
Dalam buku Utang Rosidin (2015 : 78) dijelaskan bahwa:
Latar belakang diadakannya sistem dekonsentrasi adalah karena tidak
semua urusan pemerintah pusat dapat diserahkan pada urusan pemerintah
daerah menurut asas desentralisasi. Pertimbangan dan tujuan diselenggarakan
asas dekonsentrasi ini adalah: 1. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan pelayanan
terhadap kepentingan umum; 2. Memelihara komunikasi sosial kemasyarakatan
dan sosial budaya dalam sistem administrasi negara; 3. Memelihara keserasian
pelaksanaan pembangunan nasional; 4. Memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Bahkan lebih lanjut dijelaskan (Utang Rosidin, 2015 : 78), urgensi
digunakannya asas dekonsentrasi bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah sejak pembagian wilayah NKRI dari pusat dengan ibukotanya,
kemudian provinsi, ke dalam wilayah kabupaten dan kota. Hal tersebut sering
disebut dengan dekonsentrasi teritorial. Setali tiga uang dengan latar belakang
diberlakukannya dekonsentrasi di samping asas desentralisasi.Tugas
pembantuan juga diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas
pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi dan
asas dekonsentrasi.
Penyelenggaraan asas tugas pembantuan merupakan cerminan dari sistem
dan prosedur penugasan Pemerintah Pusat kepada Daerah, dari Pemerintah
Provinsi kepada Kabupaten/ Kota dan/atau desa, serta dari pemerintah
Kabupaten/Kota kepada Desa untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan
dan pembangunan yang disertai dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya
dan mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi penugasan.
Pemberian tugas pembantuan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan
pelayanan umum. Tujuan pemberian tugas pembantuan adalah memperlancar
pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan, serta membantu
penyelenggaraan pemerintahan, dan pengembangan pembangunan bagi daerah
dan desa (Andi Pitono, 2012 : 1). Menurut Koesoemahatmadja (E.
Koswara,1999 :58-59), medebewind atau zelfbestuur sebagai pemberian
kemungkinan kepada pemerintah/ pemerintah daerah yang tingkatannya lebih
atas untuk minta bantuan kepada pemerintah daerah/ pemerintah daerah yang
tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan rumah
tangga (daerah yang tingkatannya lebih atas tersebut). Lebih lanjut
Koesoemahatmadja menyatakan sebagai berikut:
“Jika ternyata ada daerah yang tidak menjalankan tugas bantuannya atau
tidak begitu baik melakukan tugasnya, sebagai sanksinya pemerintah
pusat/daerah yang minta bantuan hanya dapat menghentikan perbuatan
dari daerah yang dimintakan bantuan, untuk selanjutnya dipertimbangan
tentang pelaksanaan kepentingan atasan termaksud dengan jalan lain,
dengan tidak mengurangi hak pemerintah pusat/daerah yang minta bantuan
untuk menuntut kerugian dari daerah yang melalaikan kewajibannya.”
Bagir Manan (2004 :147), mengemukakan bahwa urusan rumah tangga
dalam tugas pembantuan hanya mengenai tata cara penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang dibantu, sedangkan substansi tetap ada pada satuan
pemerintahan yang dibantu. Dekonsentrasi dan tugas pembantuan tidak
diharapkan hadir untuk mengekang daerah sebagaimana otonomi daerah di
masa Orde Lama maupun Orde Baru.UUD NRI 1945 telah mengamanahkan
secara konstitutif dalam Pasal 18 ayat (5) bahwaotonomi yang diselenggarakan
adalah otonomi yang seluas-luasnya. Arti seluas-luasnya ini mengandung
makna bahwa daerah diberikan kewenangan membuat kebijakan daerah, untuk
memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.
Meskipun prinsip seluas-luasnya juga diterapkan di Orde Baru, sejarah
mencatat baik Orde Lama maupun Orde Baru lebih mengarah pada
penyelenggaraan pemerintah yang sentralistik daripada desentralistik.
Intervensi pemerintah pusat kepada daerah pada masa tersebut terlalu besar
sehingga menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektifitas
pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan
demokrasi di daerah. Arahan dan staturory requirement yang terlalu besar dari
pemerintah pusat menyebabkan inisiatif dan prakarsa daerah cenderung mati
sehingga pemerintah daerah sering menjadikan pemenuan peraturan sebagai
tujuan, bukan sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan masyarakat (Utang
Rosidin, 2015 : 3). Untuk itu tujuan dekonsentrasi seharusnya dimaksudkan
Pemerintah Pusat untuk mendekatkan kepada masyarakat daerah.
Dekonsentrasi adalah perwujudan pertanggungjawaban pemerintah pusat
kepada masyarakat di daerah tanpa mengurangi hak masyaraka untuk
berkembang sesuai dengan potensi namun masih dalam naungan NKRI.
Sedangkan untuk tugas pembantuan, dimaksudkan untuk menjaga hubungan
kewenangan yang harmonis antara Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah. Tidak mungkin dalam suatu negara kesatuan antara daera dengan pusat
bekerja melayani masyarakat daerah secara sendiri-sendiri, dan tidak mungkin
pula dalam suatu negara kesatuan segala urusan berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan diserahkan kepada daerah.
Adanya ketiga asas tersebut, desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas
pembantuan tentu sangat berperan dalam menjaga keutuhan NKRI dengan
sistem otonomi daerah yang dijalankan.Dalam hal ini hubungan yang harmonis
antara Pemerintah Pusat dan Daerah sangat menentukan. Sebagai negara
kesatuan dengan kondisi geografis yang berkepulauan, Pemerintah Pusat tidak
akan cukup mampu untuk menjangkau pemerintahan secara efektif dan efisien.
Sebaliknya, Pemerintah Daerah juga tidak akan memiliki kekuasaan apabila
tidak dibagikan urusan kewenangan oleh Pemerintah Pusat terhadapnya guna
mengatur rumah tangganya sendiri.
Terakhir, dalam hal menjalankan pemerintah daerah berdasar otonomi
daerah dengan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan,
penulis setuju dengan hasil kajian BPHN (2010 :38), yang mana harus ada
batasan yang menunjukkan batas tegas antara kekuasaan/kewenangan atau
urusan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah. Prinsip pembagian
kekuasaan/kewenangan atau urusan pada Negara kesatuan adalah sebagai
berikut: Pertama, Kekuasaan atau kewenangan pada dasarnya adalah milik
pemerintah pusat, daerah diberi kewenangan atau hak mengelola dan
menyelenggarakan sebagian kewenangan pemerintah yang dilimpahkan atau
diserahkan. Kedua, Pemerintah pusat dan pemerintah daerah tetap mempunyai
garis komando dan hubungan hierarkis.Hubungan yang dilakukan oleh
pemerintah pusat tidak untuk mengintervensi dan mendikte pemerintah daerah
dalam berbagai hal. Ketiga, Kewenangan atau kekuasaan yang dialihkan atau
diserahkan kepada daerah dalam kondisi tertentu, dimana daerah tidak mampu
menjalankan tugas dengan baik, maka kewenangan atau urusan yang
dilimpahkan atau diserahkan tersebut dapat ditarik kembali oleh pemerintah
pusat sebagai pemilik kekuasaan atau kewenangan tersebut.
Kekuasaan pusat adalah kekuasaan tertinggi di atas seluruh negara tanpa
ada batas yang ditetapkan hukum guna memberikan kekuasaan khusus pada
bagian-bagiannya.Dalam negara kesatuan jika ditinjau dari sudut pembagian
kewenangan atau urusan, hanya terdapat dua kewenangan/urusan pemerintah
yakni yang tersentralisasi dan kewenangan/urusan pemerintah yang
didesentralisasikan atau kewenangan/urusan yang dipusatkan dan yang
dipencarkan. Pemerintah Pusat berada dalam sentral kekuasaan dan memiliki
legitimasi kuat.Dalam hal ini, pengambilan kebijakan oleh daerah sekalipun
yang didasarkan pada pelaksanaan asas desentralisasi, tetap harus berpayung
ketentuan dari pusat.Penerapan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembangunan, diselenggarakan guna mewujudkan konsep persatuan dan
kesatuan negara.
Hubungan pusat dengan daerah memiliki pola hubungan koordinasi antara
pusat dan daerah, pembinaan dari pusat kepada daerah, pengawasan pusat
kepada daerah, pelaporan dan pertanggungjawaban daerah kepada pusat.
Terakhir, urgensi desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan dalam
penyelenggaraan pemerintahan di Negara Kesatuan Indonesia guna menjamin
keutuhan bangsa juga selaras dengan teori sistem hukum. Lawrence Meir
Friedman sebagai pencetus teori tersebut, mengemukakan bahwa untuk melihat
efektif atau tidaknya suatu hukum dapat dilihat atau tergantung dari 3 unsur
sistem hukum, yakni : stuktur hukum (structure of law), substansi hukum
(substance of the law) dan budaya hukum (legal culture). Berdasar hal tersebut
dapat disimpulkan, bahwa efektifitas konstitusi dalam mengamanahkan
pemerintah daerah, maupun undang-undang pemerintah daerah selaku undang-
undang organiknya, didukung dengan yang pertama adalah struktur hukum
yang dapat dilihat dari keharmonisan pemerintah pusat dan daerah dalam
membangun masyarakat dan daerah dalam lingkup NKRI, kemudian juga dapat
dilihat dari unsur kedua yaitu substansi hukum yang seharusnya dapat
menempatkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan guna
melaksanakan otonomi daerah sebagaimana yang dimaksud oleh konstitusi,
yakni otonomi nyata, bertanggungjawab, dinamis dan seluas-luasanya. Ketiga,
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembatuan pada dasarnya juga
menjawab kebutuhan beragam dari masyarakat daerah yang memiliki
kekhususan, adat dan budaya tersendiri, namun tetap harus dalam batasan nilai-
nilai yang dianut oleh NKRI yakni dalam ideologi Pancasila.
5. Simpulan
Adanya asas desentralisasi yang memberikan kebebasan daerah untuk
mengurus rumah tangganya sendiri dengan tetap dibatasi merupakan konsekuensi
mutlak dan wajar dalam negara kesatuan, sebagaimana dalam negara kesatuan
yang tidak menghendaki adanya negara dalam negara. Untuk itu, dalam
penyelenggaraan otonomi daerah, asas desentralisasi ini juga dilengkapi dengan
adanya asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang menunjukkan masih
adanya hubungan timbal balik antara pusat dan daerah yang melahirkan adanya
hubungan kewenangan dan pengawasan.
Selain karena konsekuensi negara kesatuan yang tidak mungkin
menggunakan asas desentralisasi murni, dekonsentrasi dan tugas pembantuan
diselenggarakan karena memang tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan
dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi. Dalam
menyelenggarakan asas-asas ini, baik asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas
pembantuan, harus diberi “batasan” sehingga tidak tercipta desentralisasi murni,
maupun sentralisasi yang terlalu kuat.Harus dipahami bahwa kekuasaan atau
kewenangan pada dasarnya adalah milik pemerintah pusat, kewenangan kepada
daerah diperoleh dari pelimpahan atau penyerahan.Implikasinya adalah
Pemerintah pusat berada pada garis komando tertinggi di atas pemerintah daerah,
namun tidak untuk mengintervensi dan mendikte pemerintah daerah dalam
berbagai hal.Dalam hal daerah tidak mampu menjalankan tugas dengan baik,
maka kewenangan atau urusan yang dilimpahkan atau diserahkan tersebut dapat
ditarik kembali oleh pemerintah pusat sebagai pemilik kekuasaan atau
kewenangan tersebut.

6. Saran
Bahwa untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang telah memproklamasikan sebagai negara kesatuan yang bentuknya tidak
dapat diubah, otonomi daerah harus didasarkan pada desentralisasi, dekonsentrasi,
dan tugas pembantuan. Jangan sampai yang muncul justru kuatnya sentralisasi
atau justru kuatnya desentralisasi tanpa pengawasan.

7. Daftar Pustaka

Ahmad mustanir, monalisa ibrahim, Muhammad rusdi, M. jabbareng. (2016).


Pembangunan Partisipatif Dan Pemberdayaan Masyarakat. July, 1–23.

Ahmad Mustanir1, Hariyanti Hamid2, R. N. S. (2019). Pemberdayaan Kelompok


Masyarakat Desa Dalam Perencanaan Metode Partisipatif. Jurnal Moderat,
5(3), 227–239.

Akhmad, I., Mustanir, A., & Ramadhan, M. R. (2006). Enrekang. 89–103.

Andi Uceng, A. A. (2019). Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat Terhadap


Pembangunan Sumber Daya Manusia Di Desa Cemba Kecamatan Enrekang
Kabupaten Enrekang. MJurnal Moderat, 5(2), 1–17.

Ar, A. A., Mustanir, A., Syarifuddin, H., Jabbar, A., Sellang, K., Rais, M., Razak,
R., Ibrahim, M., & Ali, A. (2021). SIPIL NEGARA KABUPATEN
SIDENRENG RAPPANG. 2(1).

Fitrah, N., Mustanir, A., Akbari, M. S., Ramdana, R., Jisam, J., Nisa, N. A., Qalbi,
N., Febriani, A. F., Irmawati, I., Resky S., M. A., & Ilham, I. (2021).
Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pemetaan Swadaya Dengan Pemanfaatan
Teknologi Informasi Dalam Tata Kelola Potensi Desa. SELAPARANG Jurnal
Pengabdian Masyarakat Berkemajuan, 5(1), 337.

Ibrahim, M., Mustanir, A., Astinah Adnan, A., & Alizah P, N. (2020). Pengaruh
Manajemen Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa Terhadap Peningkatan
Partisipasi Masyarakat Di Desa Bila Riase Kecamatan Pitu Riase Kebupaten
Sidenreng Rappang. Movere Journal, 2(2), 56–62.

Jamal, Y., Mustanir, A., & Latif, A. (2020). Penerapan Prinsip Good Governance
Terhadap Aparatur Desa Dalam Pelayanan Publik Di Desa Ciro-Ciroe
Kecamatan Watang Pulu Kabupaten Sidenreng Rappang. PRAJA: Jurnal
Ilmiah Pemerintahan, 8(3), 207–212.

Kholifah R, E., & Mustanir, A. (2019). Food Policy and Its Impact on Local Food.
October, 27–38.

Latif, A., Mustanir, A., & ir. (2019). Buku Kepemimpinan Adam Irwan 2020.pdf (p.
154).

Latif, A., Mustanir, A., & Irwan, I. (2019). Pengaruh Kepemimpinan Terhadap
Partisipasi Masyarakat Pada Perencanaan Pembangunan. JAKPP (Jurnal
Analisis Kebijakan & Pelayanan Publik), 144–164.

Mustanir, A., & Abadi, P. (2017). Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah


Rencana Pembangunan Di Kelurahan Kanyuara Kecamatan Watang
Sidenreng Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Politik Profetik, 5(2), 247–
261.

Mustanir, A., Ali, A., Yasin, A., & Budiman, B. (2020). Transect on Participatory
Development Planning in Sidenreng Rappang Regency. 250–254.

Mustanir, A., Dema, H., Syarifuddin, H., Meity, K., & Wulandari, S. (2018).
Pengaruh Motivasi dan Partisipasi Masyarakat terhadap Pembangunan di
Kelurahan Lalebata Kecamatan Panca Rijang Kabupaten Sidenreng Rappang.
Jurnal Ilmiah Clean Government (JCG), 2(1), 27–39.

Mustanir, A., Fitriani, S., Adri, K., Nurnawati, A. A., & Goso, G. (2020).
Sinergitas Peran Pemerintah Desa dan Partisipasi Masyarakat Terhadap
Perencanaan Pembangunan di Kabupaten Sidenreng Rappang (The Synergy
of Village Government’s Role and Community Participation in the Process
of Development Planning in Sidenreng Rappang D. Journal of Government
Science (GovSci), 2020(2), 84–108.

Mustanir, A., Hamid, H., & Syarifuddin, R. N. (2020). Perencanaan Partisipatif


Pada Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Wanita Tani. 1, 1–120.

Mustanir, A., & Jaya, I. (2016). Pengaruh Kepemimpinan Dan Budaya Politik
Terhadap Perilaku Pemilih Towani Tolotang Di Kecamatan Maritengngae
Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Politik Profetik, 4(1), 84–97.

Mustanir, A., Jermsittiparsert, K., Ali, A., Hermansyah, S., & Sakinah, S. (2020).
Village Head Leadership and Bureaucratic Model Towards Good
Governance in Sidenreng Rappang.

Mustanir, A., & Jusman. (2016). Implementasi Kebijakan Dan Efektivitas


Pengelolaan Terhadap Penerimaan Retribusi Di Pasar Lancirang Kecamatan
Pitu Riawa Kabupaten Sidenreng Rappang. Jurnal Ilmiah Akmen, 13(3), 542–
558.

Mustanir, A., Justira, N., Sellang, K., & Muchtar, A. I. (2018). Democratic Model
On Decision-Making At Deliberations Of Development Planning.
International Conference on Government Leadership and Social Science
(ICOGLASS). Demanding Governance Accountability and Promoting
Democratic Leadership for Public Welfare Achievement, April, 110 – 115.

Mustanir, A., & Rusdi, M. (2019). Participatory Rural Appraisal (PRA) Sebagai
Sarana Dakwah Muhammadiyah Pada Perencanaan Pembangunan di
Kabupaten Sidenreng Rappang. Prosiding Konferensi Nasional Ke-8
Asosiasi Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah
(APPPTMA), 467–475.

Mustanir, A., Samad, Z., Jabbar, A., Ibrahim, M., & Juniati, J. (2019).
Kepemimpinan Lurah Terhadap Pemberdayaan Masyarakat Di Kelurahan
Lautang Benteng Kabupaten Sidenreng Rappang. Journal of Social Politics
and Governance (JSPG), 1(2), 99–118.

Mustanir, A., & Yasin, A. (2018). Community Participation in Transect on


Development Planning. Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi Publik, 8(2), 137.

Mustanir, A., Yasin, A., Irwan, & Rusdi, M. (2018). Potret Irisan Bumi Desa
Tonrong Rijang Dalam Transect Pada Perencanaan Pembangunan Partisipatif.
Jurnal.Unigal, 4(4), 1–14.

Rappang, M., & Sulawesi, S. (2017). IAPA 2017 IAPA 2017-Towards Open
Goverment: Finding The Whole-Goverment Approach Participatory Rural
Appraisal As The Participatory Planning Method Of Development Planning.
78–84.
Sapri, S., Mustanir, A., Ibrahim, M., Adnan, A. A., Wirfandi, W. (2019). Peranan
Camat dan Partisipasi Masyarakat Dalam Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Di Kecamatan Enrekang Kabupaten Enrekang. MODERAT:
Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan, 5(2), 33–48.

Siriattakul, P., Jermsittiparsert, K., & Mustanir, A. (2019). What Determine the
Organizational Citizenship Behavior in Indonesian Agriculture
Manufacturing Firms? International Journal of Psychosocial Rehabilitation,
23(4), 778-`792.

Sulaeman, Z., Mustanir, A., & Muchtar, A. I. (2019). Partisipasi Masyarakat


Terhadap Perwujudan Good Governance Di Desa Damai Kecamatan Watang
Sidenreng Kabupaten Sidenreng Rappang. PRAJA: Jurnal Ilmiah
Pemerintahan, 7(3), 88–92.

Surya Adi Tama, P., & Wirama, D. G. (2020). Akuntabilitas Pemerintah Desa
dalam Pengelolaan Alokasi Dana Desa. E-Jurnal Akuntansi, 30(1), 73.

Anda mungkin juga menyukai