Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, yang artinya negara
Indonesia sebagai suatu kesatuan utuh negara yang terdiri dari wilayah provinsi,
kabupaten dan kota. Pembagian menjadi daerah-daerah tersebut tidak mengakibatkan
terjadinya pembagian kedaulatan atau dengan kata lain tidak ada Negara lain di dalam
wilayah Republik Indonesia. Pembagian tersebut hanya pada sistem pemerintahannya,
sehingga menjadi satuan pemerintahan nasional (pusat) dan satuan pemerintahan sub
nasional (daerah), yaitu provinsi dan kabupaten dan kota.[1]
Desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada
daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan, dengan dikeluarkannya Undang-
Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, memberi kewenangan yang
besar kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan daerah
(Peraturan Daerah) dan bukan merupakan suatu kedaulatan tersendiri seperti dalam
sistem federal. Asas desentralisasi berfungsi untuk mengakomodasi keanekaragaman
masyarakat, sehingga terwujud variasi struktur dan politik untuk menyalurkan aspirasi
masyarakat setempat.[2]
Pada dasarnya, suatu daerah dapat disebut otonom bila memenuhi beberapa
kriteria sebagai berikut:
1. Sebagai suatu zelfstandigestaats rechtelijke organisatie yang dicerminkan
pada keuangan, pembiayaan dan dimilikinya Dinas Daerah.
2. Dari sisi hukum: adalah badan hukum (rechtspersoon), sehingga memiliki
kuasa untuk melakukan tindakan-tindakan mengenai
kekayaan (vermogensrecht), kekuasaan hukum (rechtsbevoegd) dan dapat
bertindak (handelingsbekwaam).
3. Sebagai badan hukum dapat dituntut dan menuntut pihak lain dipengadilan,
memiliki anggaran sendiri dengan rekening yang terpisah dari rekening
Pemerintah Pusat, memiliki wewenang untuk mengalokasikan sumber-
sumber yang substansial.
4. Mengemban multifungsi yang merupakan pembeda utama antara daerah
otonom dengan lembaga yang terbentuk dalam rangka desentralisasi
fungsional.
5. Penyelenggara desentralisasi adalah Pemerintah Pusat. Dalam menjalankan
kewenangannya tersebut, yang dapat dilakukan oleh suatu daerah otonom
adalah menetapkan dan melaksanakan kebijaksanaan. Kewenangan tersebut
merupakan kekuasaan formal yang dimiliki oleh daerah yang melingkupi
wilayah dan orang yang menjadi sasaran wewenang (domain of power) dan
bidang-bidang kehidupan yang terliput dalam wewenangnya (scope of
power) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dengan peraturan perundang-
undangan.

Daerah semakin gencar untuk menuntut ruang kekuasaan yang lebih besar dengan
mengajukan pemekaran daerah dan otonomi khusus sebagai bagian proses politik dan
pembagian kekuasaan elite politik di tingkat lokal. Disentralisasi dan otonomi daerah
diharapkan menjadi instrumen pemersatu bangsa, malah dewasa ini menimbulkan begitu
banyak efek negatif, dimulai dari konflik horizontal sampai pada banyaknya kasus
korupsi yang menjerat kepala daerah. Terkhusus kasus korupsi kepala daerah. Prinsip
disentralisasi melalui pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah atau sering disebut otonomi daerah seharusnya mampu mendekatkan masyarakat
dengan pemimpinnya namun demikian ternyata dimaknai hanya sebagai pelimpahan
kewenangan yang berakibat munculnya raja-raja baru di daerah. Oleh karena itu
disentralisasi dan otonomi daerah malah kerap disebut sebagai disentralisasi korupsi
akibat perpindahan locus penyelewenangan kekuasaan dari pusat ke daerah.[4] Oleh
karena itu menarik bagi penulis dalam penulisan makalah ini mengangkat judul
“Pelaksanaan Desentralisasi Asimetris Dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia”.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian diatas maka penulis perlu memberikan rumusan masalah


sebagai objek pembahasan dan batasan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Konsepsi Disentralisasi asimetris di Daerah istimewa
Yogyakarta?
2. Bagaimanakah Konsepsi Disentralisasi asimetris di Daerah Khusus Ibukota
Jakarta?
3. Bagaimanakah Konsepsi Otonomi khusus di Aceh?
4. Bagaimanakah Konsepsi Otonomi khusus di Papua?

C. METODE PENULISAN

Metode penulisan merupakan suatu cara yang dilakukan untuk mencapai suatu
tujuan. Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode penulisan
kepustakaan yaitu suatu metode pengumpulan data yang diperoleh dari buku, diktat-dikta
dan literatur-literatur serta informasi lainnya yang berhubungan dengan penulisan
makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsepsi Disentralisasi asimetris di Daerah istimewa Yogyakarta

Negara kita sejak awal sebelum merdeka, melalui para pendiri bangsa sudah
menyepakati atau melakukan konsensus yang dituangkan dalam ideologi bangsa
Indonesia yakni Pancasila, dasar negara Indonesia ialah Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam hal ini bentuk negara Indonesia yang dipilih dan disepakati ialah negara kesatuan.
Dalam negara kesatuan tidak ada negara dalam negara melainkan yang ada ialah
pemerintahan daerah, oleh karena itu para pendiri bangsa, sejak awal sepakat akan
adanya daerah-daerah besar dan kecil serta hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa. Dalam perkembangannya Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) menggunakan sistem desentralisasi dan otonomi daerah.
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan
prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Dengan adanya desentralisasi maka muncul otonomi bagi suatu pemerintahan daerah.
Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di
definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam desentralisasi terdapat desentralisasi
simetris dan asimetris, yang dalam perkembangannya merupakan solusi untuk
menghargai dan menghormati keragaman daerah.
Desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization) merupakan desentralisasi
luas mencakup desentralisasi politik, ekonomi, fiskal, dan administrasi, namun tidak
harus seragam untuk semua wilayah negara, mempertimbangkan kekhususan masing-
masing daerah. Desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization) adalah
pemberlakuan kewenangan khusus pada wilayah‐wilayah tertentu dalam suatu negara,
yang dianggap sebagai alternatif untuk menyelesaikan pelbagai permasalahan hubungan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Penerapan kebijakan desentralisasi
asimetris (assymetric decentralization) atau otonomi asimetris (assymetric
authonomy), merupakan sebuah manifestasi dari usaha pemberlakuan istimewa.
Konsep tersebut sebenarnya sudah mulai dijalankan, yaitu dengan adanya
beberapa daerah berotonomi khusus seperti Provinsi Papua, Pemerintahan Aceh, DKI
Jakarta dan yang terakhir Provinsi DIY. Keempat provinsi ini secara legal formal sudah
memperoleh pengakuan dari negara. Inti desentralisasi asimetris adalah terbukanya ruang
gerak implementasi dan kreativitas provinsi dalam pelaksanaan pemerintahan di luar
ketentuan umum dan khusus. Titik berat desentralisasi asimetris terletak di provinsi,
karena level kabupaten dan kota sudah cukup terakomodasi dalam perundangan
pemerintahan daerah selama ini. Dalam hal ini bisa dilihat dari beberapa Undang-Undang
Istimewa atau khusus di bawah ini :
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY

Dalam konsideran UU tersebut, negara berlandaskan pada UUD NRI 1945 yang
mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Serta dinyatakan pula bahwa
Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman yang telah
mempunyai wilayah, pemerintahan, dan penduduk sebelum lahirnya Negara Kesatuan
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, berperan dan memberikan
sumbangsih yang besar dalam mempertahankan, mengisi, dan menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dasar filosofis, historis, sosiologis dan yuridis tentang
keistimewaan DIY sudah tertampung dalam UU No. 13 tahun 2012.
Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (1) : dinyatakan yang dimaksud DIY ialah
daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 1 ayat (1) ini
menunjukkan negara menerapkan desentralisasi asimetris dimana dinyatakan dalam pasal
tersebut provinsi DIY memiliki keistimewaan. Keistimewaan dalam Pasal 1 ayat (2)
adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki oleh DIY berdasarkan sejarah dan
hak asal-usul menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa.
Kemudian yang menarik selanjutnya ialah negara mengakui kerajaan yang
memang sejak dulu, sebelum merdeka sudah ada di Yogyakarta yang terdiri dari
Kesultanan dan Pakualaman. Hal ini dinyatakan dalam pasal 1 ayat (4) : Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat, selanjutnya disebut Kasultanan, adalah warisan budaya
bangsa yang berlangsung secara turun-temurun dan dipimpin oleh Ngarsa Dalem
Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing
Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah, selanjutnya disebut Sultan
Hamengku Buwono.Pasal 1 ayat (5) : Kadipaten Pakualaman, selanjutnya disebut
Kadipaten, adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun dan
dipimpin oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Paku Alam, selanjutnya disebut
Adipati Paku Alam. Desentralisasi asimetris dalam hal ini terlaksana dimana negara
mengakui dan menghormati Kesultanan dan Pakualaman yang ada di Yogyakarta.
Hal penting desentralisasi asimetris dalam UU No. 13 Tahun 2012 ini terdapat
pada 5 (lima) permasalahan pokok yakni: a. Tata cara pengisian jabatan, kedudukan,
tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, b. Kelembagaan Pemerintah
Daerah DIY, c. Kebudayaan, d. Pertanahan, e. Tata ruang.
a. Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur
Perihal ini diatur dalam Pasal 18-29 UU No. 13 Tahun 2012. Persyaratan
istimewa dalam UU Keistimewaan DIY untuk menjadi gubernur dan wakil
gubernur adalah bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon
Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil
Gubernur. Kemudian untuk pemilihannya tidak melalui pemilihan langsung oleh
rakyat (pilkada) melainkan penetapan oleh DPRD DIY kemudian hasil
penetapan diusulkan pada Presiden melalui Menteri untuk mendapatkan
pengesahan penetapan. Kemudian Presiden Republik Indonesia mengesahkan
penetapan dan melantik Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur DIY dan
Adipati Paku Alam sebagai Wakil Gubernur DIY selama 5 (lima) tahun, namun
tidak terikat dengan 2 (dua ) kali periodisasi masa jabatan.
b. Kelembagaan
Kelembagaan diatur dalam pasal 30 ayat (1) yang menyatakan
: Kewenangan kelembagaan Pemerintah Daerah DIY sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b diselenggarakan untuk mencapai efektivitas dan
efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat
berdasarkan prinsip responsibilitas, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi
dengan memperhatikan bentuk dan susunan pemerintahan asli. Ketentuan
mengenai penataan dan penetapan kelembagaan Pemerintah Daerah DIY
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perdais.
c. Kebudayaan
Kebudayaan diatur dalam Pasal 31 ayat (1) : Kewenangan kebudayaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c diselenggarakan untuk
memelihara dan mengembangkan hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang
berupa nilai-nilai, pengetahuan, norma, adat istiadat, benda, seni, dan tradisi
luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY. Ketentuan mengenai pelaksanaan
kewenangan kebudayaan diatur dalam perdais.
d. Pertanahan
Pertanahan di atur dalam Pasal 32 :
(1) Dalam penyelenggaraan kewenangan pertanahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d, Kasultanan dan Kadipaten dengan
Undang-Undang ini dinyatakan sebagai badan hukum.
(2) Kasultanan sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang
mempunyai hak milik atas tanah Kasultanan.
(3) Kadipaten sebagai badan hukum merupakan subjek hak yang
mempunyai hak milik atas tanah Kadipaten.
(4) Tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) meliputi tanah keprabon dan tanah bukan keprabon yang
terdapat di seluruh kabupaten/kota dalam wilayah DIY.
(5) Kasultanan dan Kadipaten berwenang mengelola dan memanfaatkan
tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten ditujukan untuk sebesar-besarnya
pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kesejahteraan masyarakat.
e. Tata Ruang
Tata Ruang diatur dalam Pasal 34 :
(1) Kewenangan Kasultanan dan Kadipaten dalam tata ruang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e terbatas pada pengelolaan
dan pemanfaatan tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten.
(2) Dalam pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Kasultanan dan Kadipaten menetapkan kerangka umum kebijakan tata ruang
tanah Kasultanan dan tanah Kadipaten sesuai dengan Keistimewaan DIY.
(3) Kerangka umum kebijakan tata ruang tanah Kasultanan dan tanah
Kadipaten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan
memperhatikan tata ruang nasional dan tata ruang DIY.
Salah satu keistimewaan lain yang dimiliki oleh Provinsi DIY dan berbeda dari
pemerintahan daerah lainnnya ialah terdapat perdais (peraturan daerah istimewa) selain
perda (peraturan daerah), Pergub (peraturan gubernur) dan Kepgub (Keputusan
Gubernur). Di mana dalam perdais, Gubernur DIY mendayagunakan nilai-nilai, norma,
adat-istiadat dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat dan memperhatikan
masukan dari masyarakat DIY. Dari ulasan diatas dapat dinyatakan bahwa desentralisasi
asimetris telah dilakukan pemerintah atau negara pada provinsi DIY. Secara legal formal
tertuang dalam UU No. 13 Tahun 2013 tentang Keistimewaan DIY, titik tekan
keistimewaannya terdapat dalam 5 (lima) hal yakni pengisian jabatan Gubernur dan
Wakil Gubernur, kelembagaan, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang yang disesuiakan
dengan keingina rakyat atau masyarakat DIY itu sendiri.

B. Konsepsi Disentralisasi asimetris di Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Pada masa Orde Lama dengan keistimewaan-keistimewaan yang terdapat pada


Kota Jakarta, pada 28 Agustus 1961 kota ini kemudian diberi kedudukan khusus dengan
Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1961 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Raya (LN 1961 No. 274, TLN 2316), yang kemudian dikuatkan menjadi UU No.
2 PNPS Tahun 1961, yang kemudian diubah dengan Penetapan Presiden No. 15 Tahun
1963 (LN 1963 No. 117).
Dalam Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1961 Pasal 1, 2, dan 3 ditegaskan,
Pemerintahan Jakarta Raya yang wilayahnya meliputi Daerah Kotapraja Djakarta Raya
dikuasai oleh Presiden RI melalui Menteri Pertama (Wakil Perdana Menteri).
Kewenangan Pemerintah Daerah ini disamping tugas kewajiban tersebut dalam
Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959 (disempurnakan), ialah mengerjakan semua tugas
pelaksanaan dari Pemerintah yang langsung menyangkut kegiatan dan kepentingan
masyarakat Jakarta Raya yang kini dimasukkan dalam anggaran belanja Badan
Pemerintah Agung.
Dalam perkembangan selanjutnya, dengan UU No. 10 Tahun 1964 (LN 1964 No.
78 TLN 2671) ditegaskan bahwa Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya merupakan
Ibukota Negara RI dengan nama Jakarta. Dengan demikian, nama yang kini berlaku ialah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta (disingkat DKI Jakarta). Kemudian lahir UU No. 18
Tahun 1965 Pasal 1 dan 2 menyatakan, adapun yang mengenai Jakarta, Pemerintah telah
menetapkan status “istimewa” bukan saja karena kedudukannya sebagai Ibukota Negara,
akan tetapi Jakarta juga merupakan kota pelabuhan yang penting sekali, lagi pula karena
merupakan suatu kota teladan dan kota internasional yang mengingat luas dan jumlah
penduduknya telah tumbuh ke arah suatu kota metropolistis. Selain itu, Penetapan
Presiden No. 2 Tahun 1961 pun meberikan dasar dari status istimewa bagi Jakarta.
Pertumbuhan dan perkembangan Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah pesat sekali dan
Kotaraya ini tentu akan menjadi kota metropolistis yang membawa pemekaran
kepentingan-kepentingan khusus.
UU No. 10 Tahun 1964 menegaskan bahwa dianggap perlu Daerah khusus Ibu-
Kota Jakarta Raya dengan Undang-undang dinyatakan dengan tegas tetap sebagai Ibu-
Kota Negara Republik Indonesia dengan nama JAKARTA, mengingat telah termahsyur
dan dikenal, serta kedudukannya yang merupakan kota pencetusan Proklamasi
Kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan pusat penggerak
segala kegiatan, serta merupakan kota pemersatu dari pada seluruh aparat, revolusi, dan
penyebar ideologi Pancasila ke seluruh penjuru dunia.
Pada akhirnya, di dalam Peraturan Pemilihan Pasal 88 ayat (1) huruf b UU No.
18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah ditegaskan: “Daerah Khusus
Ibu Kota Jakarta Raya”, yang menurut UU No. 10 Tahun 1964 disebut Jakarta, adalah
“Kotaraya” termaksud pada Pasal 2 UU ini, berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1961 dengan mengingat
perubahan-perubahan yang timbul karena berlakunya undang-undang ini.
Pada masa Orde Baru UU No. 18 tahun 1965 kemudian diganti dengan UU No. 5
tahun 1974. Menurut ketentuan pasal 3 UU No. 11 Tahun 1990, Jakarta sebagai Ibukota
Negara Republik Indonesia merupakan tempat kedudukan pusat pemerintahan negara.
Sebagai Daerah Tingkat I, Jakarta mempunyai ciri-ciri tersendiri yang berbeda dengan
Daerah Tingkat I lainnya yang bersumber dari beban tugas, tanggung jawab, dan
tantangan yang lebih kompleks. Sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai Ibukota
Negara, Jakarta menjadi tempat penyelenggaraan Sidang Umum MPR RI, pusat kegiatan
penyelenggaraan pemerintah negara, pusat kehidupan politik nasional, penyelenggaraan
acara-acara kenegaraan, tempat kedudukan kedutaan negara lain, serta tempat mengatur
dan pembinaan wilayah DKI Jakarta.
Pada masa Reformasi saat transisi kepemimpinan Soeharto dan Habibie, pada saat
itulah lahir UU No. 12 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 12 tahun 1999
bercorak desentralistik, yang mengalihkan seluruh urusan kepada daerah kecuali 5
urusan, moneter dan fiskal, peradilan, pertahanan keamanan, politik luar negeri, dan
agama.
Ketika UU No. 22 tahun 1999 diganti dengan UU No. 32 tahun 2004. Otonomi
Provinsi DKI Jakarta diletakan pada tingkat provinsi. Penyelenggaraan pemerintahan
Provinsi DKI Jakarata dilaksanakan menurut asas otonomi, asas dekonsentrasi, asas tugas
pembantuan, dan kekhususan sebagai Ibukota NKRI. Pengaturan ini berbeda dengan
daerah lain yang menempatkan otonomi pada tingkat kabupaten dan kota. Susunan
pemerintahan di DKI Jakarta melalui UU No. 29 tahun 2007 diubah. Jumlah wakil
gubernur yang sebelumnya lebih dari satu orang (dalam UU No. 34 tahun 1999), dalam
UU ini hanya ada satu orang yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilukada.
Gubernur dan wakil gubernur yang dipilih melalui pemilukada harus memperoleh suara
lebih dari 50%. Bila tidak memperoleh suara 50% maka calon yang memperoleh suara
terbanyak pertama dan kedua akan mengikuti putaran kedua.
Mengenai dewan kota dan dewan kabupaten yang diatur dalam UU No. 29 tahun
2007, tidak jauh berbeda dengan UU sebelumnya (UU No.34 tahun 1999). Perbedaannya,
dewan kota dan kabupaten diusulkan oleh masyarakat dan disetujui oleh DPRD Provinsi
DKI Jakarta untuk selanjutnya ditetapkan oleh gubenur. Komposisi anggota dewan kota
dan dewan kabupaten yaitu satu kecamatan wakil. Sementara itu pengisian bupati atau
walikota tidak diisi melalui mekanisme pemilihan umum kepala daerah melainkan
diajukan oleh Gubernur kepada DPRD Provinsi DKI Jakarta dimintakan pertimbangan.
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Provinsi DKI Jakarta) sebagai satuan
pemerintahan yang bersifat khusus dalam kedudukannya sebagai Ibukota Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan sebagai daerah otonom memiliki fungsi dan peran yang
penting dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Oleh karena itu, perlu diberikan kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Untuk itulah Pemerintah Pusat mengeluarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun


2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota
Negara Kesatuan Republik Indonesia (LN 2007 No. 93; TLN 4744). UU ini mengatur
kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu kota Negara. Aturan sebagai daerah
otonom tingkat provinsi dan lain sebagainya tetap terikat pada peraturan perundang-
undangan tentang pemerintahan daerah.
Beberapa hal yang menjadi pengkhususan bagi Provinsi DKI Jakarta antara lain:
1. Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Provinsi DKI Jakarta adalah daerah khusus yang berfungsi sebagai Ibu kota Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus sebagai daerah otonom pada tingkat provinsi.
3. Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing,
serta pusat/perwakilan lembaga internasional.
4. Wilayah Provinsi DKI Jakarta dibagi dalam kota administrasi dan kabupaten
administrasi.
5. Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta berjumlah paling banyak 125% (seratus dua
puluh lima persen) dari jumlah maksimal untuk kategori jumlah penduduk DKI Jakarta
sebagaimana ditentukan dalam undang-undang.
6. Gubernur dapat menghadiri sidang kabinet yang menyangkut kepentingan Ibu kota
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
7. Gubernur mempunyai hak protokoler, termasuk mendampingi Presiden dalam acara
kenegaraan.
8. Dana dalam rangka pelaksanaan kekhususan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu kota
Negara ditetapkan bersama antara Pemerintah dan DPR dalam APBN berdasarkan usulan
Pemprov DKI Jakarta.

C. Konsepsi Otonomi khusus di Aceh (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006


tentang Pemerintahan Aceh)

Pemikiran mengenai pengakuan tentang daerah khusus dan daerah-daerah yang


bersifat istimewa dimaksud sesungguhnya memiliki wacana akademik sebagaimana
dikemukakan Charles D. Tarlton yang disetir Robert Endi Jaweng. Dalam pandangan
Tarlton, model desentralisasi teridentifikasi dalam desentralisasi simetris dan
desentralisasi asimetris. Model desentralisasi simetris/biasa ditandai kesesuaian
(conformity) dan keumuman (commonality) dalam hubungan daerah dengan sistem
politik nasional, pemerintah pusat maupun antar daerah. Model desentralisasi asimetris
dengan ciri sebaliknya, artinya suatu daerah khusus/istimewa memiliki pola hubungan
berbeda dan tak lazim terjadi di daerah-daerah lain, utamanya hal ihwal relasi dengan
pusat, relasi dengan daerah sekitar, dan pengaturan internal daerah itu sendiri.
Lebih lanjut mengenai letak kekhususan dan keistimewaan suatu daerah, Tarlton
menandaskan bahwa subyek utamanya adalah soal kewenangan. Dasar pemberian dan isi
kewenangan khusus/istimewa mempresentasikan alasan-alasan unik. Subyek kewenangan
inilah yang nantinya menentukan bangunan relasi daerah khusus/istimewa dengan pusat
atau daerah lain maupun arah kebijakan internal dan tata kelola pemerintahannya. Dasar
Alasan memberlakukan desentralisasi asimetris pada sebagian Negara adalah bertolak
dari political reason seperti respons atas keberagaman karakter regional atau primordial,
bahkan ketegangan etnis (seperti kasus Quebeck di Kanada); sebagian lain
dilandasi efficiency reasons, yakni bertujuan untuk penguatan kapasitas pemerintah
daerah dan administrasi pemerintahan.
Dengan demikian jelaslah bahwa pengakuan daerah khusus dan daerah istimewa
sebagai model pemerintahan daerah juga memiliki rujukan akademik yaitu sebagai wujud
model desentralisasi asimeteris yang berlandaskan pada political reasons (keberagaman
karakter regional) dan efficiency reason, yakni bertujuan untuk penguatan kapasitas
pemerintah daerah. Oleh karenanya, pembentukan daerah bersifat khusus dan istimewa di
Negara kesatuan Republik Indonesia memiliki landasan konstitusional dan landasan
akademik yang tak perlu diragukan lagi.
Desentralisasi asimetris yang ada pada Daerah Istimewa Aceh yang sering disebut
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dilaksanakan dengan alasan keistimewaan yakni:
1. penyelenggaraan kehidupan beragama
2. penyelenggaraan kehidupan adat
3. penyelenggaraan pendidikan
4. peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah
Aceh memiliki kewenangan yang bersifat khusus antara lain:
1. Dalam hal rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan
Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah Pusat harus dilakukan dengan
konsultasi dan pertimbangan DPRA (Dewan Perwakila Rakyat Aceh).
2. Dalam hal rencana pembentukan Undang-undang oleh DPR yang berkaitan langsung
dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA.
3. Dalam hal kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan
Aceh, seperti pemekaran wilayah, pembentukan kawasan khusus, perencanaan
pembuatan dan perubahan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung
dengan daerah Aceh, yang akan dibuat oleh Pemerintah Pusat dilakukan dengan
konsultasi dan pertimbangan Gubernur Aceh.
4. Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama secara langsung dengan lembaga
atau badan di luar negeri sesuai kewenangannya, kecuali yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat. Dalam naskah kerja sama tersebut harus dicantumkan frasa
“Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
5. Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya,
dan olah raga internasional.
6. Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk lembaga,
badan, dan/atau komisi menurut UU 11/2006 dengan persetujuan DPRA/DPRK,
yang pembetukannya diatur dengan Qanun.
Berikut ini adalah pemaparan bentuk-bentuk kekhususan Pemerintahan Aceh
yang dijelaskan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh, yakni:
1. Kewenangan Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota, terdiri atas 4 pasal, yakni pasal 7-
pasal 10. Dalam pasal 8 ditegaskan antara lain bahwa:
1. Rencana persetujuan internasional yang berkaitan dengan Pemerintahan Aceh
yang dibuat oleh pemerintah pusat.
2. Rencana pembentukan UU oleh DPRRI yang berkaitan langsung dengan
Pemerintahan Aceh.
3. Keduanya dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPR Aceh.
4. Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang
akan dibuat oleh pemerintah pusat.
5. Dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan gubernur.
6. Urusan Pemerintahan, terdiri atas 19 pasal, yakni pasal 11 s/d pasal 19.
Dalam pasal 16, ditegaskan bahwa: Urusan wajib lainnya yang menjadi
kewenangan pemerintah Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh yang
antara lain meliputi: penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk
pelaksanaan syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh, dengan tetap menjaga
kerukunan hidup antar umat beragama, penyelenggaraan kehidupan adat yang
bersendikan agama Islam, penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta
menambah materi muatan lokal sesuai dengan syariat Islam, peran ulama dalam
penetapan kebijakan Aceh, Penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai
dengan peraturan perundang- undangan.
7. Asas serta bentuk dan susunan penyelenggara pemerintahan, terdiri atas 2 pasal,
yakni pasal 20 dan pasal 21, yang disebutkan bahwa “penyelenggara
Pemerintahan Aceh adalah pemerintah dan DPRA”.
8. Lembaga Wali Nanggroe, terdiri dari 2 pasal, yakni dari pasal 96 dan pasal 97.
Pada prinsipnya Wali Nanggroe (WN) adalah kepemimpinan adat sebagai
pemersatu masyarakat yang independen, dan bukan lembaga politik dan lembaga
pemerintahan, serta berhak memberikan gelar kehormatan atau derajat adat
kepada perseorangan atau lembaga, baik dalam, maupun luar negeri.
9. Komisi Pemilihan Independen (KIP) selaku penyelenggara pemilihan umum di
Aceh, pengaturan mengenai hal ini terdiri dari Pasal 56-59.
10. Partai Politik Lokal yang diatur dalam Pasal 75-88.
11. Lembaga Adat, terdiri atas 2 pasal, yakni pasal 98 dan pasal 99.
12. Mukim dan Gampong, terdiri dari 4 pasal, yakni pasal 114 s/d pasal 117.
13. Syariat Islam dan Pelaksanaannya. Terdiri atas 3 pasal, yaitu pasal 125 s/d pasal
127. Syariat Islam, pada prinsipnya berlaku atau ditaati oleh pemeluk agama
Islam di Aceh, namun semua oang yang bertempat tinggal atau berada di Aceh
wajib menghormati pelaksanaan syariat Islam.
14. Mahkamah Syar’iyah, terdiri dari 10 pasal, yaitu pasal 128 s/d pasal 137.
Mahkamah Syar’yah, adalah pelaksana dari peradilan agama Islam di Aceh
sebagai subsistem dari peradilan nasional, dan merupakan pengadilan bagi setiap
orang Islam yang berada di Aceh. Apabila terjadi perbuatan jinayah oleh dua
orang atau lebih secara bersama-sama yang di antaranya bukan beragama Islam,
maka pelaku yang bukan Islam tersebut dapat memilih dan menundukkan diri
secara sukarela pada hukum dinayah.
15. Majelis Permusyawaratan Ulama, terdiri dari 3 pasal, yaitu, pasal 138 s/d pasal
140. Tugas majelis ini (MPU) adalah: pertama memberikan fatwa baik diminta
maupun tidak diminta terhadap persoalan pemerintahan, pembangunan,
pembinaan masyarakat, dan ekonomi, dan yang kedua, memberi arahan terhadap
perbedaan pendapat pada masyarakat dalam masalah keagamaan.
16. Perekonomian, terdiri dari 22 pasal, yakni: pasal 154 s/d pasal 173. Hal-hal yang
menonjol dalam rangka ini antara adalah:
1. adanya keharusan investor dibidang pertambangan, baik meneral,
batubara, panas bumi, kehutanan, dan sebagainya untuk menyediakan
dana untuk reklamasi dan rehabilitasi, dan sekaligus kewajiban untuk
melakukan reklamasi dan rehabilitasi tersebut.
2. adanya keharusan bagi investor pertambangan tersebut, untuk
menyediakan dana bagi pembangunan masyarakat paling sedikit sebesar
1% dari harga total produksi yang dijual setiap tahun.
3. pemerintah pusat dan pemerintah Aceh akan melakukan pengelolaan
bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi di Aceh, baik dilaut
maupun didarat.
4. pemerintah Aceh berwenang menerbitkan izin penangkapan ikan dan
pengusahaan sumber daya alam laut disekitar Aceh.
5. penegasan kembali tentang tekad untuk membangan kembali Sabang,
sebagai pelabuhan bebas dan/atau Kawasan perdagangan bebas, dan akan
menjadikannya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi regional
6. Keuangan, terdiri dari 24 pasal, yakni; pasal 178 s/d pasal 201. Hal-hal
yang perlu dicatat dalam rangka keuangan ini, adalah bagian dari Aceh
dari berbagai usaha exploitasi dan explorasi SDA yang ada di Aceh, antara
lain:
Dana bagi hasil:
1) Bagian dari penerimaan PBB: 90%.
2) Bagian dari penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB, sebesar 80%).
3) Bagian dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh), sebesar 20%.
Dana bagi hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumberdaya alam
lainnya, yaitu:
1) Bagian dari kehutanan sebesar 80%.
2) Bagian dari perikanan sebesar 80%.
3) Bagian dari pertambangan umum sebesar 80%.
4) Bagian dari panas bumi 80%, UU NAD tidak menyebutnya.
5) Bagian dari minyak bumi sebesar 15%.
6) Bagian dari gas bumi sebesar 30%.
Tambahan Penerimaan bagi Aceh sebagai Daerah Otonomi Khusus:
1) Dari Pertamabangan Minyak Bumi, sebesar 55 %
2) Dari Pertambangan Gas Bumi, sebesar 40 %
Kesimpulannya adalah, bagian yang diterima Aceh dari berbagai sumber
penghasilan tersebut, menurut UUPA ini, adalah sama dengan apa yang telah pernah
diatur dalam UU NAD (UU No. 18 tahun 2001).
1. Qanun, Peraturan gubernur dan Peraturan bupati/walikota, terdiri dari 14 pasal,
yakni pasal 232 s/d pasal 245.
2. Bendera, lambang, dan himne, terdiri dari 3 pasal, yaitu: pasal 246 s/d pasal 248.
Sebagaimana telah pernah dirumuskan dalam UU NAD, dalam UUPA juga
disebutkan bahwa: bendera daerah sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai
bendera kedaulatan di Aceh. Sementara itu ditegaskan pula bahwa bendera Merah
Putih adalah bendera nasional dalam NKRI.

D. Konsepsi Otonomi khusus di Papua (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001


tentang Otonomi Khusus Provinsi papua)
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 yang merupakan landasan yuridis
pelaksanaan otonomi khusus bagi Provinsi Papua adalah suatu kebijakan yang bernilai
strategis dalam rangka peningkatan pelayanan (service), dan akselerasi
pembangunan (aceleration development), serta pemberdayaan (empowerment)seluruh
rakyat di Provinsi Papua, terutama orang asli Papua. Melalui kebijakan ini diharapkan
dapat mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dengan propinsi-propinsi lain
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta akan memberikan peluang bagi
orang asli Papua untuk berkiprah di wilayahnya sebagai pelaku sekaligus sasaran
pembangunan.
Sebagai bentuk kebijakan di Papua, UU Nomor 21 Tahun 2001 ini memiliki
filosofi perlindungan, pemberdayaan, dan pemihakan. Filosofi ini diharapkan dapat
menjadi solusi untuk berbagai persoalan di Papua. Harapannya, kebijakan ini bisa
menjadi instrument efektif dalam mengakomodasi hak masyarakat Papua secara lebih
proporsional serta menyelesaikan berbagai persoalan mendasar di Papua seperti
kemiskinan, keterbelakangan, masalah sosial yang berkepanjangan, hingga kesenjangan
ekonomi. Dengan demikian, kebijakan otonomi khusus pada tataran umum sebenarnya
merupakan kebijakan yang dimaksudkan untuk mengakomodasikan tiga hal; menjawab
kebutuhan peningkatan dan perbaikan kesejahteraan daerah, mempertahankan integrasi
NKRI dan mencari jalan tengah terhadap kemelut di Papua selama ini.
Hal tersebut diatas merupakan beberapa dasar pertimbangan dikeluarkannya UU
tentang otonomi khusus sebagaimana tercantum dalam konsideran UU Nomor 21 Tahun
2001, yang secara lengkap sebagai berikut :
1. Bahwa cita-cita dan tujuan NKRI adalah membangun masyarakat Indonesia yang
adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Bahwa masyarakat Papua sebagai insan ciptaan Tuhan dan bagian dari umat manusia
yang beradab, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai-nilai agama, demokrasi,
hukum, dan nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakat hukum adat, serta
memiliki hak untuk menikmati hasil pembangunan secara wajar.
3. Bahwa sistem Pemerintahan NKRI menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengakui
dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang.
4. Bahwa integrasi dalam wadah NKRI harus tetap dipertahankan dengan menghargai
kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua melalui
penerapan daerah otonomi khusus.
5. Bahwa penduduk asli di Provinsi Papua adalah salah satu rumpun dari ras Melanesia
yang merupakan bagian dari suku-suku bangsa di Indonesia yang memiliki
keragaman kebudayaan, sejarah, adat-istiadat, dan bahasa sendiri.
6. Bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi
Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya
memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung
terwujudnya penegakkan hukum, dan belum sepenuhnya menampakkan
penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya
masyarakat Papua.
7. Bahwa pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum
digunakan secara optimal untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli sehingga
telah mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara Provinsi Papua dan daerah lain
serta merupakan pengabaian hak-hak dasar penduduk asli Papua.
8. Bahwa dalam rangka mengurangi kesenjangan antara Provinsi Papua dan Provinsi
lain, dan meningkatkan taraf hidup masyarakat di Papua, serta memberikan
kesempatan kepada penduduk asli Papua, diperlukan adanya kebijakan khusus dalam
kerangka NKRI.
9. Bahwa pemberlakuan kebijakan khusus dimaksud didasarkan pada nilai-nilai dasar
yang mencakup perlindungan dan penghargaan terhadap etika dan moral, hak-hak
dasar penduduk asli, Hak Asasi Manusia, supremasi hukum, demokrasi, pluralisme,
serta persamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sebagai warga negara.
10. Bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk
memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar
serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan
perlindungan Hak Asasi Manusia penduduk asli Papua.
11. Bahwa perkembangan situasi dan kondisi daerah Irian Jaya, khususnya menyangkut
aspirasi masyarakat menghendaki pengembalian nama Irian Jaya menjadi Papua
sebagaimana tertuang dalam Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya Nomor
7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus 2000 tentang pengembalian nama Irian Jaya
menjadi Papua.
12. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka dipandang perlu memberikan otonomi
khusus bagi Provinsi Papua yang ditetapkan dengan undang-undang.
Otonomi khusus bagi Provinsi Papua sebagaimana disebutkan dalam penjelasan UU
Nomor 21 Tahun 2001 pada dasarnya adalah pemberian kewenangan yang lebih luas
bagi provinsi dan rakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan yang lebih luas berarti
pula tanggung jawab yang lebih besar bagi Provinsi dan rakyat Papua untuk
menyelenggarakan pemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam di
Provinsi Papua untuk sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat Papua sebagai
bagian dari Rakyat Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Hal-hal yang mendasar yang menjadi isi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001
adalah: Pertama, pengaturan kewenangan antara pemerintah dengan Pemerintah Provinsi
Papua serta penerapan kewenangan tersebut di Provinsi Papua yang dilakukan dengan
kekhususan; Kedua, pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar orang asli Papua serta
pemberdayaannya secara strategis dan mendasar; dan Ketiga, mewujudkan
penyelenggaraan pemerintahan yang baik berciri:
1. partisipasi rakyat sebesar-besarnya dalam perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan
pembangunan melalui keikutsertaan para wakil adat, agama, dan kaum perempuan;
2. pelaksanaan pembangunan yang diarahkan sebesar-besarnya untuk memenuhi
kebutuhan dasar penduduk asli Papua pada khususnya dan penduduk Provinsi
Papua pada umumnya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip pelestarian
lingkungan, pembangunan berkelanjutan, berkeadilan dan bermanfaat langsung
bagi masyarakat.
3. penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan yang transparan
dan bertanggung jawab kepada masyarakat.
Keempat, pembagian wewenang, tugas, dan tanggung jawab yang tegas dan jelas antara
badan legislatif dan eksekutif, serta Majelis Rakyat Papua sebagai representasi cultural
penduduk asli Papua yang diberikan kewenangan tertentu. Sebagai akibat dari penetapan
otonomi khusus ini, maka ada perlakuan berbeda yang diberikan Pemerintah kepada
Provinsi Papua. Dengan kata lain terdapat hal-hal mendasar yang hanya berlaku di
Provinsi Papua dan tidak berlaku di provinsi lain di Indonesia, seiring dengan itu terdapat
pula hal-hal yang berlaku di daerah lain yang tidak diberlakukan di Provinsi Papua;
Berdasarkan sifat khusus tersebut, berlakulah asas hukum aturan yang khusus
mengesampingkan aturan yang umum (lex spesialis derogat legi generali). Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2001 terdiri dari XXIV Bab dan 79 Pasal, yang diawali dengan
konsideran dan diakhiri dengan penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
Berikut ini disajikan beberapa muatan dari keistimewaan dan kekhususan bagi
Pemerintahan Papua yang dikategorikan dalam bidang-bidang yang meliputi :
1. Bidang Pemerintahan
1. Kewenangan daerah
Provinsi Papua adalah Provinsi Irian Jaya yang diberi otonomi khusus
dalamkerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi khusus adalah
kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua.
a. Kewenangan Bersifat Khusus
Beberapa kewenangan yang bersifat khusus antara lain :
1) Provinsi Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
menggunakan Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara dan Indonesia Raya
sebagai Lagu Kebangsaan. Provinsi Papua dapat memiliki lambang daerah
sebagai panji kebesaran dan simbol kultural bagi kemegahan jati diri orang
Papua dalam bentuk bendera daerah dan lagu daerah yang tidak diposisikan
sebagai symbol kedaulatan.
2) Peraturan Peraturan Daerah Khusus, yang selanjutnya disebut Perdasus,
adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan pasal-
pasal tertentu dalam undang-undang otonomi khusus.
3) Peraturan Peraturan Daerah Provinsi, yang selanjutnya disebut Perdasi,
adalah Peraturan Daerah Provinsi Papua dalam rangka pelaksanaan
kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
4) Perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang hanya terkait
dengan kepentingan Provinsi Papua dilaksanakan setelah mendapat
pertimbangan Gubernur dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5) Pemerintah Papua dapat mengadakan kerjasama secara langsung dengan
lembaga atau badan di luar negeri sesuai dengan lembaga atau badan di luar
negeri sesuai dengan kewenangannya kecuali hal-hal yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat. Pemerintah Papua juga dapat berpartisipasi
secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional.
6) Pemerintah Papua dalam hal ini gubernur berkoordinasi dengan
pemerintah pusat dalam hal kebijakan tata ruang pertahanan di Provinsi
Papua. Koordinasi yang dilakukan oleh Gubernur dengan Pemerintah adalah
dalam hal pelaksanaan kebijakan tata ruang pertahanan untuk kepentingan
pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pelaksanaan operasi
militer selain perang di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

2. Bentuk dan Susunan Kepemerintahan


1) Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan
legislatif, yang terdiri atas anggota yang dipilih dan diangkat berdasarkan
peraturan perundang-undangan dan pemerintah provinsi sebagai badan
eksekutif daterdiri atas gubernur beserta perangkat pemerintah provinsi
lainnya.
2) Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Khusus di Provinsi Papua
dibentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan representasi kultural
orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka
perlindungan hak-hak orang asli Papua, dengan berlandaskan pada
penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan
pemantapan kerukunan hidup beragama.
3) Di kabupaten/kota dibentuk DPRD Kabupaten dan DPRD Kota sebagai
badan legislatif serta pemerintah kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif.
Pemerintah Kabupaten/Kota terdiri atas Bupati/Walikota beserta perangkat
pemerintah Kabupaten/Kota lainnya.
4) Di Kampung dibentuk Badan Musyawarah Kampung dan Pemerintah
Kampung atau dapat disebut dengan nama lain.
2. Bidang Perekonomian
1.Perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian
nasional dan global. Hal ini diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan
sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan
menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan. Usaha-usaha
perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam
dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan
jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian
lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan
dengan Perdasus. Sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan di Provinsi
Papua, Pemerintah Provinsi berkewajiban mengalokasikan sebagian dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Provinsi Papua yang diperoleh dari eksploitasi
sumber daya alam Papua untuk ditabung dalam bentuk dana abadi, yang hasilnya
dapat dimanfaatkan untuk membiayai berbagai kegiatan pembangunan di masa
mendatang.
2.Pemerintah Provinsi Papua dapat melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) dan perusahaan-perusahaan swasta yang berdomisili dan
beroperasi di wilayah Provinsi Papua. Tata cara penyertaan modal pemerintah
Provinsi Papua diatur dengan Perdasi.
3.Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau
masyarakat setempat. Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah
Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat
setempat. Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi,
Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat.
Pemberian kesempatan berusaha melakukan pemb erdayaan masyarakat adat agar
dapat berperan dalam perekonomian seluas-luasnya.
3. Bidang Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat dan Hak Asasi Manusia
(HAM)
1. Hak-Hak Masyarakat Adat
Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi,
memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman
pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku. Kewajiban sebagaimana dimaksud
juga merupakan kewajiban Pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur selaku
wakil pemerintah. Pemberdayaan hak-hak tersebut meliputi pembinaan dan
pengembangan yang bertujuan meningkatkan taraf hidup baik lahiriah maupun
batiniah warga masyarakat hukum adat. Hak-hak masyarakat adat tersebut meliputi
hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan para warga masyarakat
hukum adat yang bersangkutan. Dalam pelaksanaan hak ulayat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, dilakukan oleh penguasa adat masyarakat hukum adat yang
bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat, dengan menghormati
penguasaan tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain.
Penyediaan tanah ulayat dan tanah perorangan warga masyarakat hukum
adat untuk keperluan apapun, dilakukan melalui musyawarah dengan masyarakat
hukum adat dan warga yang bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai
penyerahan tanah yang diperlukan maupun imbalannya.
Pemerintah Provinsi berkewajiban melindungi hak kekayaan intelektual orang asli
Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hak kekayaan intelektual
orang asli Papua berupa hak cipta mencakup hak-hak dalam bidang kesenian yang
terdiri dari seni suara, tari, ukir, pahat, lukis, anyam, tata busana dan rancangan
bangunan tradisional serta jenis-jenis seni lainnya, maupun hakhak yang terkait
dengan sistem pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan oleh masyarakat asli
Papua, misalnya obat-obatan tradisional dan yang sejenisnya. Perlindungan ini
meliputi juga perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual anggota masyarakat
lainnya di Provinsi Papua.
2. Hak Asasi Manusia
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan,
memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua.
Untuk melaksanakan hal tersebut pemerintah membentuk perwakilan Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah:
1) melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan
kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2) merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi. Untuk
menegakkan Hak Asasi Manusia kaum perempuan, pemerintah provinsi
berkewajiban membina, melindungi hak-hak dan memberdayakan perempuan
secara bermartabat dan melakukan semua upaya untuk memposisikannya
sebagai mitra sejajar kaum laki-laki.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Desentralisasi asimetris (asymmetrical decentralization) merupakan desentralisasi
luas mencakup desentralisasi politik, ekonomi, fiskal, dan administrasi, namun tidak
harus seragam untuk semua wilayah negara, mempertimbangkan kekhususan masing-
masing daerah. Inti desentralisasi asimetris adalah terbukanya ruang gerak implementasi
dan kreativitas provinsi dalam pelaksanaan pemerintahan di luar ketentuan umum. Jika
dilihat dari keempat (4) Undang-Undang kehususan dan keistimewaan dalam Provinsi
DIY, DKI, Aceh dan Papua telah menggambarkan penerapan desentralisasi asimetris.
DIY memiliki pengaturan yang khas pada tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas,
dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan Pemerintah Daerah DIY,
kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang. DKI memiliki kekhususan karena berkedudukan
sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga memiliki tugas, hak,
kewajiban dan tanggung jawab terterntu dalam penyelenggaraan pemerintahan. Aceh
memiliki pengaturan yang khusus mengenai penyelenggaran kehidupan beragama,
kehidupan adat, penyelenggaraan pendidikan dan peran ulama dalam penetapan
kebijakan Daerah serta pemberdayaan perekonomian Aceh. Papua memiliki pengaturan
yang khusus mengenai bidang pemerintahan, perekonomian dan hak masyarakat dan hak
asasi manusia.

B. Saran

Hendaknya penerapan desentralisasi asimetris yang diterapkan pada 4 (empat)


Undang-Undang, yakni Undang-Undang Keistimewaan DIY, Undang-Undang Daerah
Khusus Ibu kota Jakarta sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-
Undang Pemerintahan Aceh dan Undang-Undang Otonomi Khusus Provinsi Papua
dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh daerah masing-masing dengan tetap
berpendirian dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjalin hubungan yang
harmonis pada pemerintah pusat dan daerah yang lain. Hendaknya pemerintah pusat
melakukan harmonisasi yang baik antara undang-undang dengan Peraturan Pemerintah
ataupun Peraturan Presiden berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi asimetris pada 4
(empat) undang-undang diatas.

Anda mungkin juga menyukai