Anda di halaman 1dari 21

Sejarah Desentralisasi

Pengertian Desentralisasi
Istilah "desentralisasi" mencakup berbagai konsep yang harus hati-
hati dianalisis di negara tertentu sebelum menentukan apakah proyek-proyek atau
program-program reorganisasi harus mendukung keuangan, administrasi, atau
sistem pelayanan. Desentralisasi-pengalihan wewenang dan tanggung jawab atas
fungsi publik dari pemerintah pusat untuk bawahan atau quasi-independen
organisasi pemerintah dan / atau sektor swasta-adalah konsep multifaset kompleks.
Jenis desentralisasi harus dibedakan karena mereka memiliki karakteristik yang
berbeda, implikasi kebijakan, dan kondisi untuk sukses.

Lahirnya konsep desentralisasi merupakan upaya untuk mewujudkan


seuatu pemerintahan yang demokratis dan mengakhiri pemerintahan yang
sentralistik. Pemerintahan sentralistik menjadi tidak populer karena telah dinilai tidak
mampu memahami dan memberikan penilaian yang tepat atas nilai-nilai yang hidup
dan berkembang di daerah.

Desentralisasi adalah pembentukan daerah otonom dengan


kekuasaan kekuasaan tertentu dan bidang-bidang kegiatan tertentu yang
diselenggarakan berdasarkan pertimbangan, inisiatif, dan administrasi sendiri,
sehingga akan dijumpai proses pembentukan daerah yang berhak mengatur
kepentingan daerahnya.
Menurut The Liang Gie (dikutip oleh Muhammad Fauzan, 2006 : 48),
desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah didasarkan pada :

1. Dilihat dari sudut politik, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah


penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang apda akhirnya dapat
menimbulkan tirani.

1. Penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai pendemokrasian, untuk


menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam
menggunakan hak-hak demokrasi.

1. Dari sudut teknis organisatoris pemerintahan, desentralisasi adalah untuk


mencapai suatu pemerintahan yang efesien.
 Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak
akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga.
Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan daerah propinsi
akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang
bersifat otonom (streek dan locale rechtgemeenschappen) atau bersifat
daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan
dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan
diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan
akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

 Dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250


zelfbesturende landschappen dan volksgemeen-schappen, seperti desa di
Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan
sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh
karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.

B. Sejarah Perkembangan Desentralisasi di Indonesia


1. Era Kolonial
Hindia Belanda pertama kali yang membawa konsep desentralisasi-
sentralisasi di Indonesia. Tahun 1822 dapat dicatat sebagai tahun bermulanya
konsep ini, sebagaimana telah dikeluarkannya Regelement op het Beleid der
Regering van Nederlandsch Indie. Peraturan ini menegaskan bahwa di Hindia
Belanda tidak dikenal adanya desentralisasi karena sistem yang digunakan adalah
sentralisasi. Namun disamping sentralisasi, di kenal juga dekonsentrasi yaitu dikenal
adanya wilayah-wilayah administrasi yang diatur secara hierarkis mulai Gewest
(residentie), Afdeling, District, dan Onderdistrict.

Sesuai dengan perubahan politik di negeri Belanda, sistem ini mengalami


revisi. Pada tahun 1903 pemerintah Belanda melalui staatsblaad 1903 No. 326
mengundangkan Decentralisatie Wet yang memuat ketentuan yang berasal dari
Regering Reglement tahun 18541[1]. Dengan adanya peraturan ini dimungkinkan
adanya daerah otonom (gewest) yang memiliki kewenangan mengurus keuangan
sendiri. Ketentuan ini kemudian dipertegas lagi melalui Decentralisatie Besluit dan
Locale Redenor-denantie yang dikeluarkan tahun 1905.

Perkembangan desentralisasi saat itu, yang dimulai sejak tahun 1903 (vide
Desentralisatie Wet 1903) di dorong oleh kebutuhan sebagai akibat mulai masuknya
1[1] Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Hal
396
modal swasta dengan masuknya paham liberalism ke Hindia Belanda sejak tahun
1870 (vide Agrarische Wet 1870). Pengambilan keputusan yang masih
disentralisasikan pada waktu itu menyebabkan beban pejabat-pejabat pemerintah
pusat makin lama makin bertambah berat dengan makin banyaknya masalah yang
menyangkut pelayanan masyarakat yang harus di atur dan dilaksanakan oleh
pemerintah.

Akibatnya, pengambilan keputusan sangat lambat karena banyaknya


masalah yang harus diputuskan oleh pusat. Selain itu, karena faktor jarak yang
terlalu jauh, sehingga sering keputusan yang diambil tidak sesuai keinginan dan
tidak tepat waktu karena pejabat pejabat pusat tidak cukup memahami
permasalahan secara keseluruhan.

Hingga kemudian Jepang masuk pada tahun 1945, konsep yang sudah
dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda ini tidak dipakai lagi. Pemerintah Jepang
menerapkan sistem sentralisasi penuh dengan kekuasaan militer sebagai
sentralnya.

2. Era Kemerdekaan

Di era kemerdekaan, Pasal 18 UUD 1945 (redaksi lama) beserta


penjelasannya menyatakan bahwa daerah Indonesia terbagi dalam daerah yang
bersifat otonom atau bersifat daerah administrasi. UUD 1945 yang disahkan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, Pasal 18
yang bertajuk Pemerintahan Daerah itu selengkapnya berbunyi :
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan
mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak
asal-usul dalam daerah-daerah yang sifatnya istimewa”.

Ketua PPKI Ir. Soekarno dalam pengantarnya berkenaan dengan pasal


pemerintahan daerah itu, berkata : ‘Tentang Pemerintah Daerah, di sini hanya ada
satu pasal, yang berbunyi: ”Pemerintah Daerah disusun dalam Undang-
Undang“. Hanya saja, dasar-dasar yang telah dipakai untuk negara itu juga harus
dipakai untuk Pemerintah Daerah. Artinya, Pemerintah Daerah harus juga bersifat
permusyawaratan, dengan lain perkataan harus ada Dewan Perwakilan Daerah.
Dan adanya daerah-daerah istimewa diindahkan dan dihormati, Kooti-Kooti,
Sultanat-Sultanat tetap ada dan dihormati susunannya yang asli, akan tetapi itu
keadaannya sebagai daerah, bukan negara; jangan sampai ada salah paham dalam
menghormati adanya daerah “Zelfbesturende landschappen”, hanyalah daerah saja,
tetapi daerah istimewa yaitu yang mempunyai sifat istimewa. Jadi daerah-daerah
istimewa itu suatu bagian dari Staat Indonesia, tetapi mempunyai sifat istimewa,
mempunyai susunan asli. Begitupun adanya “Zelfstandige Gemeenschappen”
seperti desa, di Sumatera negeri (di Minangkabau), marga (di Palembang), yang
dalam bahasa Belanda disebut “Inheemsche Rechtsgemeenschappen”. Susunannya
asli itu dihormati”.

Di kala itu, yang disahkan PPKI adalah Pembukaan UUD 1945, Batang Tubuh
(37 pasal), Aturan Peralihan (4 pasal), dan Aturan Tambahan (2 butir angka), dan
belum ada Penjelasan. Penjelasan, yang kelak dikenal dengan penamaan
Penjelasan UUD 1945, baru dimunculkan kurang lebih enam bulan kemudian,
dimuat dalam Berita Repoeblik Indonesia Tahun II Nomor 7, tanggal 15 Februari
1946, disertai pengantar redaksi, sebagai berikut: “Oentoek memberikan
kesempatan lebih loeas lagi kepada oemoem mengenai isi Oendang-Oendang
Dasar Pemerintah jang semoelanya, di bawah ini kita sadjikan pendjelasan
selengkapnja”.

Penjelasan tersebut memang tidak dimaksudkan sebagai bagian naskah


otentik konstitusi, apalagi penjelasan itu tidak dibuat serta tidak disahkan oleh PPKI.
Pemuatan Penjelasan UUD 1945 pada halaman 51 sampai dengan 56 Berita
Repoeblik Indonesia terpisah dari pemuatan UUD 1945 (halaman 45 sampai dengan
48), diantarai dengan pemuatan nama-nama daerah (provinsi) dalam lingkungan
republik serta Makloemat Pemerintah Repoeblik Indonesia, bertanggal 1 November
1945, yang ditandatangani Wakil Presiden Drs. Mohamad Hatta. Menelaah rumusan
bagian ‘Oemoem’ dari Penjelasan UUD 1945 serta Penjelasan tafsir setiap pasal
UUD dapat disimpulkan bahwasanya naskah Penjelasan UUD 1945 hampir
seluruhnya disusun oleh Prof. Mr. Dr. Soepomo, Menteri Kehakiman di awal
Pemerintahan RI.
Pada Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 mengenai Pemerintahan Daerah,
dikemukakan:

Pada 1948 dikeluarkan UU No. 22 tahun 1948 guna menyempurnakan UU


sebelumnya yang dirasakan masih dualistic. UU No. 22 tahun 1948 ini menganut
asas otonomi formal dan kepmateriil sekaligus. Ini terlihat dari pasal 23 (2) yang
menyebut urusan yang diserahkan kepada Daerah( materiil ) dan pasal 28 yang
mnyebutkn adanya pembatasan-pembatasan bagi DPRD untuk tak membuat Perda
tertentu yang telah diatur oleh pemerintah yang tingkatanya lebih tinggi. Hal ini yang
menunjukan adanya keinginan untuk memperluas otonomi daerah. 2[2]

3. Era Orde Baru 1966 – 1998

Permasalahan pemerintahan di era Orde Lama, kurang mampu diredam Orde


Baru. Orde Baru hanya menyelesaikan permasalahan terkait pengorganisasian
militer, namun pada saat yang sama justru semakin memperparah dua
permasalahan terpenting yaitu mengembangkan sistem pemerintahan dan
keuangan daerah yang semakin tersentralisir, dan semakin memperlebar dikotomi
struktur ekonomi yang fundamental antara Jawa dan Luar Jawa.

Sentralisasi sumberdaya politik dan ekonomi di tangan sekelompok kecil elit


di pemerintah pusat adalah konsekuensi yang melekat dari sistem politik otoritarian
tersebut. Bahkan, sentralisasi ini masih diperparah lagi dengan dikembangkannya
uniformitas supra- dan infra-struktur politik.

Orde Baru mengatur pemerintahan lokal secara detail dan diseragamkan


secara nasional. Organ-organ supra-struktur politik lokal diatur secara terpusat dan
seragam tanpa mengindahkan heterogenitas ‘sistem politik’ lokal yang telah eksis
jauh sebelum terbentuknya konsep kebangsaan Indonesia. Melalui strategi
korporatisme negara, pemerintah Orde Baru melakukan penunggalan kelompok
kepentingan yang dikontrol secara terpusat. Para buruh di seluruh nusantara hanya
diakui eksistensinya apabila bernaung di bawah SPSI. Demikian pula halnya untuk
pegawai negeri yang telah disediakan Korpri, untuk guru telah disediakan PGRI,

2[2] Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, Hal 224-225
untuk petani telah disediakan HKTI, untuk pengusaha telah disediakan KADIN, untuk
para wartawan telah disediakan PWI, dan lain-lain. Kondisi tersebut diperparah
dengan adanya sentralisasi kelembagaan kelompok kepentingan dan kemudian
menjadi salah satu mesin politik untuk membangun dukungan masyarakat
(walaupun mungkin semu) kepada pemerintah melalui organisasi payung yang
dinamakan Golongan Karya.

Dengan kata lain, dalam era Orde Baru telah terjadi proses negaraisasi (state
formation) secara luar biasa yang berusaha menisbikan eksistensi politik lokal yang
telah lama berakar di masyarakat. Hal ini menjadi semakin efektif melalui
keterlibatan militer dalam day-to-day politics yang secara intens menumbuhkan
suasana ketakutan (baik represi ideologis maupun fisik) di kalangan komunitas
politik yang berusaha menolak dominasi pusat. Administrasi negara juga terlalu
banyak merambah di dalam kehidupan privat, seperti pengurusan Kartu Tanda
Penduduk, Surat Kelakuan Baik, Keterangan Bersih Lingkungan, dan lain-lain yang
menciptakan ketergantungan individu kepada negara.

Mekanisme kontrol politik secara nasional tersebut bahu-membahu dengan


sentralisasi pengelolaan sumber daya ekonomi secara nasional yang sangat bias
pusat (Jakarta, dan kemudian Jawa). Dengan wacana pembangunan nasional,
pemerataan pembangunan antar daerah dan integrasi nasional, pemerintah
melakukan pengelolaan sumber daya ekonomi daerah secara nasional.
Pertambangan, hutan, beberapa hasil laut dan beberapa jenis perkebenan dikelola
secara nasional yang hasilnya dibawa secara penuh ke Jakarta.

Mekanisme sentralistis semacam ini terus berkepanjangan karena dua hal


utama. Pertama, pada tingkat nasional, elit politik pembuat keputusan tidak
mempunyai basis politik lokal sama sekali. Kekuatan eksekutif nasional (yang bisa
jadi hanya Lembaga Kepresidenan, dan bahkan hanya Suharto saja) yang menjadi
aktor tunggal dalam pentas politik nasional tidak berakar dari bawah, dan bahkan
tidak membutuhkan dukungan politik dari masyarakat untuk kelangsungan
kekuasaan politik mereka. Kedua, pada tingkat daerah, masyarakat politik lokal
teralienasi dari mekanisme politik yang telah sepenuhnya ternasionalisasi. Bahkan
juga, arena politik lokal telah dimonopoli oleh orang pusat yang ada di daerah.

Karena supra-struktur dan infra-struktur politik lokal telah mengalami negaraisasi


secara substansial, maka praktis tidak ada resistensi politik daerah yang memadai
terhadap sentralisasi pengelolaan sumber daya ekonomi yang terpusat ini. Dengan
kata lain, secara ringkas bisa dikatakan bahwa berbagai sosok bias pusat dalam
distribusi sumber daya politik dan ekonomi yang terjadi selama 32 tahun terakhir ini
adalah produk dari sebuah rejim politik otoritarian yang membangun legitimasi
politiknya melalui sentralisasi serta monopoli sumber daya politik dan ekonomi
secara nasional.

Namun, cara kerja politik yang sentralistis dan monolitis ini hanya mampu
memperbaiki keadaan sesaat dan bersifat semu belaka. Sinyal-sinyal kegagalan
pengaturan politik lokal Orde baru semakin mencolok ke permukaan tatkala
beberapa masyarakat daerah, terutama Irian Jaya dan Aceh, menuntut perubahan
mendasar dalam pengaturan politik lokal dan dalam hubungan pusat-daerah di
tahun 1997an. Bahkan, salah satu bentuk tuntutan itu adalah tuntutan separatis
untuk membentuk negara sendiri. Tuntutan pembentukan negara sendiri atau
melepaskan diri dari bagian wilayah NKRI benar-benar terwujud yakni dengan
lepasnya Propinsi Timor Timur dari bagian wilayah NKRI melalui referendum pada
era Presiden Habibie.

Fakta-fakta tentang adanya tuntutan separatis yang akhirnya diwujudkan


melalui lepasnya Timor Timur dari wilayah Indonesia merupakan bukti bahwa
‘ketaatan’ komunitas politik lokal terhadap pusat yang terjadi selama ini adalah
sebuah ketaatan yang semu dan penuh keterpaksaan. Tentu saja konsep negara-
bangsa semacam ini sangat rentan terhadap gejolak. Tatkala krisis ekonomi
melanda Indonesia, tatkala reformasi politik digulirkan masyarakat, dan tatkala
pelanggaran HAM di Indonesia semakin menjadi sorotan dunia, maka tatkala itulah
proses pembusukan politik (bukan pembangunan politik) Orde Baru mulai terangkat
ke permukaan.
Akhirnya, desentralisasi atau otonomi daerah pada masa Orde Baru
bukannya tak ada sama sekali. Undang-undang No 5 tahun1974 tentang Pokok-
pokok Pemerintahan di Daerah. Namun, sebagaimana terwujud dalam praktiknya,
UU tersebut tampaknya lebih disusun dalam kerangka sentralisasi ketimbang
merupakan sebuah landasan bagi terlaksananya desentralisasi. Salah satu
penjelasan UU tersebut juga secara tegas mengatakan otonomi daerah pada
hakekatnya lebih merupakan kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban daerah untuk
ikut melancarkan jalannya pembangunan.

4. Era Reformasi
Bermula dari Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dilanjutkan dengan
7 Mei 1999, lahir UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya UU No.
25/1999 yang mengatur hubungan keuangan pusat dan daerah, menggantikan UU
No. 5/1974 yang sentralistik.

Kedua undang-undang ini mengatur wewenang otonomi yang diberikan luas


kepada pemerintah tingkat kabupaten dan kota. Bupati dan walikota pun dinyatakan
bukan lagi sebagai aparat pemerintah yang hierarkis di bawah gubernur. Jabatan
tertinggi di kabupaten dan kota itu merupakan satu-satunya kepala daerah di tingkat
lokal, tanpa bergantung pada gubernur. Setiap bupati dan walikota memiliki
kewenangan penuh untuk mengelola daerah kekuasaannya. Keleluasaan atas
kekuasaan yang diberikan kepada bupati/walikota dibarengi dengan mekanisme
kontrol (checks and balances) yang memadai antara eksekutif dan legislatif.

Parlemen di daerah tumbuh menjadi sebuah kekuatan politik riil yang baru.
Lembaga legislatif ini secara merdeka dapat melakukan sendiri pemilihan gubernur
dan bupati/walikota tanpa intervensi kepentingan dan pengaruh politik pemerintah
pusat. Kebijakan di daerah juga dapat ditentukan sendiri di tingkat daerah atas
kesepakatan pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD).
Undang-undang yang baru juga mengatur bahwa setiap peraturan daerah dapat
langsung dinyatakan berlaku setelah disepakati sejauh tidak bertentangan dengan
peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini kontras berbeda
dengan ketentuan sebelumnya yang mensyaratkan adanya persetujuan dari
penguasa pemerintahan yang lebih tinggi bagi setiap perda yang akan diberlakukan.

UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 juga memberikan kerangka yang cukup


ideal bagi terwujudnya keadaan politik lokal yang dinamis dan demokratis di setiap
daerah. Namun, praktik-praktik politik yang menyusul setelah itu masih belum
sepenuhnya memperlihatkan adanya otonomi yang demokratis. Setidaknya terdapat
dua penyebab utama mengapa hal ini bisa terjadi.

Pertama, pemerintah pusat rupanya tak kunjung serius memberikan hak


otonomi kepada pemerintahan di daerah. Ketidakseriusannya dapat dilihat dari
pembiaran pemerintah pusat terhadap berbagai peraturan perundang-undangan
lama yang tidak lagi sesuai dengan UU otonomi yang baru. Padahal, ada ratusan
Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan berbagai peraturan lainnya yang
harus disesuaikan dengan kerangka otonomi daerah yang baru. Ketiadaan aturan
pelaksanaan baru yang mendukung otonomi daerah yang demokratis menjadikan
kedua UU menyangkut otonomi daerah itu mandul dan tak efektif. Sementara di
tingkat daerah, ketiadaannya telah melahirkan kebingungan.

Kedua, desentralisasi telah menggelembungkan semangat yang tak


terkendali di kalangan sebagian elit di daerah sehingga memunculkan sentimen
kedaerahan yang amat kuat. Istilah “putra daerah” mengemuka di mana-mana
mewakili sentimen kedaerahan yang terwujud melalui semacam keharusan bahwa
kursi puncak pemerintahan di daerah haruslah diduduki oleh tokoh-tokoh asli dari
daerah bersangkutan. Hal ini tentu saja bukan sesuatu yang diinginkan apalagi
menjadi tujuan pelaksanaan otonomi daerah. Bagaimanapun, fenomena “putra
daerah” itu begitu meruak di berbagai daerah.

Hubungan pusat dan daerah juga masih menyimpan ancaman sekaligus


harapan. Menjadi sebuah ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah
kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Bermula dari kemerdekaan Timor Timur
(atau Timor Leste) pada tanggal 30 Agustus 1999 melalui referendum. Berbagai
gelombang tuntutan disintegrasi juga terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh,
Papua, Riau dan Kalimantan. Meskipun ada sejumlah kalangan yang menganggap
bahwa kemerdekaan Timor Timur sudah seharusnya diberikan karena perbedaan
sejarah dengan bangsa Indonesia dan merupakan aneksasi rezim Orde Baru, tetapi
efek domino yang timbulkannya masih sangat dirasakan, bahkan dalam MoU
Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh.Gejolak terus berlanjut hingga,
Aceh dan Papua akhirnya diberi otonomi khusus.

Menjadi harapan, karena Amandemen kedua konstitusi, telah mengubah


wajah Pemerintahan Daerah menjadi lebih demokratis dan lebih bertanggung jawab.
Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 (redaksi baru), Perubahan Kedua, berbunyi,
“Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemreintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah
Pusat“. Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 tidak dapat dibaca secara terpisah dengan Pasal
18 ayat (1) dan (5) UUD 1945 (redaksi baru).
Dalam pemhaman ini, M. Laica Marzuki mengatakan, bentuk negara (de
staatsvorm) RI secara utuh harus dibaca -dan dipahami- dalam makna: Negara
Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, yang disusun
berdasarkan desentralisatie, dijalankan atas dasar otonomi yang seluas-luasnya,
menurut Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 (redaksi baru) juncto Pasal 18 ayat (1) dan (5)
UUD 1945 (redaksi baru).

Lima tahun berlangsung, UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 dipandang perlu
direvisi, hingga lahirlah UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.
33/2004 tentang Perimbangan Keuangan menggantikan UU No. 22/1999 dan UU
No. 25/1999 tersebut. Pasal 1 angka 7 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah merumuskan desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut adalah Pemerintah Pusat,
dalam hal ini Presiden RI yang memegang kekuasaan pemerintahan negara RI,
menurut UUD 1945 (Pasal 1 angka 1 UU Nomor 32 Tahun 2004).

Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah


otonom bermakna peralihan kewenangan secara delegasi, lazim disebut delegation
of authority. Tatkala terjadi penyerahan wewenang secara delegasi, pemberi
delegasi kehilangan kewenangan itu, semua beralih kepada penerima delegasi.
Dalam hal pelimpahan wewenang secara mandatum, pemberi mandat atau
mandator tidak kehilangan kewenangan dimaksud. Mandataris bertindak untuk dan
atas nama mandator.

Dengan demikian, dalam hal penyerahan kewenangan pemerintahan oleh


pemerintah pusat kepada daerah otonom secara delegasi, untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan memberikan konsekuensi bahwasanya pemerintah
pusat kehilangan kewenangan dimaksud. Semua beralih kepada daerah otonom,
artinya menjadi tanggungjawab pemerintahan daerah, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai urusan pemerintah pusat. Pasal 10
ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan, bahwasanya urusan
pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi a. politik luar negeri,
b. pertahanan, c. keamanan, d. yustisi, e. moneter dan fiskal, f. agama.

Pusat tidak boleh mengurangi, apalagi menegasikan kewenangan


pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah otonom. Namun demikian,
daerah otonom-daerah otonom tidak boleh melepaskan diri dari Negara Kesatuan
RI. Betapa pun luasnya cakupan otonomi, desentralisasi yang mengemban
pemerintahan daerah tidaklah boleh meretak-retakkan bingkai Negara Kesatuan RI.

Secara formal normatif, arah desentralisasi sudah cukup baik. Namun, dalam tataran
empiris komitmen pemerintah pusat tidak konsisten. Praktek-praktek monopoli dan
penguasaan urusan-urusan strategis yang menyangkut pemanfaatan sumber daya alam
termasuk perizinan di daerah, dikuasai pusat.

Intervensi pusat pada daerah begitu besar. Penyerahan urusan/wewenangan yang


semestinya dilakukan dengan penyerahaan sumber keuangan tidak dilakukan. Pusat
melakukan penganggaran pembangunan daerah tanpa melibatkan DPRD sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah. Pembiayaan fungsi-fungsi pemerintahan di daerah
lebih dominan berasal dari APBN, yang semestinya diserahkan sebagai dana perimbangan
untuk APBD. UU No. 32 Tahun 2004 ini sempat mengalami perubahan berdasarkan UU No.
8 tahun 2005 dan UU No. 12 tahun 2008.

Tahun 2007, kemudian dikeluarkan PP No. 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan. Walau
telah dibagi-bagi kewenangan pusat dan daerah, namun PP ini dipandang telah mendelegasikan
kewenangan daerah. Revisi lebih komprehensif kemudian diwacanakan kembali pada UU No.
32/2004 untuk lebih menterjemahkan lebih kongkrit kewenangan pusat dan daerah

SEJARAH DESENTRALISASI DI
INDONESIA DARI MASA KE MASA
Standar

Perkembangan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia telah mengalami pasang surut
mulai sejak jaman kolonial Belanda sampai saat ini. Pengaruh kekuasaaan regim tampaknya
menjadi salah satu elemen yang turut mempengaruhi pasang surutnya desentralisasi dan
otonomi daerah di Indonesia. Oleh karena itu bentuk, dimensi dan derajat desentralisasi dan
otonomi daerah pun selalu berbeda-beda sesuai dengan keinginan regim yang berkuasa pada
zamannya.

Berikut penulis paparkan sejarah perjalanan desentralisasi dalam pemerintahan Indonesia dari
masa ke masa.

1. A. Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Peraturan dasar ketatanegaraan Reglement op het Beleid der Regering van Nederlandsch
Indie (Stb 18552/2) : tidak mengenal desentralisasi hanya sentralisasi dengan menjalankan
dekonsentrasi. Secara hirarkis di Jawa dikenal istilah Gewest (Residentie), Afdeeling,
District, dan Onder-district.

Perkembangan politik dan pemerintahan, baik di Hindia Belanda maupun di negeri Belanda
Sendiri. Tahun 1903 Pemerinah Kerajaan Belanda menetapkan Wethoudende Decentralisatie
van het bestuur in Nederlandsch Indie (Stb.1903/329) yang dikenal dengan istilah
Decentralisatie 1903. Memungkinkan untuk membentuk Gewest atau bagian Gewest yang
mempunyai keuangan sendiri untuk membiayai segala kegiatannya.

Demi memuaskan (karena terbatas) selanjutnya dikeluarkan Wet op de Bestuurshervoriming


(Stb.1922/216) yang menitik beratkan pada pembentukan badan-badan pemerintahan baru
dengan mengikutsertakan “penduduk asli” dengan pemberian hak untuk menyelenggarakan
pemerintahan dan pembebanan tanggung jawab agar lambat laun memperoleh pengalaman
politik (politieke schooling). Pelaksanaan lebih lanjut undang undang ini diatur dengan
Provincie-ordonnantie (Stb.1924/78), Regentschap-ordonnantie (Stb.1924/79) dan
Stadsgemeente-ordonnantie (Stb. 1926/365).

1. B. Masa Pemerintahan Jepang


Pada awalnya pemerintahan bekas wilayah jajahan Belanda di bagi kedalam 3 komando yang
dilaksanakan oleh komando angkatan masing masing yang disebut Gunseikan. Komando
tersebut adalah :

 Sumatera dibawah komando Panglima Angkatan darat XXV yang berkedudukan di


Bukittinggi.

 Jawa dan Madura berada dibawah Komando Panglima Angkatan darat XVI yang
berkedudukan di Jakarta.

 Daerah lainnya berada di bawah Komando Panglima Angkatan Laut yang


berkedudukan di Makasar.

Pada Tanggal 11 September 1943 kekuasaan pemerintah berada pada satu tangan, yaitu
tangan Saikosikikan yang berkedudukan sebagai Gubernur Jenderal. Dibawah Saikosikikan
segala sesuatu dilakukan oleh Kepala Staf (Gunseikan) yang sekaligus sebagai kepala staf
angkatan perangnya. Aturan yang dikeluarkan oleh Saikosikikan disebut Osamuseirei dan
yang dikeluarkan oleh kepala staf disebut Osamukanrei. Osamuseirei nomor 3 yang
dkeluarkan oleh saikosikikan mengatur pemberian wewenang kepada Walikota yang semula
hanya berhak untuk mengatur rumah tangga, selanjutnya diwajibkan juga untuk menjalankan
urusan Pemerintahan Umum.

1. C. Masa Pasca Proklamasi

2. 1. Masa Orde Lama

Setelah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan UUD 1945,


dibentuklah Panitia Kecil yang ditugaskan untuk mengatur hal hal, antara lain : Urusan
Rakyat, Pemerintahan Daerah, Pimpinan Kepolisian, dan Tentara Kebangsaan. Hal ini
terlihat jelas dalam keputusan yang dihasilkan PPKI pada Tangal 19 Agustus 1945 yang
intinya mengusahakan hal hal : untuk sementara menetapkan pembagian wilayah Negara RI
kedalam delapan daerah administratif yang disebut dengan Provinsi yang dipimpin oleh
seorang Gubernur, yang terdiri dari : Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku.

Masing-masing propinsi dibagi dalam Karesidenan yang dikepalai oleh seorang Residen.
Gubernur dan Residen dibantu oleh Komite Nasional Daerah. Dibawah Karisidenan, terdapat
unit-unit Pemerintahan Administratif Kabupaten, Daerah Kota, Kawedanan (distrik),
Kecamatan, (Onderdistrik), dan Desa. Dalam hal ini Komite Nasional Daerah menjalankan
fungsi legislatif yang merupakan penjelmaan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia untuk
menyelenggarakan kemerdekaan Indonesia berdasarkan kedaulatan rakyat dan berfungsi
dalam menyatakan kehendak rakyat. Perkembangan peraturan tentang pemerintahan daerah
adalah :

1. Dengan disetujui dan diundangkannya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1945 Tanggal
23 November 1945 maka berubahlah Komite Nasional Daerah menjadi Badan
Perwakilan Rakyat Daerah yang diketuai oleh Kepala Daerah tetapi tidak merupakan
anggota Badan Perwakilan Rakyat Daerah, sehingga tidak mempunyai hak suara.

2. Karena perkembangan keadaan, pada Tanggal 10 juli 1948 diundangkan Undang


Undang Nomor 22 Tahun 1948. Unsur yang menonjol dari undang undang ini adalah
sebutan Provinsi bagi Tingkat I, Kabupaten dan Kota Besar bagi Daerah Tingkat II,
dan Desa (Kota Kecil, Negeri, Marga, dsb) bagi Daerah Tingkat III. Dengan
tercapainya persetujuan Konferensi Meja Bundar Tanggal 27 Desember 1949, maka
Indonesia hanya berstatus sebagai Negara Bagian yang wilayahnya hanya meliputi
Jawa, Madura, Sumatera (minus Sumatera Timur) dan Kalimantan, sehingga UU
Nomor 22 Tahun 1948 tidak dapat dilakukan di seluruh Nusantara. Dengan berbagai
undang undang Pembentukan, maka dibentuklah daerah-daerah otonom di Jawa,
Madura dan Sumatera pada Tahun 1950 dan Kalimantan pada Tahun 1950.

3. Untuk mengakomodasi wilayah Negara Indonesia Timur, maka diberlakukan


Staablad Indonesia Timur (SIT) Nomor 44 Tahun 1950 yang isi dan jiwanya
mendekati Undang Undang Nomor 22 Tahun 1948. Dalam SIT Nomor 44 ini
menyebutkan bahwa Negara Indonesia Timur tersusun atas dua atau tingkatan
otonomi yaitu Daerah (13 buah), Daerah Bagian, dan Daerah Anak Bagian.

4. Pada Tanggal 17 Agustus 1950 terjadi perubahan ketatanegaraan, dimana Republik


Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan
UUDS Tahun 1950. Menurut UUDS Tahun 1950 pasal 1 ayat (1) dan pasal 131, maka
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan yang
didesentralisasikan. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, maka diundangkanlah
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang “Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
1956”. Menurut undang undang ini bahwa Daerah Otonom dapat dibedakan dalam
dua jenis, yaitu: Daerah Swatantra dan Daerah Istimewa. Daerah Swatantra terdiri
sebanyak banyaknya tiga tingkatan, yaitu : Daerah Tingat I termasuk Kotapraja
Jakarta Raya, Daerah Tingkat II termasuk Kotapraja, dan Daerah Tingkat II. Undang-
undang ini menetapkan bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah. Jabatan Kepala Daerah tidak
merupakan badan yang berdiri sendiri melainkan merupakan Ketua merangkap
anggota Dewan Pemerintah Daerah. Dewan Pemerintahan Daerah menjalankan
Pemerintahan dan bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
secara kolegial. Oleh karena itu, Dewan Pemerintah Daerah dapat dijatuhkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kepala Daerah adalah murni alat daerah, sehingga
pada masa berlakuknya undang-undang ini terjadi dualisme pimpinan di daerah, yaitu
disamping Kepala Daerah masih terdapat Kepala Wilayah sebagai Wakil Pemerintah
Pusat di daerah. Jadi daerah Tingkat I disamping terdapat Kepala daerah Tingkat I
juga terdapat Gubernur sedangkan di Daerah Tingkat II disamping Kepala daerah
Tingkat II ditemukan pula Bupati sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah.
Dualisme ini merupakan titik kelemahan dari Undang Undang nomor 1 Tahun 1957.

5. Akibat pergolakan politik yang tidak sehat dimasa demokrasi liberal yang hampir
membawa Indonesia ke kondisi perpecahan bangsa, maka pada Tangal 5 Juli 1959,
Presiden mengumumkan Dekrit Presiden, dengan pemberlakuan kembali UUD Tahun
1945 di seluruh wilayah nusantara. Untuk itu maka sementara pemerintah
mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 (disempurnakan) dan
Penetapan Presiden Nomor 5 tahun 1960 (disempurnakan). Penetapan nomor 6
mengatur tentang Pemerintahan Daerah (Kepala Daerah) dan Badan Pemerintah
Harian (BPH), sedangkan penetapan nomor 5 mengatur mengenai Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Gotong Royong (DPRD-GR) dan sekretariat daerah.

6. Pada Tangal 1 September 1965, presiden mengesahkan Undang Undang Nomor 18


Tahun 1965. Dalam undang-undang ini tidak lagi mengenal istilah Daerah Istimewa.
Bagi daerah-daerah yang sudah ada, untuk sementara tetap dipertahankan, sampai
dihapuskan.

1. 2. Masa Orde Baru

2. Sebelum Reformasi

Dengan lahirnya orde baru yang sangat bertolak belakang dengan masa orde lama, maka
dirasakan banyak peraturan dan perundang undangan yang tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip orde baru. Maka, dikeluarkanlah Undang Undang Nomor 6 Tahun 1969, yang antara
lain menetapkan tidak berlakunya Undang Undang Nomor 18 Tahun 1965. Selanjutnya
undang-undang tersebut diganti dengan Undang Undang Nomorr 5 Tahun 1974 pada tanggal
23 Juli 1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan Daerah.

Undang undang ini tidak lagi membentuk daerah Istimewa kecuali melanjutkan yang telah
terbentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1957. Secara tegas menunjukkan
adanya dua daerah otonom, yaitu Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Kepala Daerah
adalah Pejabat Negara yang menjalankan tugas-tugas di bidang dekosentrasi dan sebagai
Kepala Eksekutif dalam bidang desentralisasi. Untuk kedua tugas ini Kepala Daerah
bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat, sedangkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, Kepala Daerah hanya memberikan keterangan pertanggungjawaban dalam bidang
tugas pemerintahan daerah. Pemerintah pusat memperketat pengawasan atas pemerintah
daerah yang dikenal dengan tiga jenis pengawasan, yaitu : pengawsan preventif, pengawasan
represif, dan pengawasan umum.

1. Masa Reformasi hingga saat ini

Runtuhnya kekuatan rezim orde baru, telah mendorong masyarakat luas untuk menggugat
pondasi kekuatan ekonomi dan politik agar tidak lagi sentralistik. Lahirnya Undang Undang
Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999, setidaknya memiliki dua misi, yatu : Pertama, untuk
memuaskan semua daerah dengan memberikan ruang partisipasi politik yang tinggi melalui
“desentralisasi politik” dari pusat kepada daerah, dan memberikan kesempatan dan kepuasan
politik kepada masyarakat dengan memberikan kesempatan untuk menikmati simbol-simbol
utama demokrasi lokal (misal, pemilihan Kepala Daerah). Kedua,untuk memuaskan daerah-
daerah kaya sumber daya alam yang ‘memberontak’ dengan memberikan akses yang lebih
besar untuk menikmati sumberdaya alam yang ada di daerah mereka masing-masing.

Selanjutnya diikuti pula dengan Undang Undang yang tidak bisa dipisahkan, yaitu : Undang
Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Dua
undang-undang ini lahir untuk merespon kondisi sosial-politik, yaitu : merebaknya tuntutan
daerah untuk memperoleh otonomi yang lebih luas, bahkan tuntutan federasi dan merdeka,
serta semangat demokrasi yang menuntut ruang partisipasi yang luas. Dengan setting sosial
politik ini maka kedua undang undang ini hadir dengan Regulasi yang baru ini memberikan
kewenangan yang luas kepada daerah otonom yang meliputi seluruh bidang pemerintahan
kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta beberapa
kewenangan bidang lain. Disamping memperoleh kewenangan politik yang luas, daerah juga
memperoleh peluang partisipasi politik yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kesempatan
untuk memilih Kepala Daerah secara langsung, juga pembentukan Badan Perwakilan Desa
sebagai perkembangan baru bagi kehidupan demokrasi di tingkat desa.

Secara lebih detail, Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian dilanjutkan
dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan beberapa revisi, telah melakukan
perubahan signifikan dibandingkan dengan sistem yang digunakan di masa Orde Baru.
Perubahan tersebut antara lain :

Pertama, semangat otonomi daerah yang lebih besar ini dimulai dengan perubahan
simbolisasi pada nama daerah otonom. Istilah tingkatan daerah otonom (Dati I dan Dati II)
dihapuskan, dan diganti dengan istilah yang lebih netral, yaitu Propinsi, Kabupaten dan Kota.
Hal ini didasari semangat untuk menghindari citra bahwa tingkatan lebih tinggi (Dati I)
secara hierarkhis lebih berkuasa daripada tingkatan lebih rendah (Dati II). Padahal dua-
duanya merupakan badan hukum yang terpisah dan sejajar yang mempunyai kewenangan
berbeda.

Kedua, memperpendek jangkauan asas dekonsentrasi yang dibatasi hanya sampai


pemerintahan Propinsi. Pemerintahan Kabupaten dan Kota telah terbebas dari intervensi
pusat yang sangat kuat melalui perangkapan jabatan Kepala Daerah Otonom (Local Self-
government) dan Kepala Wilayah Administratif (Field Administration). Bupati dan Walikota
adalah Kepada Daerah Otonom saja. Sementara itu jabatan Kepala Wilayah pada kabupaten
dan Kota (dulu Kotamadya) sudah tidak dikenal lagi.

Ketiga, Bupati dan Walikota dipilih secara mandiri di daerah tanpa melibatkan pemerintah
Propinsi maupun pemerintah Pusat. Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. Oleh karena itu,
Bupati atau Walikota harus bertanggung jawab kepada dan bisa diberhentikan oleh DPRD
sebelum masa jabatannya usai. Sementara itu, pemerintah pusat (Presiden) hanya diberi
kekuasaan untuk ‘memberhentikan sementara’ seorang Bupati atau Walikota jika dianggap
membahayakan integrasi nasional. Pada tahun 2004, diperkenalkanlah Pemilihan Kepala
Daerah (Pilkada) Langsung di mana Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat dari
para pasangan calon yang diajukan oleh partai politik. Perubahan ke arah pendalaman
demokrasi ini terus berkembang. Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini kemudian
direvisi di tahun 2008 dengan memberikan kesempatan kepada calon perseorangan untuk
berkompetisi dalam Pilkada Langsung.

Keempat, Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian dilanjutkan oleh Undang
Undang Nomor 32 Tahun 2004 menghapuskan posisi wilayah administratif (field
administration) pada level Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Integrated Prefectoral
System yang sentralistis yang digunakan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974 diubah
menjadi Functional System, dan bukan sekedar Unintegrated Prefectoral System yang dikenal
pada Undang Undang Nomor 1 Tahun 1957.

Kelima, menempatkan pemerintahan kecamatan dan kelurahan sebagai perangkat Daerah


otonom dari Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Pemerintahan kecamatan menempati posisi
sebagai kepanjangan tangan pemerintahan daerah otonom (desentralisasi), dan bukan sebagai
aparat dekonsentrasi.

Keenam, memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah otonom yang meliputi
seluruh bidang pemerintahan kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan
fiskal, agama, serta ‘kewenangan bidang lain’. Hanya saja, definisi ‘kewenangan bidang lain’
ini ternyata masih sangat luas, sebab mencakup perencanaan dan pengendalian pembangunan
nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga
perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan SDM, pendaya gunaan SDA serta
teknologi tinggi strategis, koservasi dan standarisasi nasional.

Sementara itu, keuangan daerah juga mengalami beberapa perubahan. Melalui Undang
Undang Nomor 25 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004, secara makro
sumber-sumber keuangan daerah diperbesar, sejalan dengan dikembangkannya prinsip
perimbangan. Jumlah alokasi transfer keuangan ke daerah terus mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun. Jumlah ini juga semakin terasa untuk dua provinsi yang memperoleh otonomi
khusus (otsus), yaitu Papua dan Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam) melalui dana Otsus dan
penyesuaian. Semua ini dilakukan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan
daerah, meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah, serta meningkatkan sinergi
perencanaan pembangunan pusat dan daerah.

Secara garis besar adanya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang
Nomor 25 Tahun 1999 yang diberlakukan sejak Tanggal 1 Januari 2001 telah mengakibatkan
perubahan yang sangat besar dalam sistem pemerintahan di Indonesia, yaitu : yaitu pertama,
penghapusan sistem pemerintahan bertingkat sebagaimana ditetapkan oleh Undang Undang
Nomor 5 Tahun 1974. Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang sistem pemerintahan
daerah memberikan otonomi luas pada daerah Kabupaten dan Kota (dulu disebut sebagai
Kabupaten dan Kotamadya atau dati II). Sedangkan Propinsi diberikan otonomi terbatas.
Tidak ada hubungan hiearki Propinsi dengan Kabupaten/Kota.Kedua, DPRD sebagai Badan
Legislatif Daerah mempunyai peranan jauh lebih besar dibandingkan periode sebelumnya.
Dia berkedudukan sejajar dan menjadi mitra Pemerintah Daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Josef Riwi Kaho, Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta. 2005
Agus Dwiyanto, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat Studi
Kependudukan & Kebijakan UGM, Yogyakarta, 2003.

Nordholt, dkk, Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor, Jakarta, 2007

Amal, Ichlasul, Regional and Central Government in Indonesian Politics: West Sumatra and
South Sulawesi 1949-1979, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992

Gaffar, Affan, “Paradigma Baru Otonomi daerah dan Implikasinya” dalam: Reformasi
Menuju Pemulihan Ekonomi dan Otonomi Daerah. Refleksi Pemikiran Partai Golkar. Oleh
Anwar Adnan Saleh, dkk (editor). Lembaga Studi Pembangunan Indonesia, Jakarta. 2001

http://qbheadlines.com/debateroom2.php?did=55

http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2010/07/100714_pemekaran.shtml

Tentang iklan-iklan ini

SEJARAH PERKEMBANGAN OTONOMI DAERAH DI INDONESIA

A. Warisan Kolonial
Pada tahun 1903, pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblaad No. 329 yang memberi
peluang dibentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri. Kemudian staatblaad
ini deperkuat dengan Staatblaad No. 137/1905 dan S. 181/1905. Pada tahun 1922, pemerintah
kolonial mengeluarkan sebuah undang-undang S. 216/1922. Dalam ketentuan ini dibentuk sejumlah
provincie, regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan
locale ressort. Selain itu juga, terdapat pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat
setempat (zelfbestuurende landschappen).
Pemerintah kerajaan satu per satu diikat oleh pemerintahan kolonial dengan sejumlah
kontrak politik (kontrak panjang maupun kontrak pendek). Dengan demikian, dalam masa
pemerintahan kolonial, warga masyarakat dihadapkan dengan dua administrasi pemerintahan.

B. Masa Pendudukan Jepang


Ketika menjalar PD II Jepang melakukan invasi ke seluruh Asia Timur mulai Korea Utara ke
Daratan Cina, sampai Pulau Jawa dan Sumatra. Negara ini berhasil menaklukkan pemerintahan
kolonial Inggris di Burma dan Malaya, AS di Filipina, serta Belanda di Daerah Hindia Belanda.
Pemerintahan Jepang yang singkat, sekitar tiga setengah tahun berhasil melakukan perubahan-
perubahan yang cukup fundamental dalam urusan penyelenggaraan pemerintahan daerah di
wilayah-wilayah bekas Hindia Belanda. Pihak penguasa militer di Jawa mengeluarkan undang-undang
(Osamu Seire) No. 27/1942 yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Pada masa Jepang pemerintah daerah hampir tidak memiliki kewenangan. Penyebutan
daerah otonom bagi pemerintahan di daerah pada masa tersebut bersifat misleading.

C. Masa Kemerdekaan
1. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitikberatkan pada asas dekonsentrasi, mengatur
pembentukan KND di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap
perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam
tiga tingkatan yakni:
1) Provinsi
2) Kabupaten/kota besar
3) Desa/kota kecil.
UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja. Dalam
batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.
2. Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948
Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22
tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan
bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni:
a) Propinsi
b) Kabupaten/kota besar
c) Desa/kota kecil
d) Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri.
3. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra.
Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri,
dalam tiga tingkat, yaitu:
1) Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya
2) Daerah swatantra tingkat II
3) Daerah swatantra tingkat III.
UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya sesuai
Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950.
4. Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959
Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959 menitikberatkan
pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemen-elemen baru.
Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dikenal dangan daerah tingkat I,
tingkat II, dan daerah tingkat III.

Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi d aerah pada masa ini, bahwa kepala daerah
diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja.

5. Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965


Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni:
1) Provinsi (tingkat I)
2) Kabupaten (tingkat II)
3) Kecamatan (tingkat III)
Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan
politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di
daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya
oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin
pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan
yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan.
6. Periode Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
UU ini menyebutkan bahwa daerah berhak mengatur, dan mengatur rumah tangganya
berdasar asas desentralisasi. Dalam UU ini dikenal dua tingkatan daerah, yaitu daerah tingkat I dan
daerah tingkat II. Daerah negara dibagi-bagi menurut tingkatannya menjadi:
1) Provinsi/ibu kota negara
2) Kabupaten/kotamadya
3) Kecamatan
Titik berat otonomi daerah terletak pada daerah tingkat II karena daerah tingkat II
berhubungan langsung dengan masyarakat sehingga lebih mengerti dan memenuhi aspirasi
masyarakat. Prinsip otonomi dalam UU ini adalah otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
7. Periode Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
Pada prinsipnya UU ini mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih
mengutamakan desentralisasi. Pokok pikiran dalam penyusunan UU No. 22 tahun 1999 adalah
sebagai berikut:
1) Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan
asas desentralisasi dalam kerangka NKRI.
2) Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah daerah provinsi
sedangkan daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah daerah kabupaten dan
daerah kota.
3) Daerah di luar provinsi dibagi dalam daerah otonomi.
4) Kecamatan merupakan perangkat daerah kabupaten.
Secara umum, UU No. 22 tahun 1999 banyak m membawa kemajuan bagi daerah dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi sesuai perkembangan keinginan masyarakat
daerah, ternyata UU ini juga dirasakan belum memenuhi rasa keadilan dan kesejahteraan bagi
masyarakat.
8. Periode Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
Pada tanggal 15 Oktober disahkan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah Daerah
yang dalam pasal 239 dengan tegas menyatakan bahwa dengan berlakunya UU ini, UU No.
22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dinyatakan tidak berlaku lagi. UU baru ini
memperjelas dan mempertegas hubungan hierarki antara kabupaten dan provinsi, antara
provinsi dan pemerintah pusat berdasarkan asas kesatuan administrasi dan kesatuan wilayah.
Pemerintah pusat berhak melakukan kordinasi, supervisi, dan evaluasi terhadap pemerintahan
di bawahnya, demikian juga provinsi terhadap kabupaten/kota. Di samping itu, hubungan
kemitraan dan sejajar antara kepala daerah dan DPRD semakin dipertegas dan diperjelas.

Anda mungkin juga menyukai