Anggota Kelompok 11
HENDRA 1740402084
RASMAN 1740402027
Lokal A
Ekonomi Pembangunan
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peristiwa awal mula terbentuk G 30 S PKI
2. Bagaimana kronologis G 30 S PKI
3. Bagaimana keadaan pasca setelah terjadi G 30 S PKI
4. Bagaimana kejadian operasi penumpasan g 30 s pki
5. Apa saja dampak dari G 30 S PKI
C. Tujuan
1. Menjelaskan peristiwa awal mula terbentuk G 30 S PKI
2. Menceritakan kronologis G 30 S PKI
3. Menceritakan keadaan pasca setelah terjadi G 30 S PKI
4. Menceritakan kejadian operasi penumpasan G 30 S PKI
5. Mengetahui dampak dari G 30 S PKI
D. Manfaat
Agar menambah pengetahuan dan wawasan mengetahui sejarah peristiwa dalam terkaitan
kronologis-klonologis Gerakan 30 September PKI.
BAB II
PEMBAHASAN
Gerakan 30 September atau yang sering disingkat G 30 S PKI, Gestapu (Gerakan September
Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam
tanggal 30 September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi
militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha
percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota Partai Komunis Indonesia. D.N.
Aidit sebagai ketua PKI yang terpilih pada tahun 1951, dengan cepat mulai membangun kembali
Pki yang porak poranda pada tahun 1948. Usaha itu berhasil baik, sehingga pemilihan umu tahun
1955 PKI berhasil menempatkan dirinya menjadi salah satu diantara empat partai besar di
Indonesia.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah
dekrit presiden dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata
dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan
sistem Demokrasi Terpimpin. PKI menyambut Demokrasi Terpimpin Sukarno dengan
hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara
Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era Demokrasi Terpimpin, kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis
nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha menghindari bentrokan-
bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI
mementingkan kepentingan bersama polisi dan rakyat. Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami
slogan Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi. Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan
semua anggota PKI membersihkan diri dari sikap-sikap sektarian kepada angkatan bersenjata,
mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat massa tentara subyek
karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para
tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik
tanah. Untuk mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau semua
pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap para pemilik
tanah dan untuk meningkatkan kerjasama dengan unsur-unsur lain, termasuk angkatan
bersenjata.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak
milik AS. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan memasuki pemerintahan dengan resmi.
Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet.
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet
Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis rakyat. Aidit memberikan
ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang perasaan
kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia
dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim
militer, menyatakan keperluan untuk pendirian angkatan kelima di dalam angkatan bersenjata,
yang terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi
massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu,
kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang makin mendalam
ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha
menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke
Komite Sentral PKI bahwa NASAKOMisasi angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka
akan bekerjasama untuk menciptakan angkatan kelima. Namun usulan ini mendapat tantangan
keras dari Angkatan Darat. Permusuhan PKI dengan Angkatan Darat semakin runcing, dengan
muncul isu Dewan Jenderal yang akan menggulingkan kekuasaan Presiden Sukarno (akan tetapi
kebenaran dokumen masih diragukan). Munculnya isu tersebut menimbulkan perasaan curiga
dan saling tuduh antara PKI dengan Angkatan Darat. Situasi semakin memanas, dan
menimbulkan rencana PKI untuk menyingkirkan para perwira tinggi Angkatan Darat yang tidak
dapat dipengaruhi oleh ideologi PKI.
B. Kronologis G 30 S PKI
Pada tanggal 4 Agustus 1965 kondisi Presiden Soekarno sangat mengkhawatirkan , sehingga
para pemimpinan PKI segera mengambil sikap untuk secepatnya melakukan gerakan sebelum
akhirnya presiden meninggal. Dimulai dari desa Lubang Buaya, pada tanggal 1 Oktober 1965
pukul 03.00 WIB dini hari mereka melalukan gerakan penculikan terhadap para perwira tinggi
Angkatan Darat, yaitu:
1. Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Abdul Haris Nasution
2. Menteri Panglima Angkatan Darat (MenPangad), Letnan Jenderal Ahmad Yani
3. Deputi II Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soeprapto
4. Deputi III Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo
5. Asisten I Panglima Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soewondo Parman
6. Asisten II Panglima Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Donald Icasus Panjaitan
7. Inspektur Kehakiman/Oditur Jendral Angkatan Darat, Mayor Jenderal Sutoyo
Siswomihardjo
Dalam peristiwa penculikan, dari ketujuh Perwira Tinggi Angkatan Darat tersebut mengalami
nasib yang tidak sama:
1. Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari penculikan dengan meloncat pagar rumah
Wakil Perdana Menteri III Dr. J. Leimena. Tetapi puterinya yang berusia 5 tahun terpaksa
menjadi korban keganasan G 30 S PKI yaitu Ade Irma Suryani Nasution terkena peluru
yang ditembakkan oleh PKI.
2. Letnan Jenderal Ahmad Yani dan Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan dibawa dalam kondisi
meninggal setelah di tembak di rumah beliau masing-masing.
3. Jenderal Haryono M.T., Mayor Jenderal Sutoyo Siswomihardjo, Jenderal S. Parman, dan
Jenderal Soeprapto di bawa dalam keadaan hidup ke desa Lubang Buaya.
4. Selain para perwira tinggi tersebut dan Ade Irma Suryani, terdapat korban lain keganasan
PKI, yaitu:
Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun (ajudan Waperdam III Dr. J. Leimena) yang tertembak
mati, pada saat gerombolan salah sasaran masuk ke rumah Dr. J. Leimena yang di kira
rumah A.H. Nasution.
Letnan Sattu Pierre Tendean (ajudan Jenderal AH Nasution) yang ditangkap hidup-hidup
karena dikira dia Nasution.
Polisi Sukitman yang tertangkap secara tidak sengaja pada saat meronda di sekitar Lubang
Buaya. Tetapi berhasil lolos dari maut.
Sementara itu pada tanggal 1 oktober 1965 sore hari terjadi penculikan dan pembunuhan
terhadap Komando Korem 072, Kolonel Katamso dan Wakilnya Letnan Kolonel Sugiono. Pada
tanggal 1 oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto (Pangkostrad) mengambi alih pimpinan
Angkatan Darat, karena nasib para pemimpinan Angkatan Darat belum diketahui. Pada hari itu
juga Mayor Jendral Soeharto menunjukkan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo (komandan RPKAD)
sebagai penumpasan Gerakan 30 September di Jakarta, sedangkan di Jawa Tengah penumpasan
di pimpin oleh Pangdam VII Diponegoro Brigadir Jenderal Suryo Sumpeno. Sebagai komandan
pasukan penumpasan G 30 S, tugas pertama Koloner Sarwo Edhie Wibowo adalah merebut
kembali RRI Stasiun Pusat Jakarta yang telah dikuasai PKI. Setelah diketahui bahwa basis G 30
S/PKI berada di sekitar Halim Perdana Kusuma, sasaran diarahkan ke sana. Pada tanggal 2
Oktober, Halim Perdana Kusuma diserang oleh satuan RPKAD di bawah komando Kolonel
Sarwo Edhi Wibowo atas perintah Mayjen Soeharto. Pada pukul 12.00 siang, seluruh tempat itu
telah berhasil dikuasai oleh TNI AD. Pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965, pasukan
RPKAD yang dipimpin oleh Mayor C.I Santoso berhasil menguasai daerah Lubang Buaya.
Setelah usaha pencarian perwira TNI AD dipergiat dan atas petunjuk Brigadir Polisi Sukirman
yang menjadi tawanan G 30 S PKI, tetapi berhasil melarikan diri didapat keterangan bahwa para
perwira TNI AD tersebut dibawah ke Lubang Buaya. Karena daerah tersebut diselidiki secara
intensif, akhirnya pada tanggal 3 Oktober 1965 ditemukan tempat para perwira yang diculik dan
dibunuh tersebut.. Mayat para perwira itu dimasukkan ke dalam sebuah sumur yang bergaris
tengah meter dengan kedalaman kira kira 12 meter, yang kemudian dikenal dengan nama
Sumur Lubang Buaya. Pada tanggal 4 Oktober, penggalian Sumur Lubang Buaya dilanjutkan
kembali (karena ditunda pada tanggal 3 Oktober pukul 17.00 WIB hingga keesokan hari) yang
diteruskan oleh pasukan Para Amfibi KKO AL dengan disaksikan pimpinan sementara TNI
AD Mayor Jenderal Soeharto. Jenazah para perwira setelah dapat diangkat dari sumur tua
tersebut terlihat adanya kerusakan fisik yang sedemikian rupa. Hal inilah yang menjadi saksi bisu
bagi bangsa Indonesia betapa kejamnya siksaan yang mereka alami sebelum wafat.
Pada tanggal 5 Oktober, jenazah para perwira TNI AD tersebut dimakamkan di Taman
Makam Pahlawan Kalibata yang sebelumnya disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat.
Pada tanggal 6 Oktober dengan surat keputusan pemerintah yang diambil dalam Sidang Kabinet
Dwikora, para perwira TNI AD tersebut ditetapakan sebagai Pahlawan Revolusi. Kemudian
Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara
angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite
Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk
mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan
ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Tanggal 1 desember 1965 dibentuk Komando Merapi yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo
Edhie Wibowo untuk memburu pemberontak yang lari ke Jawa Tengah. Dalam operasi ini
berhasil ditembal mati para pemberontak, yaitu Kolonel Sahirman, Kolonel Maryono, Letnal
kolonel Usman, Mayor Samadi, Mayor RW Sakirno dan Kapten Sukarno. Sedangkan tokoh-
tokoh yang tertangkap hidup-hidup yaitu Letnal Kolonel Untung Sutopo, diadili dalam
Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada tanggal 14 februari 1966.
E. Dampak
Dampak dari peristiwa ini jauh lebih menyedihkan bagi Bangsa Indonesia. Sejak Soeharto
membubarkan PKI dan menyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia pada tahun 1966,
kebencian masyarakat Indonesia terhadap PKI meluas ke seluruh penjuru Indonesia. Akibatnya,
diperkirakan:
600.000 orang yang dianggap terkait dengan PKI menjadi tahanan politik, ditangkap tanpa
surat penangkapan serta ditahan tanpa proses persidangan.
Setidaknya diperkirakan 500.000 - 2,000,000 atau 3,000,000 orang dihilangkan secara paksa
dan dibunuh di seluruh pelosok Indonesia dari tahun 1965 - (kemungkinan) 1971. (Angka 2
juta diakui oleh Laks TNI Sudomo sedangkan 3 juta diakui oleh Jendral Sarwo Edhie).
Ratusan orang tawanan politik Indonesia kabur ke luar negeri dan tidak bisa kembali ke
Indonesia selama 30 tahun hingga masa Orde Baru jauh pada tahun 1998. Aftermath atau
dampak berkelanjutan setelah gerakan 30 September 1965 dianggap sebagai salah satu
tragedi kemanusiaan (genocide) terbesar pada abad 20 yang jarang diketahui oleh publik
Indonesia maupun dunia hingga saat ini.
Dampak Politik
Dampak Ekonomi
Di Bidang Ekonomi, Peristiwa G30S/PKI telah menyebabkan akiat yang berupa infalasi yang
tinggi yang diikuti oleh kenaikan harga barang, bahkan melebihi 600 persen setaun untuk
mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengeluarkan dua kebijakan ekonomi yaitu :
a. Mengadakan devaluasi rupiah lama menjadi rupiah baru yaitu Rp. 1000 menjadi Rp.100
b. Menaikkan harga bahan bakar menjadi empat kali ipat tetapi kebijakan ini menyebabkan
kenaikan harga barang yang sulit untuk dikendalikan
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Peristiwa G 30S PKI yang lebih dikenal dengan peristiwa pemberontakan yang dilakukan
PKI, yang bertujuan untuk menyebarkan paham komunis di Indonesia. Pemberontakan ini
menimbulkan banyak korban, dan banyak korban berasal dari para Jendral Angkatan Darat
Indonesia. Gerakan PKI ini menjadi isu politik untuk menolak laporan pertanggung jawaban
Presiden Soekarno kepada MPRS. Dengan ditolaknya laporan Presiden Soekarno ini, maka
Indonesia kembali ke pemerintahan yang berazaskan kepada pancasila dan UUD 1945.
Peristiwa G 30 S PKI 1965 yang terjadi di Indonesia telah memberi dampak negatif dalam
kehidupan sosial dan politik masyarakat Indonesia yaitu Dampak politik dan Dampak Ekonomi.
Cara-cara yang dilakukan oleh partai komunis dalam usaha kudeta yaitu merebut kekuasaan
dari tangan pemerintah sangat kejam. Oknum PKI ini melancarkan isu yaitu Isu Dewan Jendaral
yakni yang mengungkapkan bahwa adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas
terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Hal ini dilakukan untuk mencari
kambing hitam atas rencana kudeta G 30 SPKI terhadap Pemerintah. G 30 S/PKI 1965 sampai
saat ini masih menyisakan misteri yang membingungkan, dan kejadian tersebut juga masih
sangat terasa begitu mengerikan.
Lampiran