Anda di halaman 1dari 5

2.

1 Desentralisasi atau otonomi daerah adalah pembentukan daerah otonom dengan kewenangan dan
bidang kegiatan tertentu yang dilakukan atas dasar pertimbangan, prakarsa dan administrasi sendiri,
sehingga terbentuknya daerah yang memiliki Hak untuk mengatur kepentingan daerahnya sendiri akan
ditemukan.

Menurut The Liang Gie, desentralisasi pemerintahan daerah didasarkan pada:

1. Dari segi politik, desentralisasi bertujuan untuk mencegah dan menghindari akumulasi kekuasaan
pada satu pihak yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.

2. Pelaksanaan desentralisasi dianggap sebagai demokratisasi, untuk mendorong masyarakat


berpartisipasi dan melatih diri untuk menggunakan hak-hak demokrasi.

3. Dari sudut pandang teknis-organisasi , desentralisasi adalah tentang menciptakan pemerintahan yang
efektif.

Adapula sejarah dari desentralisasi tersebut di Indonesia, yaitu pada:

1. Era Kolonial

Hindia Belanda adalah yang pertama memperkenalkan konsep desentralisasi di Indonesia. Tahun 1822
dapat dicatat sebagai tahun dimulainya konsep ini, dengan terbitnya Regelement op het Beleid Regering
van Nederlandsch Indie. Peraturan ini menunjukkan bahwa di Hindia Belanda tidak dikenal desentralisasi
karena sistem yang digunakan terpusat. Namun selain sentralisasi, kita juga mengenal dekonsentrasi,
yaitu adanya wilayah administrasi hirarkis mulai dari Residen, Afdeling, Distrik dan Onderdistrict. Sesuai
dengan perubahan politik di Belanda, sistem ini mengalami revisi. Pada tahun 1903 pemerintah Belanda
dengan melalui Surat Edaran No. 326 diundangkan Decentralisatie Wet yang memuat ketentuan-
ketentuan yang bersumber dari Regering Regulation tahun 1854 .

Dengan peraturan ini dimungkinkan suatu daerah otonom memiliki kewenangan untuk mengatur
keuangannya sendiri. Ketentuan ini kemudian ditegaskan kembali oleh Decentralisatie Besluit Locale
Redenor-denantie dikeluarkan pada tahun 1905. Perkembangan desentralisasi saat ini yang dimulai
pada 1903 didorong oleh kebutuhan masuknya modal swasta dengan pengenalan liberalisme di Hindia
Belanda sejak tahun 1870. Saat itu pengambilan keputusan masih menjadi beban pejabat pusat dengan
semakin banyaknya persoalan publik yang perlu diatur dan dilaksanakan pemerintah. Akibatnya,
pengambilan keputusan sangat lambat, banyak masalah yang perlu diputuskan secara terpusat. Selain
itu, jarak yang terlalu jauh membuat keputusan sering diambil dengan cara yang tidak tepat dan pada
waktu yang salah, itu disebabkan karena pejabat pusat tidak sepenuhnya memahami masalahnya.
Sampai saat Jepang masuk pada tahun 1945, konsep yang telah dibentuk oleh pemerintah Belanda
Hindia Belanda tidak lagi digunakan. Pemerintah Jepang telah membentuk sistem sentralisasi dengan
kekuatan militer sebagai pusatnya.

2. Era Kemerdekaan

Pada masa kemerdekaan, Pasal 18 UUD 1945 dan penjelasannya menyatakan bahwa daerah-daerah
dibagi menjadi daerah otonom atau daerah administratif. Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan
oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus Pasal 18 berjudul Pemerintahan
Daerah secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil, yang bentuk susunan
pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memperhatikan dan memperhatikan asas
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak asal usul di daerah yang bersifat khusus”
.

Ketua PPKI Ir. Soekarno dalam pengantarnya tentang pasal pemerintahan daerah, mengatakan:
'Mengenai Pemerintahan Daerah, di sini hanya ada satu pasal, yang berbunyi: "Pemerintahan Daerah
dibentuk dengan Undang-Undang". Hanya saja, asas-asas yang sudah digunakan untuk negara juga
harus digunakan untuk pemerintahan daerah.

3. Era Orde Baru 1966 – 1998

Permasalahan pemerintahan pada masa Orde Lama tidak dapat disingkirkan oleh Orde Baru. Orde Baru
hanya menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan organisasi militer, tetapi pada saat
yang sama hanya menyelesaikan dua persoalan terpenting, yaitu pembentukan pemerintahan daerah
dan sistem keuangan yang lebih terpusat, dan melebarnya fundamental ekonomi antara Jawa dan luar
Jawa.

Sentralisasi sumber daya politik dan ekonomi di antara sekelompok kecil elit di dalam pemerintah pusat
merupakan konsekuensi inheren dari sistem politik otoriter ini. Nyatanya, sentralisasi ini semakin
diperparah oleh kurangnya keseragaman super dan infrastruktur politik.

Orde Baru mengatur pemerintahan daerah secara detail dan menyeragamkan secara nasional. Organ-
organ suprastruktur politik lokal diatur secara terpusat dan seragam tanpa memperhitungkan “sistem
politik” lokal yang heterogen yang telah ada jauh sebelum konsepsi kebangsaan Indonesia terbentuk.
Melalui strategi korporatisme negara , pemerintah Orde Baru memilih kelompok kepentingan yang
dikendalikan secara terpusat.

Kaum buruh seluruh nusantara baru diakui keberadaannya jika berada di bawah naungan SPSI. Begitu
pula Korpri menyediakan PNS, PGRI menyediakan guru, HKTI menyediakan petani, KADIN menyediakan
kontraktor, PWI menyediakan jurnalis, dll. Kondisi ini diperparah dengan sentralisasi kelembagaan
kelompok kepentingan dan kemudian menjadi salah satu kebijakan untuk membangun dukungan publik
kepada pemerintah melalui organisasi payung bernama Golongan Karya. Dengan kata lain, pada era
Orde Baru terjadi proses nasionalisasi yang luar biasa yang merelatifkan adanya politik lokal yang telah
lama mengakar di masyarakat.

Akhirnya, desentralisasi atau otonomi daerah pada masa Orde Baru bukannya tak ada sama sekali.
Undang-undang No 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Namun, seperti yang
diwujudkan dalam praktik , tampaknya ditulis dalam kerangka kerja terpusat dan bukan sebagai dasar
desentralisasi. Salah satu penjelasan undang-undang tersebut juga secara tegas mengatakan bahwa
otonomi daerah pada hakekatnya merupakan kewajiban bukan hak, yaitu kewajiban daerah untuk ikut
serta memperlancar jalannya pembangunan.

4. Era Reformasi
Dari ketetapan MPR-RI nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah; Pemerataan
pengaturan, distribusi dan penggunaan sumber daya nasional yang adil; serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah dalam negara kesatuan republik indonesia. Disusul tanggal 7 Mei 1999, UU No.
22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian UU No. 25/1999 yang mengatur tentang hubungan
keuangan pusat dan daerah , menggantikan UU No. 5/1974 yang terpusat.

Kedua undang-undang ini mengatur tentang otonomi luas yang diberikan kepada kabupaten dan kota.
Bupati dan walikota tidak lagi dinyatakan sebagai hierarki pemerintahan di bawah gubernur. Jabatan
tertinggi kabupaten dan kota adalah satu-satunya kepala daerah setingkat tanpa bergantung pada
gubernur. Setiap bupati dan walikota memiliki kewenangan penuh untuk mengelola wilayah.

Kekuasaan diskresi yang diberikan kepada bupati/walikota disertai mekanisme kontrol yang memadai
antara eksekutif dan legislatif. Parlemen daerah menjadi kekuatan nyata baru. Badan legislatif ini dapat
berjalan secara mandiri dari gubernur dan bupati/walikota tanpa campur tangan kepentingan dan
pengaruh pemerintah pusat. Kebijakan di daerah juga dapat ditentukan secara mandiri di tingkat daerah
dengan kesepakatan pemerintah dan dewan perwakilan rakyat daerah.

Undang-undang yang baru juga menetapkan bahwa setiap peraturan daerah dinyatakan berlaku segera
setelah ditetapkan, yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan yang lebih
tinggi tingkatannya. Ini kontras dengan ketentuan sebelumnya yang mensyaratkan persetujuan dari
otoritas pemerintah yang lebih tinggi agar setiap pemukiman regional dapat berlaku. UU No 22 Tahun
1999 dan UU No 25 Tahun 1999 juga memberikan kerangka ideal bagi terwujudnya kondisi lokal yang
dinamis dan demokratis di setiap daerah. Namun, praktik politik selanjutnya masih belum sepenuhnya
menunjukkan adanya otonomi demokratis. Setidaknya ada dua alasan utama mengapa hal ini bisa
terjadi.

Pertama, tampaknya pemerintah pusat tidak pernah menganggap serius pemberian hak otonomi
kepada pemerintah daerah. Kurangnya keseriusan tercermin dari kelalaian pemerintah pusat terhadap
berbagai peraturan perundang-undangan lama yang tidak lagi sesuai dengan undang-undang baru.
Padahal, ada ratusan peraturan pemerintah, presiden dan berbagai peraturan lainnya yang perlu
disesuaikan dengan kerangka pemerintahan mandiri daerah yang baru. Ketiadaan peraturan
pelaksanaan baru yang mendukung pemerintahan daerah membuat dua undang-undang pemerintahan
daerah tidak efektif. Sedangkan di tingkat daerah, ketidakhadiran mereka menimbulkan kebingungan.

Kedua, desentralisasi telah menggembungkan semangat yang tak terkendali di kalangan elit daerah,
menimbulkan perasaan daerah yang sangat kuat. Istilah "anak daerah " muncul kembali di mana-mana
dari sentimen daerah yang memanifestasikan dirinya dalam semacam kebutuhan akan kursi
pemerintahan tertinggi di daerah tersebut untuk diduduki oleh kepribadian asli daerah. Ini tentu saja
bukan sesuatu yang diharapkan, ini tidak sesuai dengan tujuan penerapan otonomi daerah. Apapun
yang terjadi, fenomena “anak daerah ” begitu marak di berbagai daerah. Hubungan pusat dan daerah
masih mengandung ancaman dan harapan. Menjadi ancaman karena berbagai klaim yang berujung pada
disintegrasi bangsa. Dimulai dengan kemerdekaan Timor Timur pada tanggal 30 1999 melalui
referendum. Berbagai gelombang tuntutan disintegrasi juga muncul di beberapa daerah seperti Aceh,
Papua, Riau dan Padahal sejumlah menganggap Timor Timur seharusnya dikabulkan karena perbedaan
sejarah dengan bangsa Indonesia dan aneksasi rezim Ketertiban lagi, efek dominonya Penyebabnya
masih sangat terasa , bahkan dalam Helsinki Accord yang berujung pada UU Pemerintahan Aceh, terus
berlanjut hingga Aceh dan Papua akhirnya mendapat otonomi khusus.

Amandemen kedua konstitusi diharapkan telah mengubah wajah pemerintahan daerah menjadi lebih
demokratis dan akuntabel. Pasal 18 UUD 1945/Perubahan II menyatakan bahwa “Pemerintah daerah
melaksanakan seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditetapkan
menjadi urusan pemerintahan. pemerintah pusat". Pasal 1 ayat UUD 1945 tidak boleh dibaca terpisah
dari pasal 18 ayat dan UUD 1945.

Dalam pemahaman ini, M. Laica Marzuki menyatakan bahwa bentuk negara Indonesia secara
keseluruhan harus dibaca dan dalam pengertian sebagai berikut: negara Indonesia adalah negara
kesatuan di bawah bentuk Republik, yang disusun secara desentralisasi, diatur berdasarkan seluas-
luasnya, sesuai dengan pasal 1 ayat UUD yang dilampirkan pada pasal 18 ayat dan pasal 1945. Setelah
lima tahun berdiri, UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 dianggap perlu direvisi, sehingga UU No.
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan
menggantikan UU No. 25/1999.

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004 mendefinisikan


desentralisasi sebagai penyerahan kewenangan pemerintahan dari pemerintah kepada daerah untuk
mengatur dan mengurus pemerintahan dalam dalam lingkungan negara kesatuan. negara Republik
Indonesia. Pemerintah yang dimaksud dalam hal ini adalah pemerintah pusat, yaitu Presiden Republik
Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia menurut Undang-
Undang Dasar 1945. Pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat daerah otonom
berarti penyerahan wewenang secara pendelegasian, disebut pelimpahan wewenang. Ketika ada
transfer kekuasaan dengan delegasi, kehilangan kekuatan ini, semuanya menjadi milik penerima. Dalam
hal pelimpahan wewenang secara mandatum, pemberi mandat atau mandator tidak kehilangan
kewenangan dimaksud. Mandataris bertindak untuk dan atas nama mandator.

Dengan demikian, dalam hal penyerahan kewenangan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada
daerah otonom secara delegasi, mengatur dan mengurus urusan pemerintahan mengakibatkan pusat
kehilangan kewenangan tersebut. Semuanya diserahkan kepada daerah yang berpemerintahan sendiri,
yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, urusan pemerintahan yang ditetapkan dengan
undang-undang urusan pemerintah pusat. Pasal 10 ayat undang-undang nomor 32 menentukan urusan
pemerintahan yang menjadi tanggung jawab pemerintah meliputi politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiscal dan agama.

Pusat tidak bisa mereduksi, apalagi menafikan pemerintahan yang dialihkan ke daerah otonom. Namun,
daerah otonom tidak dapat memisahkan negara kesatuan Republik Indonesia. Terlepas dari luasnya
otonomi, desentralisasi yang dilakukan pemerintah daerah tidak boleh merusak kerangka negara
kesatuan Republik Indonesia. Secara normatif formal, arah desentralisasi cukup. Namun, pada tataran
empiris, komitmen pemerintah pusat berubah - ubah, praktek monopoli dan penguasaan urusan
strategis dalam pemanfaatan sumber daya alam, termasuk termasuk izin daerah, dikuasai oleh
pemerintah pusat.

Intervensi pusat di daerah begitu besar. Pelimpahan urusan/kewenangan yang seharusnya dibuat dalam
bentuk sumber daya keuangan belum dilakukan. Pusat mengelola anggaran pembangunan daerah tanpa
DPRD sebagai bagian dari penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. PT Bhuana Ilmu
Populer. Jakarta. Hlm. 396.

Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakan Konstitusi, Pustaka LP3ES. Jakarta. Hlm. 224-
225.

Josef Riwi Kaho, Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2005

Agus Dwiyanto, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Pusat Studi Kependudukan &
Kebijakan UGM, Yogyakarta, 2003.

Nordholt, dkk, Politik Lokal di Indonesia, Yayasan Obor, Jakarta, 2007

Amal, Ichlasul, Regional and Central Government in Indonesian Politics: West Sumatra and South
Sulawesi 1949-1979, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1992

Gaffar, Affan, “Paradigma Baru Otonomi daerah dan Implikasinya” dalam: Reformasi Menuju Pemulihan
Ekonomi dan Otonomi Daerah. Refleksi Pemikiran Partai Golkar. Oleh Anwar Adnan Saleh, dkk (editor).
Lembaga Studi Pembangunan Indonesia, Jakarta. 2001

Anda mungkin juga menyukai