4. Stabilitas politik
. Menurut
Sharpe
, stabilits politik nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal. Dalam
konteks Indonesia, terjadinya pergolakan daerah seperti PRRI dan PERMESTA di tahun
1957-1958, karena daerah melihat kekuasaan Pemerintah Jakarta yang sangat dominan. 5.
5. Kesetaraan politik
. Melalui desentralisasi, pemerintahan akan tercipta kesetaraan politik antara daerah dan
pusat. Kesetaraan politik akibat kebijakan desentralisasi otonomi daerah yang baik akan
menarik minat banyak orang di daerah untuk berpartisipasi secara politik seperti dijelaskan
pada bagian selanjutnya.
6. Akuntabilitas publik
. Desentralisasi otonomi daerah pada dasarnya adalah transfer prinsip- prinsip demokrasi
dalam pengelolaan pemerintahan maupun budaya politik. Melalui prinsip demokrasi
penyelenggaraan pemerintahan di daerah akan lebih akuntabel dan profesional karena
dapat melibatkan peran serta masyarakat luas, baik dalam hal penentuan pemimpin daerah
(Pilkada) maupun pelaksanaan program di daerah.
Visi Otonomi Daerah
Otonomi daerah kerangka penyelenggaraan pemerinthan mempunyai visi yang
dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama yang saling berhubungan satu dengan
yang lainnya: politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Mengingat otonomi adalah buah dari
kebijakan desentralisasi dan demokrasi, karenanya visi otonomi daerah di bidang politik
harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala
pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya
penyelenggaraan pemerintah yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan
memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas
pertanggungjawaban publik. Visi otonomi daerah di bidang ekonomi mengandung makna
bahwa otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan
ekonomi nasional di daerah,
pihak lain mendorong terbukanya peluang bagi pemerintah daerah
mengembangkan kebijakan lokal kedaerahan untuk mengoptimalkan pendayagunaan
potensi ekonomi di daerahnya. Otonomi daerah memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa
pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitasi investasi, memudahkan proses perizinan
usaha, dan membangun berbagai infrastuktur yang menunjang perputaran ekonomi di
daerah. Visi otonomi daerah di bidang sosial dan budaya mengandung pengertian bahwa
otonomi daerah harus diarahkan pada pengelolaan, penciptaan dan pemeliharaan integrasi
harmoni sosial. visi otonomi daerah di bidang sosial dan budaya adalah memelihara dan
mengembangkan nilai, tradisi, karya seni, karya cipta, bahasa, dan karya sastra lokal yang
dipandang kondusif dalam mendorong masyarakat untuk merespons positif dinamika
kehidupan di sekitarnya dan kehidupan global. Aspek sosial-budaya harus diletakkan
secara tepat dan terarah agar kehidupan sosial tetap terjaga secara utuh dan budaya lokal
tetap eksis dan keberlanjutan.
Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia
Peraturan perundang-undangan yang pertama kali yang mengatur tentang pemerintahan
daerah pasca-proklamasi kemerdekaan adalah UU No. 1 Tahun 1945. Ini merupakan hasil
dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan di masa kerajaan-kerajaan serta
pada masa pemerintahan kolonial. Undang-undang ini menekankan aspek cita-cita
kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukanm BPRD. Di dalam undang-undang ini
ditetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu keresidenan, kabupaten, dan kota. Periode
berlakunya undang-undang ini sangat terbatas. Sehingga dalam kurun waktu tiga tahun
belum ada peraturan pemerintah yang mengatur mengenai penyerahan urusan kepada
daerah. Undang-undang ini kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan
pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini ditetapkan dua jenis
daerah otonom, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta tiga
tingkatan daerah otonom, yaitu provinsi, kabupaten/kota besar, dan desa/kota kecil.
Mengacu pada ketentuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, penyerahan sebagian
urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian pemerintah. Pemberian
otonomi kepada daerah berdasarkan Undang-Undang tentang Pembentukan Daerah.
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya
suatu produk perundang-undangan yang menggantikan produk sebelumnya. Perubahan
tersebut pada satu sisi menandai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia dari
masa ke masa. Di sisi lain, hal ini bisa pula dipahami sebagai bagian dari “eksperimentasi
politik” penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Periode otonomi daerah Indonesia
pasca-Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 diisi dengan munculnya beberapa UU tentang
pemerintahan daerah, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1957 (sebagai peraturan tunggal pertama
yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia), UU No. 18 Tahun 1965 (yang menganut
sistem otonomi yang seluas-luasnya), dan UU No. 5 Tahun 1974
Undang-undang yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan
pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah. Prinsip yang dipakai dalam
pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan seluas
-luasnya”, tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Pandangan otonomi daerah
yang seluas
-luasnya dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan
kebutuhan. NKRI dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada
daerah sesuai dengan prinsip- prinsip yang digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada
pembangunan dalam arti luas. Undung-undang ini berumur paling panjang, yaitu 25 tahun,
dan baru diganti dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor
25 Tahun 1999 setelah tuntutan reformasi bergulir.
Kehadiran Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan
situasi yang terjadi pada masa itu lengsernya rezim otoriter Orde Baru dan munculnya
kehendak masyarakat untuk melakukan reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara. Sidang istimewa MPR Tahun 1998 yang lalu menetapkan Ketetapan MPR
Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; pengaturan,
pembagian, dan pemanfataan sumber daya nasional, yang berkeadilan, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah dalam kerangka NKRI. Momentum otonomi daerah di
Indonesia semakin mendapatkan tempatnya setelah MPR RI melakukan amandemen pada
Pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan kedua yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan
bahwa negara Indonesia memakai prinsip otonomi dan desentralisasi kekuasaan politik.
Tiga tahun setelah implementasi Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, dilakukan
peninjauan dan revisi terhadap undang-undang yang berakhir pada lahirnya UU No. 32
Tahun 2004 yang juga mengatur tentang pemerintah daerah. Menurut
Sadu Wasistiono
, hal-hal penting yang ada pada UU No. 32 Tahun 2004 adalah dominasi kembali eksekutif
dan dominasinya pengaturan tentang pemilihan kepala daerah yang bobotnya hamper 25%
dari keseluruhan isi UU tersebut.
Prinsip-prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah
Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai berikut:
Menurut UU No. 22 Tahun 1999, bupati dan wali kota sepenuhnya menjadi kepala daerah
otonom yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada DPRD dan dapat diberhentikan oleh
DPRD pada masa jabatannya tetapi penetapan ataupun pemberhentian kepada daerah secara
administratif (pembuat surat keputusan) masih diberikan kepada presiden. Dalam UU Nomor 32
Tahun 2004, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui Pilkada langsung. Gubernur pada
saat yang sama masih merangkap sebagai wakil pusat dan kepala daerah otonom. Pengawasan
pemerintah pusat terhadap daerah otonom menurut UU baru ini dilakukan berdasarkan supremasi
hukum. Artinya, setiap peraturan daerah (perda) yang dibuat oleh DPRD dan kepala daerah
langsung dapat berlaku tanpa memerlukan persetujuan pemerintah pusat. Pemerintah pusat setiap
saat dapat menunda atau membatalkannya bila perda itu dinilai bertentangan dengan konstitusi,
UU, dan kepentingan umum. Bila daerah otonom (DPRD dan kepala daerah) menilai pemerintah
pusat menunda atau membatalkan perda yang bertentangan dengan konstitusi, UU, atau
kepentingan umum, maka daerah otonom dapat mengajukan gugatan/keberatan kepada Mahkamah
Agung untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.
Kabupaten atau kota yang mempunyai batas laut juga diberi kewenangan kelautan
seluas 1/3 dan luas kewenangan provinsi yang 12 mil. Penjabaran kesebelas kewenangan
itu, dalam arti lingkup kegiatan dan tingkat kewenangan yang akan diserahkan kepada
daerah otonom kabupaten dan kota, masih harus menunggu penyesuaian sejumlah UU
yang sejalan dengan paradigma dan jiwa UU No. 22 Tahun 1999 jo. UU No. 32 Tahun
2004. Penyerahan kesebelas jenis kewenangan ini kepada daerah otonom kabupaten dan
daerah otonom kota dilandasi oleh sejumlah pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, makin dekat produsen dan distributor pelayanan publik dengan warga
masyarakat yang dilayani, semakin tepat sasaran, merata, berkualitas, dan terjangkau. Hal ini
disebabkan karena DPRD dan pemda sebagai produsen dan distributor pelayanan publik dinilai
lebih memahami aspirasi warga daerah, lebih mengetahui kemampuan warga daerah, lebih
mengetahui potensi dan kendala daerah, dan lebih mampu mengendalikan penyelenggaraan
pelayanan publik yang berlingkup lokal daripada provinsi dan pusat.
Kedua, penyerahan sebelas jenis kewenangan itu kepada daerah otonom kabupaten dan
daerah otonom kota akan membuka peluang dan kesempatan bagi aktor-aktor politik lokal dan
bersumber daya manusia yang berkualitas di daerah untuk mengajukan prakarsa, berkreativitas,
dan melakukan inovasi karena kewenangan merencanakan, membahas, memutuskan,
melaksanakan, mengevaluasi sebelas jenis kewenangan. Hal ini berarti unsur-unsur budaya lokal
berupa pengetahuan lokal (local knowledge), keahlian lokal (local genius), kearifan lokal (local
wisdom), akan dapat didayagunakan secara maksimal.
Ketiga karena distribusi sumber daya manusia yang berkualitas tidak merata, dan
kebanyakan berada di Jakarta dan kota besar lainnya, maka penyerahan 11 jenis kewenangan ini
juga dimaksudkan dapat menarik sumber daya manusia yang berkualitas di kota-kota besar untuk
berkiprah di daerah-daerah otonom, yang kabupaten dan kota.
Keempat pengangguran dan kemiskinan sudah menjadi masalah nasional yang tidak saja
hanya ditanggung kepada pemerintah pusat semata. Akan tetapi, dengan adanya pelimpahan
kewenangan tersebut, diharapkan terjadi diseminasi kepedulian dan tanggung jawab untuk
meminimalisasi atau bahkan menghilangkan masalah tersebut sebagaimana dimaksudkan dalam
tujuan awal dari otonomi daerah
Otonomi daerah merupakan sarana yang secara politik ditempuh dalam rangka memelihara
keutuhan negara bangsa. Otonomi daerah dilakukan dalam rangka memperkuat ikatan semangat
kebangsaan serta persatuan dan kesatuan di antara segenap warga bangsa. Kebijakan otonomi
daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 jo. UU No. 32 Tahun 2004 memberikan otonomi yang
sangat luas kepada daerah , khususnya kabupaten dan kota. Dalam praktiknya kebijakan Otda
telah banyak menimbulkan kesalahpahaman. Beberapa salah paham yang muncul dari berbagai
kelompok masyarakat terkait dengan kebijakan dan implementasi otonomi daerah sebagai berikut:
Pertama otonomi dikaitkan semata-mata dengan uang. Sudah sangat lama berkembang dalam
masyarakat suatu pemahaman yang keliru tentang otonomi daerah, yaitu untuk berotonomi daerah
harus mencukupi sendiri segala kebutuhannya, terutama dalam bidang keuangan. Hal itu muncul
karena ada ungkapan yang dimunculkan oleh
J. Wayong, pada tahun 1950-an, bahwa “otonomi identik denganoutomoney. Ungkapan seperti ini
sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kata kunci dari otonomi adalah “kewenangan”.
Kedua,daerah belum siap dan belum mampu. Munculnya pandangan ini merupakan
pandangan yang keliru. Karena sebelum otonomi daerah yang berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999
jo. UU No. 32 Tahun 2004 diterapkan, pemberian tugas kepada pemerintah daerah belum diikuti
dengan pelimpahan kewenangan dalam mencari uang dan subsidi dari pemerintah pusat.
Ketiga, dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya untuk
membantu dan membina daerah. Pendapat ini sama sekali tidak benar. Bersamaan dengan
kebijakan otonomi daerah, pemerintah pusat tetap harus tugas dan bertanggung jawab untuk
memberi dukungan dan bantuan kepada personel yang ada di daerah, ataupun berupa dukungan
keuangan. UU No. 32 Tahun 2004 menganut falsafah yang sudah sangat umum dikenal di berbagai
negara yaitu “ No mandate without funding
” (tak ada mandat tanpa dukungan dana). Artinya, setiap pemberian kewenangan dari pemerintah
pusat kepada daerah harus disertai dengan dana yang jelas dan cukup apakah itu berbentuk Dana
Alokasi Umum (DAU), ataupun Dana Alokasi Khusus (DAK), serta bantuan keuangan yang
lainnya.
Keempat ,dengan otonomi daerah maka daerah dapat melakukan apa saja. Hakikat
otonomi memberikan kewenangan keadaan pemerintah daerah untuk kreatif dan inovatif dalam
rangka memperkuat Negara Kesatuan RI dengan berlandaskan norma kepatutan dan keajaran
dalam sebuah tata kehidupan bernegara. Daerah dapat menempuh segala bentuk kebijakan apa saja
sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku secara
nasional.
1. Fasilitas
Fungsi pemerintah daerah yang sangat esensial adalah memfasilitasi segala bentuk
kegiatan di daerah, terutama dalam bidang perekonomian. Segala bentuk perizinan
hendaklah dipermudah dan fasilitas perpajakan yang merangsang penanaman modal. Hal
itu merupakan langkah tepat bagaimana menciptakan lapangan kerja secara maksimal bagi
warga masyarakat, sehingga pengangguran juga dapat dikurangi. Pembangunan di daerah
akan berjalan berkesinambungan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat
daerah. 2.
mengubah apa yang sudah disepakati sebelumnya. Hal ini berdampak dunia usaha merasa tidak
terlindungi dalam kesinambungan usahanya. 5.
1. Langsung
. Rakyat sebagai pemilih memiliki hak ntuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan
kehendak hati nuraninya, tanpa perantara. 2.
2. Umum
. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku
menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan,
jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial. 3.
3. Bebas
. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan
dari siapa pun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya sehingga
dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya. 4.
4. Rahasia
. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak
mana pun dan dengan jalan apa pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak
diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan. 5.
5. Jujur
. Dalam penyelenggaraan Pilkada, setiap penyelenggara Pilkada, aparat pemerintah, calon/peserta
Pilkada, pengawas Pilkada, pemantau Pilkada, pemilih serta semua pihak yang terkait harus
bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan
6. Adil Dalam penyelenggaraan Pilkada, setiap pemilih dan calon/peserta Pilkada mendapat
perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana pun. Dari beberapa
penelitian ditemukan bahwa hubungan antara prakondisi demokrasi dan efektivitas
pemilihan langsung yang terbentuk tidak bersifat linear melainkan hubungan timbal balik.
Artinya, jika prakondisi demokrasinya buruk, maka pemilihan langsung kepala daerah
akan kurang efektif dalam peningkatan demokrasi. Jika prakondisi demokrasinya baik,
maka semakin signifikan Pilkada langsung bagi peningkatan demokrasi.
2. keberadaan pulau pulau kecil yang belum berpenghuni apa yang seharusnya
dilakukan pemerintah untuk mengelola pula pulau di indonesia?/?
pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia seharusnya tidak bisa hanya dilihat dari sudut pandang
kebijakan pengelolaan sektoral ataupun kebijakan teknis yang dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP). Analisa permasalahannya harus juga dilihat kebijakan-kebijakan lain yang dikeluarkan oleh
kementerian teknis lain ataupun kebijakan general yang ada pada beberapa undang-undang yang ada di
Republik ini. Jadi secara singkat, dapat disimpulkan bahwa untuk menyelesaikan permasalahan pulau-pulau
kecil di Indonesia maka kita tidak bisa hanya dengan mengajak KKP untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan
yang “memahami” kebutuhan pengelolaan pulau-pulau kecil, tetapi juga perlu melihat kebijakan besar yang
ada di Republik ini. Dalam tulisan singkat ini, penulis mencoba memetakan permasalahan pengelolaan pulau-
pulau kecil dari sudut pandang kompleksitas kebijakan.
Salah satu hal yang penting dari undang-undang ini adalah bahwa negara tidak membenarkan adanya sebuah
pengelolaan pulau-pulau kecil untuk tujuan apapun tanpa didahului oleh sebuah proses perencanaan yang
terpadu. Namun sayangnya dari tiga ratusan lebih kabupaten/kota di Indonesia, baru ada 11 kabupaten kota
dan baru 5 propinsi dari 34 propinsi yang sudah mempunyai peraturan daerah terkait rencana zonasi pesisirnya,
padahal undang-undang ini sudah mau memasuki usia 10 tahun. Seandainya undang-undang ini betul-betul
dijalankan oleh pemerintah, maka sebagian permasalahan pengelolaan pulau-pulau kecil yang ada selama ini
pasti akan berkurang dengan sendirinya. Pertanyaannya, apakah ke depannya pemerintah baik pusat (selain
KKP) dan daerah mau menggunakan undang-undang ini??
Dengan perubahan ini disatu sisi akan meningkatkan efektifitas pengelolaan perairan itu sendiri di mana tidak
lagi terbagi-bagi antara kabupaten/kota dengan pemerintah propinsi, namun di sisi lain akan menimbulkan
permasalahan kompleks dalam pengelolaan pulau-pulau kecil. Seperti yang sudah banyak dijelaskan bahwa
pengelolaan pulau-pulau kecil sebaiknya dilakukan secara terintegrasi antara daratan pulaunya dengan perairan
yang ada di sekitarnya. Dengan undang-undang ini maka akan terjadi dualisme perencanaan pada ekosistem
pulau-pulau kecil tersebut, dimana perairannya menjadi bagian dari perencanaan propinsi sedangkan
daratannya perencanaannya dikeluarkan oleh kabupaten. Pemerintah harus segera mencari solusi untuk hal ini
karena pasti akan menimbulkan permasalahan baru yang berdampak pada semakin tidak jelasnya pengelolaan
di pulau-pulau kecil.
Penutup
Sebagai penutup, penulis ingin memberikan catatan kesimpulan agar pengelolaan pulau-pulau kecil bisa
berjalan dengan baik :
• Tegakkan aturan yang sudah ditentukan berdasarkan Undang-Undang 27 tahun 2007 serta perubahannya di
Undang-Undang 1 tahun 2014
• Pengelolaan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara terintegrasi dan satu pintu. Tidak bisa dipecah-pecah
berdasarkan kewenangan. Pemerintah pusat harus segera mengeluarkan norma, standar dan prosedur yang
mengatur integrasi pengelolaan pulau-pulau kecil sebagai antisipasi implikasi dari pelaksanaan UU No. 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.