DISUSUN OLEH
NAMA : NURYONO
NIM :19.74201.1.1.020
UNIVERSITAS SAMAWA
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tiga tahun sebelum menginjak abad XXI, terjadi peristiwa besar di Indonesia
mengawali abad yang dinantikan oleh seluruh masyarakat dunia. Gerakan Reformasi
yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 demikian dahsyat sehingga mampu
menggulingkan pemerintahan Orde Baru, yang dianggap sudah tidak populer untuk
memjalankan pemerintahan Indoesia. Sejalan dengan terjadinya gerakan Reformasi
marak pula isu-isu heroik yang berkaitan dengan penegakan demokrasi, upaya
menghindari disintegrasi, upaya pembentukan pemerintahan yang baik dan bersih,
kredibilitas pemimpin, pemberantasan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme),
pemberdayaan masyarakat, pembangunan berkelanjutan, pembentukan otonomi
daerah , dan masih banyak isu-isu lainnya.
Gerakan Reformasi yang gencar dan luas merupakan akumulasi dari carut-
marut pemerintahan yang sudah tidak sesuai dengan harapan masyarakat, ditambah
dengan krisis ekonomi yang parah. Akar kekacauan tersebut di atas adalah
pemerintah Orde Baru yang dianggap melaksanakan pemerintahan sentralistik,
otoriter dan korup. Dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru semakin gencar pula
tuntutan masyarakat, baik di tingkat elite pusat maupun daerah untuk
memberlakukan otonomi daerah secara lebih luas .
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Menginjak abad XXI ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk
melaksanakan otonomi daerah. Pengalaman masa lalu yang kurang
menggembirakan dalam pelaksanaan otonomi daerah diharapkan menjadi
pegangan kuat untuk mewujudkan otonomi daerah sesuai dengan hakekat dan
tujuannya yang mulia. Pelaksanaan otonomi daerah bukan hal yang menakutkan
bila dipahami dengan benar dan proporsional. Banyak daerah yang telah
menunjukkan prospek yang menggembirakan.
Modal utama untuk mewujudkan terlaksananya otonomi daerah
secara baik dan benar adalah rasa percaya diri yang besar dan komitmen yang
tinggi dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk tetap
konsisten melaksanakan otonomi daerah. Melalui otonomi daerah peluang untuk
melaksanakan demokrasi ekonomi terbuka lebar, sehingga ekonomi kerakyatan
yang selama ini tidak mendapat perhatian, akan mendapat perlindungan.
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi kerakyatan harus memotivasi
masyarakat untuk berkreasi dan berinovasi agar daerah mempunyai daya tahan dan
daya saing di era globalisasi ini.
Budaya dan perilaku yang muncul sebagai akibat euforia reformasi yang
dapat menimbulkan “kontra produktif” harus diarahkan menjadi kultur dan
perilaku yang produktif dan konstruktif untuk mewujudkan otonomi daerah yang
sehat dan seimbang. Demikian juga budaya-budaya yang sudah sejak lama tumbuh
dalam mayarakat seperti patron client, primordialisme, etnosentrisme, harus
dikendalikan dan diarahkan menjadi nilai positif yang mendukung pembangunan
daerah yang berlandaskan nilai-nilai religius, gotong royong , tenggang rasa dan
sebagainya.
Dalam kurun waktu yang singkat tentu saja otonomi daerah yang
diberlakukan sejak awal tahun 2001 berdasarkan Undang-undang Nomor 22 /1999
masih menghadapi banyak masalah dalam pelaksanaannya. Penerapan otonomi
secara secara serentak di seluruh wilayah Indonesia hendaknya terlebih dahulu
tidak menerapkan otonomi secara penuh, sebab banyak daerah-daerah di luar Jawa
terutama yang belum siap menghadapi otonomi daerah. Dengan demikian
pelaksanaan otonomi daerah hendaknya melalui pentahapan yang disesuaikan
dengan sistim sosial-budaya masyarakat daerah.
3.2. Saran
Dengan adanya otonomi daerah diharapkan dapat membawa pemerataan
dan keadilan dalam pelaksanaan di masyarakat daerah khususnya kerana berhasil
atau tidaknya otonomi daerah tergantung pada daerah itu sendiri dan diharapkan
juga dengan adanya sistem desentralisasi dan otonomi daerah dapat menjamin
terbukanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerahnya.
2. Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT, dengan
Keppres No. 16 Tahun 1997;
3. Trademark Law Treaty (TML), dengan Keppres No. 17 Tahun 1997;
4. Bern Convention for the Protection of Literary and Artistic Works,
dengan Keppres No. 18 Tahun 1997;
5. WIPO Copyrights Treaty (WCT), dengan Keppres No. 19 Tahun
1997”.1Sejalan dengan itu Indonesia telah menyelaraskan peraturan
perundang-
undangan di bidang HKI, diantaranya dengan mengesahkan Undang-Undang No.
30 Tahun 2000 tentang Rahasian Dagang; Undang-Undang No. 31 Tahun 2000
tentang Desain Industri; Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain
Tata Letak Sirkuit Terpadu, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang
Paten; Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis; dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Peraturan perundang-undangan tersebut hendaknya didukung dalam bentuk
penegakan hukum (law enforcement), sehingga akan berdampak positif bagi para
pencipta. Namun, kenyataannya justeru semakin marak saja praktek pelanggaran
HKI. Bagi pemerintah, upaya pemberantasan pelanggaran ini ibarat menegakkan
benang basah, karena di samping kepiawaian produsen barang bajakan dalam
meniru, konsumen Indonesia pun lebih menyukai barang-barang bajakan. Hal ini
disebabkan barang-barang bajakan tersebut harganya lebih murah dan mudah
mendapatkannya. Contoh kasus yang kerap kali terjadi adalah di bidang hak
cipta, yaitu pembajakan software, pembajakan CD dan VCD, pembajakan lagu
atau karya seni dan lain sebagainya. Demikian juga pelanggaran di bidang merek
yang marak sekali terjadi dengan berkembangnya bisnis online seperti Shopee,
Lazada, Tokopedia, Bukalapak, JD.ID, OLX dan lain- lain, baik yang terdaftar
secara resmi maupun yang tidak terdaftar.
Kepedulian aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) juga diperlukan
dalam bentuk menjunjung tinggi supremasi hukum, sebab tanpa adanya
supremasi hukum, selain aneka bentuk perundang-undangan seperti tersebut di
atas akan mubazir, penyelesaian pelanggaran HKI juga tidak akan pernah tuntas.
Sehubungan dengan ini E. Saefullah Wiradipradja 14 mengemukakan bahwa
hal yang perlu mendapat perhatian adalah masalah pelaksanaan/penegakan dari
peraturan perundang-undangan (law enforcement). Hal itu akan sangat
berpengaruh terhadap kepercayaan dunia internasional, dan akan sangat
berpengaruh juga terhadap daya saing. Akibat lebih lanjut bahkan tidak mustahil
Indonesia akan dituntut di muka Dispute Settlement Body dari WTO yang dengan
sendirinya akan menurunkan reputasi kita di mata Internasional dan juga akan
berakibat pada penurunan daya saing.
Dengan demikian, walaupun Indonesia cukup peduli tentang HKI, baik
dengan meratifikasi beberapa konvensi internasional maupun dengan
menyelaraskan peraturan perundang-undangan di bidang HKI, akan tetapi yang
lebih penting dari upaya tersebut adalah adanya penegakan hukum (law
enforcement) di bidang HKI. Hal ini tentunya akan berdampak positif bagi para
pencipta, dan memungkinkan penciptanya untuk terus berkarya dan
meningkatkan mutu karyanya. Hal ini juga akan menimbulkan keinginan bagi
pihak lain untuk dapat berkarya, sehingga kualitasnya pun semakin lama semakin
baik.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan hak negatif (negative
right) khusus diberikan kepada pihak penemu atau pencipta untuk memonopoli
penggunaan/ciptaannya. Oleh karena itu untuk mencegah penggunaan HKI oleh
pihak lain, maka pencipta/penemu HKI harus diproteksi (dilindungi) secara
hukum dan melarang pihak lain menggunakan temuan/ciptaannya. Macam-
macam HKI yang diproteksi antara lain : marks (merek/tanda), Indikasi
Geografis (IG), patent (paten), industrial design (desain industri) dan copyright
(hak cipta). Dalam memproteksi HKI dapat ditempuh melalui beberapa rute,
yaitu rute nasional, rute regional, ruta Eropa, dan rute internasional.
Indonesia sebagai salah satu anggota WTO ikut terlibat aktif dalam
perjanjian-perjanjian internasional di bidang HKI, yaitu dengan meratifikasi
beberapa konvensi intenasional dan menyelaraskan peraturan perundang-
undangan di bidangI dengan mengesahkan beberapa undang-undang.
2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Djumhana, M. dan Djubaedillah, R. 2003. Hak Milik Intelektual (Sejarah,
Teori dan Praktiknya Di Indonesia). Citra Aditya Bakti. Bandung.
Purnamasari, D., et.al. 2010. Hukum Dagang. Edisi Revisi. Fakultas Hukum
Universitas Tri Sakti. Jakarta.
Jurnal, Makalah
Hakim, D.A. 2015. Pengecualian Perjanjian Hak Kekayaan Intelektual Dalam
Hukum Persaingan Usaha. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum. 9 (4): 409-
427.
Website
Intepat. Pendaftaran Merek Dagang di Eropa (EUIPO). https://www.intepat.
com/id/blog/trademark/trademark-registration-in-europe-euipo/,
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia
Dagang.