Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

MATA KULIAH : HUKUM PEMDA

DISUSUN OLEH

NAMA : NURYONO

NIM :19.74201.1.1.020

UNIVERSITAS SAMAWA

TAHUN AJARAN 2021/2022


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tiga tahun sebelum menginjak abad XXI, terjadi peristiwa besar di Indonesia
mengawali abad yang dinantikan oleh seluruh masyarakat dunia. Gerakan Reformasi
yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 demikian dahsyat sehingga mampu
menggulingkan pemerintahan Orde Baru, yang dianggap sudah tidak populer untuk
memjalankan pemerintahan Indoesia. Sejalan dengan terjadinya gerakan Reformasi
marak pula isu-isu heroik yang berkaitan dengan penegakan demokrasi, upaya
menghindari disintegrasi, upaya pembentukan pemerintahan yang baik dan bersih,
kredibilitas pemimpin, pemberantasan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme),
pemberdayaan masyarakat, pembangunan berkelanjutan, pembentukan otonomi
daerah , dan masih banyak isu-isu lainnya.

Gerakan Reformasi yang gencar dan luas merupakan akumulasi dari carut-
marut pemerintahan yang sudah tidak sesuai dengan harapan masyarakat, ditambah
dengan krisis ekonomi yang parah. Akar kekacauan tersebut di atas adalah
pemerintah Orde Baru yang dianggap melaksanakan pemerintahan sentralistik,
otoriter dan korup. Dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru semakin gencar pula
tuntutan masyarakat, baik di tingkat elite pusat maupun daerah untuk
memberlakukan otonomi daerah secara lebih luas .

Otonomi daerah sebagai suatu sistim pemerintahan di Indonesia yang


desentralistis bukan merupakan hal yang baru. Penyelenggaraan otonomi daerah
sebenarnya sudah diatur dalam UUD 1945. Walaupun demikian dalam
perkembangannya selama ini pelaksanaan otonomi daerah belum menampakkan
hasil yang optimal. Setelah gerakan Reformasi berlangsung dan pemerintahan
Suharto jatuh, wacana untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi daerah terdengar
kembali gaungnya, bahkan lebih keras dan mendesak untuk segera dilaksanakan.

Tuntutan masyarakat untuk mengoptimalkan pelaksanaan otonomi


daerah disambut oleh presiden Habibie sehingga kemudian ditetapkan Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang
Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah. Dengan disahkannya kedua undang-undang tersebut, maka terjadi
perubahan paradigma, yaitu dari pemerintahan sentralistis ke pemerintahan
desentralistis. Berdasarkan undang-undang otonomi daerah tersebut, pemberlakuan
undang-undang tersebut efektif dilaksanakan setelah dua tahun sejak ditetapkannya.
Pada masa pemerintahan presiden Abdurachman Wachid Undang-undang Otonomi
Daerah mulai diterapkan pada tanggal 1 Januari 2001.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Otonomi Daerah


Istilah otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri dan
namos yang berarti Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat
diartikan sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri
(Bayu Suryaninrat ; 1985).
Beberapa pendapat ahli yang dikutip Abdulrahman (1997) mengemukakan
bahwa :
1. F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai hak dan wewenang
untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
2. Ateng Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna
kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang
terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus
dipertanggungjawabkan.
3. Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi daerah adalah hak mengatur dan
memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah pusat.
Pendapat lain dikemukakan oleh Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi
daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah nasional
suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat. Sedangkan Philip
Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah suatu pemerintah
daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang keberadaannya terpisah dengan
otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna mengalokasikan sumber-sumber
material yang substansial tentang fungsi-fungsi yang berbeda.
Dengan otonomi daerah tersebut, menurut Mariun (1979) bahwa dengan
kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah memungkinkan untuk membuat
inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan sumber daya daerah. Adanya
kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar pemberian otonomi daerah,
karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat berbuat sesuai dengan
kebutuhan setempat.
Kebebasan yang terbatas atau kemandirian tersebut adalah wujud
kesempatan pemberian yang harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak
dan kewajiban serta kebebasan bagi daerah untuk menyelenggarakan urusan-
urusannya sepanjang sanggup untuk melakukannya dan penekanannya lebih
bersifat otonomi yang luas. Pendapat tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan
yang dikemukakan Vincent Lemius (1986) bahwa otonomi daerah merupakan
kebebasan untuk mengambil keputusan politik maupun administrasi, dengan tetap
menghormati peraturan perundang-undangan. Meskipun dalam otonomi daerah
ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah, tetapi
dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan kepentingan nasional,
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terlepas dari itu pendapat beberapa ahli yang telah dikemukakan di atas,
dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dinyatakan bahwa otonomi daerah
adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Beranjak dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah
pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu :
1. Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri.
2. Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari
pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan
nasional.
3. Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari biaya sebagai
perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama
kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.
Yang dimaksud dengan hak dalam pengertian otonomi adalah adanya
kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur rumah tangga, seperti dalam bidang
kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban
harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan pembangunan nasional. Selanjutnya
wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah daerah untuk berinisiatif sendiri,
menetapkan kebijaksanaan sendiri, perencanaan sendiri serta mengelola keuangan
sendiri.
Dengan demikian, bila dikaji lebih jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor
23 Tahun 2004, maka otonomi daerah mempunyai arti bahwa daerah harus mampu
:
1. Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan
kebijaksanaan sendiri.
2. Membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
3. Menggali sumber-sumber keuangan sendiri.
4. Memiliki alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.

B. Prinsip dan Tujuan Otonomi Daerah


Otonomi daerah dan daerah otonom, biasa rancu dipahami oleh masyarakat.
Padahal sebagaimana pengertian otonomi daerah di atas, jelas bahwa untuk
menerapkan otonomi daerah harus memiliki wilayah dengan batas administrasi
pemerintahan yang jelas.
Daerah otonomi adalah wilayah administrasi pemerintahan dan
kependudukan yang dikenal dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Dengan demikian jenjang daerah otonom ada dua bagian,
walau titik berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan pada pemerintah
kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi, berotonomi secara terbatas yakni
menyangkut koordinasi antar/lintas kabupaten/kota, serta kewenangan pusat yang
dilimpahkan pada provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota yang belum mampu
dilaksanakan maka diambil alih oleh provinsi.
Secara konsepsional, jika dicermati berlakunya Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, dengan tidak adanya perubahan struktur daerah otonom, maka
memang masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah daerah baik provinsi
maupun kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah kabupaten/kota yang daerah
otonomnya terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan pemerintahan, maka akan
sulit untuk berotonomi secara nyata dan bertanggungjawab di masa mendatang.
Dalam diktum menimbang huruf (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 1999,
dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk
lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,
pemerataan dan keadilan serta mempertimbangkan potensi dan keanekaragaman
daerah.
Otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah
otonomi luas yaitu adanya kewenangan daerah untuk menyelenggarakan
pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di
bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal,
agama serta kewenangan-kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah. Di samping itu, keleluasaan otonomi maupun kewenangan
yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, dikatakan
bahwa yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk
menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata
ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan
yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa
perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan
kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul
oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta pemeliharaan
hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Atas dasar pemikiran di atas¸ maka prinsip-prinsip pemberian otonomi
daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah
yang terbatas.
b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan
bertanggung jawab.
c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah provinsi merupakan
otonomi yang terbatas.
d. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan kontribusi negara sehingga
tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah
otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten/ kota tidak ada lagi wilayah
administrasi.
f. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
g. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan
sebagai wakil daerah.
h. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari
pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa
yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung
jawabkan kepada yang menugaskannya.
Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah dan
pembangunan guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Sejalan dengan pendapat di atas, The Liang Gie dalam Abdurrahman (1987)
mengemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi daerah adalah :
a. Mengemukakan kesadaran bernegara/berpemerintah yang mendalam kepada
rakyat diseluruh tanah air Indonesia.
b. Melancarkan penyerahan dana dan daya masyarakat di daerah terutama dalam
bidang perekonomian.

C. Implementasi Penerapan Otonomi Daerah Di Indonesia

Otonomi yang berasal dari kata autonomos (bahasa Yunani) mempunyai


pengertian mengatur diri sendiri. Pada hakekatnya otonomi daerah adalah upaya
untuk mensejahterakan masayarakat melalui pemberdayaan potensi daerah secara
optimal. Makna otonomi daerah adalah daerah mempunyai hak , wewenang dan
kewajiban untuk mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan
peundang-undangan yang berlaku (Pusat Bahasa , 2001 : 805). Undang-undang
Nomor 22 tahun 1999 pasal 14 menyebutkan bahwa kewenangan daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan . Aspek “ prakarsa sendiri “ dalam otonomi daerah memberikan “roh”
pada penyelenggaraan pembangunan daerah yang lebih participatory. Tanpa upaya
untuk menumbuh-kembangkan prakarsa setempat, otonomi daerah yang
diharapkan dapat memberikan nuansa demokratisasi pembangunan daerah, akan
kehilangan makna terpentingnya.
Otonomi yang luas sebenarnya merupakan penjabaran dari desentralisasi
secara utuh. Idealnya pelaksanaan otonomi yang luas harus disertai pula dengan
prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, pemberdayaan dan partisipasi
masyarakat, penggalian potensi dan keanekaragaman daerah yang difokuskan
pada peningkatan ekonomi di tingkat kabupaten dan kotamadia.
Implementasi penerapan otonomi daerah dapat dilihat dari berbagai segi
yaitu pertama, dilihat dari segi wilayah (teritorial) harus berorientasi pada
pemberdayaan dan penggalian potensi daerah. Kedua, dari segi struktur tata
pemerintahan berorientasi pada pemberdayaan pemerintah daerah dalam
mengelola sumber-sumber daya yang dimilikinya secara bertanggung jawab dan
memegang prinsip-prinsip kesatuan negara dan bangsa. Ketiga, dari segi
kemasyarakatan berorientasi pada pemberdayaan dan pelibatan masyarakat dalam
pembangunan di berbagai daerah sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Undang-undang dan peraturan tentang otonomi daerah sudah
disusun sejak Indonesia merdeka .Hal ini menunjukkan bahwa para pemimpin
negara dari jaman Orde Lama, Orde Baru sampai pemimpin negara saat ini sudah
memikirkan betapa penting otonomi daerah mengingat wilayah Indonesia yang
demikian luas yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemberian otonomi
kepada daerah pada dasarnya merupakan upaya pemberdayaan dalam rangka
mengelola pembangunan di daerahnya. Daerah diharapkan sedikit demi sedikit
mampu melepaskan ketergantungannya terhadap bantuan pemerintah pusat dengan
cara meningkatkan kreativitas, meningkatkan inovasi dan meningkatkan
kemandiriannya. Bila pelaksaan otonomi daerah sesuai dengan peraturan dan
perundang-undangan yang telah disusun, maka harapan indah untuk mewujudkan
“daerah membangun“ (bukan membangun daerah), dapat segera tercapai. Otonomi
daerah memberikan harapan cerah kepada daerah untuk lebih meningkatkan
dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka memberikan
efektifitas pelayanan kepada masyarakat .Hal lain yang tidak kalah penting adalah
daerah dapat melaksnakan fungsi-fungsi pembangunan serta mengembangkan
prakarsa masyarakat secara demokratis, sehingga sasaran pembangunan diarahkan
dan disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan yang ada di daerah.
Pada kenyataannya sangat ironis bila pelaksanaan dan penerapan
otonomi daerah sejak Orde Lama, Orde Baru dan sampai saat ini tidak pernah
tuntas. Berbagai faktor penyebab pelaksanaan otonomi daerah yang tidak mulus
adalah karena distorsi kepentngan-kepentingan politik penguasa yang menyertai
penerapan otonomi daerah sehingga penguasa cenderung tetap melaksanakan
pemerintahan secara sentralistik dan otoriter. Selain itu kepentingan-kepentingan
politik para pemimpin negara untuk memerintah dan berkuasa secara absolut
dengan mempolitisir otonomi daerah mengakibatkan otonomi daerah semakin
tidak jelas tujuannya. Suatu contoh yaitu pada masa pemerintahan presiden
Suharto telah ditetapkan proyek percontohan untuk menerapkan otonomi daerah di
26 daerah tingkat II berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, tetapi
tidak ada hasilnya.
Penerapan otonomi daerah melalui Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 saat ini masih mencari bentuk, karena sikap pemerintah yang masih “
mendua “. Di satu pihak pemerintah sadar bahwa otonomi daerah sudah sangat
mendesak untuk segera dilaksanakan secara tuntas, tetapi di lain pihak pemerintah
juga berusaha tetap mengendalikan daerah secara kuat pula. Hal ini terlihat pada
kewenangan-kewenangan yang cukup luas yang masih ditangani pemerintah
terutama yang sangat potensial sebagai sumber keuangan. Selain itu kewenangan
pemerintah yang lain , yang juga dapat mengancam pelaksanaan otonomi daerah
adalah otoritas pemerintah untuk mencabut otonomi yang telah diberikan kepada
daerah. Selama kurang lebih empat tahun sejak dicanangkannya otonomi daerah
di Indonesia, pemberdayaan daerah yang gencar diperjuangkan pada kenyataannya
belum dilaksanakan secara optimal. Pembangunan di daerah kurang
memperhatikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Keputusan-keputusan
pemerintah serta program-program pembangunan tidak menyertakan masyarakat,
sehingga program-program pembangunan di daerah cenderung masih bersifat top
down daripada bottom up planning .
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar otonomi daerah dapat
terwujud. Pertama, harus disadari bahwa otonomi daerah harus selalu diletakkan
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah merupakan
suatu subsistem dalam satu sistem pemerintahan yang utuh. Kedua, perlu
kemauan politik (political will) dari semua pihak seperti pemerintah pusat,
pemerintah daerah dan masyarakat. Kemauan politik dari semua pihak dapat
memperkuat tujuan untuk membangun masyarakat Indonesia secara keseluruhan
melalui pembangunan-pembangunan daerah. Kemauan politik ini diharapkan
dapat membendung pemikiran primordial, parsial, etnosentris dan sebagainya.
Ketiga, komitmen yang tinggi dari berbagai pihak yang berkepentingan sangat
dibutuhkan agar pelaksanaan otonomi daerah dapat tercapai tujuannya .
2.4. Dampak Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Indonesia
Selama kurang lebih 60 tahun Indonesia medeka, otonomi daerah turut
mengiringi pula perjalanan bangsa Indonesia. Pada masa Orde Lama otonomi
daerah belum sepenuhnya dilaksanakan, karena pimpinan negara yang
menerapkan demokrasi terpimpin cenderung bersikap otoriter dan sentralistis
dalam melaksanakan pemerintahannya. Demikian pula pada masa pemerintahan
Orde Baru dengan demokrasi Pancasilanya, pelaksanaan pemerintahan masih
cenderung bersifat sentralistis dan otoriter . Selain itu pada kedua masa tersebut
banyak terjadi distorsi kebijakan yang terkait dengan otonomi daerah. Tentu saja
kita belum dapat melihat dampak dan pengaruh dari pelaksanaan otonomi daerah
pada kedua masa itu, karena pada kenyataannya otonomi daerah belum
dilaksanakan sepenuhnya, walaupun sudah banyak Undang-undang dan peraturan
yang dibuat untuk melaksanakan otonomi daerah tersebut.
Pada masa Reformasi tuntutan untuk melaksanakan otonomi daerah sangat
gencar sehingga pemerintah secara serius pula menyusun kembali Undang-undang
yang mengatur otonom daerah yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Setelah 2 tahun memalui masa transisi dan
sosialisasi untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah tersebut,maka otonomi
daerah secara resmi berlaku sejak tanggal 1 Januari 2001, pada masa pemerintahan
presiden Abdurachaman Wachid. Setelah kurang lebih 4 tahun otonomi daerah
diberlakukan, dampak yang terlihat adalah muncul dua kelompok masyarakat yang
berbeda pandangan tentang otonomi daerah. Di satu sisi ada masyarakat yang
pasif dan pesimis terhadap keberhasilan kebijakan otonomi daerah, mengingat
pengalaman-pengalaman pelaksanaan otonomi daerah pada masa lalu. Kelompok
masyarakat ini tidak terlalu antusias memberikan dukungan ataupun menuntut
program-program yang telah ditetapkan dalam otonomi daerah. Di sisi yang lain
ada kelompok masyarakat yang sangat optimis terhadap keberhasilan kebijakan
otonomi daerah karena kebijakan ini cukup aspiratif dan didukung oleh hampir
seluruh daerah dan seluruh komponen.
Antusiasme dan tuntutan untuk segera melaksanakan otonomi daerah juga
berdatangan dari kelompok-kelompok yang secara ekonomis dan politis
mempunyai kepentingan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Selain itu
masyarakat yang masih dipengaruhi oleh euforia reformasi menganggap otonomi
daerah adalah kebebasan tanpa batas untuk melaksanakan pemerintahan sesuai
dengan harapan dan dambaan mereka. Masyarakat dari daerah yang kaya
sumberdaya alamnya, tetapi tidak menikmati hasil-hasil pembangunan selama ini,
menganggap otonomi daerah memberikan harapan cerah untuk meningkatkan
kehidupan mereka. Harapan yang besar dalam melaksanakan otonomi daerah telah
mengakibatkan daerah-daerah saling berlomba untuk menaikan pendapatan asli
daerah (PAD). Berbagai contoh upaya gencar daerah-daerah untuk meningkatkan
PAD dengan cara yang paling mudah yaitu dengan penarikan pajak dan retrebusi
secara intensif. Contoh lain, tidak jarang terjadi sengketa antar daerah yang
memperebutkan batas wilayah yang mempunyai potensi ekonomi yang tinggi.
Perebutan sumber pendapatan daerah sering juga terjadi antara pemerintah pusat
dan pemerintah daerah. Pemikiran yang bersifat regional, parsial, etnosentris,
primordial , seringkali mewarnai pelaksanaan otonomi daerah sehingga
dikhawatirkan dapat menjadi benih disintegrasi bangsa.
Selain dampak negatif dari pelaksanaan otonomi daerah seperti tersebut di
atas, juga ada dampak positif yang memberikaan harapan keberhasilan otonomi
daerah. Suasana di daerah-daerah dewasa ini cenderung saling berpacu untuk
meningkatkan potensi daerah dengan berbagai macam cara. Seluruh komponen
masyarakat mulai dari pemerintah daerah dan anggota masyarakat umumnya
diharapkan dapat mengembangkan kreativitasnya dan dapat melakukan inovasi
diberbagai bidang . Pengembangan dan inovsi bidang-bidang dan sumberdaya
yang dahulu kurang menarik perhatian untuk dikembangkan, sekarang dapat
menjadi potensi andalan dari daerah. Selain itu otonomi daerah memacu
menumbuhkan demokratisasi dalam kehidupan masyarakat, memacu kompetisi
yang sehat, pendstribusian kekuasaan sesuai dengan kompetensi .

2.5. Perubahan Budaya Sebagai Akibat Pelaksanaan Otonomi Daerah Di


Indonesia
Pelaksanaan otonomi daerah di berbagai daerah di Indonesia telah
menimbulkan dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif seperti
beberapa contoh yang telah penulis sebutkan di atas. Selain itu otonomi daerah
juga telah membawa perubahan-perubahan budaya dalam masyarakat Indonesia.
Pengertian budaya atau kebudayaan dalam arti luas menurut E.B.Tylor adalah
kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, moral, hukum, adat-istiadat
dan kemampuan-kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan
manusia sebagai anggota masyarakat melalui proses belajar (Tylor dalam
Soekanto , 1969 : 55). Dalam pengertian sempit, kebudayaan diartikan sebagai
hasil cipta, karya dan karsa manusia untuk mengungkapkan hasratnya akan
keindahan . Jadi pengertian kebudayaan dalam arti sempit adalah berupa hasil-
hasil kesenian.
Perubahan kebudayaan yang akan dibahas dalam tulisan ini difokuskan pada
bahasan kebudayaan dalam arti luas, dalam arti perubahan perilaku pemerintah dan
masyarakat yang terkait dengan bidang politik, pemerintahan, ekonomi, sosial dan
sebagainya, walaupun bahasannya secara umum dan tidak mengupas seluruh
aspek dari bidang-bidang tersebut.
Sejalan dengan tekat pemerintah untuk melaksanakan otonomi daerah, maka
telah terjadi perubahan-perubahan paradigma (Warseno dalam Ambardi dan
Prihawantoro, 2002 : 181), yaitu antara lain :
o Paradigma dari sentralisasi ke desentralisasi
o Paradigma kebijakan tertutup ke kebijakan terbuka (transparan)
Paradigma yang menjadikan masyarakat sebagai obyek pembangunan ke
masyarakat yang menjadi subyek pembangunan.
Paradigma dari otonomi yang nyata dan bertanggungjawab ke otonomi yang
luas, nyata dan bertanggung jawab.
o Paradikma dari organisasi yang tidak efisien ke organisasi yang efisien .
o Paradigma dari perencanaan dan pelaksanaan program yang bersifat top
down ke paradigma sistem perencanaan campuran top down dan bottom- up.
Perubahan paradigma ini juga merubah budaya masyarakat dalam
melaksanakan kegiatannya dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Perubahan
paradigma pemerintahan sentralisasi ke pemerintahan desentralisasi telah
menyebabkan kebingungan pada aparat pemerintah daerah yang sudah terbiasa
menerima program-program yang telah dirancang oleh pemerintah pusat. Sekarang
mereka dituntut untuk melaksanakan pemerintahan yang efisien dan berorientasi
pada kualitas pelayanan serta melibatkan partisipasi masyarakat.
Pemerintah Daerah dituntut untuk secara mandiri melaksanakan
aktivitas perencanaan, pelaksanaan sampai pada pengawasan program
pembanguan yang dilaksanakan di daerahnya. Selain itu daerah dituntut
kemampuannya untuk membiayai sebagian besar kegiatan pembangunannya
sehingga diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas, kreatif, inovatif, yang
diharapkan dapat menghasilkan pemikiran , konsep dan kebijakan dalam rangka
mencari sumber pembiayaan pembangunan tersebut. Perubahan paradigma dalam
waktu yang relatif singkat, tentu saja belum membuat para aparat pemerintah
daerah dan masyarakat memahami sepenuhnya hakekat dan aturan-aturan
pelaksanaan otonomi daerah. Walaupun demikian sedikit demi sedikit aparat
pemerintah daerah dan masyarakat mulai belajar menyesuaikan diri dengan iklim
otonomi daerah. Aktivitas yang mengarah pada efisiensi dan upaya peningkatan
kualitas pelayanan, inovasi dan kreativitas dalam penggalian potensi daerah mulai
digiatkan. Beberapa contoh dapat disebutkan yaitu bahwa instansi-instansi
pemerintah di daerah giat mendorong para pegawainya untuk meningkatkan dan
mengembangkan ketrampilan dan keahliannya melalui peningkatan pendidikan,
baik formal maupun non formal. Contoh yang lain adalah pemangkasan prosedur
birokrasi yang bertele-tele, dengan tujuan untuk efisiensi .
Iklim keterbukaan yang mewarnai otonomi daerah telah membawa
perubahan pada perilaku masyarakat yang semula tidak diberi kesempatan untuk
mengetahui dan berperan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
pembangunan kemudian diberi kesempatan untuk terlibat dalam program-program
pembangunan. Keadaan ini kemudian melahirkan sikap-sikap yang kadang-kadang
sangat berlebihan. Masyarakat yang masih awam dengan penerapan sistim
demokrasi menganggap bahwa semua masalah pemerintahan juga harus
dipertanggungjawabkan secara langsung kepada mereka. Pada awal masa
reformasi kita dapat melihat maraknya demonstrasi masyarakat yang kadang-
kadang sangat brutal dan kasar menuntut agar pejabat-pejabat pemerintahan yang
dianggap telah menyimpang dalam melaksanakan tugas-tugas yang diamanatkan
kepadanya diadili atau mengundurkan diri. Masyarakat seolah-olah sudah tidak
mempunyai kepercayaan kepada lembaga yang dapat menyalurkan aspirasi
mereka, sehingga tindakan main hakim sendiiri menjadi pemandangan yang sangat
umum. Sebagai contoh kita dapat melihat pada peristiwa yang menimpa Bupati
Temanggung yang baru-baru ini diminta oleh hampir seluruh masyarakat
Temanggung untuk mengundurkan diri, karena dianggap telah melakukan korupsi.
Bahkan para pegawai negeri di Temanggung melakukan demonstrasi dan mogok
kerja sebagai protes terhadap Bupati. Tentu saja kalau kita melihat secara
proporsional pada tindakan masyarakat terutama para pegawai negeri, tindakan
mogok kerja tersebut merupakan tindakan yang menyalahi aturan dan dapat
dikenakan sanksi karena para pegawai negeri tersebut mengemban tugas pelayanan
kepada masyarakat.
Otonomi daerah yang bertujuan untuk pengelola daerah atas prakarsa
sendiri dalam beberpa bidang mulai menampakkan perubahan. Satu contoh di
beberapa daerah telah disusun hukum dan peraturan yang disesuaikan dengan
kultur (budaya) masyarakat dan perjalanan sejarah daerah tersebut. Ada beberapa
contoh daerah yang telah menyusun peraturan dan hukum berdasarkan syariat
atau hukum Islam. Baru-baru ini di Kabupaten Bireuen, Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam (NAD) telah diberlakukan hukum cambuk kepada 15 orang terpidana
yang melakukan judi. Hukum cambuk yang mengundang pro-kontra ini
dilaksanakan pada tanggal 24 Juni 2005 . Pijakan hukum yang melandasi hukum
cambuk adalah Undang-undang Nomor 14/1999 Tentang Pelaksanaan
Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Undang-undang Nomor
18/2001 Tentang Otonomi Khusus, dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5/2000
Tentang pelaksanaan Syariat Islam. Petunjuk teknis pelaksanaan hukum cambuk
bagi yang melanggar syariat Islam dituangkan dalam Peraturan Gubernur Aceh
Nomor 10/2005 sebagai pengganti Peraturan Daerah (Qanun). Dalam Peraturan
Gubernur ini setidaknya ditetapkan empat kasus yang pelakunya bisa dikenai
hukum cambuk, yaitu judi, berpasangan di tempat gelap dengan orang yang bukan
muhrimnya, minum minuman keras/mabuk dan berzina (Gatra, Nomor 33, 2 Juli
2005). Hukum Cambuk yang dilaksanakan di Nangroe Aceh Darussalam ini
sebenarnya bukan bertujuan untuk mempertontonkan kesadisan dan kekejaman
dari penegak hukum di sana, melainkan untuk membuat jera para pelaku tindak
kraiminal dan agar masyarakat lebih berhati-hati serta melaksanakan syariat Islam
dengan baik dan benar.
Daerah lain yang juga mulai menerapkan aturan berdasarkan syariat Islam
adalah Cianjur. Di sana telah disusun aturan yang menghimbau wanita muslim
mengenakan jilbab serta himbauan kepada suluruh muslim meninggalkan
pekerjaannya untuk segera menunaikan sholat ketika adhan berkumandang.
Pelangaran pada peraturan ini sementara berupa sanksi moral dan sanksi sosial.
Perilaku masyarakat yang terkait dengan penggalian dan pengembangan
potensi ekonomi juga melahirkan sikap dan kultur berkreasi dan berinovasi untuk
menciptakan hal-hal baru. Dalam upaya meningkatkan daya saing ini beberapa
daerah harus memperhatikan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia,
kultur dan pimpinan/pemegang kebijakan. Kalau tidak, maka akan terjadi
persaingan yang tidak sehat antara kelompok masyarakat di daerah tersebut,
persaingan antar daerah dan lain sebagainya. Bahkan tidak jarang antar daerah
saling berebut lahan atau sumber daya alam yang menjadi sumber ekonomi .
Kadang-kadang ambisi untuk meningkatkan PAD melahirkan sikap “ rakus “ pada
daerah-daerah.
Daerah-daerah yang sangat minim sumberdaya alamnya dipacu untuk
melihat lebih jeli peluang-peluang di sektor ekonomi berskala kecil atau yang
sering disebut sebagai ekonomi kerakyatan (usaha kecil dan menengah). Dari
pengalaman krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada tahun 1997, ekonomi
rakyat dan sektor informal mampu bertahan dan bahkan mampu menjadi
penyangga (buffer) perekonomian daerah , sehingga mampu menyelamatkan
kehidupan rakyat ( Mubyarto, 2001 : 196). Beberapa contoh daerah yang dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan setelah krisis ekonomi dan tetap dapat bertahan
dan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya adalah Kabupaten Sukoharjo
dan Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Kabupaten
Sukoharjo selama krisis ekonomi tidak terkena dampak yang berarti karena
industri kecil dan sektor informal yang dikembangkan di daerah tersebut tidak
tergantung pada bahan baku import dan melayani pasar lokal yang cukup luas.
Berbeda dengan Kabupaten Sukoharjo, Desa Banyuraden Kabupaten
Sleman berhasil memberdayakan ekonomi masyarakat melalui pengelolaan dan
pengolahan sampah, yang semula menjadi sumber masalah lingkungan di desa
tersebut. Desa Banyuraden berhasil memanfaatkan sampah menjadi sumber
ekonomi masyarakat dengan cara mengolah sampah menjadi kompos atau pupuk
organik dan dan barang kerajinan. Kita tidak dapat memungkiri bahwa tidak
semua daerah berhasil mengatasi krisis ekonomi melalui pemberdayaan ekonomi
rakyat. Banyak daerah terutama di luar Jawa yang tidak memiliki sumberdaya
ekonomi dan sumberdaya manusia yang memadai patut mendapatkan perhatian
yang lebih besar dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat mereka.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Menginjak abad XXI ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk
melaksanakan otonomi daerah. Pengalaman masa lalu yang kurang
menggembirakan dalam pelaksanaan otonomi daerah diharapkan menjadi
pegangan kuat untuk mewujudkan otonomi daerah sesuai dengan hakekat dan
tujuannya yang mulia. Pelaksanaan otonomi daerah bukan hal yang menakutkan
bila dipahami dengan benar dan proporsional. Banyak daerah yang telah
menunjukkan prospek yang menggembirakan.
Modal utama untuk mewujudkan terlaksananya otonomi daerah
secara baik dan benar adalah rasa percaya diri yang besar dan komitmen yang
tinggi dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk tetap
konsisten melaksanakan otonomi daerah. Melalui otonomi daerah peluang untuk
melaksanakan demokrasi ekonomi terbuka lebar, sehingga ekonomi kerakyatan
yang selama ini tidak mendapat perhatian, akan mendapat perlindungan.
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi kerakyatan harus memotivasi
masyarakat untuk berkreasi dan berinovasi agar daerah mempunyai daya tahan dan
daya saing di era globalisasi ini.
Budaya dan perilaku yang muncul sebagai akibat euforia reformasi yang
dapat menimbulkan “kontra produktif” harus diarahkan menjadi kultur dan
perilaku yang produktif dan konstruktif untuk mewujudkan otonomi daerah yang
sehat dan seimbang. Demikian juga budaya-budaya yang sudah sejak lama tumbuh
dalam mayarakat seperti patron client, primordialisme, etnosentrisme, harus
dikendalikan dan diarahkan menjadi nilai positif yang mendukung pembangunan
daerah yang berlandaskan nilai-nilai religius, gotong royong , tenggang rasa dan
sebagainya.
Dalam kurun waktu yang singkat tentu saja otonomi daerah yang
diberlakukan sejak awal tahun 2001 berdasarkan Undang-undang Nomor 22 /1999
masih menghadapi banyak masalah dalam pelaksanaannya. Penerapan otonomi
secara secara serentak di seluruh wilayah Indonesia hendaknya terlebih dahulu
tidak menerapkan otonomi secara penuh, sebab banyak daerah-daerah di luar Jawa
terutama yang belum siap menghadapi otonomi daerah. Dengan demikian
pelaksanaan otonomi daerah hendaknya melalui pentahapan yang disesuaikan
dengan sistim sosial-budaya masyarakat daerah.
3.2. Saran
Dengan adanya otonomi daerah diharapkan dapat membawa pemerataan
dan keadilan dalam pelaksanaan di masyarakat daerah khususnya kerana berhasil
atau tidaknya otonomi daerah tergantung pada daerah itu sendiri dan diharapkan
juga dengan adanya sistem desentralisasi dan otonomi daerah dapat menjamin
terbukanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerahnya.

Dalam memberikan perlindungan hukum terhadap marks (merek/tanda) dan


IG suatu produk, dapat ditempuh beberapa rute :
a. “Rute nasional, yaitu melalui otoritas HKI setempat. Beberapa pelamar
memiliki usaha kecil dan bertujuan untuk melindungi merek mereka hanya di
negara anggota tertentu. Karenanya, mereka dapat memilih untuk mengajukan
merek dagang hanya di negara anggota tempat bisnis mereka berada. Dalam
kasus seperti itu, seseorang dapat mengajukan perlindungan merek dagang
secara langsung di kantor IP nasional masing-masing;
b. Rute regional. Pelamar yang ingin melindungi merek mereka di Belgia,
Belanda dan/atau Luksemburg, dapat mengajukan aplikasi merek dagang di
Benelux Office of Intellectual Property (BOIP). BOIP adalah satu- satunya
kantor IP di tingkat regional di Uni Ero
c. Rute Eropa. Jika pemohon berupaya melindungi merek dagang mereka di
lebih banyak negara anggota, ia dapat mengajukan permohonan pendaftaran
merek dagang langsung di EUIPO € 850; dan
d. Rute Internasional. EUIPO juga memungkinkan seseorang untuk
melindungi tandanya di tingkat internasional. Pendaftaran merek dagang
melalui rute ini akan menawarkan perlindungan terhadap merek dagang di
negara-negara yang menandatangani Protokol Madrid”.8

Adapun kerangka normatif yang dapat dijadikan dalam melindungi marks


dan IG antara lain adalah Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis, Paris Convention 1967, TRIPs, Madrid Agreement and
Protocol, dan Nice Classification.
Sama dengan marks tersebut di atas, perlindungan hukum terhadap patent
juga dapat ditempuh melalui beberapa rute. Untuk rute nasional, paten telah
diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2016 tentang Paten. Sedangkan
untuk rute internasional, seseorang dapat mendaftarkan paten bagi “produk
maupun proses produksi temuannya melalui WIPO dengan menggunakan PCT
(Patent Cooperation Treaty) System yang berlaku di 120 negara anggota.
Penerapan perjanjian internasional khususnya perjanjian kerjasama paten atau
PCT ke dalam hukum nasional dalam hal ini menganut teori delegasi yakni
dilakukan melalui ratifikasi atau pengesahan dengan Keppres No. 16 Tahun 1997
tentang Pengesahan Patent Cooperation Treaty (PCT). Dengan diratifikasinya
PCT maka Indonesia wajib untuk menyesuaikan undang-undang yang ada
dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian internasional tersebut”.9
Dengan menggunakan sistem ini, pihak pendaftar paten lebih diuntungkan
karena dengan melalui satu pintu (WIPO) pendaftar dapat memilih negara
anggota WIPO mana patennya akan didaftarkan. Bila pendaftar berasal dari
negara yang bukan anggota PCT, atau negara tujuan dimana patennya yang akan
didaftarkan bukan anggota PCT, maka ia harus mendaftarkan patennya ke
masing-masing negara yang ia inginkan, dimana akan memakan waktu dan biaya
yang lebih besar.
Proses pendaftaran paten menggunakan PCT terbagi dalam 2 fase, yaitu fase
internasional dan fase nasional. Pada fase internasional, pendaftar paten diminta
untuk mengajukan informasi mengenai produk maupun proses produksi
temuannya berikut dengan inventive step. Oleh WIPO, aplikasi pendaftar ini akan
dievaluasi formalitas administrasinya yang kemudian dilakukan evaluasi oleh
International Search Authorities (ISAs) yang tersebar di seluruh dunia. Evaluasi
ini dimaksudkan untuk memastikan benarkan produk atau proses produksi
tersebut merupakan hal baru, atau pembaharuan dari yang lama, dan bukan
jiplakan dari produk lain. Aplikasi tersebut kemudian dievaluasi kembali oleh
WIPO melalui tahapan international preliminary examination. Seluruh
tahapaan fase ini harus selesai selambat-lambatnya 60 hari dari tanggal masuknya
aplikasi paten ke WIPO.
“Penggantian UU Paten Tahun 2001 juga dilatar belakangi peningkatan
perlindungan paten sangat penting bagi inventor dan pemegang paten karena dapat
memotivasi inventor untuk meningkatkan hasil karya, baik secara kuantitas maupun
kualitas untuk mendorong kesejahteraan bangsa dan negara. Oleh sebab itu, pada 26
Agustus 2016 diundangkanlah UU Paten yang baru yakni Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten Tahun 2016). Dengan diundangkannya UU Paten
Tahun 2016 tersebut maka Indonesia masuk dalam era pelindungan paten yang baru”.
Selanjutnya pada fase nasional, pihak pendafatar paten diminta untuk memilih di
negara anggota WTO mana saja paten tersebut akan didafatarkan. Dalam hal ini pihak
pendafatar akan melewati satu evaluasi dari pihak negara tujuan yang disebut
substantive checking. Setelah membayar sejumlah fee bagi negara tujuan, maka paten
tersebut akan terlindungi. Keseluruhan proses fase nasional ini sudah harus selesai 12
bulan setelah masuknya aplikasi paten ke tahap substantive checking.
Untuk lebih mengamankan produk atau proses produksi temuannya, terkadang
pihak pendaftar juga menempuh rute regional, seperti melalui EPO (European Patent
Organization) yang menggunakan sistem EPC (European Patent Convention). Landasan
normatif yang dapat digunakan antara lain Paris Convention 1967, TRIPs, PCT, EPC,
Harare Protocol, The Bangui Arrangement, serta Strassbourg Classification.
Selanjutnya untuk memproteksi industrial design melalui rute nasional, di
Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain
Industri. Sedangkan untuk rute internasional, dapat melalui WIPO (dengan
menggunakan The Hague System) dan ARIPO (Bangui Arrangement). Untuk rute
regional, seperti EU dapat dilakukan melalui OHIM dan negara- negara Afrika melalui
OAPI. Landasan normatif yang dapat digunakan dalam mendaftarkan industrial design
antara lain Paris Convention 1967, TRIPs, The Hague Arrangement, The Bangui
Arrangement, serta Locarno Classification. Sedangkan landasan normatif bagi aplikasi
copyright adalah Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, Berne
Convention, WIPO Copyright Treaty, Rome Convention, WIPO Performance and
Phonograms Treaty, serta TRIPs.
Terdapat 3 (tiga) cara untuk melindungi desain industri di luar negeri:
1. “Jalur Nasional: Perusahaan dapat memperoleh perlindungan dengan cara
memohon pendaftaran secara terpisah di kantor HKI di masing- masing
negara yang akan dimintakan perlindungan. Prosesnya mungkin agak rumit
dan mahal karena penterjemahan ke dalam bahasa nasional negara yang
dimintakan perlindungan biasanya terdapat pembayaran biaya administrasi
(dan kadang-kadang biayanya resmi);

2. Jalur Regional: Jika tertarik untuk melindungi desain di sekelompok


negara yang merupakan anggota dari perjanjian regional yang
memungkinkan pendaftaran desain di lebih dari satu negara, maka dapat
mempertimbangkan untuk mengajukan satu permohonan di kantor HKI
regional yang bersangkutan. Kantor-kantor HKI regional meliputi:
 The African regional Industrial Property Office (ARIPO) untuk
perlindungan desain di negara-negara Afrika yang menggunakan
Bahasa Inggris;
 The Benelux Design Office (BDO) untuk perlindungan di Belgia,
Belanda dan Luxembourg;
 The Office for Harmonization in the Internal Market (OHIM) untuk
Kominitas desain di negara-negara Uni Eropa;
 The Organisation Africaine de la Propriété Intellectuelle (OAPI)
untuk perlindungan di negara-negara Afrika yang menggunakan
bahasa Perancis. (Lihat Annex I untuk mengetahui alamat website
kantor HKI regional);

3. Jalur Internasional: secara internsional di beberapa negara dapat juga


menggunakan prosedur yang ditawarkan oleh Persetujuan Haque
mengenai Pendaftaran Internasional Desain Industri, Traktat yang
dilaksanakan oleh WIPO. Pemohon dari negara Anggota Persetujuan
Haque dapat mengajukan satu permohonan internasional dengan WIPO;
Desain tersebut kemudian akan dilindungi dinegara-negara anggota dari
persetujuan tersebut sesuai dengan yang diinginkan oleh pemohon.
Persetujuan tersebut memfasilitasi pemohon dengan mekanisme yang
lebih sederhana dan lebih murah untuk permohonan pendaftaran desain
industri di berbagai negara. Untuk informasi yang lebih lengkap
mengenai Persetujuan Haque termasuk daftar negara- negara anggota
dan formulir pendaftaran”.11

D. Kepedulian Indonesia Sebagai Anggota Wto Dalam Memproteksi Haki

WTO (World Trade Organization) adalah suatu organisasi internasional


yang dibentuk dengan suatu perjanjian internasional, yaitu The Agreement
Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia), ditandatangani di Marakesh, Maroko pada
tanggal 15 April 1994 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1995. Perjanjian
tersebut merupakan hasil akhir dari rangkaian perundingan Putaran Uruguay
yang dimulai sejak tahun 1986 dan mengikat lebih dari 120 negara yang
menguasai sekitar 90 % produk (komoditi) dunia. Perjanjian WTO ini merupakan
kelanjutan atau pengganti dari General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT). Sebagai suatu badan yang bersifat sementara menyusul didirikannya
badan- badan baru dalam bidang kerjasama ekonomi setelah Perang Dunia II,
seperti Bank Dunia (World Bank) dan Dana Keuangan Internasional (IMF). Salah
satu bagian penting dari perjanjian WTO tersebut adalah Agreement on Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).
Indonesia sebagai negara berkembang ikut terlibat aktif dalam perjanjian-
perjanjian internasional di bidang HKI, yang ditandai dengan masuknya
Indonesia sebagai anggota WTO. Menurut E. Saefullah Wiradipradja, 12
“Indonesia secara resmi menjadi anggota WTO setelah meratifikasi perjanjian
internasional tersebut dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tanggal 2
November 1994. Dengan ratifikasi tersebut, menurut Indonesia terikat dengan
kewajiban-kewajiban yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut (consent to
be bound by the treaty)”.
Sebagai manifestasi keseriusan Indonesia dalam isu ini, pemerintah juga
telah meratifikasi beberapa konvensi internasional, diantaranya :
1. “Paris Convention for the Protection of Industrial Property and
Convention Establishing the World Intellectual Property Organizations,
dengan Keppres No. 15 Tahun 1997;

2. Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under the PCT, dengan
Keppres No. 16 Tahun 1997;
3. Trademark Law Treaty (TML), dengan Keppres No. 17 Tahun 1997;
4. Bern Convention for the Protection of Literary and Artistic Works,
dengan Keppres No. 18 Tahun 1997;
5. WIPO Copyrights Treaty (WCT), dengan Keppres No. 19 Tahun
1997”.1Sejalan dengan itu Indonesia telah menyelaraskan peraturan
perundang-
undangan di bidang HKI, diantaranya dengan mengesahkan Undang-Undang No.
30 Tahun 2000 tentang Rahasian Dagang; Undang-Undang No. 31 Tahun 2000
tentang Desain Industri; Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain
Tata Letak Sirkuit Terpadu, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang
Paten; Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi
Geografis; dan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Peraturan perundang-undangan tersebut hendaknya didukung dalam bentuk
penegakan hukum (law enforcement), sehingga akan berdampak positif bagi para
pencipta. Namun, kenyataannya justeru semakin marak saja praktek pelanggaran
HKI. Bagi pemerintah, upaya pemberantasan pelanggaran ini ibarat menegakkan
benang basah, karena di samping kepiawaian produsen barang bajakan dalam
meniru, konsumen Indonesia pun lebih menyukai barang-barang bajakan. Hal ini
disebabkan barang-barang bajakan tersebut harganya lebih murah dan mudah
mendapatkannya. Contoh kasus yang kerap kali terjadi adalah di bidang hak
cipta, yaitu pembajakan software, pembajakan CD dan VCD, pembajakan lagu
atau karya seni dan lain sebagainya. Demikian juga pelanggaran di bidang merek
yang marak sekali terjadi dengan berkembangnya bisnis online seperti Shopee,
Lazada, Tokopedia, Bukalapak, JD.ID, OLX dan lain- lain, baik yang terdaftar
secara resmi maupun yang tidak terdaftar.
Kepedulian aparat penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) juga diperlukan
dalam bentuk menjunjung tinggi supremasi hukum, sebab tanpa adanya
supremasi hukum, selain aneka bentuk perundang-undangan seperti tersebut di
atas akan mubazir, penyelesaian pelanggaran HKI juga tidak akan pernah tuntas.
Sehubungan dengan ini E. Saefullah Wiradipradja 14 mengemukakan bahwa
hal yang perlu mendapat perhatian adalah masalah pelaksanaan/penegakan dari
peraturan perundang-undangan (law enforcement). Hal itu akan sangat
berpengaruh terhadap kepercayaan dunia internasional, dan akan sangat
berpengaruh juga terhadap daya saing. Akibat lebih lanjut bahkan tidak mustahil
Indonesia akan dituntut di muka Dispute Settlement Body dari WTO yang dengan
sendirinya akan menurunkan reputasi kita di mata Internasional dan juga akan
berakibat pada penurunan daya saing.
Dengan demikian, walaupun Indonesia cukup peduli tentang HKI, baik
dengan meratifikasi beberapa konvensi internasional maupun dengan
menyelaraskan peraturan perundang-undangan di bidang HKI, akan tetapi yang
lebih penting dari upaya tersebut adalah adanya penegakan hukum (law
enforcement) di bidang HKI. Hal ini tentunya akan berdampak positif bagi para
pencipta, dan memungkinkan penciptanya untuk terus berkarya dan
meningkatkan mutu karyanya. Hal ini juga akan menimbulkan keinginan bagi
pihak lain untuk dapat berkarya, sehingga kualitasnya pun semakin lama semakin
baik.
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan hak negatif (negative
right) khusus diberikan kepada pihak penemu atau pencipta untuk memonopoli
penggunaan/ciptaannya. Oleh karena itu untuk mencegah penggunaan HKI oleh
pihak lain, maka pencipta/penemu HKI harus diproteksi (dilindungi) secara
hukum dan melarang pihak lain menggunakan temuan/ciptaannya. Macam-
macam HKI yang diproteksi antara lain : marks (merek/tanda), Indikasi
Geografis (IG), patent (paten), industrial design (desain industri) dan copyright
(hak cipta). Dalam memproteksi HKI dapat ditempuh melalui beberapa rute,
yaitu rute nasional, rute regional, ruta Eropa, dan rute internasional.
Indonesia sebagai salah satu anggota WTO ikut terlibat aktif dalam
perjanjian-perjanjian internasional di bidang HKI, yaitu dengan meratifikasi
beberapa konvensi intenasional dan menyelaraskan peraturan perundang-
undangan di bidangI dengan mengesahkan beberapa undang-undang.

Namun yang menjadi tantangan bagi Indonesia adalah masalah penegakan


hukum (law enforcement), dimana sekarang ini semakin marak saja praktek
pelanggaran HKI, pembajakan CD dan VCD, pembajakan lagu atau karya seni
dan lain sebagainya. Demikian juga pelanggaran di bidang merek yang marak
sekali terjadi dengan berkembangnya bisnis online seperti Shopee, Lazada,
Tokopedia, Bukalapak, JD.ID, OLX dan lain-lain, baik yang terdaftar secara
resmi maupun yang tidak terdaftar.

2. Saran

Ditinjau dari sudut perangkat perundang-undangan, Indonesia sudah


mempunyai perangkat yang cukup di bidang HAKI. Namun pengetahuan tentang
HaKI dan perangkat perundang-undangan dimasyarakat dirasakan masih kurang
dan perlu ditingkatkan, sehingga perlindungan HAKI betul-betul dapat ditegakkan.
Perlu adanya sosialisi terhadap masyarakat agar masyarakat lebih mengetahui apa
itu HAKI dan pentingnya HAKI bagi karya-karya yang sudah dihasilkan oleh
masyarakat. Akan tidak berharga jika karya yang sudah diciptakan malah sudah
terdaftar atas nama orang lain. Perlunya pendaftaran HAKI atas karya yang sudah
diciptakan agar hal seperti ini tidak terjadi. Pemerintah juga hendaknya perlu
mengupayakan perbaikan-perbaikan di bidang perlindungan dan penegakan hukum
HAKI agar tidak lagi masuk dalam kategori Priority Watch Listdan akan mendapat
sanksi ekonomi yang dapat berupa ekspor, pengurangan kuota perdagangan bahkan
sampai dengan embargo ekonomi. Keadaan tersebut dapat menghambat masuknya
investasi ke Indonesia, apabila pemerintah tidak secepatnya memperbaiki sistem
HAKI ini, dan reputasi Indonesia di mata dunia internasional akan benar-benar
terancam.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku
Djumhana, M. dan Djubaedillah, R. 2003. Hak Milik Intelektual (Sejarah,
Teori dan Praktiknya Di Indonesia). Citra Aditya Bakti. Bandung.

Muhammad, A. 2010. Hukum Harta Kekayaan. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Purnamasari, D., et.al. 2010. Hukum Dagang. Edisi Revisi. Fakultas Hukum
Universitas Tri Sakti. Jakarta.

Jurnal, Makalah
Hakim, D.A. 2015. Pengecualian Perjanjian Hak Kekayaan Intelektual Dalam
Hukum Persaingan Usaha. Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum. 9 (4): 409-
427.

Iqbal, M. 2003. Isu HAKI Di Era Globalisasi: Kepedulian dan Strategi


Menghadapinya, Forum WTO Indonesia. Edisi-2. April – Juni 2003.
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Jakarta.
Novianti. 2017. Perlindungan Paten Melalui Patent Cooperation Treaty Dan
Regulations Under The Patent Cooperation Treaty. Jurnal NEGARA
HUKUM. 8(2): 289-307.
Surya, D.D.H. 2003. Mengenal Lebih Jauh Tentang Hak Atas Kekayaan
Intelektual (HAKI), Forum WTO Indonesia. Edisi-2. April – Juni 2003.
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Jakarta.

Wiradipradja, E.S. 2003. Liberalisasi Perdagangan Multilateral – WTO: Kesiapan


Propinsi Jawa Barat, Suatu Pandangan Kalangan Akademisi. Makalah.
Disampaikan pada Seminar tentang Liberalisasi Perdagangan Multilateral
– WTO:

Website
Intepat. Pendaftaran Merek Dagang di Eropa (EUIPO). https://www.intepat.
com/id/blog/trademark/trademark-registration-in-europe-euipo/,

Diakses tanggal 15 Januari 2021.

Ratna Puspitasari. Manusia Sebagai Makhluk Sosial. https://www.google.com/


search?client=firefox-b-d&q=MANUSIA+SEBAGAI+MAKLHLUK+SOSIAL.
Diakses tanggal 16 Januari 2021.

World Intellectual Property Organization. 2008. Tampil Menarik (Pengantar


Desain Industri Untuk Usaha Kecil dan Menengah), Intellectual Property for
Bussines Series, Number: 2, Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Diakses
tanggal 12 Januari 2021.

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia
Dagang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain


Industri.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata


Letak Sirkuit Terpadu.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak


Cipta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2016 tentang
Paten.

Anda mungkin juga menyukai