Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PKN

OTONOMI DAERAH
KPI B

Disusun Oleh :
 Ibnu Salim (30422052)
 Mohammad Tegar Rifqi (30422064)
 Zulfan Arinata (30422076)

Dosen Pengampu : Ibu Firda Aulia Izzati,M. Pd

UNIVERSITAS ISLAM
K.H ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan
hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara
memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama
dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerah mas-
ing-masing.Peraturan-peraturan yang di wewenangkan pada pemerintah daerah juga mengenai
peraturan perekonomian. Perekonomian pemerintah daerah bisahasilkan melalui potensi daerah
masingmasing. Otonomi daerah ini juga sudah diatur dalam undang-undang negara republik in-
donesia no 32 tahun 2004 dan no 23 tahun 2014.1

B.J. Habibie yang menggantikan Soeharto sebagai presiden pasca-Orde Baru membuat
kebijakan politik baru yang mengubah hubungan kekuasaan pusat dan daerah dengan menerbit-
kan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah atau yang bi-
asa disebut desentralisasi. Dengan terbitnya undang-undang ini, daerah tidak lagi sepenuhnya
bergantung pada Jakarta dan tidak lagi mau didikte oleh pusat. Bahkan, beberapa daerah, seperti
Aceh, Riau dan Papua menuntut merdeka dan ingin berpisah dari Republik Indonesia.2

Sebagai perwujudan dari cita desentralisasi tersebut, maka langkah Langkah penting su-
dah dilakukan oleh pemerintah. Lahirnya berbagai peraturan perUndang Undangan yang menga-
tur tentang pemerintahan daerah membuktikan bahwa keinginan untuk mewujudkan cita cita ini

1
Yulia Devi Ristanti, Undang-Undang OtonomiI Daerah dan Pembangunan Ekonomi Daerah,Jurnal (RAK), 2017
Vol.2 (1)
2
Budi Agustono, “Otonomi Daerah dan Dinamika Politik Lokal: Studi Kasus di Kabupaten
Deli Serdang, Sumatera Utara” dalam Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal, editor Jamil
Gunawan, (Jakarta: LP3ES, 2005), hlm.163
terus berlanjur. Meskipun begitu, kenyataan menunjukan bahwa realisasinya kurang maksimal.
Otonomi daerah masih sebatas harapan pada saat itu.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari Otonomi Daerah ?
2. Undang-Undang apa yang mengatur tentang jalannya Otonomi Daerah ?
3. Apa Visi dan Prinsip dari Otonomi Daerah ?
4. Apa Kewenangan dan Konsekuensi Otonomi Daerah ?

C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian dari Otonomi Daerah.
2. Mengetahui Undang-Undang apa saja yang mengatur tentang Otonomi Daerah.
3. Memahami tentang visi misi dan prinsip Otonomi Daerah.
4. Memahami Kewenangan apa saja yang berlaku dan Konsekuensi dari Otonomi Daerah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN OTONOMI DAERAH

Otonomi berasal dari kata Yunani yaitu authos yang berarti sendiri dan namos yang berarti
udang undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri.3.

Otonomi Daerah memiliki dua sisi pengertian, yang pertama adalah “mandiri” dan yang kedua
adalah “mampu”. “Mandiri” dalam otonomi daerah berarti suatu kemandirian dalam pembuatan
ataupun pengambilan keputusan terhadap daerah nya sendiri. Apabila setiap daerah dapat menata
ataupun mengelola daerahnya masing masing dengan baik, maka daerah tersebut sudah dianggap
mampu untuk berjalan sendiri tanpa adanya tekanan dari pihak luar dan disesuaikan dengan
kebutuhan setiap daerah.

Dalam Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 dijelaskan secara umum bahwa daerah provinsi
berkedudukan sebagai daerah otonom sekaligus wilayah administratif. Dengan kata lain daerah
provinsi dibentuk atas dasar desetralisasi dan dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi dlaksanakan
secara meluas dan dilakukan secara terbatas ditingkat kabupaten / kota,terutama untuk
kewenangan yang mutlak berada pada pemerintah pusat. Daerah kabupaten / kota merupakan
daerah otonom semata yang dibentuk atas asas desentralisasi dan menurut Smith ini dinamakan
“Split model”. Jadi otonomi daerah yang memiliki legal self sufficiency yang bersifat self gov-
ernment yang diatur dan diurus oleh own laws. Karena itu, otonomi daerah lebih menitik berat-
kan aspirasi daripada kondisi4.

3
Marzuki, M. Laica, 2007. “Hakikat Desentralisasi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI – Jurnal Konstitusi Vol. 4
Nomor 1 Maret 2007″, Jakarta : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI
4
I Nyoman S 2005 ,Efektifitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah, Citra Utama, Jakarta, hal. 39.
Koesoemahatmadja sebagaimana dikutip I Nyoman S berpendapat bahwa menurut perkem-
bangan sejarah di Indonesia, otonomi selain mengandung arti perundangan (regeling), juga
mengandung arti pemerintahan (bestuur). Namun demikian, walaupun otonomi ini sebagai self
goverment, self sufficiency dan actual independence, ke otonomian tersebut tetap berada pada
batas yang tidak melampaui wewenang pemerintah pusat yang menyerahkan urusan kepada dae-
rah5. Otonomi, menurut Manan sebagaimana yang dikutip Sondang P.S mengandung arti ke-
mandirian untuk mengatur dan mengurus urusan (rumah tangganya) sendiri6. Kemandirian,
menurut Syafrudin, sebagaimana yang dikutip I Nyoman S bukan berarti kesendirian, bukan pula
sendiri-sendiri karena tetap bhinneka tunggal ika, melainkan untuk memecahkan masalah-
masalah daerahnya sendiri tidak selalu dan terlalu menggantungkan diri kepada pemerintah
pusat7.

Perjalanan Panjang mengenai pengaturan tentang peraturan daerah telah melahirkan berbagai
produk Undang Undang, antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor 6
Tahun 1959, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dan terakhir
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

Secara normatif Undang-Undang tersebut telah mampu mengikuti perkembangan perubahan


kepemerintahan daerah sesuai zamannya. Secara empiris Undang-Undang tersebut dalam penye-
lenggaraan pemerintahan daerah memberikan implikasi terhadap kedudukan dan peran formal
kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif daerah.

5
Ibid, hal. 40.
6
Sondang P.S, 2007. Administrasi Pembangunan; Konsep Dimensi dan Strateginya, Bumi Aksara, Jakarta, hal.10.
7
I Nyoman S, Op. Cit, hal. 41.
B. DASAR HUKUM OTONOMI DAERAH

Peraturan mengenai pemerintahan daerah telah diatur secara khusus pada Undang Undang No-
mor 22 tahun 1999 . Namun, karena dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan keadaan
pemerintahan dan ketatanegaraan akhirnya dibentuk peraturan untuk mengganti aturan tersebut.
Pada tanggal 15 Oktober 2004 Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

Pelaksanaan otonomi daerah telah disusun atas amanat Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen kedua tahun 2000. Pada UUD 1945 pasca
amandemen ini permasalahan pemerintah daerah dicantumkan pada bab VI, yaitu pasal 18, 18A,
dan pasal 18B.

Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pemban-
tuan.” Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-
luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
pemerintah pusat.” Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak
menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tu-
gas pembantuan8.

Sebagai konsekuensi pemberlakuan otonomi daerah , akhirnya dibentuk perangkat perundang-


undangan yang mengatur keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu Un-
dang Undang nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
daerah. Namun setelah itu terjadi perubahan yang kemudian digantikan oleh Undang Undang
Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang pemili-


han,pengesahan,pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah juga
merupakan bentuk realisasi dari amanat UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Gubernur, Bu-
pati, dan Walikota masing masing sebagai kepala pemerintahan yang dipilih secara demokratis.

8
Indonesia (a), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ps. 18.
Selain diambil dari Undang Undang Dasar 1945, ada juga dasar hukum yang diambil dari keteta-
pan MPR RI. Seperti pada ketetapan MPR RI nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan
Otonomi Daerah dan ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 mengenai rekomendasi kebijakan
dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

C. VISI DAN PRINSIP OTONOMI DAERAH

Sebagai sebuah sistem peraturan, tentu otonomi daerah memiliki visi dan konsep pembentukan
yang jelas. Visi yang diterapkan juga harus jelas dan mengarah terhadap perkembangan untuk
masa depan. Artinya visi tersebut harus mengandung tujuan yang hendak dicapai untuk masa de-
pan oleh otonomi daerah. Sebaliknya, bentuk otonomi daerah menggambarkan bagaimana proses
pembagian dan pelimpahan (wewenang) dalam pengelolaan sistem pemerintahan itu dil-
aksanakan.9

Seperti halnya tujuan dari kebijakan Desentralisasi yang dibentuk pada tahun 1999, yang per-
tama adalah agar Pemerintah pusat tidak lagi terbebani dalam pembuatan maupun pengambilan
keputusan untuk menangani permasalahan domestik. Sehingga pemerintahan pusat mampu untuk
lebih fokus terhadap permasalahan global dan berkesempatan untuk mengamati, mempelajari,
memahami, bagaimana cara merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat
dari hal tersebut. Diharapkan dari program Desentralisasi ini pemerintah nantinya mampu me-
rencanakan kebijakan yang bersifat makro nasional yang jauh lebih menguntungkan untuk nega-
ra. Dilain sisi, dengan adanya desentralisasi disetiap daerah, daerah tersebut mampu melakukan
pemberdayaan secara menyeluruh secara signifikan. Desentralisasi merupakan simbol ke-
percayaan dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah yang akan dengan sendirinya
mengembalikan harga diri pemerintah daerah.

Dimasa lalu, banyak masalah domestik yang tidak bisa diselesaikan secara baik karena
keterbatasan wewenang pemerintah daerah untuk menangani hal tersebut. Permasalahan itu anta-
ra lain persengketaan tanah, perizinan perusahaan, kerusakan lingkungan, alokasi anggaran sub-
sidi dari pemerintah pusat, prioritas pembangunan, serta pemilihan kepala daerah. Setelah adanya

9
Moh. Roffi Adji Sayketi, Peran Masyarakat Dalam Otonomi Daerah (Klaten: Cempaka Putih Tahun 2008), hal. 6
UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999, kewenangan didesentralisasikan ke
daerah, artinya pemerintah dan masyarakat dipersilahkan untuk mengurus masalah domestiknya
sendiri dengan penuh tanggung jawab.

Adapun visi dari otonomi daerah menurut M. Ryas Rasyid dapat dibagi menjadi tiga ruang ling-
kup utama, yaitu politik, ekonomi, dan sosial budaya.

 Bidang Politik

Otonomi Daerah merupakan kebijakan dari Desentralisasi, oleh karena ittu, otonomi daerah
memiliki visi sebagai :

a) Proses untuk mendorong lahirnya pemerintah daerah yang dipilih secara demokratis
tanpa adanya tekanan dari luar.
b) Memberi kesempatan untuk pemerintah agar peka terhadap permasalahan masyarakat lu-
as.
c) Memelihara dan mempertahankan cara pengambilan keputusan dengan penuh rasa
tanggung jawab,
d) Pemberian kesempatan untuk membentuk pemerintahan daerah yang sesuai dengan kebu-
tuhan daerah.
e) Pengembangan sistem pemerintahan yang efektif.

 Bidang Ekonomi
a) Menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah.
b) Pengoptimalan pendayaguna potensi ekonomi daerah melalui pengembangan kebijakan
regional dan local untuk pemerintah daerah
c) Mendorong kreatifitas pemerintah daerah untuk mendorong perekonomian didaerahnya.
d) Membawa masyarakat kepada tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.
 Bidang Sosial Budaya
a) Menciptakan dan memelihara keselarasan sosial.
b) Memelihara nilai nilai lokal yang dipandang kondusif untuk menghadapi dinamika
perkembangan zaman.10

D. KEWENANGAN DAN KONSEKUENSI


 Kewenangan

Dalam hal pemberian wewenang kepada pemerintahan daerah, undang-undang yang menjadi da-
sar pemberian kewenangan kepada pemerintahan daerah secara atribusi adalah UndangUndang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam ketentuan Pasal 9 disebutkan bah-
wa “Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konku-
ren dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan
yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Sedangkan urusan pemerintahan
konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, dan Daerah Provinsi
dan Daerah Kabupaten/Kota. Adapun urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan. Dari ketentuan ini dapat
dilihat bahwa pemerintahan daerah yang diperoleh secara atribusi adalah urusan pemerintahan
konkuren. Yang pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah dibagi menjadi urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan. Urusan
pemerintahan wajib terdiri atas urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan
urusan pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Rincian dari urusan
pemerintahan wajib ini kemudian diatur dalam pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pela-
yanan dasar meliputi:
a. Pendidikan;
b. Kesehatan;
c. Pekerjaan umum dan penataan ruang
d. Perumahan rakyat dan kawasan permukiman
e. Ketenteraman, ketertiban umum dan pelindungan masyarakat ,dan
f. Sosial.
g. transmigrasi.

Urusan-urusan pemerintahan inilah yang kemudian menjadi kewenangan pemerintahan daerah


secara atribusi. Dalam pelaksanaannya, tentu pemerintahan daerah harus mengeluarkan regulasi

10
Moh. Rofii Adji Satketi, Peran Masyarakat Dalam Otonomi Daerah, (Klaten : Cempaka Putih, Tahun 2008), hal. 7
dan 8.
atau peraturan perundang-undangan sebagai aturan untuk melaksanakan kewenangan-
kewenangan tersebut. Pelaksanaan Kewenangan Atribusi Pemerintah Daerah,pemerintah daerah
mempunyai kewenangan untuk membentuk produk hukum di daerah. Jika melihat ketentuan da-
lam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang mengatur tentang hierarki peraturan perundang-undangan, produk
hukum daerah yang masuk hierarki adalah peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabu-
paten/kota. Akan tetapi, dalam Pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ada juga jenis peraturan perundang-undangan lain
yang diakui seperti peraturan yang ditetapkan oleh gubernur dan bupati/walikota. Ketentuan
lebih lanjut mengenai produk hukum di daerah kemudian diatur dengan Peraturan Menteri Da-
lam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Produk hukum
daerah dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah ini disebutkan terdiri dari peraturan dan ketetapan.
Produk hukum yang berbentuk peraturan terdiri atas:
a. Peraturan Daerah;
b. Peraturan Kepala Daerah;
c. Peraturan Bersama Kepala Daerah; dan
d. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Sedangkan produk hukum daerah yang berbentuk ketetapan terdiri dari:
a. Keputusan Kepala Daerah;
b. Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
c. Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan
d. Keputusan Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dengan adanya ketentuan mengenai produk hukum daerah, menjadi pertanyaan dengan produk
hukum apakah pemerintahan di daerah melaksanakan kewenangan atribusi yang diberikan ber-
dasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Apakah dengan
peraturan daerah atau bisa dengan peraturan kepala daerah. Pelaksanaan Kewenangan Atribusi
Pemerintahan Daerah. Jika mengacu kepada materi muatan peraturan daerah yang diatur dalam
Pasal 14 disebutkan bahwa “Materi muatan peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah ka-
bupaten/kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas
pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan
perundang-undangan”. Materi muatan peraturan daerah juga diatur dalam Pasal 236 Ayat (3)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa “Perda memuat
materi muatan:
a. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
b. Penjabaran lebih lanjut ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Ketentuan yang sama juga ditemukan pada Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80
Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah yang menyatakan bahwa “Perda
memuat materi muatan:
a. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
b. Penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”
Sedangkan materi muatan peraturan kepala daerah jika mengacu kepada ketentuan Pasal 246
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah untuk
melaksanakan perda atau atas kuasa peraturan perundang-undangan. Jika kita mengacu hanya
pada materi muatan saja, maka untuk melaksanakan kewenangan atribusi yang diatur dalam Un-
dang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah adalah dengan peraturan dae-
rah.
Hal ini dapat kita telusuri dari beberapa ketentuan baik dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maupun dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam ketentuan Pasal 9 Ayat (4) Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa “Urusan
Pemerintahan Konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah”.
Hal ini berarti bahwa urusan pemerintahan konkuren dilaksanakan pemerintahan daerah sebagai
wujud dari pelaksanaan otonomi di daerah. Di mana daerah berhak untuk mengatur daerahnya
sendiri. Ketentuan ini kemudian dihubungkan dengan materi muatan dari peraturan daerah itu
sendiri baik yang diatur pada Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pemben-
tukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 236 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah maupun Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80
Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah. Bahwa salah satu materi muatan pera-
turan daerah adalah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Dengan demikian,
kewenangan atribusi pemerintahan daerah yang merupakan urusan pemerintahan konkuren yang
bersifat wajib dan pilihan dilaksanakan oleh pemerintahan daerah dalam bentuk peraturan dae-
rah. Situasi ini membuat peraturan daerah makin mempunyai kedudukan yang strategis dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara atau dengan kata lain peran peraturan daerah dalam
melaksanakan urusan pemerintahan menjadi sangat besar.11

11
Ali Marwan Hsb, Pelaksanaan Kewenangan Atribusi Pemerintahan Daerah,Vol.15 No.2 (2019)
 Konsekuensi

1. Adanya Eksploitasi Pendapatan Daerah

Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih


besar dalam pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan
pendapatan sampai pada alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dengan skenario
semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola tradisional dalam pemerolehan penda-
patan daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan retribusi.

2. Korupsi Daerah

Fenomena lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan


berkaitan dengan implementasi otonomi daerah adalah bergesernya praktik korupsi
dari pusat ke daerah. Sinyalemen ini menjadi semakin beralasan ketika terbukti
bahwa banyak pejabat publik yang masih mempunyai kebiasaan menghambur hamburkan
uang rakyat untuk piknik ke luar negeri dengan alasan studi banding.

3. Adanya Potensi Munculnya Konflik Antar Daerah

Ada gejala cukup kuat dalam pelaksanaan otonomi daerah, yaitu konflik
horizontal yang terjadi antara pemerintah provinsi dengan pemerintah
Kabupaten/kota, sebagai akibat dari penekanan Undang-Undang Nomor 22 tahun
1999 yang menekankan bahwa tidak ada hubungan hierarkhis antara pemerintah
provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota,sehingga pemerintah kabupaten
/kotamenganggap kedudukannya sama dan tidak taat kepada pemerintah provinsi.12

12
Akmal Huda Nasution,Jurnal Akutansi(Media Riset & Keuangan) Hal. 206-215, 2016
BAB III

KESIMPULAN

Otonomi daerah merupakan anugerah bagi daerah yang memiliki keinginan besar untuk me-
maksimalkan fungsi kewenangan pemerintahan daerah. Kewenangan yang proporsional dan
optimal dalam menggerakkan setiap sumber daya yang berada di daerah akan menjadikan
daerah memiliki kemandirian dalam membangun daerahnya. Dengan sistem desentralisasi
yang diterapkan beriringan dengan otonomi daerah dapat menempatkan daerah sebagai in-
spirator penetap kebijakan pembangunan daerah.

Pembangunan yang mengedepankan keseimbangan pusat dan daerah dengan menempatkan


daerah sebagai yang menetapkan kebijakan, maka akan menjadikan daerah sebagai wilayah
yang pembangunannya berdasarkan potensi yang berada di daerah tersebut. Potensi-potensi
dasar yang berkembang di suatu daerah sangat berkaitan erat dengan kepentingan daerah
yang berkesinambungan. Oleh karena itu, daerah harus menjadi inspirator, regulator, dan
pengontrol pembangunan yang berlangsung di daerah.
DAFTAR PUSTAKA

Agustono, B. (2005). Otonomi Daerah dan Dinamika Politik Lokal. Desentralisasi Globalisasi
dan Demokrasi Lokal, 163.
Hsb, A. M. (2019). Pelaksanaan Kewenangan Atribusi Pemerintahan Daerah. Vol.15 No.2.
I Nyoman S. (n.d.). 41.
Ibid. (n.d.). 40.
Marzuki. (2007). Hakikat Desentralisasi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Jurnal Konstitusi,
Vol.4.
Nasution, A. H. (2016). Media Riset & Keuangan. Jurnal Akutansi, 206-215.
P.S, S. (2007). Adminitrasi Pembangunan ; Konsep Dimensi dan Strateginya. Jakarta: Bumi
Aksara.
Ristianti, Y. D. (2017). Undang-Undang Otonomi Daerah dan Pembangunan Ekonomi Daerah.
Vol.2.
S, I. N. (2007). Efektifitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah. 39.
Sayketi, M. A. (2008). Peran Masyarakat Dalam Otonomi Daerah. Klaten: Cempaka Putih.

Anda mungkin juga menyukai