Anda di halaman 1dari 12

Munas 

I Tahun 2000

Munas II Tahun 2005

Prospek Otonomi Daerah di Masa Mendatang

Sekilas BKKSI   Versi Cetak


Pendahuluan

Anggaran Dasar Beberapa waktu belakangan semenjak bergulirnya gelombang reformasi, otonomi daerah menjadi salah satu topik sentral yang banyak
dibicarakan. Otonomi Daerah menjadi wacana dan bahan kajian dari berbagai kalangan, baik pemerintah, lembaga perwakilan rakyat,
kalangan akademisi, pelaku ekonomi bahkan masayarakat awam. Semua pihak berbicara dan memberikan komentar tentang “otonomi
A R T daerah” menurut pemahaman dan persepsinya masing-masing. Perbedaan pemahaman dan persepsi dari berbagai kalangan terhadap
otonomi daerah sangat disebabkan perbedaan sudut pandang dan pendekatan yang digunakan.

Dewan Pengurus
Sebenarnya “otonomi daerah” bukanlah suatu hal yang baru karena semenjak berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia , konsep
otonomi daerah sudah digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Bahkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda,
prinsip-prinsip otonomi sebagian sudah diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Koordinator Wilayah

Semenjak awal kemerdekaan samapi sekarang telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan
Otonomi Daerah. UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948 memberikan hak otonomi dan
Sekretariat
medebewind yang seluas-luasnya kepada Daerah. Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian
UU 5/1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung. Sedangkan saat ini di bawah UU 22/1999 dianut prinsip otonoi
daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab.
Anggota
Otonomi Daerah Saat Ini

Otonomi Daerah yang dilaksanakan saat ini adalah Otonomi Daerah yang berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU ini, otonomi daerah dipahami sebagai kewenangan daerah otonom untuk menatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Musyawarah Nasional Sedangkan prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan
otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelengarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan
Rapat Kerja Nasional
Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup,
dan berkembang di daerah. sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung-
jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh Daerah
Pelatihan
dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semkain baik,
pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta
antara Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Advokasi

Prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah dalam UU 22/1999 adalah :


Seminar & Lokakarya
1. Penyelengaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi
dan keanekaragaman Daerah.
2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertangung jawab.
3. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara
Pusat dan Daerah serta antara Daerah.
Pokok Pikiran
5. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten
dan Daerah Kota tidak ada lagi wilayah administratif.
6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi
Best Practices legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
7. Pelaksanaan azas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administratis untuk
melaksanakan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah.
8. Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah
Artikel
dan Daerah kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan
kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.

Produk Hukum
Dalam implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 yang dilaksanakan mulai 1 Januari 2001 terdapat beberapa
permasalahan yang perlu segera dicarikan pemecahannya. Namun sebagian kalangan beranggapan timbulnya berbagai permasalahan
tersebut merupakan akibat dari kesalahan dan kelemahan yang dimiliki oleh UU 22/1999, sehingga merekapun mengupayakan
News Letter dilakukannya revisi terhadap UU 22/1999 tersebut.

Jika kita mengamati secara obyektif terhadap implementasi kebijakan Otonomi Daerah berdasarkan UU 22/1999 yang baru berjalan
Kliping Otonomi memasuki bulan kesepuluh bulan ini, berbagai permasalahan yang timbul tersebut seharusnya dapat dimaklumi karena masih dalam
proses transisi. Timbulnya berbagai permasalahan tersebut lebih banyak disebabkan karena terbatasnya peraturan pelaksanaan yang bisa
dijadikan pedoman dan rambu-rambu bagi implementasi kebijakan Otonomi Daerah tersebut. Jadi bukan pada tempatnya jika kita langsung
mengkambinghitamkan bahkan memvonis bahwa UU 22/1999 tersebut keliru.

Otonomi Daerah dan Prospeknya di Masa Mendatang


Profil Kabupaten
Sebagian kalangan menilai bahwa kebijakan Otonomi Daerah di bawah UU 22/1999 merupakan salah satu kebijakan Otonomi Daerah
yang terbaik yang pernah ada di Republik ini. Prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang digunakan dianggap sudah cukup memadai dengan
kondisi dan kebutuhan masyarakat dan daerah. Kebijakan Otonomi Daerah yang pada hakekatnya adalah upaya pemberdayaan dan
pendemokrasian kehidupan masyarakat diharapkan dapat mememnuhi aspirasi berbagai pihak dalam konteks penyelenggaraan
pemerintahan negara serta hubungan Pusat dan Daerah.
Web Pemerintahan
Jika kita memperhatikan prinsip-prinsip pemberian dan penyelenggaraan Otonomi Daerah dapat diperkirakan prospek ke depan dari
Otonomi Daerah tersebut. Untuk mengetahui prospek tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai pendekatan. Salah satu
Web Asosiasi Pemda pendekatan yang kita gunakan disini adalah aspek ideologi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

Dari aspek ideologi , sudah jelas dinyatakan bahwa Pancasila merupakan pandangan, falsafah hidup dan sekaligus dasar negara. Nilai-
Mitra nilai Pancasila mengajarkan antara lain pengakuan Ketuhanan, semangat persatuan dan kesatuan nasional, pengakuan hak azasi
manusia, demokrasi, dan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Jika kita memahami dan menghayati nilai-nilai
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan Otonomi Daerah dapat diterima dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Melalui Otonomi Daerah nilai-nilai luhur Pancasila tersebut akan dapat diwujudkan dan dilestarikan dalam setiap aspek
kehidupan bangsa Indonesia .

Dari aspek politik , pemberian otonomi dan kewenangan kepada Daerah merupakan suatu wujud dari pengakuan dan kepercayaan Pusat
kepada Daerah. Pengakuan Pusat terhadap eksistensi Daerah serta kepercayaan dengan memberikan kewenangan yang luas kepada
Daerah akan menciptakan hubungan yang harmonis antara Pusat dan Daerah. Selanjutnya kondisi akan mendorong tumbuhnya dukungan
Derah terhadap Pusat dimana akhirnya akan dapat memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Kebijakan Otonomi Daerah sebagai
upaya pendidikan politik rakyat akan membawa dampak terhadap peningkatan kehidupan politik di Daerah.

Dari aspek ekonomi , kebijakan Otonomi Daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan
bagi Daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan
membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di Daerah. Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi,
kebutuhan dan kemampuan. Kewenangan daerah melalui Otonomi Daerah diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada
para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global.

Dari aspek sosial budaya , kebijakan Otonomi Daerah merupakan pengakuan terhadap keanekaragaman Daerah, baik itu suku bangsa,
agama, nilai-nilai sosial dan budaya serta potensi lainnya yang terkandung di daerah. Pengakuan Pusat terhadap keberagaman Daerah
merupakan suatu nilai penting bgi eksistensi Daerah. Dengan pengakuan tersebut Daerah akan merasa setara dan sejajar dengan suku
bangsa lainnya, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya mempersatukan bangsa dan negara. Pelestarian dan pengembangan
nilai-nilai budaya lokal akan dapat ditingkatkan dimana pada akhirnya kekayaan budaya lokal akan memperkaya khasanah budaya
nasional.

Selanjutnya dari aspek pertahanan dan keamanan , kebijakan Otonomi Daerah memberikan kewenangan kepada masing-msing daerah
untuk memantapkan kondisi Ketahanan daerah dalam kerangka Ketahanan Nasional. Pemberian kewenangan kepada Daerah akan
menumbuhkan kepercayaan Daerah terhadap Pusat. Tumbuhnya hubungan dan kepercayaan Daerah terhadap Pusat akan dapat
mengeliminir gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia .

Memperhatikan pemikiran dengan menggunakan pendekatan aspek ideologi, politik, sosal budaya dan pertahanan keamanan, secara ideal
kebijakan Otonomi Daerah merupakan kebijakan yang sangat tepat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini berarti bahwa
kebijakan Otonomi Daerah mempunyai prospek yang bagus di masa mendatang dalam menghadapi segala tantangan dalam
penyelenggaraan kehidupan bermasya-rakat, berbangsa dan bernegara.

Namun demikian prospek yang bagus tersebut tidak akan dapat terlaksana jika berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi tidak dapat
diatasi dengan baik. Untuk dapat mewujudkan prospek Otonomi Daerah di masa mendatang tersebut diperlukan suatu kondisi yang
kondusif diantaranya yaitu :

 Adanya komitmen politik dari seluruh komponen bangsa terutama pemerintah dan lembaga perwakilan untuk mendukung dan
memperjuangkan implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
 Adanya konsistensi kebijakan penyelenggara negara terhadap implementasi kebijakan Otonomi Daerah.
 Kepercayaan dan dukungan masyarakat serta pelaku ekonomi dalam pemerintah dalam mewujudkan cita-cita Otonomi Daerah.

Dengan kondisi tersebut bukan merupakan suatu hal yang mustahil Otonomi Daerah mempunyai prospek yang sanat cerah di masa
mendatang. Kita berharap melalui dukungan dan kerjasama seluruh komponen bangsa kebijakan Otonomi Daerah dapat
diimplementasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.  

TUJUAN PENDIDIKAN UNTUK PEMBANGUNAN:


Mencari Alternatif Reformasi Pembangunan Pendidikan

Oleh:

Fery Cahyadin * )
Part 1
 

Salah satu pola perilaku kelembagaan pemerintah Orde Baru yang dinilai menghambat
pembaharuan selama ini adalah dalam menentukan kepentingan program pendidikan,
yang kerap kali menggunakan justifikasi kemapanan yang bersifat pasif (misalnya UUD
1945). Sementara di era globalisasi ini tujuan-tujuan dan program-program pendidikan
dituntut untuk secara dinamik menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang
sangat cepat bahkan terlalu cepat untuk diikuti. Dalam konteks inilah, reformasi
pendidikan dapat didefinisikan sebagai upaya untuk merubah masukan (input) pendidikan
menjadi dampak (outcome) pembangunan. Masukan di sini dapat diartikan "raw input"
*
Adalah mahasiswa IAIN Jakarta ( T/PAI) , aktif dalam forum interaktif on-line pada situs-situs berbasis pendidikan ( e-learning)
atau siswa atau calon SDM pembangunan, sedangkan dampak atau "outcome"
pembangunan harus diterjemahkan secara substantif ke dalam komponen-komponen
prioritas pembangunan nasional (misalnya: iptek untuk industrialisasi). Dalam kaitan ini,
tujuan-tujuan pendidikan nasional perlu dirumuskan dalam jangka menengah. Mengapa
jangka menengah? Karena keampuhan kinerja dari suatu sistem pendidikan terbatas dan
harus secara cepat mampu merubah orientasinya sesuai dengan tuntutan perubahan yang
ada.

konteks ini, peningkatan mutu SDM melalui pembangunan pendidikan dipandang sebagai
upaya peningkatan kemampuan daya saing bangsa dalam era globalisasi, sehingga Bangsa
Indonesia mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa maju lainnya di dunia.

Secara makro, posisi Indonesia sebagai bagian dari kawasan Asia Timur, diramalkan akan
menikmati kemakmuran yang lebih baik lagi pada permulaan abad 21 yang akan datang (Riedel
1992; McRae,1994). Indonesia yang pada tahun 1967 hanya memiliki GNP per kapita US$70,
meningkat menjadi sekitar $200 pada tahun 1980, kemudian meningkat 300% menjadi $600
pada tahun 1990, untuk kemudian menjadi sekitar $1100 pada tahun 1997. Pada saat itulah,
Indonesia, berdasarkan kemajuan ekonomi yang dicapainya, mengelompok dengan Malaysia,
Thailand dan Pilipina, yang diprediksikan akan segera bergabung dengan macan-macan
ekonomi Asia lainnya (Korea Selatan, Hongkong, Taiwan dan Singapura) pada permulaan abad
21, sebagai negara-negara industri baru (new industrial countries).
 

Latar Belakang
 

Manakala Garis-garis Besar Haluan Negara 1993 (GBHN 1993) dinyatakan berlaku
sebagai acuan Pembangunan Jangka Panjang 25 tahun Kedua (PJP II) di republik ini,
peningkatan mutu sumber daya manusia (SDM) di semua bidang adalah merupakan
karakteristik utama pembangunan nasional. Dalam perkembang-an selanjutnya,
peningkatan mutu SDM bahkan dipandang sebagai predisposisi keberhasilan
pembangunan ekonomi. Dalam

Namun demikian, krisis moneter dan ekonomi (krismon) yang secara bersamaan menimpa
negara-negara ASEAN dan bahkan negara-negara ASIA Timur lainnya seperti Korea Selatan
dan bahkan Jepang sejak pertengahan tahun 1997, menjungkirbalikkan ramalan tentang
Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya. Khusus di Indonesia, di samping krisis moneter
dan ekonomi terjadi juga musim kering berkepanjangan yang diakibatkan oleh siklus perubahan
cuaca (El Nino), yang diikuti oleh kebakaran hutan yang ekstensif dan berlangsung relatif lama
terutama di Sumatera dan Kalimantan. Hal ini diperparah oleh semakin buruknya iklim sosial-
politik-ekonomi-keamanan di dalam negeri, yang, setelah pasca kerusuhan 14-15 Mei 1998 dan
tuntutan para mahasiswa agar Soeharto turun dari kekuasaan, terjadilah pergantian pemerintahan
dari Soeharto ke B.J. Habibie pada tanggal 21 Mei 1998.
 

Keadaan setelah pasca pergantian kepemimpinan nasional belum menunjukkan


kembalinya kondisi perekonomian kepada keadaan normal seperti sediakala. Indonesia,
yang dahulu, sebelum krismon dijuluki sebagai salah satu "Macan Asia" (Asian Tiger),
sekarang ini sudah berubah menjadi "Asian Begger" atau "Pengemis Asia", yang menanti
belas kasihan dari IMF, Bank Dunia, ADB, Jepang, Australia, Singapura, bahkan
Malaysia (Amin Rais, 1998).

Menurut Boediono (1998), krisis ekonomi dan moneter (krismon) yang terjadi di
Indonesia mengakibatkan turunnya kesejahteraan rakyat. Rendahnya tingkat pendapatan
masyarakat ini menyebabkan daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa menurun.
Daya beli terhadap pelayanan pendidikan juga ikut turun, karena orang tua murid
berkurang pendapatannya untuk menyekolahkan anak-anaknya. Krismon telah
menyebabkan tingkat pendapatan per kapita menurun secara drastis, dari sekitar
US$1100 saat nilai tukar dolar masih 2350 rupiah pada pertengahan tahun 1997, menjadi
kurang lebih US$200 pada pertengahan 1998, karena nilai tukar dolar "terbang" ke
sekitar 13000 rupiah 1[1]. Menggunakan pendapatan per kapita sebagai asumsi
pengukuran, apa yang dialami Indonesia pada saat ini, -Bak memutar balik mesin waktu
selama hampir 20 tahun, saat tingkat kesejahteraan berada di awal tahun 1980-an.

Diperkirakan, sebagai dampak krismon akan lahir masalah-masalah esensial pembangunan


pendidikan yang akan menyebabkan terganggunya keseimbangan program-program pemerataan
dan peningkatan mutu pendidikan (Boediono,1998;p.8,p.16). Merujuk pada pengalaman
kesulitan ekonomi tahun 1980-an, krismon akan menyebabkan program Wajar Dikdas 9 Tahun,
yang diharapkan tuntas pada tahun 2003, tidak akan tercapai. Menggunakan (asumsi) trend
penurunan dan fluktuasi Angka Partisipasi Kasar (APK) pada hampir semua jenjang pendidikan
pada periode 1997-2003, maka akan terjadi zero growth untuk pertumbuhan APK pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah selama periode tersebut (h.9).
 

Dalam keadaan seperti ini, upaya pembangunan pendidikan nampak dihadapkan pada
pilihan: (1) mempertahankan hasil-hasil pembangunan (survival) yang telah dicapai agar
tidak terjadi stagnasi, bahkan setback; (2) meneruskan pembangunan (development)
dengan mengakomodasikan tuntutan-tuntutan substantif kebijakan yang timbul akibat
pola dan dinamika berfikir yang dipandang lebih maju dalam era reformasi ini; dan (3)
1[1]
Boediono, dalam "Dampak Krisis Ekonomi dan Moneter terhadap Pendidikan" menggunakan asumsi nilai tukar rupiah
Rp.5000 dari Rp2350, sehingga pendapatan per kapita riil turun dari US$1080 menjadi $508. jika $ 1 = Rp 10.000 ??
keduanya, dengan asumsi bahwa pilihan ini paralel dengan upaya penanganan krisis pada
tahap solusi operasional 2[2].

Fenomena Pendidikan dalam Pembangunan


 

Menurut McRay (1994), fenomena kemajuan ekonomi bangsa-bangsa di Asia Timur pada
dasarnya merujuk pada faktor-faktor: (1) keluwesan untuk melakukan diversifikasi
produk sesuai dengan tuntutan pasar; (2) kemampuan penguasaan teknologi cepat
melalui reverse engineering (contoh: computer clone); (3) besarnya tabungan masyarakat;
(4) mutu pendidikan yang baik; dan (5) etos kerja.

Diantara faktor-faktor tersebut, pendidikan (faktor 4) adalah merupakan simpul atau


katalisator yang menyebabkan faktor-faktor 1,2,3 dan 5 terjadi (brought into being).
Ilustrasi ini memberikan aksentuasi tentang betapa pembangunan pendidikan sebagai
upaya pengembangan sumberdaya manusia (SDM) menjadi

semakin penting dalam pembangunan suatu bangsa. Dalam era globalisasi, peluang untuk
memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan dari suatu negara akan semakin
besar jika didukung oleh SDM yang memiliki: (1) pengetahuan dan kemampuan dasar untuk
menyesuaikan diri dengan tuntutan dan dinamika pembangunan yang tengah berlangsung; (2)
jenjang pendidikan yang semakin tinggi; (3) keterampilan keahlian yang berlatarbelakang ilmu
pengetahuan dan teknologi (iptek); dan (4) kemampuan untuk menghasilkan produk-produk
yang, baik dari kualitas maupun harga, mampu bersaing dengan produk-produk lainnya di pasar
global.
 

Sejalan dengan itu, Soeharto (1995) 3[3], merujuk pada tiga orientasi pendidikan yang ditetapkan
oleh pemerintah, yaitu terhadap: (1) upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang diwujudkan
melalui program pemerataan kesempatan belajar yang ekstensif bagi seluruh warga negara; (2)
penyiapan tenaga kerja terampil dan profesional; (3) upaya peningkatan penguasaan iptek.

2[2]
Pada saat ini (Juli 1998), Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah telah melakukan reorientasi program-program
dana bantuan asing yang ditujukan untuk memecahkan masalah-masalah operasional pendidikan yang diakibatkan oleh krismon
(krisis moneter dan ekonomi), yang antara lain pencegahan putus sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah melalui
bantuan bea siswa
3[3]
Dalam sambutannya pada buku `Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta, 1995
 

Dengan demikian, pembangunan pendidikan pada dasarnya merupakan upaya-upaya


yang terpadu dari aspek-aspek pemerataan, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan
yang dilakukan secara efisien. Oleh karena itulah, aspek-aspek tersebut menjadi tema
pokok pembangunan pendidikan.

Dari sisi upaya mencerdaskan kehidupan bangsa; wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun
adalah merupakan salah satu upaya pembangunan pendidikan untuk mencerdas-kan
kehidupan bangsa dalam konteks pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan.
Melakukan pemerataan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi (setelah Wajar SD 6
Tahun), diasumsikan memberikan basis fundamental yang lebih kuat bagi pembangunan
nasional terutama dalam meningkatkan kualitas SDM yang lebih berpendidikan.

Dari sisi penyiapan tenaga kerja terampil dan profesional; pendidikan juga berorientasi
pada penyiapan tenaga kerja yang terampil dan profesional sesuai dengan kebutuhan
pembangunan. Pendidikan harus sejalan dengan proses industrialisasi dalam pengertian
dua hal, yaitu (1) pendidikan harus tanggap terhadap tuntutan dunia usaha dan industri
akan tenaga terampil dan profesional; (2) dunia usaha dan industri bukan hanya
merupakan pemakai tenaga-tenaga terdidik, namun juga merupakan mitra kerja para
pengelola sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya pendidikan kejuruan
dan pendidikan profesional; dan (3) pendidikan juga harus mampu memberikan
kemampuan kewirausahaan, sehingga para lulusannya mampu menciptakan lapangan
kerja mandiri.

Dari sisi upaya peningkatan penguasaan iptek; dalam kaitannya dengan karakteristik
negara-negara maju di Asia Timur, yang, menurut McRay (1994), antara lain memiliki
kemampuan untuk melakukan diversifikasi produk sesuai dengan tuntutan pasar dan
penguasaan teknologi cepat melalui reverse engineering, -implikasinya pendidikan harus
berorientasi pada peningkatan penguasaan iptek yang mampu memacu perkembangan
industri lebih cepat dan dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Industri semi konduktor
yang dimulai sejak hampir 20 tahun yang lalu di Korea, Hongkong, Taiwan, kemudian
diikuti oleh Malaysia lebih dari 10 tahun yang lalu adalah contoh sukses dari reverse
engineering dengan R & D yang relatif murah dan mampu menghasilkan nilai tambah
yang relatif cepat dan tinggi. Sistem pendidikan harus mampu meningkatkan SDM
Indonesia terutama dalam kemampuan teknologi rancang bangun (design) dan rekayasa
(engineering). Industri hilir yang selama ini menjadi andalan industri ekspor harus
diperkuat dan dirangkaikan dengan industri antara dan industri hulu, sehingga industri
nasional yang handal dan mandiri akan tercipta. Tenaga-tenaga kerja tingkat menengah
yang berasal dari pendidikan menengah, umum maupun kejuruan, diharapkan dapat
menjadi tenaga kerja tingkat menengah (medium level worker) yang berperan, baik dalam
industri antara dan hilir, bahkan industri hulu. Di samping itu, pendidikan tinggi yang
berorientasi akademis, diharapkan berperan dalam meningkatkan penguasaan iptek baik
melalui pendidikan maupun melalui penelitian serta pengabdian kepada masyarakat.

Gambaran di atas pada dasarnya ditujukan untuk meneliti lebih jauh tentang premis
fenomena peran pendidikan dalam pembangunan. Fenomena yang terjadi di era
globalisasi menunjukkan bahwa upaya-upaya pembangunan hampir selalu merupakan
padanan dari upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang terdidik, yang
mampu mengikuti corak dan dinamika yang berkembang secara cepat, ekstensif dan
mendunia. Dalam konteks inilah upaya pembangunan pendidikan merupakan upaya
peningkatan daya saing bangsa. Menurut Drucker (1993), hanya bangsa yang mampu
menterjemahkan fenomena pembangunan ke dalam kebutuhan pengetahuan yang akan
mampu bersaing di era globalisasi. Pertanyaannya: "Sudahkah kita memahami
komponen-komponen pembangunan nasional dari sudut pandang pembangunan
pendidikan untuk menghasilkan SDM yang tangguh dan berdaya saing tinggi? ". Dalam
konteks inilah, reformasi pendidikan dapat didefinisikan sebagai _upaya untuk merubah
masukan (input) pendidikan menjadi dampak (outcome) pembangunan. Masukan di sini
dapat diartikan "raw input" atau siswa atau calon SDM pembangunan, sedangkan
dampak atau "outcome" pembangunan harus diterjemahkan secara substantif ke dalam
indikator produk-produk unggulan tertentu yang dapat membantu keberhasilan
pembangunan. Katakanlah ini merupakan makna dinamik dari reformasi pendidikan,
selain makna lainnya yang lebih bersifat kualitatif (lihat hasil-hasil kerja Tim Reformasi
Pendidkan IKIP Jakarta, 1998).

Elaborasi Pembangunan Pendidikan Menurut GBHN


 

Baik dalam GBHN 1993 maupun dalam GBHN 1998, titik berat Pembangunan Jangka
Panjang Kedua (PJP II) diletakkan pada ekonomi, seiring dengan (peningkatan) kualitas
sumberdaya manusia (SDM) yang berperan sebagai penggerak utama (prime mover) yang
akan menentukan berhasil tidaknya pembangunan nasional. Makna substantif yang
terkandung di dalam GBHN 1993 dan 1998, secara tersurat dan tersirat sudah mencoba
mengakomodasikan banyak logika pembangunan yang menitikberatkan kepentingan SDM
yang bermutu untuk mendukung pembangunan, terutama dalam: Tujuan, Sasaran
Umum, Prioritas dan Sasaran Bidang dan Kebijaksanaan Pelita VII.

Namun demikian, GBHN sebagai panduan perencanaan pembangunan jangka menengah


(Repelita) dinilai lebih merupakan pernyataan-pernyataan politik yang memiliki pola
fikir deduktif-logik yang tidak sempurna dan bersifat sangat normatif. Pernyataan-
pernyataan yang digunakan dalam komponen-komponen: Tujuan, Sasaran Umum,
Prioritas dan Sasaran Bidang serta Kebijaksanaan Pelita VII, hampir kesemuanya
(kecuali pada Kebijaksanaan Pelita VII) berupa pernyataan-pernyataan yang bersifat
normatif, umum dan lepas konteks, sehingga sulit sekali mencari logika hubungan
langsungnya satu sama lain. Hubungan hierarkikal yang menjabarkan B. Tujuan pada
komponen-komponen di bawahnya (C.Sasaran Umum, D.Prioritas dan E.Sasaran Bidang
Pelita Ketujuh) diungkapkan dalam bahasa "berbunga-bunga" yang secara repetitif
diulang pada hampir setiap bagian dengan "style" yang hampir persis sama. Sebagai
ilustrasi perhatikan contoh-contoh yang dicuplik dari GBHN 1998 berikut, khusus untuk
sektor pendidikan.

Tujuan Pelita Ketujuh

Menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan tekad kemandirian masyarakat Indonesia


……., untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan bathin yang lebih selaras, adil dan
merata.

Sasaran Umum Pelita Ketujuh


….tumbuh dan berkembangnya sikap dan tekad kemandirian dalam manusia …….,
untuk mencapai taraf hidup, kecerdasan, kesejahteraan lahir dan batin yang makin
meningkat.

Prioritas Pelita Ketujuh


….menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tetap dilandasi oleh motivasi serta
kendali keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan YME ……, perluasan dan peningkatan
kualitas pada semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan yang lebih terkait dan sepadan dengan
kebutuhan pembangunan dan perkembangan zaman …….
 

E. Sasaran Bidang Pelita Ketuju


 

…. Makin meluas dan meratanya dikdasmen dan dikti (disingkat) yang berkualitas
termasuk pendidikan keakhlian; menguatnya peranserta masyarakat ……untuk
terwujudnya manusia yang beriman dan bertakwa pada Tuhan YME, berakhlak mulia,
berbudi pekerti luhur,….

F. Kebijaksanaan Pelita Ketujuh


 

(Umum)

….diarahkan untuk meningkatkan kualitas peserta didik sesuai dengan tuntutan


kebutuhan pembangunan yang berwawasan budaya dan lingkungan ……., meningkatkan
seluruh komponen pendidikan, terutama tenaga kependidikan, kurikulum, sarana dan
prasarana. ………, sehingga terwujud manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa
terhadap Tuhan YME, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, mandiri dll. ….yang
memiliki harkat dan martabat sesuai dengan falsafah Pancasila.

(Pendidikan)

Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD'45 untuk mencerdaskan kehidupan


bangsa, beriman dan bertakwa pada Tuhan YME; ……, masyarakat sebagai mitra
pemerintah, peningkatan Pendidikan P4, PMP pada semua jalur, jenis dan jenjang;

b s.d. g adalah tentang a.l. : (1) Kesempatan memperoleh pendidikan dan keterampilan
pada semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan; (2)perhatian khusus bagi peserta didik
dari keluarga miskin dan yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata (gifted); (3) Program
pendidikan dan penelitian Dikti di bidang iptek ditingkatkan; (4) keseimbangan
kurikulum dalam pendidikan moral, agama, bahasa, iptek; (5) pendidikan guru dan
tenaga kependidikan lainnya; dan (6) peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan
prasarana pendidikan.

Kendatipun, dari ilustrasi di atas terlihat bahwa komponen kebijaksanaan (F.


Kebijaksanaan Pelita Ketujuh) memiliki gambaran kegiatan yang lebih jelas dan terukur
(measurable) dibandingkan dengan komponen-komponen lainnya, namun karena
lemahnya kaitan logik dengan komponen-komponen hirarkikal di atasnya (B. Tujuan, C.
Sasaran Umum, D.Prioritas dan E.Sasaran Bidang Pelita Ketujuh) keberadaannya terasa
muncul dengan sendirinya (randomly assigned). Pola pemahaman deduktif-logik yang
seharusnya menurunkan konsep pembangunan nasional ke dalam makna substantif
pendidikan menjadi kehilangan makna, karena tidak adanya kaitan generatif yang jelas
antara tujuan pembangunan nasional dan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang
diharapkan.

Hal ini dikarenakan adanya pola perilaku kelembagaan pemerintah selama ini, untuk
selalu menentukan kepentingan perencanaan dan pelaksanaan program pendidikan
dengan justifikasi kemapanan yang bersifat pasif (misalnya UUD 1945 yang kemudian
dijabarkan lebih lanjut ke dalam UUSPN No.2/1989), sementara di era globalisasi ini
tujuan-tujuan dan konsep pendidikan dituntut untuk secara dinamik menyesuaikan diri
dengan perubahan-perubahan yang sangat cepat bahkan terlalu cepat untuk diikuti. HAR
Tilaar (1998), bahkan berpendapat bahwa pendidikan nasional telah terperangkap dalam
sistem kehidupan yang opresif sehingga terkungkung dalam paradigma-paradigma yang
tunduk pada kekuasaan dan memperbodoh rakyat. Pola perilaku ini sesuai dengan asas
sentralisme dalam sistem kekuasaan, di mana penyelenggaraan pendidikan nasional
selama ini cenderung menuruti garis petunjuk dari atas atau indoktrinasi yang harus
ditaati, suka atau tidak suka. Di masa Orde Baru, dengan mengambil contoh Perencanaan
Jangka Panjang Kesatu (PJP I, 1968/69-1992/93), —sekali kita menyepakati struktur
bidang dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai acuan pembangunan
nasional, maka, suka atau tidak suka, sabar atau tidak sabar, kita harus menunggu 25
tahun untuk merubahnya.

Bukannya tidak mungkin, krismon yang berkepanjangan di negara kita ini salah satu
sebabnya diakibatkan oleh pola perilaku berfikir yang terlalu mengacu pada fatwa
kelembagaan yang mapan dan reaktif, bukannya luwes dan proaktif. Tanpa harus
menafikan keberadaan undang-undang yang kita miliki (sejak dari UUD 1945 sampai UU
apa saja yang kita miliki) yang menyebabkan republik ini mampu berdiri dan mengisi
kemerdekaannya, kita dituntut untuk mencari alternatif reformasi untuk membuat
bangsa ini lebih baik dan mampu keluar dari krisis. Untuk itulah premis-premis tentang
pembangunan pendidikan dalam GBHN 1998 dan Repelita Ketujuh memerlukan
perbaikan dan (bahkan) perubahan. ........

 
Continue
Part 2
 

Guide to looking for :

www.fery1moonfruit.com or www.geocities.com/vey212/fery.html

Contact us : Fery Cahyadien Syifa ( ferysyifa@operamail.com )

copyright©1999-2000

Anda mungkin juga menyukai