Anda di halaman 1dari 17

BAB 13

Perkembangan Sosial melalui Kurikulum

Salah satu fungsi utama program pendidikan anak-anak usia dini adalah memfasilitasi proses
sosialisasi, suatu cara di mana anak-anak menjadi bagian dari masyarakat dengan memiliki fungsi masing-
masing dan belajar aturan-aturan serta nilai-nilai yang terdapat di tengah-tengah masyarakat. Sosialisasi
merupakan sebuah proses yang terjadi sepanjang hayat dimulai dari hari pertama kehidupan seseorang;
fondasi sikap, nilai-nilai serta perilaku terbentuk pada tahun-tahun pertama untuk kemudian digunakan
di kemudian hari.
Tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa sosialisasi diawali dengan hubungan antara orangtua dan
anak ketika masih bayi, di mana pola respon, pemenuhan kebutuhan, dan saat memberi dan menerima
berakar. Ketika anak-anak memasuki program pendidikan pra sekolah, mereka telah memiliki pengalaman
bersosialiasi. Mereka mungkin telah belajar mempercayai atau mencurigai orang lain, bersikap antusias
atau hati-hati ketika berada di tengah situasi baru, peduli terhadap perasaan orang lain karena kebutuhan
mereka selalu terpenuhi atau berpikir bahwa orang lain adalah saingan mereka dalam mendapatkan
kasih sayang atau lainnya.
Karena sosialisasi merupakan tanggung jawab yang sangat penting bagi guru anak-anak ini, kita
akan membahasnya dalam lebih dari satu bab. Bab ini akan berfokus pada perkembangan kemampuan
sosial karena kemampuan ini difasilitasi dan didukung oleh kurikulum. Bab-bab berikutnya membahas
panduan teknik yang memudahkan perkembangan kemampuan sosial positif. Istilah kurikulum yang
digunakan dalam bab ini tidak selalu merujuk pada kegiatan harian yang direncanakan tetapi juga
mencakup semua elemen dalam lingkungan yang memicu percakapan serta aktifitas yang meningkatkan
sosialisasi.

OTAK DAN PERKEMBANGAN SOSIAL


Baru-baru ini penelitian tentang perkembangan otak memberikan kita pemahaman tentang bagaimana
pentingnya kebutuhan awal anak-anak, khususnya untuk dukungan sosial-emosional, dan konsekuensi
pada perkembangan selanjutnya ketika hal ini tidak terpenuhi. Lingkungan yang hangat dan responsif
pada perawatan anak usia dini sangat penting bagi pertumbuhan yang sehat. Di awal perkembangan,
fondasi yang kuat terbentuk untuk memberikan dasar tentang bagaimana cara kerja mereka selama
hidup mereka nantinya. Sementara masa ini merupakan perkembangan yang tidak ada duanya dan luar
biasa, masa ini merupakan masa yang rapuh. Dalam karir mengajar Anda, tentunya Anda bertemu
dengan beberapa anak yang sangat kompeten, sosial, dan sangat ingin belajar, dan anak lainnya yang
penakut, tidak mampu mengerjakan hal-hal yang sederhana, atau tidak memiliki keahlian bersosialisasi
yang mendasar. Mungkin saja pengalaman hidupnya, di mana mereka tidak mendapatkan kasih sayang
dan keamanan, membuatnya berbeda. “Perkembangan anak-anak usia dini dapat dirusak ... Sebab-
sebabnya sangat banyak tetapi berputar pada gangguan hubungan dengan orang dekat” (Shonkoff &
Phillips, 2000, hal. 387). Peran Anda sebagai seorang guru anak-anak usia dini maka dari itu sangat
penting. Anda adalah salah satu kekuatan yang membantu mengembangkan anak-anak kompeten.

PANDANGAN TEORITIS PROSES SOSIALISASI


Dalam Bab 5 kita membahas penelitian Erik Erikson, yang teori psikososialnya tentang tahapan-tahapan
perkembangan anak berpengaruh besar pada pendidikan anak usia dini. Meski kita tidak akan kembali
membahas teori ini secara rinci di sini, harus diingat penekanan Erikson akan pentingnya memberikan
pada anak-anak lingkungan sosial di mana orang-orang dapat dipercaya, anak-anak dapat dengan aman

1
menjalankan kebebasannya yang sedang tumbuh dan banyak kesempatan tersedia untuk
mengeksplorasi. Program untuk anak usia dini dibangun atas dasar bahwa kebutuhan anak akan
kepercayaan, otonomi, inisiatif dan industri harus dipenuhi.
Kita akan melihat tiga pandangan teoritis yang menarik tentang sosialisasi. Satu pandangan yang
penting tentang bagaimana anak-anak bersosialisasi berasal dari penelitian Jean Piaget. Pendekatan ini
berpusat pada pemikiran bahwa anak-anak menyusun semua pengetahuan termasuk pengetahuan sosial.
Pandangan ini bertentangan dengan pemikiran kelompok behaviorisme yang menyatakan bahwa
pengetahuan sosial diterima dari lingkungan dan lewat budaya (Edwards, 1986). Pandangan ketiga, teori
sosio-historis dari Lev Vygotsky, berfokus pada peran orang dewasa dan rekan-rekan sebaya yang lebih
berpengalaman dalam penerimaan nilai-nilai sosial.

Pandangan Kelompok Konstruktivis (teori konstruktif) tentang Sosialisasi


Pendapat Piaget tentang perkembangan sosial adalah bahwa pengetahuan sosial didapat dengan cara
yang sama dengan pengetahuan lain (lihat Bab 11). Anak-anak menggunakan kognisi sosial mereka yang
sedang berkembang, atau pemahaman masalah-masalah yang dimiliki orang lain dan bagaimana
perasaan mereka, untuk mengatur dan menyusun informasi tentang orang-orang dan hubungan yang ada
dengan cara yang sama dengan yang digunakan dalam mengatur dan menyusun informasi tentang sifat-
sifat fisik dunia mereka (Kohlberg, 1966). Misalnya, anak-anak mengelompokkan orang-orang yang
mereka temui sesuai hubungannya dengan mereka dan skema mereka sendiri, yang tentunya telah
terbentuk oleh budaya mereka. Seperti halnya dengan pembelajaran materi lain, pemahaman seperti ini
berasal dari keterlibatan aktif si anak, bukan dari penerimaan pasif informasi. Sebagai bagian dari dunia
yang kompleks, anak-anak perlu membuat diri mereka serta orang lain berarti. “Hanya karena lahir dalam
keluarga manusia, maka anak-anak usia dini tertantang untuk memahami diri sendiri, orang lain,
hubungan sosial dan moral serta lembaga sosial” (Edwards, 1986, hal 3).

Pandangan Behavioris tentang Sosialisasi


Berlawanan dengan teori Piaget, anggapan tradisi perilaku adalah bahwa anak-anak diajarkan tentang
dunia sosial ketika respon mereka diperkuat oleh orang dewasa yang membentuk perilaku mereka. Teori
pembelajaran sosial, yang berasal dari, tapi melampaui, behaviorisme trasisional, tidak menganggap
penguatan sebagai sesuatu yang penting dalam pembelajaran sosial. Dari sudut pandang pembelajaran
sosial, anak-anak juga mulai belajar perilaku sosial dengan pembelajaran lewat pengamatan, dengan
mengamati, mencatat, dan meniru atau mengikuti model perilaku seseorang yang mereka anggap model.
Orang dewasa dan rekannya dapat menjadi model. Penelitian telah menunjukkan bahwa model orang
dewasa yang penuh perhatian dan hangat mempengaruhi perilaku sosial anak-anak (Shonkoff & Phillips,
2000). Adalah mungkin bahwa anak-anak meniru orang-orang yang mereka suka karena mereka ingin
menjadi seperti orang-orang itu. Selain itu anak-anak cenderung meniru model-model yang mereka
amati yang diberi penghargaan (Bandura, 1977).

Pandangan Vygotsky tentang Sosialisasi


Dalam bab 5 Anda diperkenalkan pada Lev Vygotsky, yang teori sosiohistorisnya sangat menarik dalam
membahas perkembangan sosial. Perkembangan sosial tidak dapat dipisahkan dari perkembangan
kognitif dan bahasa. Lewat bahasalah pikiran si anak “terhubung” dengan pikiran orang lain untuk
mendapatkan pemahaman tentang dunia.”Dasar teori Vygotsky adalah bahwa semua bentuk aktifitas
mental manusia dalam bentuk yang lebih tinggi dibangun dan ditransfer pada anak-anak lewat dialog
dengan orang lain” (Berk, 1994 hal. 30). Vygotsky memikirkan peran orang dewasa atau teman yang

2
lebih berpengalaman dalam mentransfer informasi tentang budaya dan tentang kemampuan serta
ekspektasi sosial. Peran guru sangat berarti dalam konteks teori ini, yang mendasari kontribusi mereka
dalam sosialisasi si anak ke dalam masyarakat yang lebih luas. Dalam zona perkembangan proksima,
serangkaian tugas yang belum dapat dilakukan si anak tetapi dapat dikerjakan dengan bantuan, guru
berada di sana untuk menolong mereka ketika mereka mempelajari serangkaian keahlian. Dalam istilah
Vygotsky, orang dewasa menyediakan penopang, istilah yang membangkitkan ingatan ketika kita
memikirkan jenis dukungan dan panduan yang diberikan guru pada anak-anak untuk membantu mereka
mempelajari kemampuan yang relevan.

PERKEMBANGAN KOMPETENSI SOSIAL


Karena makin banyak anak-anak usia dini memasuki tempat penitipan, mereka menambah jumlah kontak
intim dengan teman-teman mereka. Pada umur tiga sampai empat tahun, mayoritas anak menjadi bagian
dari dunia sosial yang memberikan hak yang sama pada semua orang, dunia di mana semua orang sejajar.
Dalam dunia ini, anak-anak diharapkan untuk berbagi dan bekerja sama, untuk belajar aturan-aturan dan
harapan-harapan. Ketika anak-anak ini melewati proses bersosialisasi dengan rekan-rekannya, mereka
mendapatkan kemampuan dan keahlian berinteraksi, mulai membangun persahabatan, identitas gender,
mengadopsi sikap kesukuan dan budaya, membentuk nilai moral, dan memperoleh sekumpulan perilaku
sosial.
Kesempatan untuk mengembangkan penerimaan multibudaya, multisuku dan multiekonomi
akan tergantung pada sifat program pendidikan anak usia dini. Meski program-program ini dapat
membantu anak-anak belajar tentang orang-orang yang berasal dari latar belakang ang berbeda, program
pendidikan anak usia dini cenderung homogen, yang menggabungkan anak-anak yang berasal dari
kelompok suku, budaya dan ekonomi yang sama.

Interaksi antar Sesama


Interaksi antar sesama merupakan hal yang penting dalam proses sosialisasi masa kanak-kanak
(sebenarnya, dalam perkembangan anak secara keseluruhan). Interaksi seperti ini dimulai ketika anak-
anak, ketika, sekitar berumur dua tahun, bayi menunjukkan ketertarikannya pada sesamanya. Pada usia
sekitar enam bulan mereka mengarahkan senyum dan suaranya pada anak lain. Peniruan yang menjadi
bagian dari kosakata bayi juga terintegrasi dalam permainan dengan sesama; anak-anak usia dinin sering
mengembangkn permainan berdasarkan tiruan yang mereka mainkan bersama (Ladd & Coleman, 1993).
Masa kanak-kanak memberikan kesempatan ideal untuk anak-anak usia dini mengembangkan
kemampuan sosialnya dengan sesamanya. Seperti halnya dengan kemampuan lain, lewat praktek dalam
situasi nyata, anak-anak mengembangkan keahlian ini dalam interaksi antar sesama. Banyaknya
kesempatan alamiah yang terjadi dalam kesehariannya membuat anak bersimpati dan menolong rekan-
rekannya (Honig, 1992). Kemampuan sosial ini mencakup banyaknya strategi yang mereka pelajari untuk
membantu mereka memulai dan meneruskan interaksi sosial, bernegosiasi, dan menyelesaikan konflik
(Miller, 2000).
Bagi anak-anak yang baru saja berinteraksi dengan sesamanya, panduan orang dewasa – bukan
campur tangan mereka – sangat penting; ketika anak bertambah usia dan tidak begitu egosentris,
kehadiran orang dewasa menjadi tidak begitu penting (Howes, 1987). Pertama, dalam memfasilitasi
perkembangan sosial, harus memberikan anak-anak banyak waktu dan ruang serta alat-alat yang sesuai
untuk memudahkan interaksi. Seorang anak yang memiliki kesulitan mengikuti permainan sosial dapat
dibantu lewat panduan guru; misalnya, mengarahkan anak itu pada suatu kelompok yang memiliki minat
yang sama atau memasangkan si anak dengan anak lain yang lebih kompeten secara sosial (Miler, 2000).

3
Anak yang usianya lebih besar juga dapat menjadi model untuk adik-adiknya. Dalam satu
penelitian, permainan yang dimainkan anak-anak usia dua tahun digambarkan lebih kooperatif dan
kompleks ketika mereka dipasangkan dengan anak-anak berusia lima tahun daripada teman-temannya
yang seusia (Howes & Farver, 1987). Penelitian ini mendukung pemikiran yang memberikan anak-anak
dalam tempat perawatan dengan kesempatan berinteraksi dengan mereka yang tidak seusia.

Persahabatan
Salah satu hubungan antar sesama adalah persahabatan, yang memperdekat hubungan antara orang
yang ditandai dengan perhatian, berbagi dan menemani. Penelitian belakangan ini menguak pentingnya
persahabatan pada usia dini terhadap emosi anak (Flaste, 1991). Konsep persahabatan bagi anak-anak ini
terbatas, seputar situasi langsung dengan tidak begitu memikirkan bahwa persahabatan ini akan
berlangsung lama. Ketika usia mereka bertambah, persahabatan mereka menadi lebih stabil (Kemple,
1991).
Meski demikian, banyak penelitian yang membuktikan bahwa anak-anak usia dini yang menjalin
persahabatan, menunjukkan kecenderungan dan perhatiannya terhadap teman-teman tertentu.
Persahabatan dini seperti itu, yang terkadang berlanjut bertahun-tahun, memiliki hubungan afektif yang
kuat dan menunjukkan karakteristik sama dengan perilaku kasih sayang yang terlihat antara anak-anak
dan orang dewasa (Ladd & Coleman, 1993).
Anak-anak pra sekolah melihat teman dari kemudahan akses, atribut fisik dan tindakan; bukan
watak mereka. Dengan kata lain, seorang teman adalah “seseorang dengannya kamu sering bermain,”
“seseorang yang memakai T-Shirt Batman,” “seseorang yang mengundangmu ke pesta ulangtahunnya”,
atau “seseorang yang tidak jahat.” Pemahaman lain tentang persahabatan ini dapat ditemukan dalam
pertanyaan yang sering diajukan, “Apakah kamu temanku?” yang dapat diterjemahkan menjadi “Maukah
kamu bermain denganku?” (Kadd & Coleman, 1993).
Anak-anak pra sekolah membayangkan bahwa persahabatan akan membuat mereka senang,
terhibur dan puas dalam bermain (Parker & Gottman, 1989). Anak-anak usia dini hanya memikirkan diri
sendiri, seperti perasaan dan kebutuhan mereka; baru kemudian mereka mulai menyadari akan
kebutuhan dan perasaan orang lain. Tetapi, seperti yang dicatat para pengamat, anak-anak dapat saling
memberi perhatian dan memberikan dukungan moral (Levinger & Levinger, 1986); misalnya, perhatikan
pandangan mereka ketika seorang anak kecil menangis karena terluka atau sedih.
Ketika mereka memasuki sekolah dasar, kelompok mereka menjadi sumber dukungan yang lebih
berarti. Rekan-rekan mereka sangat berpengaruh dalam menentukan banyak aspek dalam kehidupan
mereka; termasuk apa yang harus dikenakan, bagaimana berperilaku, dan bagaimana berbicara. Penilaian
anak-anak terhadap diri sendiri lebih terpengaruh oleh kawan-kawannya. Mereka juga lebih selektif
dalam memilih “sahabat baik”, yang salah satu kriterianya hampir selalu bergender sama, dan dengan
sahabat ini mereka memiliki pertalian yang kuat (Click, 1998).
Kepercayaan adalah dasar dalam membangun persahabatan. Anak-anak yang dapat dipercaya,
berbagi dan bekerja sama lebih cenderung dianggap teman oleh kawan-kawannya. Kepercayaan dalam
hubungan antar sesama, tidak muncul begitu saja tetapi dari rasa percaya yang dibangun pada usia dini
(seperti yang digambarkan oleh Erikson), yaitu ketika orang dewasa yang penuh perhatian memenuhi
kebutuhan mereka secara konsisten. Guru juga dapat membantu mereka untuk percaya, dapat
membantu membentuk persahabatan lewat dukungan dan panduan. Lebih spesifik lagi, mereka dapat
membantu anak-anak mengenali kebutuhan dan tujuan mereka dan teman sebayanya, mengembangkan
kemampuan sosial yang lebih efektif, mengenali bagaimana perilaku mereka berdampak pada orang lain
dan menyadari kesuksesan interaksi sosial mereka sehingga dapat mereka ulangi (Bzzellu & File, 1989).

4
Perkembangan Peran Gender
Penelitian telah menunjukkan bahwa salah satu faktor penentu interaksi dan persahabatan dengan
sesama adalah faktor gender. Jika Anda bekerja untuk anak-anak usia dini, Anda akan melihat bagaimana
pilihan teman bermain biasanya berjenis kelamin sama. Hal ini berlaku dalam budaya manapun tidak
hanya di Amerika (Maccoby, 1990). Jarang terjadi pertemanan antara jenis kelamin yang berbeda; akan
tetapi, ketika usia mereka bertambah, anak perempuan makin cenderung memilih bermain dengan anak
perempuan lain dan anak lelaki akan mencari anak lelaki lain sebagai teman bermain,
Pemilihan jenis kelamin, atau pemisahan berdasarkan jenis kelamin, mulai jelas sebelum anak
mencapai usia tiga tahun (Howes, 1988). Anak-anak berumur empat tahun bermain dengan teman yang
berjenis kelamin sama tiga kali lebih sering daripada anak-anak berjenis kelamin lain; dua tahun
kemudian, pilihan ini meningkat sebesar 11 kali (Maccoby & Jacklin, 1987). Anak-anak memilih teman
berjenis kelamin sama dengan spontan dan mencoba mengubah atau mempengaruhi pilihan mereka
untuk interaksi antar jenis kelamin biasanya tidak sukses. (Powlishta, 1995).
Banyak spekulasi yang ada tentang alasan pemisahan berdasarkan jenis kelamin ini. Eleanor
Maccoby (1990), yang telah terlibat dalam penelitian berdasarkan perbedaan jenis kelamin bertahun-
tahun, berhipotesis bahwa anak perempuan menghindari lelaki karena mereka tidak menyukai
berinteraksi dengan teman main yang tidak responsif. Dia berspekulasi bahwa biasanya anak perempuan
tidak menyukai gaya bermain anak lelaki yang kompetitif, keras dan faktor yang lebih penting, mereka
seperti tidak memiliki pengaruh terhadap anak lelaki. Soal pengaruh ini menjadi penting selama masa
kanak-kanak karena mereka belajar mengintegrasikan dan mengkoordinasikan aktifitas mereka dengan
teman bermain mereka. Dalam usaha untuk mempengaruhi teman lain, anak perempuan cenderung
lebih sopan daripada anak lelaki; sejalan dengan waktu, anak lelaki tidak mengindahkan anak perempuan
dan anak perempuan menghindari anak lelaki karena usaha mereka mempengaruhi tidak berhasil.
Bagaimana kesadaran akan perbedaan jenis kelamin ini berkembang? Lawrence Kohlberg (1966)
membahas proses perkembangan pembentukan sikap berdasarkan peran gender. Dimulai dari identitas
gender, di mana anak-anak usia dini, seringnya sebelum ulangtahun mereka yang kedua, mengidentifikasi
dengan tepat dan mengelompokkan mereka dan lainnya sebagai anak lelaki dan anak perempuan
berdasarkan ciri-ciri fisik; hal ini muncul bersamaan dengan perkembangan konsep koginitif seperti
konservasi, misalnya bahwa jumlah tanah liat dalam sebuah bola tidak berubah meski bentuknya
berubah.
Perkembangan lain dalam proses ini, yang berkembang selama masa usia prasekolah dan
menjadi lebih jelas ketika si anak masuk sekolah dasar, adalah kesamaan jenis kelamin dan apapun yang
terkait dengannya. Anak-anak menghargai simbol-simbol nyata dari jenis kelamin mereka yang
mengkonfimasi pria dan perempuan, dan mereka menyusun serta menggunakan serangkaian peraturan
kaku dan stereotip tentang jenis kelamin. Kekakuan ini konsisten dengan pendekatan yang sama dengan
konsep kognitif lainnya. Dalam mendapatkan nilai-nilai kesamaan jenis kelamin, anak-anak juga
mengidentifikasi diri sebagai bagian dari orang-orang yang berjenis kelamin sama.

Panduan untuk Pengajaran Non-Sexist. -Kekakuan ini, pilihan anak-anak untuk berteman dengan
rekannya sesama jenis kelamin, dan keterlibatan mereka dalam kegiatan yang stereotip sering
menyulitkan orang dewasa yang menginginkan anak-anak menjadi terbuka dan toleran terhadap orang
lain. Meski ada usaha orangtua dan guru untuk menyajikan model nonsexist pada anak-anak dalam
kehidupan mereka, anak-anak ini sering menunjukkan perilaku dan sikap yang sangat stereotip.
Sebenarnya, di akhir sekolah dasar, anak-anak sering menjadi antagonis terhadap rekan-rekannya yang

5
berjenis kelamin beda dengan menggoda dan bertikai (Click, 1998). Beberapa panduan dapat membantu
guru anak-anak usia dini menanamkan fondasi sikap yang berdasarkan rasa hormat terhadap setiap orang
sebagai individu.
 Hargai setiap anak sebagai individu. Fokus oada kekuatan dan kemampuan anak sebagai seseorang
dan bantu anak mengenali dan menghargai karakter ini.
 Bantu anak memahami identitas jenis kelamin sebagai sesuatu yang ditentukan secara biologis.
Sebelum mereka mengembangkan perbedaan gender, anak-anak dapat merasakan bahwa
kecenderungannya memilih anak lelaki atau anak perempuan yang membuat mereka anak lelaki dan
perempuan. Yakinkan mereka bahwa tubuh mereka, dan bukan aktifitas mereka, yang menentukan
jenis kelamin mereka (Derman-Sparks, 1989).
 Perhatikan perilaku anda sendiri. Penelitian telah menunjukkan bahwa misalnya, orang dewasa
cenderung melindungi anak perempuan, bereaksi lebih terhadap perilaku nakal anak lelaki, lebih
mendukung kebebasan pada anak lelaki, dan mengira bahwa anak prempuan lebih penakut (Honig,
1993).
 Dengarkan semua anak dengan seksama. Orang dewasa cenderung memotong atau berbicara
bersamaan dengan anak perempuan dibanding dengan dengan anak laki-laki; hal ini memberi kesan
bahwa anak perempuan kurang penting (Honig, 1983).
 Bantu anak-anak menemukan kata-kata yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Anak lelaki
cenderung tidak meminta dipeluk atau duduk di atas pangkuan seperti halnya anak perempuan.
Guru dapat membantu semua anak menemukan kata ang tepat untuk mengkomunikasikan
kebutuhan mereka akan kasih sayang (Honig, 1983).
 Gunakan bahasa dengan hati-hati, dengan menghindari bias terheadap identitas anak lelaki.
Bahasa Ingris cenderung mengasumsi bahwa jenis kelamin tidak jelas. Kita sering menggunakan “dia
(lk) he” ketika kita tidak mengetahui apakah binatang, orang, atau karakter dalam buku cerita itu
lelaki atau perempuan dan ini memberikan kesan pada anak bahwa “he” lebih penting dan lebih
menakutkan daripada “she”.
 Berikan materi yang menunjukkan pria dan perempuan dalam berbagai peran. Puzzle, permainan
lotto, poster dan foto yang dapat menunjukkan pria dan perempuan dalam peran yang tidak
tradisional. Permainan drama dapat membawa anak-anak ke dalam berbagai peran yang terkadang
diidentikkan dengan pria atau perempuan.
 Pilih buku-buku anak yang menggambarkan model non sexist. Literatur anak-anak mencakup
beragam karakter dari yang sangat stereotip sampai tidak sama sekali. Meneliti beragam buku anak-
anak termasuk yang memenangkan penghargaan menunjukkan bahwa peran pria dan perempuan
sering diselewengkan dan stereotip. Pria berkesan sering dimunculkan; perempuan, ketika mereka
digambarkan, cenderung digambarkan pasif dan tergantung (McDaniel & Davis, 1999; Nodelman,
1999).
 Rencanakan berbagai macam aktifitas dan dukung anak-anak untuk berpartisipasi. Anak-anak akan
berpartisipasi dan menikmati beragam aktifitas – memasak, memahat, menyusun balok, merawat
rumah, membaca buku, menjahit, pasir dan air, seni rupa – jika mereka direncanakan dengan benar
disertai dengan kata-kata dan sikap guru yang tidak berkonotasi stereotip,
 Berikan mainan yang tidak identik dengan jenis kelamin tertentu untuk batita. Hindari
memberikan lingkaran untuk digigit berwarna biru dan berbentuk mobil pada anak lelaki dan
mainan warna merah muda serta feminin pada anak perempuan. Juga, hindari memberikan mainan
yang identik dengan jenis kelamin tertentu pada batita; mereka dengan cepat menangkap pesannya
bahwa boneka untuk anak perempuan dan truk untuk anak lelaki!

6
 Bahas stereotip dengan mereka. Anak-anak pra sekolah yang usianya lebih besar dan sekolah dasar,
khususnya jika mereka sering dikelilingi orang dewasa yang sensitif terhadap konsep dan kosakata
tanpa bias, dapat melibatkan diri dalam diksusi tentang stereotip jenis kelamin dalam buku, program
tv favorit atau film

Kesadaran dan Sikap terhadap Kesukuan dan Budaya


Sama halnya dengan pengenalan dini akan perbedaan jenis kelamin, anak-anak juga mengembangkan
kesadaran akan variasi suku pada usia dini. Meski masih sedikit penelitian yang dilakukan untuk
membahas hal ini terhadap anak-anak di bawah tiga tahun, banyak anak-anak berusia tiga tahun dan
empat tahun, yang tidak hanya mengenali suku tetapi juga menunjukkan kecenderungan terhadap suku
tertentu (Ramsey, 1995). Jadi, anak-anak pada usia dini telah memiliki rasa perbedaan kesukuan. Anak-
anak pra sekolah menggunakan perbedaan fisik yang terlihat; khususnya warna kulit, juga warna rambut
dan mata, memberikan dasar perbandingan dan pengelompokkan.
Dengan cara yang sama dengan proses penerimaan identitas jenis kelamin, anak-anak usia dini
juga tidak seperti mengerti seutuhnya perbedaan ras sampai mereka mencapai tahapan operasi yang
nyata pada masa kanak-kanak. Akan lebih sulit bagi anak-anak untuk mengembangkan kesadaran
perbedaan ras karena banyak anak usia dini yang kontaknya dengan orang dari ras lain terbatas serta
tumbuh dalam lingkungan yang homogen. Untuk kebanyakan anak-anak, pertemuan pertama mereka
dengan ras lain adalah lewat tv, film dan buku dan bukan kehidupan nyata. Selain itu, anak-anak juga
melihat bukti yang berlawanan ketika mereka melihat warna kulit itu dapat berubah oleh matahari.
Keluarga, tetangga, sekolah, gereja, buku dan media massa dapat memperkenalkan anak pada fakta
bahwa orang-orang memenuhi kebutuhan mereka dengan cara yang berbeda. Semua orang perlu
berkomunikasi tetapi mereka melakukannya dalam bahasa yag berbeda. Semua orang butuh makan,
tetapi mereka tidak makan makanan yang sama; semua orang butuh pakaian, tempat tinggal, tetapi
mereka memenuhi kebutuhan ini dengan cara mereka sendiri. Penekanan akan persamaan di antara
orang-orang harus menjadi dasar program multibudaya bagi anak-anak.
Meski perkembangan kognitif anak mengerahkan mereka mengamati perbedaan dan
mengelompokkannya, masyarakat menerapkan nilai-nilai perbandingan yang menyebabkan pada sterotip
dan sangkaan. Anak-anak dihujani pesan yang halus dan tidak terlalu halus tentang nilai orang-orang.
Orangtua sebagai pengantara sosialisasi pertama merupakan alat transmisi utama akan sikap kesukuan
dan budaya; tetapi, penelitian menunjukkan hubungan yang kecil antara anak-anak dan orangtuanya
dalam aspek ini (Kaltz, 1982). Sumber yang lebih memungkinkan tentang informasi ras dan budaya
adalah tv, film dan buku yang dengan ada tidaknya gambar, menunjukkan superioritas beberapa
kelompok dan inferioritas beberapa ras.
Dalam membentuk sikap mereka, anak-anak terus mencoba menjadikan sumber-sumber
informasi yang saling bertolakbealkang. Hal ini dengan tepat diilustrasikan kepada penulis oleh seorang
anak berumur empat tahun, anak yang agresif dengan sedikit teman. Tori berdiri di sudut lapangan
istirahat, melihat ke arah Muanza, seorang anak yang ramah dan supel dari Kenya. Dengan menggunakan
istilah yang sangat menghina tentang orang kulit hitamyang pernah ia dengar dari orang dewasa, dia
berkata dengan nada sedih, “Anak ____ itu temanku satu-satunya.” Penggunaan kata ini sangat bertolak
belakang dengan pengalaman bermainnya dengan Muanza.

Panduan untuk Mengajarkan tentang Ras dan Budaya. Program pendidikan anak usia dini merupakan
tempat ideal untuk membantu anak mempelajari diri sendiri dan orang lain, belajar menghargi dan
memiliki kebanggaan akan diri sendiri, serta belajar menghargai orang lain. Hal ini melibatkan

7
penyampaian pengetahuan yang akurat tentang dan penghargaan terhadap kelompok ras dan budaya
lain, dan pemahaman akan rasisme dan bagaimana mengatasinya. Salah satu sumber yang sangat bugus
untuk membantu anak-anak usia dini dalam tugas ini adalah buku Louise Derman-Sparks yang
bertajuk :Kurikulum Anti bias: Cara memperkuat Anak Usia Dini (1989). Buku ini membahas secara
menyentu dan rinci dan menyarankan strategi untuk membantu anak belajar tentang dan menghargi
perbedaan ras, jenis kelamin, budaya serta fisik dan untuk mempromosikan anti diskrimansi dan
aktifisme.
Panduan di bawah ini diambil dari berbagai sumber. Mereka dapat membantu Anda memberikan
anak-anak pemahaman perkembangan yang benar tentang ras dan budaya lain.
 Ketika anak mengangkat perbedaan ras/budaya, bahas dengan jujur. Bantu anak mengenali bahwa
ada perbedaan di antara orang banyak tetapi perbedaaan ini bukan berarti mereka lebih tinggi atau
lebih rendah daripada yang lain. Tekankan bahwa setiap orang memiliki watak yang unik
 Bantu anak mengembangkan kebanggaan diri lewat identitas ras/budaya yang positif. Konsep
anak-anak terikat dengan perasaan bahagia tentang semua aspek dirinya. Pengakuan dan komentar
positif tentang keindahan beragam warna kulit, rambut dan mata penting untuk mengembangkan
perasaan tentang kebanggaan diri.
 Bantu anak mengembangkan sikap positif terhadap ras lain. Anak-anak memerlukan informasi
akurat tentang ras lain dan harus dipandu untuk menghargai orang lain. Mencontohkan penerimaan
dan penghargaan akan semua ras merupakan faktor penting.
 Bantu anak melihat variasi warna kulit sebagai gradasi warna bukan perbedaan yang ekstrem.
Grafik warna di mana anak dapat mencocokkan warna kulit mereka dapat membantu pemahaman
bahwa setiap orang memiliki warna kulit yang merupakan degradasi warna cokelat.
 Bantu anak belajar bahwa orang-orang berkulit gelap tidak kotor. Konsepsi salah yang sering terjadi
pada anak adalah mereka berpikir bahwa anak berkulit gelap itu kotor dan tidak pernah mandi.
Aktifitas memandikan (misalnya memandikan boneka kulit putih yang sangat kotor dan boneka kulit
hitam yang bersih) membantu mulai menyingkirkan pemahaman ini.
 Tempelkan foto anak-anak dengan keluarganya. Hal ini akan membantu mereka untuk
mendapatkan konsep ketetapan ras ketika guru menunjukkan kesamaan (juga perbedaan) di antara
anggota keluarga. Bantu hilangkan konsepsi yang salah tentang ketetapn ras ketika hal ini muncul
secara spontan. Bersiaplah untuk pertanyaan jika seorang anak di kelas yang diadopsi oleh orang tua
dari ras berbeda.
 Pastikan bahwa lingkungan terdiri dari bahan-bahan ajar yang mewakili banyak ras dan budaya.
Buku, boneka, gambar, poster, drama, puzzle dan bahan lainnya mencerminkan orang-orang dari
semua warna dan budaya dalam cara yang positif. Hal ini penting jika kelas Anda terdiri dari berbagai
macam ras; yang juga penting adalah mempertemukan anak-anak yang berasal dari kelas homogen
pada kelompok dari ras dan budaya berbeda lewat lingkungan. Masukkan alat-alat di atas dalam
ruangan anak batita.
 Bahas kejadian-kejadian berkenaan dengan rasisme dan stereotip ras dengan anak-anak. Buat
perilaku model antirasis dengan menantang insiden rasisme dan stereotip ras. Bantu anak
menemukan kata alternatif jika mereka menggunakan hinaan berkonotasi rasisme dalam pertikaian.
 Fokuskan pada materi kurikulum tentang budaya pada persamaan yang dimiliki daripada
perbedaannya. Anak-anak dapat mengidentifikasi dengan pengalaman yang berbagi yang terlibat
dengan orang dari budaya berbeda. Semua orang makan, mengenakan pakaian, butuh tempat
tinggal, dan bersama-sama dalam peristiwa tertentu, dan menghargai aktifitas keluarga.
Memfokuskan aspek “eksotis” suatu budaya hanya menunjukkan bagaimana budaya ini berbeda dan

8
menghilangkan aspek manusianya. Memfokuskan pada perbedaan mengembangkan stereotip,
sedangkan menekankan pada persamaan membangun pemahaman.
 Hindari pendekatan “turis” dalam mengajarkan tentang budaya. Jangan mengajarkan anak-anak
tentang budaya di luar konteks. Misalnya, hindari penggunaan hari raya yang dirayakan budaya lain
atau minggu “budaya” yang mengetengahkan topik ini (Senin – Meksiko, Selasa – Jepang, Rabu –
Afrika, Kamis – Jerman, dan Jum’at – Perancis). Hindari pula penggunaan aktifitas memasak etnis
dan menampilkan pakaian perayaan sebagai komponen utama dalam peristiwa ini. Pendekatan
seperti ini tidak ada hubungannya dengan sehari-hari, meningkatkan keragaman budaya dan
melambangkan multi budaya sebagai suatu tindakan daripada cerminan hidup di dunia.
 Buat keragaman budaya sebagai bagian dari aktifitas harian kelas. Mengintegrasikan aspek budaya
anak-anak pada kehidupan sehari-hari dalam Anda untuk menekankan budaya itu mencakup seluruh
kelompok. Perhatikan bahwa sudut rumah tanga dalam ruang kelas anak-anak usia dini
melambangkan satu budaya: model kelas menengah kulit putih. Banyak cara yang harus dicerminkan
dalam ruang kelas. Misalnya, Anda dapat menampilkan boneka dari berbagai ras, menempelkan
gambar kelompok orang dari berbagai etnis, memasukkan bungkusan makanan dalam lemari ruang
rumah tangga yang mencerminkan pilihan budaya tertentu atau memasukkan impelemtasi rumah
atau memasak uang digunakan oleh budaya beberapa anak.
 Menyampaikan keragaman budaya lewat tema. Baca tentang perbedaan budaya untuk mengetahui
beragam kelompok budaya memenuhi kebutuhan hidup mereka, merayakan hari besar dan
beradaptasi dengan lingkungannya. Misalnya, meski masyarakat Amerika memahat labu kuning
menjadi lentera Jack di saat Halloween, budaya lain jga memahat buah serta sayuran lain pada
peristiwa-peristiwa tertentu.
 Perhatikan kompleksitas yang terlibat dalam merayakan hari libur ketika pengamatan mereka
berlawanan, bahkan menghina, bagi kepercayaan atau budaya beberapa keluarga. Perayaan hari
Natal dapat menghina keluarga yang bukan beragama Kristen dalam program. Hari Terima Kasih
sebagai hari libur dapat merupakan hari kehilangan dan bukan perayaan bagi keluarga Amerika asli.
Perayaan hari suci tidak harus dihindari tapi harus diperhitungkan dengan matang, dengan
memperhatikan sikap, kebutuhan dan perasaan anak, keluarga dan staf. Perayaan hari suci harus
berfokus pada rasa hormat dan pemahaman perayaan budaya.
 Jangan mengucilkan anak dari kaum minoritas sehingga anak itu merasa “berbeda”. Mempelajari
budaya seorang anak harus dilakukan dalam konteks mempelajari semua tentang budaya anak itu.
Bantu anak itu dan lainnya di kelas mengenali bahwa budaya tertentu dilakukan oleh banyak orang
di dunia.
 Libatkan keluarga si anak. Keluarga adalah sumber informasi tentang keragaman budaya. Undang
orangtua untuk berpartisipasi dalam kelas dan berbagi ide tentang bagaimana semua anak dapat
mempelajari latar belakang mereka yang unik. Khususnya dalam tempat penitipan anak, orangtua
tidak selalu memiliki waktu hadir dalam kelas, tetapi mereka harus selalu merasa diterima.

SENSITIFITAS TERHADAP ORANG-ORANG BERKEBUTUHAN KHUSUS


Anak-anak juga dapat belajar mengembangkan pemahaman, penerimaan dan sikap menolong terhadapp
mereka yang berkebutuhan khusus. Seperti yang dibahas pada Bab 2, banyak anak dengan kebutuhan
khusus mengikuti program pendidikan anak usia dini. Tetapi memasukkan anak-anak yang cacat dan
mereka yang berkebutuhan khusus tidak menjamin adanya interaksi dan penerimaan.
Anak-anak membutuhkan informasi yang akurat tentang mengapa kawan mereka (atau guru)
melihat, bergerak, bersuara atau berperilaku berbeda. Anak-anak perlu mendapat kesempatan untuk

9
mengungkapkan ketakutannya atau rasa curiga dan mengajukan pertanyaan. Tidak jarang bagi anak-anak
khawatir tentang sesuatu yang tidak dikenal atau berbeda dan takut bahwa hal yang sama akan terjadi
pada mereka. Memberikan penjelasan yang sederhana dan jujur akan menjawab kekhawatiran mereka
dan rasa hormat kepada orang yang cacat (Derman-Sparks, 1989).
Ketika seorang anak dengan kerusakan otak mendaftar ke sebuah sekolah, Martin memanggilnya
“bayi”. Gurunya menjelaskan, “Robert tidak dapat berjalan karena ada masalah dengan kakinya. Dia
dapat bergerak dengan papan scooter ini dengan menggunakan otot lengannya. Apa kamu mau bertanya
pada Robert jika kamu dapat mencoba scooternya supaya kamu dapat tahu bagaimana rasanya?”
Selain membantu anak-anak dan melibatkan kawan-kawan yang berkebutuhan khusus, program anak-
anak usia dini dapat juga memasukkan kegiatan dalam kurikulum yang bertujuan menghilangkan
stereotip dan membantu membangun suasana penerimaan. Kurikulum seperti itu, Including All of Us
(Froschl, Colon, Rubin & Sprung, 1984), memberikan banyak aktifitas yang sangat bagus untuk mencapai
tujuan ini.

PERKEMBANGAN MORAL
Salah satu tujuan sosialisasi untuk anak-anak adalah belajar dan menginternalisasi standar apa yang
benar dan yang salah; dengan kata lain, untuk mengembangkan kesadaran. Perkembangan moral adalah
proses jangka panjang di mana banyak faktor terlibat. Anak-anak dikelilingi iklim sosial di mana banyak
tindakan orang lain yang yang menyatakan tingkat kebaikan, konsistensi, rasa hormat dan perhatian dari
orang lain. Pengamatan anak-anak tentang bagaimana orang lain bersikap, bagaimana mereka
diperlakukan dan pematangan kognitif mereka berkontribusi dalam tumbuhnya moralitas dalam diri
mereka.
Anak-anak menggunakan serangkaian standar jika mereka tumbuh dalam suasana dengan
standar yang jelas dan ditanamkan, mendukung dan memberikan perhatian, komunikasi terbuka di mana
pandangan si anak dihargai dan alasan-alasan lain yang terarah untuk perilaku yang diharapkan (Macoby
& Martin, 1983). Ada juga bukti bahwa permulaan pembedaan antara yang benar dan yang salah
merupakan sesuatu yang ada sejak lahir, dan muncul pada ulangtahun kedua (Kagan, 1987).
Tentunya, transisi dari masa bayi ke usia pra sekolah merupakan waktu yang penting dalam
menanamkan fondasi pemahaman benar dan salah. Pembelajaran seperti itu terjadi paling efektif ketika,
seperti yang ditekankan Erik Erikson, bayi mengembangkan rasa percaya lewat rasa cinta, hubungan
penuh perhatian dengan orang dewasa. Berdasarkan rasa percaya ini, ketidaktergantungan dapat muncul
dalam diri anak dengan cara yang sehat oleh orang dewasa yang memberikan perhatian dan mendukung
dengan menentukan batasan-batasan tertetntu pada perilaku; misalnya, batita ditolong menahan
dorongan bertindak agresif dan belajar perilaku alternatif yang diterima masyarakat. Hal ini didukung
oleh sebuah penelitian (Howes & Hamilton, 1993) yang menemukan bahwa batita yang kehilangan guru
yang memberikan hubungan aman dan penuh kepercayaan, akan cenderung menjadi agresif, sifat yang
terlihat pada umur empat tahun.
Faktor lain yang menyulitkan anak-anak, khususnya dalam masyarakat pluralistik seperti
masyarakat kita, adalah bahwa standar moral berbeda dari satu budaya ke budaya lain. Beberapa aturan
moral interpersonal – yang melarang melukai orang lain, membunuh, hubungan seks antar keluarga,
pencurian dan tanggung jawab keluarga – ditemukan dalam banyak budaya. Aturan moral konvensional
lainnya berasal dari konsensus umum dan lebih spesifik pada budaya tertentu, seperti memakai pakaian
di depan umum atau mengunyah permen dengan mulut tertutup. Selain itu, setiap kelompok masyarakat
menentukan beberapa peraturan yang menjamin keteraturan dan keamanan; misalnya, berhenti ketika
lampu merah. Beberapa peraturan dalam pembedaan ini lebih penting daripada peraturan lain. Hal ini

10
biasanya dicerminkan dalam kelas, di mana beberapa perilaku yang salah dianggap lebih serius daripada
lainnya (Edwards, 1986)

Pandangan Piageet tentang Perkembangan Moral. Banyak tulisan teoritis kini tentang perkembangan
moral berasal dari tulisan Piaget tentang perkembangan pemahaman peraturan pada anak (Piaget, 1932).
Dari hasil pengamatannya terhadap anak-anak ketika bermain, Piaget merumuskan taeori tahapan
perkembangan moral yang bergerak dari otoritas tertinggi (misalnya Tuhan atau orangtua) samapai
pandangan yang lebih dewasa yang membuat peraturan dan dapat dirubah lewat kesadaran masing-
masing pemain. Menariknya, meski anak-anak melihat peraturan sebagai sesuatu yang kaku,mereka juga
merubahnya sesuai dengan keinginan mereka; hal ini bukan merupakan kontradiksi, tetapi lebih kepada
pemahaman mereka yang terbatas dan tujuan dari peraturan sebagai sesuatu yang berhubungan. Piaget
juga menggambarkan anak-anak usia dini tidak terlalu memikirkan niat, karena mereka berfokus pada
hasil nyata dan dapat diamati. Jadi, anak usia pra-sekolah akan berpikir bahwa seorang anak yang
memecahkan piring ketika mencoba mengambil kue yang tidak boleh diambil tidak bersalah
dibandingkan anak yang secara tidak sengaja memecahkan beberapa piring ketika membantu ibunya
mengatur meja makan. Selama masa pertengahan kanak-kanak, anak-anak secara bertahap berpindah
pada pandangan yang lebih fleksibel dan memperhitungkan niat ketika menilai perilaku moral.

Tahaoan Kohlberg dalam Perkembangan Moral. Lawrence Kohlberg (1969) mengambil teori tahapan
Piaget dan mengembangkannya menjadi kerangka yang memperhitungkan perkembangan meral
berdasarkan mengapa seseorang membuat keputusan-keputusan tertentu daripada apa pilihan orang-
orang ini (Edwards, 1986). Dia menggambarkan tiga tingkatan, masing-masing dibagi menjadi dua
tahapan, yang menghubungkan pandangan sesorang tentang “konvensi sosial,” yang memunculkan istilah
“prakonvensional”, “konvensional” dan “postkonvensional”. Lebih dari itu, tingkatan ini sama dengan
tahapan perkembangan kognitif Piaget, yang kita bahas pada bab 5 dan 10.
1. Tahap prakonvensional perkembangan moral terjadi kurang lebih pada tahap pra operasional
perkembangan kognitif (kira-kira 2 sampai 7). Keputusan moral didirakan berdasarkan pengalaman,
emosi dan apa yang si anak suka. Mereka menggambarkan anak-anak usia dini sebagai pemikir
egosentris. Penghargaan dan hukuman dari luar menentukan salah dan benar. Anak-anak akan
mengikat diri pada perilaku karena menyenangkan atau karena mereka beresiko mendapat hukuman
jika tidak melakukannya. Pada umur empat tahun, banyak anak mengembangkan pemahaman
hubungan timbal balik; melakukan sesuatu untuk orang lain dapat menyebabkan orang itu
melakukan sesuatu untuk anak itu.
2. Tahap konvensional perkembangan moral sama dengan tahap operasi nyata (sekitar 7 sampai 12)
dan lebih tentang penerimaan dan konsensus kelompok. Membuat senang orang lain menjadi
penting dan otoritas dipatuhi.
3. Tahap postkonvensional perkembangan moral cocok dengan tahap operasi formal (dicapai ketika
remaja) dan berdasar pada moralitas yang tinggi tentang apa yang benar serta prinsip-prinsipnya.
Nilai-nilai yang diterima masyarakat diterima. Akan tetapi, hal ini akan melampaui batas jika etika
pribadi berdasarkan moralitas universal dilanggar.

Penelitian William Damon (1977, 1983) kemudian mendefinisikan proses pemikiran anak-anak sejalan
dengan majunya mereka dalam perkembangan moral, khususnya ketika mereka menghubungkan
konsepp otoritas dan keadilan. Penelitiannya berdasarkan interview dengan anak-anak berumur empat
tahun ke atas.

11
 Keputusan anak berusia empat tahun didasarkan pada kepentingan pribadi, bukan hanya
membedakan pandangan mereka dari orang dewasa. Justifikasi untuk sebuah alasa sederhana, “Saya
akan mendapatkannya karena saya menginginkannya.”
 Pada usia lima tahun, si anak mengenali konflik yang berpotensi muncul antara apa yang dia inginkan
dan perautran luar dan mereka menurut untuk menghindari konsekuensinya. Mereka juga melihat
otoritas sebagai penghalang pada apa yang mereka ingingkan. Justifikasi pilihan mereka berdsarkan
pada isyarat eksternal seperti ukuran atau jenis kelamin; misalnya, “Kami harus dapat lebih karena
kami perempuan.”
 Tahun kemudian, anak-anak menunjukkan rasa hormat pada otoritas karena kekuatan figur otoritas
atau fisik. yang dianggap sebagai maha segalanya. Mereka juga maju dalam memandang
kesamarataan, di mana setiap orang harus menerima jumlah yang sama ketika sumber-sumber
didistribusikan.
 Tahapan-tahapan selanjutnya menunjukkan pemikiran kompleks, ketika anak-anak melihat figur
otoritas pada atribut khussus yang memberikan mereka kualitas kepemimpinan. Pandangan mereka
terhadap distribusi yang adil melibatkan banyak faktor, misalnya, melihat kompetisi dan kesepakatan.

Panduan untuk meningkatkan Perkembangan Moral. Sebagai guru anak-anak usia dini, Anda lebih
banyak berurusan dengan anak-anak yang moralnya masih berkembang. Penting untuk mengenali
kemampuan mereka dan membatasi dalam hal penalaran moral dan memandu anak-anak pada jalan
menuju pemahaman moral. Panduan berikut ini akan membantu dalam tugas ini (Buzzelli, 1992;
Edwards, 1986; Sunal, 1993).
 Gunakan alasan yang terarah dengan anak-anak. Ketika memberikan alasan untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu, membantu mereka mengertinya dari segi dampak tindakan mereka pada
yang lain. Daripada mengatakan, “Peraturan di sini, tidak boleh lari-lari di kelas,” gunakan kata-kata
yang menunjukan kosekuensinya pada anak lain: “Kita tidak lari di dalam karena dapat melukai anak
lain dengan menabraknya.” Ketika orang dewasa memberikan alasan dan mendorong ana-anak
untuk memperhatikan keselamatan dan perasaan teman yang lain, mereka memiliki tingkat
perkembangan moral yang tinggi.
 Tetapkan harapan dan standar yang jelas dan sesuai untuk perilaku anak-anak. Khususnya,
pastikan bahwa peraturan yang Anda berian melindungi anak-anak dari saling melukai, secara fisiki
maupun emosional.
 Gunakan cerita untuk meningkatkan pemikiran dan disksi tentang isu-isu moral. Cerita anak-anak
sering memberikan moral dilema yang dengan batuan guru dapat membantu anak-anak
mengungkapkan pemikiran mereka. Peran guru bukan menilai atau mencari konsensus tetapi
mendorong diskusi dengan menanyaan pertanyaan yang tepat.
 Berikan waktu yang banyak untuk permainan dan materi-materi yang meningkatkan kerjasama.
Permainan drama membuat anak-anak mengambil sudut pandang lain; peralatan yang
membutuhkan lebih dari satu anak agar dia berfungsi mendorong kerjasama; dan permainan
kelompok mendorong pergantian giliran dan koordinasi sosial. Aktifitas kelompo apapaun di mana
anak-anak bekerja untuk mencapai tujuan yang sama akan mendorong kerja sama.
 Berikan aktifitas yang membantu anak sadar akan bagaimana wajah menyampaikan pesan.
Tempelan, topeng, foto, memerankan perasaan, dan “puzzle emosi” dapat memperkuat kesadaran
ini.
 Mulai permainan berpikir yag mendorong anak untuk mencari alternatif lain untuk masalah sosial.
Karakter pada papan flanel atau boneka dapat memainkan dilema sosial yang sering terjadi

12
(misalnya ketika waktu berbagi) dan anak-anak akan memberikan solusi alternatif sebanyak
mungkin.
 Rencanakan permainan berpikir yang berhubungan dengan niat moral. Anak-anak berumur empat
tahun dapat mulai mendiferensiasi anata kenakalan yang disengaja dan tidak disengaja ketika si anak
mencoba membantu. Bahas konteks konsekuensi perilaku ini.
 Sadari bahwa tidak semua budaya memiliki nilai-nilai yang sama. Komunikasi dengan orangtua dapat
membantu guru mengetahui nilai-nilai yang penting dalam keluarga dan membantu memperkuat
nilai-nilai ini dengan anak-anak.

PERKEMBANGAN PERILAKU PROSOSIAL


Hubungan dengan sesama, pertemanan, peran gender, kesadaran ras dan budaya serta perembangan
moral semuanya adalah proses yang saling berhubungan yang melibatkan munculnya sejumlah ciri-ciri
lain. Para peneliti telah melihat bagaimana karakteristik sosial seperti perhatian, empati,
mengepentingkan orang lain, baik hati, berbagi dan toleransi berkembang pada anak-anak. Kognisi sosial
anak-anak akan berdampak pada bagaimana merea merespon orang lain. Sejalan dengan umur,
pemahaman pun meningkat, meski tahapan pemahaman yang lebih tinggi tidak menjamin respon si anak
akan tepat. Faktor lain yang berkontribusi pada munculnya perilaku prososial termasuk memodelisasi
orang-orang penting dalam kehidupan si anak serta nilai-nilai yang diarahkan yang telah ditekankan.
(Schickedanz, Hansen, &Forsyth, 1990).
Program anak usia dini di mana orang dewasa menjadi modelnya, menekankan dan menghargai
perilaku pro sosial akan memfasilitasi perkembangan perilaku seperti itu pada anak-anak. Alice Honig
(1988a), yang memperhitungkan kurikulum berdasarkan pada perhatian dan kebaikan sebagai tujuan
utama program ini telah menggarisbawahi pentingnya perilaku ini.
Bagian sebelumnya dalam bab ini memberikan aktifitas dan strategi yang dapat membantu sikap
dan perilaku sosial positf yang sedang berkembang. Dalam konteks suasana yang mendukung,
memahami perkembangan anak-anak, perhatian pada kebutuhan anak, respek pada opini mereka,
mendorong otonomi, individualitas, dan penyediaan program dan lingkungan yang menstimulasi akan
membantu meingkatkan sosialisasi positif.

PERMAINAN DRAMA SOSIAL


Meski perkembangan sifat-sifat sosial positif dapat dikembangkan dengan berbagai aktifitas di pra
sekolah dan pusat belajar, mungkin yang paling memfasalitasi adalah permainan drama dan drama sosial.
Dalam drama, anak-anak menggunakan simbol seperti kata-kata, tindakan, dan objek lain untuk
melambangkan dunia nyata; dalam drama sosial, mereka mengembangkan teater simbolis dengan
melibatkan anak lain (Fein, 1979; smilansky, 1968).
Teoritikus dan peneliti telah membuat postulasi hubungan antara permainan drama sosial dan
perkembangan kemampuan sosial. Misalnya, lewat drama seperti itu anak memiliki kesempatan untuk
belajar tentag aturan-aturan sosial dengan mengambil identitas orang lain dan memainkannya dalam
situasi normal, seperti bernegosiasi dengan rekan-rekan lain ketika muncul konflik (Doyle & Connoly,
1989). Kebanyakan anak, meski tidak semua, terlibat dalam drama sosial. Jika si anak memiliki
keterbatasan kemampuan, guru dapat memfasilitasi permainan itu dengan langsung bergabung atau
membantu si anak main ke dalam permainan yang sedang berlangsung di kelompok lain. Teori Vygotsky
memiliki relevansi pada peran guru seperti itu karena mengatakan bahwa guru mengadaptasi tingkat
dukungan mereka pada tingkat kemampuan si anak. Dalam banyak kasus, anak-anak membantu
temannya yang tidak mahir dalam permainan ini. Misalnya, Felix yang berusia empat tahun sering

13
menjadi pengamat selama terjadi kegiatan ini biasanya dengan berdiri di luar lingkaran itu. Suatu hari di
bulan Nopember, Yasmine yang baru berusia lima tahun, menarik Feliks yang sedang memperhatikan di
sudut suatu rumah memperhatikan suatu keluarga menyiapkan makan malam, untuk bergabung. Pemain
membayangkan peran-peran yang mungkin, bahkan anjing keluarga. Sang “ibu” Yasmin, membawa Feliks
dengan tangannya menuju oven mainan, kemudian mengatakan, “Kamu bisa menjadi kalkun.” Dia
menolong Feliks masuk ke dalam oven dan menutup ovennya. Beberapa detik kemudian dia membuka
pintu dan mengecek kematangan Feliks dengan memeras pahanya dan mengatakan, “Kalkunnya sudah
asak!” Semua anak berkumpul ketika si kalkun dibantu untuk keluar. Wajah Feliks menunjukkan bahwa
dia senang memainkan peran yang sangat penting!
Beberapa anak terlibat dalam permainan drama ini secara alami; akan tetapi, permainan seperti
ini harus didorong dan diperkuat ketika masih anak-anak. Setiap ruang kelas anak-anak, termasuk batita,
harus memiliki area di mana tersedia alat-alat untuk bermain drama. Biasanya, cerita drama ini dan
keterlibatan anak akan berada di seputar peran yang berhubungan dengan rumah tangga karena peran
dan kegiatan yang berhubungan dengan rumah tangga lebih dikenal anak-anak. Anak-anak akan
menciptakan kembali dan memainkan apa yang terjadi di rumah: persiapan makan malam, rutinitas jam
tidur, pengunjungm tangisan anak bahkan argumen. Dapur rumah, ruang keluarga dan alat-alat tempat
tidur serta beberapa set boneka, pakaian serta kaca menstimulai keratifitas anak dan keterlibatan mereka
dalam bermain rumah-rumahan. Bahan-bahan untuk batita harus realistis, sementara untuk anak yang
lebih berumur dan anak SD, harus lebih abstrak untuk memicu imaginasi mereka. Anak-anak kemudian
didorong untuk memperluas konsep mereka dan permainan mereka lewat tampilan dan gambar orang-
orang dari berbagai usia dan kelompok suku yang beragam dalam kegiatan rumah tangga sehari-hari.
Permainan drama dapat juga bekisar tema yang dikenal anak-anak – pusat kesehatan, belanja dan
rekreasi khusunya anak-anak karena mereka telah mengunjungi dokter, toko atau taman. Anak-anak juga
akan memainkan buku, acara tv, sertra peran dan cerita film favorit mereka. Penting bahwa anak-anak
menjadi familiar lewat pengalaman nyata sebelulm terlibat dalam permainan drama. Misalnya setelah
wisata edukatif.

PERMAINAN KOOPERATIF
Salah satu tujuan sosial yang dikutip pendidik anak-anak usia dini adalah kerjasama, kekuatan yang
menyatukan orang-orang bekerja sama mencapai tujuan yang sama. Untuk meningkatkan kerjasama,
seharusnya tidak ada dalam program ini aktifitas yang mengedepankan kompetisi di mana semua anak
kecuali satu orang menjadi pecundang, meski mereka disebut pemenang kedua. Balap, permainan
papan, kursi musik dan semacamnya akan menumbulkan perasaan kekalahan, kemarahan, kegagalan dan
hilang percaya diri. Tetapi, seringnya permainan seperti ini dapat dengan mudah diadaptasi untuk
mendapatkan elemen bersenang-senang ketika menghilangkan unsur kompetisi. Misalnya, kursi musik
dapat dirubah sehingga semua anak dapat berbagi jumlah kursi yang berkurang, sampai setiap orang
tertumpuk dalam kursi terakhir, dan biasanya akan menimbulkan gelak tawa.
Penulis seperti Terry Orlick menungkapkan rasa prihatinnya terhadap hasil permainan kompetitif
yang tidak bagus dan mengajukan permainan yang kooperatif di mana tidak ada orang yang kalah dan
semua orang menjadi kalah. Penelitian telah mendukung pendekatan yang digunakan Orlick. Dalam satu
penelitian, periku agresif dan kooperatif anak-anak pra sekolah diukur selama dan sesudah permainan
yang kooperatif atau kompetitif. Hasilnya menunjukkan bahwa perilaku agresif meningkat selama waktu
istirahat setelah permainan kompetitif, sementara perilaku kooperatif meningkat setelah permainan
kooperatif (Bay-Hinitz, Peterson & Quilitch, 1994). Rasional dalam permainan kooperatif ini tidak hanya
menghindari situasi di mana semua pemain kalah, tetapi lebih luas lagi, perhatian terhadap kualitas

14
hidup, menekankan pada perdamaian dan harmoni dan menurunkan keagresifan dalam masyarakat.
Tabel 13-1 menggambarkan beberapa permainan kooperatif untuk anak usia dini.
Aktifitas yang melibatkan lebih dari satu pemain dapat dianggap kooperatif ketika salah satu hal
berikut ini terlibat: tujuan yang sama, pembuatan keputusan bersama, ide dan materi yang sama serta
evaluai progres mencapai tujuan (Goffin, 1987). Meski Orlick merekomendasi permainan kelompok yang
diatur sebagai alat meningkatkan kooperasi, sifat ini dapat didorong secara tidak langsung dan tidak
terlalu terstruktur.
Ruang kelas dapat diatur untuk mendukung interaksi dan waktu yang lebih besar daoat disisihkan
untuk permainan yang dipilih anak. Usaha kerja sama juga mungkin memerlukan ruang lebih besar dan
lebih banyak waktu daripada aktifitas di mana anak bertindak sendiri. Selain itu, materi harus dipilih yang
bersifat kooperatif. Materi terbuka seperti drama, penyusunan balok, air dan pasir, dan boneka
meningkatkan kerja sama. Guru juga dapat merancang aktifitas sehingga labih dari satu anak terlibat.
Daripada memasukkan manik-manik ke dalam benang sebagai aktifitas motorik, rentangkan benang
panjang di atas meja dengan manik-manik di setiap ujungnya sehingga dua anak dapat bekerja sama
untuk satu benang.

MENCERMINKAN BUDAYA DAN NILAI-NILAI KELUARGA


Berkomunikasi dengan keluarga sangat penting dalam memperjelas nilai-nilai di rumah dan di sekolah
tentang sosialisasi dan tentang idntitas budaya dan ras si anak. Meski sekolah bertanggungjawab untuk
menyampaikan pada orangtua nilai-nilai apa yang ingin ditanamkan pada anak-anak lewat kurikulum dan
teknik panduan, sekolah jaga bertangungjawab mendapatkan informasi yang sama dari orangtua tentang
apa yang mereka junjung dan ajarkan pada anak-anak mereka.
Guru harus menjadi sensitif terhadap keragaman budaya dalam keluarga dan harus menyadari sikap serta
bias mereka sendiri. Lebih mudah menyampaian pesan yang positif pada keluarga yang gaya dan nilai-
nilai dalam menjadi orangtua dikenal anda dan sesuai daripada memahami dan menerima pendakatan
yang berbeda dari anda. Lebih jauh lagi, penting untuk tidak membuat asumsi tentang kehidupan mereka
di rumah berdasarkan generalisasi budaya; stereotip seperti itu harus dihindari lewat komunikasi yang
bermakna dan terus menerus antara orangtua dan guru.
Derman-Sparks (1989), dalam bukunya, Anti Bias Curriculum, menyarankan bahwa selain
komunikasi terbuka dimana nilai-nilai dan ide dapat dibagi oleh orangtua dan anak, sekolah dapat
memberikan informasi akurap pada orangtua tentang perkkembangan perkembangan indetitas dan sikap
seksual, rasial serta etnis. Serangkaian pertemuan kelompok orangtua dapat menginformasikan dan
membahas tentang topik seperti identitas gender serta seksisme, pengadaan lingkungan non-seksisme,
perkembangan idintentas dan kesadaran ras, penciptaan lingkungan antirasis, dan evaluasi buku-buku
anak-anak untuk stereotip seksis dan rasial. Kelompok seperti itu akan membantu orangtua mendapatkan
informasi tentang filosofi sekolah, membantu guru mendapatkan pengetahuan tentang nilai-nilai dan
sikap orangtua dan memberikan orangtua strategi untuk sosialisasi anak-anak tanpa bias.

hal. 362.
Kely, Guru Utama, Kelas Balita
Sahabat Baik ... Pada Usia Satu Tahun

Anak-anak kita tumbuh bersama dengan kawan sebayanya. Misalnya, Matt dan Jared masuk ke kelas kami
ketka mereka berumur enam minggu dan tiga bulan. Kini mereka berusia dua tahun dan sahabat baik.

15
Kadang, sulit membayangkan persahabatan anak-anak usia dii. Tapi saya dapat menyebetkan dengan
pasti kapan hubungan khusus Matt dan Jared dimulai.
Matt baru berumur 10 bulan pada saat itu dan Jared 8 bulan. Keduanya aktif, senang merengkak
ke seluruh ruangan. Suatu hari, keduanya merangkak di sekitar kursi yang sama, yang satu dari kanan,
dan yang satu dari kiri. Mereka bertemu. Saling memandang, berbalik dan merangkak lagi ke arah awal..
Kemudian mereka berputar lagi. Ketika mereka bertemu lagi, mereka saling memberikan senyuman. Saya
dapat melihat terjadinya permainan. Mereka melakukannya lagi, lagi, dan lagi. emudian mereka tertawa
geli dengan permainan petak umpet mereka. Mereka mengulangi permainan yang sama selama
beberapa minggu.
Persahabatan telah terbentuk. Sejak itu, mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Mereka
saling menyusul, terkadang Matt di depan, terkadang Jared. Siapapun yang tiba ke sekolah pertama akan
melihat ke arah pintu dan, ketika yang lain tiba, akan langsung tersenyum. Ketika yang satu pergi sebelum
yang lain sore hari, anak yang lain akan merangkak menuju jendela dan coba bangkit untuk melihat
kepergian kawannya. Mereka juga telah mengembangkan bentuk komunikasi sendiri, jauh sebelum
mereka dapat berbicara. Mereka tahu apa maksud gerakan dan ekspresi yang sahabatnya ungkapkan.
Pada tahun kedua usia mereka, mereka mulai sering bermain dekat satu sama lain denga npermainan
yang sama.
Kini mereka berusia dua tahun dan benar-benar bersahabat baik. Ketika anak kedua tiba, mereka
berpelukan dan mencium sasti sama lain, menunjukkan betapa gembiranya merea bersama. Kemampuan
verbal mereka telah berembang dalam lingkup permainan merea, tetapi merea masih mengerti isyarat
non verbal yang diberikan sahabatnya. Dari ujung ruangan, yang satu dapat memberikan tanda pada yang
lain tanpa kata-kata yang berarti, “Mari main.” Pada waktu istirahat dan makan siang, mereka duduk
berdampingan atau saling berhadapan. Mereka cekikikan, dan tertawa bersama. Ketika bermain mobil,
mereka bertabrakan secara sengaja yang menimbulkan keributan yang menyenangan. Salah satu kegiatan
yang paling mereka sukai adalah menggali pasir bersama. Setiap hari, Jared bertanya, “Mana Matt?” Dia
ingin dipastikan bahwa Matt akan kembali.
Jadi, dapatkan batita membentuk persahabatan? Matt dan Jared akan menjawab “ya!”
Lingkungan tempat penitipan anak menempatkan anak-anak dalam posisi untuk mengenali kawan
sebayanya sehingga magis persahabatan terbentuk.

Hal 377. Bentuk Permainan Kooperatif


1. Popcorn menempel
Anak-anak memulai dengan loncat atau melompat ketika merea “pop”. Karena popcorn
menempel. kapanpun sebiji popcorn menempel yang lain, mereka menempel bersama, mereka
melanjutkan sampai semua membentuk satu gumpalan popcorn yang besar.
2. Pelukan musik
Dengan musik berenergi. anak-anak meloncat di sekeliling ruangan. Ketika musik berhenti
pertama, mereka memberikan pelukan pada orang di dekatnya. Ketika musik main lagi, pasangan
itu akan meloncat bersama jika mereka ingin. Ketika musik berhenti kedua kalinya, mereka
berpelukan dengan orang ketiga dan selanjutnya sampai membentuk pelukan besar
3. Penggantian sepatu
Anak-anak mencopot satu sepatunya dan meletakkan di atas tumpukan sepatu. Dengan
berpegangan tangan di sekeliling tumpukan sepatu, merea mengambl sepatu orang lain. (metode
ini terserah imaginasi si anak) Setelah menemukan pemilik sepatunya, mereka bertukar sepat
tanpa memutuskan lingkarannya

16
4. Kura-kura besar
Tujuh sampai delapan anak berlutut dan seperti merangkak ke daralm “cangkang kura-kura” –
karpet atau selimut. Anak-anak harus bekerja sama tanpa menjatuhkan cangkangnya.
5. Toesies
Dengan kaki telanjang, pasangan anak-anak telentang di atas lantai dengan jari kaki saling
bersentuhan. Mereka mencoba bergulingan ke arah lain dengan tetap menyentuh kaki temannya
6. Keseimbangan bola pantai
Pasangan anak-anak, mencoba memegang bola besar tanpa menggunakan tangan mereka.
Mereka mencoba menemukan berbagai cara untuk melakukannya (dengan perut, lutut, jidat, dll).
Kemudian mereka berjalan tanpa kehilangan bola.
7. Bola pangkuan
Anak-anak duduk berdekatan dalam lingkaran dan mencoba mentransfer bola dari pangkuan ke
pangkuan tanpa menggunakan tangan mereka. Bersi yang lebih mudah dapat diatur dengan
empat anak masing-masing memegang sudut sebuah handuk dan menjaga agar bola tidak jatuh
dari handuk dengan bekerja sama.
8. Sikut- Hidung
Anak-anak membentuk lingkaran, satu anak menunjuk sikutnya dan mengatakan, “Ini hidung
saya.” Anak kedua memberitahukan pesan ini pada anak di sebelahnya. Ketika telah melewati
seluruh lingkaran, pesan yang membingungkan lain dikirim

Hal. 359 Apa yang diketahui Pendidik Anak Usia Dini


Baru-baru ini, media, politisi, dan masyarakat "Menemukan" pentingnya kehidupan pada tiga tahun
pertama. Sejak awal pendidik anak usia dini seharusnya sudah mengenal pentingnya makna
perkembangan hidup anak.

17

Anda mungkin juga menyukai