Anda di halaman 1dari 11

Development appropriate practice (DAP) atau praktik pembelajaran yang sesuai dengan

perkembangan anak telah diadopsi oleh berbagai negara sebagai salah satu pedoman dalam
penyelenggaraan pendidikan anak usia dini. Bradekamp & Copple (Gestwicki, 2007)
mendefinisikan development appropriate practice terkait dengan pengaplikasian pengetahuan
mengenai perkembangan anak dalam membuat pemikiran dan keputusan yang sesuai dengan
praktik program anak usia dini.
            Development appropriate practice bermakna bahwa rancangan program pendidikan anak
usia dini didasarkan pada apa yang diketahui tentang anak-anak, bukan didasarkan pada
keinginan orang dewasa terhadap anak dan bukan pula didasarkan pada tujuan masa depan.
Development appropriate practice bukanlah sebuah kurikulum, namun merupakan sebuah acuan,
filosofis, atau pendekatan dalam praktik pembelajaran anak.
            Development appropriate practice didasari oleh beragam teori perkembangan anak,
diantaranya teori Piaget dan teori Vygotsky. Piaget dengan teori perkembangan kognitif anak
telah memberikan sumbangan besar dalam penyusunan development appropriate practice,
demikianpun dengan Vygotsky yang telah menyumbangkan pemikiran mengenai teori interaksi
sosial.
            Dalam teori interaksi sosial, Vygotsky meyakini bahwa interaksi sosial merupakan hal
yang sangat penting dan menjadi fokus belajar anak. Vygotsky kemudian mencetuskan konsep
ZPD (zone proximal development), scaffolding, dan more knowledge member of the culture.

1.      Zone proximal development


Zone proximal development (ZPD) ialah istilah Vygotsky untuk tugas-tugas yang terlalu
sulit untuk dikuasai sendiri oleh anak-anak, tetapi yang dapat dikuasai dengan bimbingan dan
bantuan dari orang-orang dewasa atau anak-anak yang lebih terampil. (Santrock, 1995).
Santrock berpendapat bahwa level terendah dari ZPD ialah level pemecahan masalah yang ingin
dicapai oleh seorang anak yang bekerja secara mandiri, sedangkan level tertinggi ialah level
tanggung jawab tambahan yang dapat diterima oleh anak dengan bantuan seorang instruktur
yang mampu.
Steward (Santrock, 1995) mengungkapkan bahwa penekanan Vygotsky pada ZPD menegaskan
keyakinannya tentang pentingnya pengaruh-pengaruh sosial terhadap perkembangan kognitif dan
peran pengajaran dalam perkembangan anak.
2.      Scaffolding
Scaffolding memiliki tujuan untuk membimbing anak-anak untuk memiliki kemampuan
dalam mengambil langkah yang lebih besar dalam tugas perkembangannya.
3.      More knowledge member of the culture

Selain hal di atas, Development appropriate practice didasari oleh pengetahuan mengenai
bagaimana anak berkembang dan belajar. Pendidik anak usia dini harus memahami apa yang
terjadi dalam delapan tahun pertama kehidupan anak dan bagaimana cara terbaik untuk
mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak. National Association for the Education of
Young Children (NAEYC) dalam Getswicki (2007) mengeluarkan dua belas prinsip dasar
perkembangan anak (0-8 tahun). 12 prinsip dasar perkembangan diuraikan sebagai berikut :
1.      Seluruh aspek perkembangan anak (fisik, sosial, emosi dan kognitif) saling berkaitan. Aspek-
aspek perkembangan tersebut saling mempengaruhi satu sama lain.
Dalam hal ini pendidikan anak usia dini harus memberikan pengalaman belajar
terintegrasi yang memberikan peluang dan kesempatan pada anak untuk tumbuh dan
berkembang tidak hanya dalam aspek kognitif namun aspek-aspek lainnya juga turut
berkembang.
2.      Perkembangan terjadi dalam rangkaian yang dapat diramalkan. Hal tersebut bersamaan dengan
kemampuan, keterampilan dan pengetahuan yang dibangun anak.
Orang dewasa harus mengetahui tahapan perkembangan anak karena dengan pemahaman
tersebut, orang dewasa dapat memberikan pengalaman belajar yang sesuai dengan
perkembangan dan juga dapat menentukan dasar/landasan pembelajaran pada anak usia dini.
3.      Perkembangan berlangsung dalam kecepatan yang berbeda antar anak yang satu dengan yang
lainnya
Setiap anak adalah pribadi yang unik dan sesuatu yang tidak mungkin untuk
dibandingkan antara yang satu dengan yang lainnya. Pola perkembangan unik setiap anak dapat
dipengaruhi oleh faktor keturunan, kesehatan, temperamen, kepribadian, gaya belajar,
pengalaman dan latar belakang keluarga.
4.      Pengalaman-pengalaman awal memberikan konsekuensi, baik secara kumulatif dan
keterlambatan perkembangan anak. Pada setiap perkembangan dan belajar terdapat periode
kritis.
Pengalaman awal yang dimiliki anak memiliki dampak untuk perkembangan selanjutnya.
Anak yang diberi kesempatan untuk mengembangkan keterampilan sosial melalui bermain
dengan teman sebaya biasanya akan memiliki rasa percaya diri dan memiliki kompetensi sosial
dengan orang lain.
5.      Perkembangan terjadi pada arah yang bisa dipredikasi ke arah yang lebih kompleks dan
internalisasi.
Belajar anak usia dini dihasilkan dari pengalaman fisik, pemahaman sensorimotor
menuju ke pengetahuan simbolik. Program pembelajaran anak usia dini harus memberikan
pengalaman langsung dimana anak dapat memperoleh pengetahuan melalui media sumber
belajar, Anak dapat merepresentasikan pengetahuan simbolik melalui media dan menumbuhkan
pemahaman mengenai konsep.
6.      Perkembangan dan belajar terjadi dan dipengaruhi oleh konteks budaya dan sosial.
Anak berkembang dengan baik melalui lingkungan keluarga, kemudian komunitas
sekolah, dan setelah itu melalui komunitas lingkungan yang lebih besar. Melalui konteks budaya
yang secara simultan diperkenalkan pada anak, anak akan memiliki kemampuan untuk belajar
budaya baru dan pengalaman berbahasa.
7.      Anak-anak adalah pembelajar yang aktif, mengambil pelajaran dari pengalaman fisik dan sosial,
seperti belajar mengambil pengetahuan dari yang ditransmisikan oleh budaya untuk membangun
pemahaman mengenai lingkungan sekitar mereka.
Prinsip ini didasarkan pada teori konttuktivis dari Piaget dan Vygotsky yang memandang
bahwa perkembangan intelektual terjadi melalui proses membangun melalui interaksi dengan
orang lain, media dan beragam pengalaman. Para guru dapat mendukung perkembangan dengan
menciptakan lingkungan kelas yang kaya akan media dan memberikan peluang pada anak untuk
berinteraksi.
8.      Perkembangan dan belajar merupakan hasil dari kematangan biologis dan lingkungan, termasuk
lingkungan sosial dan fisik dimana anak dibesarkan.
Hubungan antara anak dan lingkungan menentukan proses dan kemampuan belajar anak.
9.      Bermain merupakan kendaraan penting bagi perkembangan sosial, kognitif dan sosial anak-anak.
Permainan merupakan refleksi dari perkembangan anak
Bermain memberikan kesempatan pada anak untuk memahami lingkungan sekitar,
berinteraksi dengan orang lain melalui beragam cara, menunjukan dan mengontrol emosi serta
mengembangkan kemampuan simbolik.
10.  Perkembangan meningkat ketika anak-anak memiliki kesempatan untuk mempraktekan
keterampilan baru, sama hal nya ketika anak menghadapi tantangan lebih tinggi sehingga  anak
memiliki kemampuan yang lebih
Seorang guru berperan penting dalam mengidentifikasi kompetensi dan minat yang
dikembangkan oleh anak, setelah itu guru harus menyesuaikan hal tersebut dengan kurikulum
pembelajaran. Adanya dukungan kolaboratif dari orang dewasa akan membantu anak untuk
meningkatkan pemahaman dan keterampilan ke tahapan yang lebih tinggi.
11.  Anak-anak menunjukan model belajar dan pengetahuan yang berbeda serta cara yang berbeda
untuk menunjukan apa yang mereka ketahui.
Guru harus memberikan ragam pengalaman belajar untuk anak sehingga anak-anak yang
memiliki gaya belajar berbeda dapat menemukan kompetensi dan kekuatan dari berbagai area
yang dibutuhkan.
12.  Anak akan belajar optimal apabila ada dalam komunitas yang nyaman dan menghargai,
lingkungan yang memberikan rasa aman secara psikologis dan memenuhi kebutuhan fisik.
Program pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan dapat memenuhi kebutuhan
fisik dan psikologis anak. Program ini juga memperhatikan pemberian lingkungan yang aman,
nyaman serta sehat untuk anak-anak.

Works Cited
Komalasari, E. (2013, 10 03). elicius-edu.blogspot.co.id. Retrieved from elicius-edu.blogspot.co.id:
http://elicious-edu.blogspot.co.id/2013/10/developmentally-appropriate-practice.html
Pendidikan adalah faktor penting dalam pembangunan suatu bangsa. Kualitas suatu sistem
pendidikan dapat memengaruhi kualitas suatu bangsa di masa depan. Ketika suatu bangsa
mengalami keterpurukan dan diperparah dengan kualitas SDM yang rendah biasanya sering
dikaitkan dengan lemahnya peran pendidikan dalam membantuk manusia yang unggul. Saat ini
sudah semakin disadari bahwa pendidikan sangat penting bahkan dimulai sejak anak lahir.
Bahkan yang lebih menarik lagi, pendidikan dapat dimulai semenjak anak masih dalam
kandungan. Pentingnya pendidikan sejak dini karena didorong oleh berbagai teori belajar yang
menyebutkan bahwa pada usia tersebutlah berbagai aspek perkembangan mengalami masa yang
sangat cepat dan menentukan. Perkembangan berbagai aspek dari seorang individu anak tidak
terjadi secara terpisah tetapi berjalan secara holistik serta dipengaruhi oleh berbagai faktor
internal dan eksternal. Faktor internal adalah berbagai aspek perkembangan yang dimiliki oleh
anak, sementara faktor eksternal adalah guru, keluarga, dan berbagai sumber belajar yang
lainnya. Jika anak telah masuk pada suatu program pendidikan, maka satu hal yang tidak kalah
penting adalah kurikulum yang diterapkan oleh sekolah. Pendidikan yang dilaksanakan
seharusnya disesuaikan dengan tahap perkembangan anak serta bagaiamana anak belajar.
Sehingga pendidikan pada anak tidak berarti sebagai program ”pemaksaan” terhadap anak untuk
melakukan sesuatu atau untuk memiliki suatu kemamuan sesuai keinginan orang dewasa tanpa
mempertimbangkan kondisi anak. Salah satu konsep yang relevan dengan pendekatan
pembelajaran yang sesuai dengan anak adalah konsep Developmentally Appropriate Practice
(DAP) atau dalam bahasa Indonesia berarti ”Pendidikan yang patut sesuai dengan tahapan
perkembangan anak”. Berdasarkan konsep ini, para pendidikan harus mengerti bahwa setiap
anak adalah unik mempunyai bakat, minat, kelebihan, dan kekurangan, dan pengalaman yang
berbeda-beda. Oleh karena itu, para pendidikan hendaknya dapat menyesuaikan diri dengan
keunikan-keunikan tersebut. Konsep atau pendekatan DAP ini telah menjadi acuan dalam
pelaksanaan program pendidikan anak usia dini dan dalam pengembangan selanjutnya diadaptasi
dalam program pendidikan dasar terutama untuk kelas rendah. Dalam tulisan ini penulis
mencoba membahas tentang teori DAP dari berbagai literature serta bagaimana menerapkannya
pada sistem pendidikan anak usia dini dan sekolah dasar. Sebelum lebih jauh dalam pembahsan
ini terlebih dahulu kita lihat tentang lahirnya konsep DAP. Konsep DAP muncul karena
banyaknya kurikulum yang dikembangkan di sekolah-sekolah Amerika pada kurun waktu tahun
1960-an sampai 1970-an yang tidak sesuai dengan tahapan perkembangan anak, khususnya
untuk anak usia di bawah 8 tahun. Kurikulum-kurikulum tersebut dianggap telah gagal
menghasilkan siswa yang dapat berpikir kritis dan dapat menyelesaikan berbagai permasalahan
dalam kehidupan (Bredekamp, et.al., 1992, dalam Megawangi, 2005). Kritikan terhadap
kurikulum terus berlanjut pada tahun 1980-an terutama dipelopori oleh para pakar yang
terhimpun dalam organisasi NAEYC (National Association for the Education of Young
Children) yang menganggap telah mematikan semangat dan kecintaan anak untuk belajar.
NAEYC akhirnya membuat sebuat petisi untuk mereformasi pendidikan agar sesuai dengan
konsep DAP, yang dimotori oleh Sue Bredekamp. Oleh karena itu, sejak tahun 1980-an sekolah-
sekolah di AS sudah melakukan perbaikan untuk menerapkan konsep lama. NAEYC
mengembangkan prinsip-prinsip pelaksanaan DAP untuk rentang usia sampai 8 tahun. Prinsip-
prinsip ini kemudian dikembangkan oleh NAEYC seiring dengan perkembangan dan penerapan
konsep DAP dalam program-program pendidikan anak usia dini. Pengertian dari Konsep DAP
Menurut Sue Bredekamp (1987), konsep dari DAP memiliki dua dimensi, yiatu : patut menurut
usia (age appropriate) dan patut menurut anak sebagai individu yang unik (individual
appropriate). Sementara Gary Glassenapp (Megawangi, 2005) menambahkan 1 dimensi lagi,
yaitu : patut menurut lingkungan dan budaya. 1. Patut menurut usia (age appropriate) Penelitian
tentang perkembangan manusia menunjukkan bahwa proses perkembangan bersifat universal
serta urutan perkembangan dapat diprediksikan dan ini terutama terjadi pada anak usia sampai 9
tahun (Bredekamp, 1987). Perkembangan yang dapat diprediksikan ini terjadi pada seluruh
domain perkembangan seperti fisik, emosi, sosial, dan kognitif. Pengetahuan tentang berbagai
ciri perkembangan anak pada berbagai jenjang usia atau program pendidikan akan memberikan
kerangka kerja bagi guru. Secara umum, tahapan perkembangan anak dapat memberikan
pengetahuan tentang aktivitas, materi, pengalaman, dan interaksi sosial apa saja yang sesuai,
menarik, aman, mendidik, dan menantang bagi anak. Dalam hal ini, peran guru adalah
menyiapkan lingkungan belajar serta merencanakan pengalaman yaang patut bagi anak. 2. Patut
menurut anak sebagai individu yang unik (individual appropriate) Setiap anak adalah pribadi
yang unik berikut dengan pola dan jadwal perkembangannya, seperti kepribadian, gaya belajar,
dan latar belakang keluarga. Baik kurikulum dan interaksi orang dewasa dengan anak harus
memperhatikan perbedaan individu. Belajar bagi anak-anak adalah hasil dari interaksi antara cara
berpikir anak dengan pengamalan bersama benda konkrit, pendapat (ide), dan orang lain.
Pengalaman seperti itu harus sesuai dengan perkembangan kemampuannya, dan juga harus
mendorong siswa menjadi tertarik dan paham. Para pendidikan juga harus memahami keunikan
setiap anak, oleh karena itu, para pendidikan hendaknya dapat menyesuaikan diri dengan
keunikan-keunikan tersebut. 3. Patut menurut lingkungan dan budaya. Para pendidik harus
mengetahui latar belakang sosial dan budaya anak karena latar belakang sosial dan budaya anak
dapat menjadi bahan acuan guru dalam mempersiapkan materi pelajaran yang relevan dan berarti
bagi kehudipan anak. Selain itu, guru juga dapat mempersiapkan anak menjadi individu yang
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kehidupan sosialnya. Dasar Teori Perkembangan
pada Konsep DAP Memahami teori perkembangan anak adalah penting untuk menyusun
program pendidikan sesuai dengan konsep DAP. Berikut ini adalah sekilas teori perkembangan
anak yang relevan dengan konsep DAP, seperti yang uraikan dalam Megawangi (2005). 1. Teori
Perkembangan Kognitif (Jean Piaget) Piaget (1896 – 1980) sangat terkenal dengan teorinya
tentang bagaimana seorang anak belajar melalui tindakan yang dilakukannya. Menurutnya,
pemahaman anak dibangun (constructed) melalui action, sehingga teori ini sering disebut juga
dengan teori ”constructivism”. Seorang anak dapat memahami suatu konsep melalui pengalaman
konkrit. Hal yang tepenting dari teori Piaget adalah bahwa setiap individu termasuk mengalami 4
tahapan perkembangan kognitif. Tahapan perkembangan tersebut adalah : - Tahap sensorimotor
(usia 0 – 18 bulan) - Tahap preoperasional (usia 18 bulan – 6 atau 7 tahun) - Tahap operasional
konkrit (usia 8 – 12 tahun) - Tahap formal operasional (usia 12 tahun – usia dewasa) 2. Teori
Perkembangan Emosi (Erik Erikson) Erik Erikson (1902 – 1994) berpendapat bahwa
perkembangan emosi positif sangat penting dalam perkembangan jiwa anak, dan ini sangat
tergantung pada peran orang tua dan guru. Setiap anak akan dihadapkan pada dua keadaan yang
saling bertolak belakang : emosi positif dan emosi negatif. Pada setiap tahapan perkembangan,
seseorang akan mengalami konflik tarik menarik antara kedua emosi tersebut, keberhasilan
dalam mengelola konflik ini terwujud apabila anak dapat mencapai emosi positif. Ada empat
tahapan perkembangan emosi anak yang relevan dengan konteks DAP yaitu : - Tahap percaya vs
tidak percaya (0 - 18 tahun) - Tahap kemandirian vs malu/ragu (18 bulan – 3,5 tahun) - Tahap
inisiatif vs merasa bersalah (3,5 tahun – 6 tahun) - Tahap berkarya/etos kerja vs minder (6 tahun
– 10 tahun) 3. Teori Sosio Kultural (Vigotsky) Vigotsky (1896 – 1934) berpendapat sama
dengan Piaget bahwa cara belajar yang efektif melalui praktek nyata (action). Anak-anak akan
lebih mudah memahami konsep baru ketika mereka mencoba memecahkan suatu masalah
dengan objek konkrit. Menurut Vigotsky, perkembangan intelktual anak mencakup bagaimana
mengaitkan bahasa dengan pikiran. Pada awal perkembangan anak, antara bahasa dan pikiran
tidak ada keterkaitan. Misalnya anak yang megoceh tanpa memahami artinya. Selanjutnya,
secara bertahap, anak mulai mengaitkan bahasa dengan pikiran. Pada usia sekolah dasar anak
akan memakai bahasa dalam proses belajar. Piaget dan Vigotsky bersama-sama disebut sebagai
tokoh aliran konstruktivism. Bedanya, konstruktivisme Piaget adalah bersifat individu sementara
Vigotsy adalah konstruktivisme sosial. 4. Teori Perkembangan Moral (Kohlberg dan Thomas
Lickona) Kohlberg adalah seorang pionir dalam menyususn tahapan perkembangan moral anak
dengan memodifikasi teori Piaget. Sedangkan Thomas Lickona mengembangan lebih lanjut teori
ini sampai pada bagaimana metode pendidikan karakter dapat dijalankan secara konkrit bagi
orang tua dan guru. Secara singkat tahapan perkembngan moral yang relevan untuk
pengembangan DAP adalah sebagai berikut: - Tahap berpikir egosentris - self oriented morality
(1 tahun – 4 atau 5 tahun) - Tahap patuh tanpa syarat – authority oriented morality (4,5 tahun – 6
tahun) - Tahap balas – membalas – exchange stage (6,5 tahun – 8 tahun) - Tahap memenuhi
harapan lingkungan – peer oriented morality (8 tahun sampai 13/14 tahun) 5. Teori Ekologi dan
Kontekstual (Bronfenbrenner) Bronfenbrenner mengembangkan teori perkembngan anak yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang melingkupi kehidupan manusia. Perkembangan
dipengaruhi oleh : - Konteks mikrosistem, yaitu : keluarga, sekolah dan kawan-kawan - Konteks
mesosistem, yaitu : hubungan antara keluarga dengan sekolah, sekolah dengan peer group, atau
keluarga dengan peer group yang semuanya memeprngaruhi individu - Konteks ekosistem,
seperti pekerjaan orang tua dana kebijakan pemerintahan - Konteks makrosistem, yaitu :
pengaruh lingkungan budaya, norma agama, dan lingkungan sosial dimna individu dibesarkan. 6.
Brain Based Learning Manusia mempunyai kemampuan alami untuk belajar, asalkan tidak
bertentangan dengann prinsip bekerjanya struktur dan fungsi otak. Sistem sekolah tradisional
sering tidak sesuai dengan prinsip alami ini, sehingga justru menghambat proses belajar.
Perhatian terhadap otak dan fungsinya tidak hanya diarahkan pada bagian-bagian otak yang
memiliki fungsi berbeda-beda, tetapi kepada sistem otak itu sendiri sebagai satu kesatuan.
Menurut Barbara K. Given (2007), berdasarkan berbagai hasil penilitian, otak mengembangkan
lima sistem pembelajaran, yaitu : sistem pembelajaran emosional, sistem pembelajaran sosial,
sistem pembelajaran kognitif, sistem pembelajaran fisik dan sistem pembelajaran reflektif.
Pembelajaran yang baik, adalah pembelajaran yang memperhatikan lima sistem pembelajaran
sebagai suatu kesatuan sistem. 7. Multiple Intelligences (Howard Gardner) Cara tradisional
mengukur kepandaian seseorang adalah dengan tes IQ. Padahal ukuran IQ hanya terbatas pada
kemampuan kognitif dan verbal saja. Akan tetapi, pandangan tersebut mulai bergeser seiring
dengan hasil penelitian tentang cara kerja otak dimana setiap individu memiliki keunikan cara
belajar. Howard Gardner kemudian mengenalkan istilah kecerdasan majemuk (multiple
intlligences) yang berarti bahwa manusia belajar dan berhasil melalui berbagai kemampuan
kecerdasan yang tidak terukur melalui IQ. Menurut Gardner (Megawangi, 2005), kecerdasan
adalah kemampuan memecahkan masalah atau kemampuan berkarya menghasilkan sesuatu yang
berharga untuk lingkungan sosial, budaya atau lingkungannya. Ada delapan kecerdasan menurut
Gardner yang kemudian dalam Megawangi (2005) ditambah satu, yaitu kecerdasan spiritual.
Sembilan kecerdasan tersebut adalah : - Picture Smart (Kecerdasan Gambar/Spasial) - People
Smart (Kecerdasan Interpersonal) - Body Smart (Kecerdasan Kinestetik atau Fisik) - Word Smart
(Kecerdasan Bahasa) - Self Smart (Kecerdasan Interpersonal – Mengenal Diri) - Sound Smart
(Kecerdasan Musik) - Nature Smart (Kecerdasan Mempelajari Alam) - Number Smart
(Kecerdasan Logika – Matematika) - Spiritual Smart (Kecerdasan Spiritual) Prinsip dan Praktek
DAP Berdasarkan teori-teori di atas walaupun masih banyak teori pendukung DAP yang tidak
disajikan, maka didasarkan pada yang dikembangkan oleh Bredekamp et. al (dalam Megawangi,
2005) adalah sebagai berikut: 1. Belajar paling efektif bagi anak-anak adalah ketika kebutuhan
fisiknya sudah terpenuhi, dan ketika secara psikologis merekea merasa aman dan nyaman
Prakteknya: DAP memperhatikan kebutuhan biologis anak. Pada usia TK dan SD anak-anak
memerlukan aktivitas fisik yang membuat mereka aktif, sehingga dapat membantu pembentukan
kepercayaan dirinya. Contohnya, anak tidak disuruh duduk, menulis, dan mendengarkan ceramah
guru dalam waktu yang lama. DAP memberikan peluang bagi anak untuk aktif, bermain, waktu
tenag, belajar, dan beristirahat secara seimbang. Anak-anak akan lebih cepat mempelajari suatu
konsep dengan keterlibatannya secara aktif, misalnya bekerja dengan obyek nyata/tiruannya atau
kerja tangan, daripada hanya disuruh mendengarkan guru. Lingkungan belajar juga harus aman
sehingga semua anak merasa aman dan diterima oleh lingkungannya. 2. Anak-anak membangun
pengetahunnya Prakteknya: Pengetahuan anak yang dibangun merupkan hasil dari interaksi
dinamis antara individu, dengan lingkungan fisik dan sosialnya. Artinya, anak mendapatkan
pengetahuan melalui eksplorasi dan eksperimen aktif. Salah satu eksperimen yang berharga
adalah membuat kesalahan yang konstruktif yang merupakan hal yang penting bagi
perkembangan mentalnya, yaitu belajar dari kesalahan. Anak-anak perlu membangun
hipotesanya dengan mengadakan percobaan dan berbagai bentuk manipulasi, mengamati apa
yang terjadi, membandingkan hasilnya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mencari
jawabannya. 3. Anak-anak belajar melalui interaksi sosial dengan para orang dewasa di
sekitarnya dan teman-teman sebayanya Prakteknya: Contoh terpenting adalah hubungan antara
orang tua dan anak. Para guru akan mendorong agar hubungan dapat terjalin lebih kuat, termasuk
dengan kawan sebayanya dan orang dewasa lainnya, sehingga proses belajaran akan lebih
efektif. Tugas guru adalah memberi dukungan, mengarahkan, dan memberikan motivasi, sehingg
anak dapat belajar berinteraksi dan menjadi individu mandiri. Kurikulum DAP akan memberikan
kesempatan bagi anak untuk mengerjakan suatu pekerjaan berkelompok, sehingga anak dapat
belajar berkomunikasi dan berinteraksi dengan kawan-kawannya. Termasuk juga diskusi di kelas
yang dipandu langsung oleh gurunya. 4. Anak-anak belajar melalui bermain Prakteknya:
Bermain dapat memberikan kesempatan pada anak untuk berekspresi, bereksperimen,
memanipulasi, yang semuanya adalah hal yang paling penting untuk membangun pengetahuan
dan membangun kemampuan berpikir representatif. Ketika bermain, anak-anak dapat belajar
mengkaji dan meningkatkan daya pikirnya melalui respon yang diperoleh dari lingkungan fifik
dan sosialnya. Melalui bermainlah anak-anak dapat mengembangkan daya imajinasi dan
kreativitasnya. Pada usia SD, permainan anak-anak menjadi lebih berorientasi pada peraturan
dann dapat meningkatkan kemandirian dan kerjasama, sehingga dapat mendukung
perkembangan sosial, emosi, dan intelektualnya. 5. Ketertarikan anak-anak terhadap sesuatu, dan
rasa ingin tahunya yang tinggi dapat memotivasi belajar anak Prakteknya: Anak-anak
membutuhkan pengalaman yang mempunyai arti penting bagi mereka. Dalam kelas yang sesuai
dengan DAP, para guru akan mencari cara dan strategi untuk membuat anak tertarik dan
memberikan peluang bagi anak untuk memecahkan persoalan secara bersama. Guru akan
mencari berbagai aktivitas dan kegiatan yang dapat menarik minat anak, sehingga motivasi anak
untuk belajar akan meningkat. Hal ini akan menumbuhkan kecintaan anak untuk belajar, rasa
ingin tahu, perhatian, dan motivasi dari dalam diri anak untuk terus mencari pnegetahuan.
Pelaksanaan DAP di TK/PAUD dan SD Konsep DAP dapat diterapkan pada program TK/PAUD
dan SD sesuai dengan karakter perkembangannya. Berikut ini adalah contoh pembelajaran
dengan cara patut di TK/PAUD dan SD. a. Di TK dan PAUD Matematika: Anak memahami
konsep berhitung dengan menggunakan benda konkrit (anak harus disuguhkan benda-benda
nyata) Menulis: Anak dibiarkan bereksplorasi sendiri mencoba menulis huruf-huruf atau kata-
kata yang ingin ia buat. Guru hanya memberikan contoh (kalau diperlukan). Membaca: Anak
mengenal huruf lewat tulisan-tulisan yang ada pada benda-benda yang ada disekitarnya (guru
tidak meminta anak menghafal abjad) Menggambar: Anak dibiarkan bebas berimajinasi dan
bereksplorasi saat ingin menggambar atau mewarnai sesuatu. Sains: Guru mengajarkan tentang
matahari, bumi, dan planet lainnya dengan menggunakan gambar dan objek. Anak juga
diperkenalkan dengan kegunaan benda-benda langit tersebut b. Di Sekolah Dasar (SD)
Matematika: Anak dikenalkan konsep menjumlah atau mengurang dengan menggunakan objek
biji, stik, tusuk gigi, kancing, dan sebagainya (benda konkrit) Matematika dihubungkan dengan
mata pelajaran lain atau pengalaman konkrit anak sehingga anak dapat mengimpelemntasikannya
dalam kehidupan sehari-hari IPS: Kegiatan pembelajaran memberi kesempatan pada anak untuk
bereksplorasi dan beriskusi. Kegitan IPS dipadukan dengan pelajaran-pelajaran lain seperti seni,
musik, menari, drama, bahasa, keterampilan dan permainan yang relevan. IPA: Kegiatan IPA
dirancang dalam bentuk percobaan yang dapat dilakukan sendiri oleh anak (bukan anak melihat
guru mendemontrasikan). Demikianlah sekelumit tulisan ini yang dapat disajikan mudah-
mudahan bermanfaat bagi para pembaca terutama para guru dan calon guru TK dan SD, agar
pendidikan anak usia dini dan kelas awal di SD dapat lebih baik dan disenangi oleh anak-anak.

Works Cited
Komalasari, E. (2013, 10 03). elicius-edu.blogspot.co.id. Retrieved from elicius-edu.blogspot.co.id:
http://elicious-edu.blogspot.co.id/2013/10/developmentally-appropriate-practice.html

Ramli, M. (2010, 10 05). ramlimpd.blogspot.co.id. Retrieved 10 05, 2016, from ramlimpd.blogspot.co.id:


http://ramlimpd.blogspot.co.id/2010/11/developmentally-appropriate-practice.html

Anda mungkin juga menyukai