Anda di halaman 1dari 13

BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

“TEORI BELAJAR REVOLUSI SOSIO-KULTURAL ”

DISUSUN OLEH:

1. ABDI MUSLIMIN (E1R019


2. ANIDA HASNAWATI (E1R019011)
3. AULIA DINDA
4. AULIA SHARA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MATARAM

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha


Esa yang telah melimpahkan rahmat, hidayah serta karunianya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini yang
berjudul “TEORI BELAJAR REVOLUSI SOSIOKULTURAL”.

Makalah diajukan guna untuk memenuhi tugas kuliah Belajar


dan Pembelajaran. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih


banyak kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.

Mataram, 16 September 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Belajar merupakan suatu proses yang komplek yang terjadi


pada diri setiap orang sepanjang hidupnya. Proses belajar itu terjadi
karena adanya interaksi antara seseorang dengan lingkungannya, baik
lingkungan alam maupun sosial budayanya. Dalam proses belajar bila
kita hanya mengandalkan paradigma behavioristik maka kita akan
mencetak orang-orang yang mengagungkan kekerasan dan
mengadalkan keseragaman, tapi tidak menghargai adanya perbedaan.
Hal ini terjadi karena siswa harus mempersiapkan diri memasuki era
demokrasi yang sebenarnya adalah era yang ditandai dengan
keragaman perilaku, adanya penghargaan terhadap saesuatu yang
bebeda sehingga perlu adanya perubahan dibidang pendidikan dan
pembelajaran dengan teori belajar sosiokultural.Sosiokultural berasal
dari dua kata yaitu sosio dan kultural, sosio berarti berhubungan
dengan masyarakat dan kultural berarti berhubungan dengan
kebudayaan. Jadi, sosiokultural adalah berkenaan dengan segi sosial
dan budaya masyarakat.
PEMBAHASAN

A. Tokoh Teori Belajar Revolusi Sosio Kultural


Ada 2 tokoh yang mendasari terbentuknya teori belajar revolusi
sosio-kultural :
1.    Piaget
Piaget berpendapat bahwa belajar ditentukan karena adanya karsa
individu artinya  pengetahuan berasal dari individu. Siswa berinteraksi
dengan lingkungan sosial yaitu teman sebayanya dibanding orang-
orang yang lebih dewasa. Penentu utama terjadinya belajar adalah
individu yang bersangkutan (siswa) sedangkan lingkungan sosial
menjadi faktor sekunder. Keaktifan siswa menjadi penentu utama dan
jaminan kesuksesan belajar, sedangkan penataan kondisi hanya
sekedar memudahkan belajar.
Teori konflik-sosiokognitif Piaget ini mampu berkembang luas dan
merajai bidang psikologi dan pendidikan. Namun bila dicermati ada
beberapa aspek dari teori Piaget yang dipandang dapat menimbulkan
implikasi kontraproduktif pada kegiatan pembelajaran jika dilihat dari
perspektif revolusi-sosiokultural saat ini (Supratiknya, 2002). Dilihat
dari locus of cognitive development atau asal-usul pengetahuan,
Piaget cenderung menganut teori psikogenesis. Artinya, pengetahuan
berasal dari dalam diri individu. Dalam proses belajar, siswa berdiri
terpisah dan berinteraksi dengan lingkungan sosial. Ia mengkonstruksi
pengetahuannya lewat tindakan yang dilakukannya terhadap
lingkungan sosial. Pemahaman atau pengetahuan merupakan
penciptaan makna pengetahuan baru yang bertolak dari interaksinya
dengan lingkungan sosial.
2.    Vygotsky
Peningkatan fungsi-fungsi mental bukan berasal dari individu itu
sendiri melainkan berasal dari kehidupan sosial atau kelompoknya.
Kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai sosial budaya. Anak-anak
memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi
sehari-hari baik lingkungan sekolah maupun keluarganya secara aktif.
Pandangan yang mampu mengakomodasi sociocultural-revolution
dalam teori belajar dan pembelajaran dikemukakan oleh Lev
Vygotsky. Ia mengatakan bahwa jalan pikiran seseorang harus
dimengerti dari latar sosial-budaya dan sejarahnya. Artinya, untuk
memahami pikiran seseorang bukan dengan cara menelusuri apa yang
ada di balik otaknya dan pada kedalaman jiwanya, melainkan dari
asal-usul tindakan sadarnya, dari interaksi sosial yang dilatari oleh
sejarah hidupnya. Peningkatan fungsi-fungsi mental seseorang berasal
dari kehidupan sosial atau kelompoknya, dan bukan dari individu itu
sendiri. Interaksi sosial demikian antara lain berkaitan erat dengan
aktivitas-aktivitas dan bahasa yang dipergunakan.
.
Anak-anak memperoleh berbagai pengetahuan dan ketrampilan
melalui interaksi sosial sehari-hari. Mereka terlibat secara aktif dalam
interaksi sosial dalam keluarga untuk memperoleh dan juga
menyebarkan pengetahuan-pengetahuan yang telah dimiliki. Ada
suatu kerja sama di antara anggota keluarga dalam interaksi tersebut.
B. Konsep teori belajar revolusi sosiokultural
Ada 3 konsep penting dalam teori sosiogenesis Vygotsky tentang
perkembangan kognitif sesuai dengan revolusi sosiokoltural dalam
teori belajar dan pembelajaran yaitu genetic law of development, zona
of proximal development dan mediasi.
1.    Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of
development).
Menurut Vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan
berkembang melewati dua tataran, yaitu interpsikologis atau
intermental dan intrapsikologis atau intramental. Pandangan teori ini
menempatkan intermental atau lingkungan sosial sebagai faktor
primer dan konstitutif terhadap pembentukan pengetahuan serta
perkembangan kognitif seseorang. Sedangkan fungsi intramental
dipandang sebagai derivasi atau keturunan yang tumbuh atau
terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses
sosial tersebut.
2.    Zona perkembangan proksimal (zone of proximal development)
Perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan ke dalam
dua tingkat, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat
perkembangan potensial.
1). Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan
seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan
berbagai masalah secara mandiri. Ini disebut sebagai kemampuan
intramental.
2). Sedangkan tingkat perkembangan potensial tampak dari
kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan
memecahkan masalah ketika di bawah bimbingan orang dewasa atau
ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten. Ini
disebut sebagai kemampuan intermental. Jarak antara keduanya, yaitu
tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial ini
disebut zona perkembangan proksimal.
Berpijak pada konsep zona perkembangan proksimal, maka
sebelum terjadi internalisasi dalam diri anak, atau sebelum
kemampuan intramental terbentuk, anak perlu dibantu dalam proses
belajarnya. Orang dewasa dan/atau teman sebaya yang lebih kompeten
perlu membantu dengan berbagai cara seperti memberikan contoh,
memberikan feedback, menarik kesimpulan, dan sebagainya dalam
rangka perkembangan kemampuannya.
3.    Mediasi.
Menurut Vygotsky, kunci utama untuk memahami proses-proses
sosial dan psikologis adalah tanda-tanda atau lambang-lambang yang
berfungsi sebagai mediator. Mekanisme hubungan antara pendekatan
sosio-kultural dan fungsi-fungsi mental didasari oleh tema mediasi
semiotik, artinya tanda-tanda atau lambang-lambang beserta makna
yang terkandung di dalamnya berfungsi sebagai penghubung antara
rasionalitas sosio-kultural (intermental) dengan individu sebagai
tempat berlangsungnya proses mental (intramental)
Ada dua jenis mediasi, yaitu mediasi metakognitif dan mediasi
kognitif (Supratiknya, 2002).
1). Mediasi metakognitif ini berkembang dalam komunikasi antar
pribadi. Selama menjalani kegiatan bersama, orang dewasa atau teman
sebaya yang lebih kompeten biasa menggunakan alat-alat semiotik
tertentu untuk membantu mengatur tingkah laku anak. Selanjutnya
anak akan menginternalisasikan alat-alat semiotik ini untuk dijadikan
sarana regulasi diri.
2). Mediasi kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk
memecahkan masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu
atau subject-domain problem. Mediasi kognitif bisa berkaitan dengan
konsep spontan (yang bisa salah) dan konsep ilmiah (yang lebih
terjamin kebenarannya). Konsep-konsep ilmiah yang berhasil
diinternalisasikan anak akan berfungsi sebagai mediator dalam
pemecahan masalah. Konsep-konsep ilmiah dapat berbentuk
pengetahuan deklaratif (declarative knowledge) yang kurang memadai
untuk memecahkan berbagai persoalan, dan pengetahuan prosedural
(procedural knowledge) berupa metode atau strategi untuk
memecahkan masalah. Menurut Vygotsky, untuk membantu anak
mengembangkan pengetahuan yang sungguh-sungguh bermakna,
dengan cara memadukan antara konsep-konsep dan prosedur
melalui demonstrasi dan praktek.
Proses belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal
tetapi lebih merupakan kokonstruksi, yaitu suatu proses
mengkonstruksi pengetahuan atau makna baru secara bersama-sama
antara semua pihak yang terlibat di dalamnya.

C. PENGARUH SOSIO-KULTURAL PADA PERKEMBANGAN


KOGNISI a.Pengaruh sosial pada perkembangan kognisi Menurut
Vygotsky, anak adalah seorang eksplorer yang mempunyai rasa ingin
tahu tinggi, sangat aktif dalam pembelajaran, selalu ingin menemukan
sendiri, dan mengembangkan pemahaman baru. Namun demikian
Vygostky lebih menekankan pada kontribusi sosial dalam proses
perkembangan dan tidak melihat peranan besar dalam penemuan
sendiri. Perkembangan pertama dalam lingkup sosial muncul dalam
individu sebagai kategori interpsikological dan kemudian pada anak
sebagai kategori intrapsikologikal. Contohnya adalah voluntary
attention (perhatian otomatis), logical memory (memori logis),
pembentukan konsep, dan perkembangan kemampuan memilih.
Vygostky berpendapat bahwa, pembelajaran pada anak terjadi melalui
interaksi sosial dengan tutor yang lebih berpengalaman, Tutor ini
menjadi model dalam berperilaku atau menyediakan instruksi verbal
untuk anak. Model inilah yang disebut dengan dialog kooperatif atau
kolaboratif. Anak mencari pemahaman perilaku atau instruksi dari
tutor, menginternalisasi informasi dan menggunakannya untuk
memformulasikan perilaku mereka. b.Pengaruh Budaya pada
perkembangan kognisi Vygotsky berpendapat bahwa perkembangan
harus dilihat dari perspektif 4 tahap yang saling berhubungan dalam
interaksi anak dengan lingkungan: 1) Perkembangan Ontogenic,
adalah perkembangan individu sepanjang hayat, digunakan oleh
hampir semua ahli psikologi dalam menganalisa perkembangan
manusia. 2) Perkembangan Microgenic, mengacu pada perubahan
yang terjadi pada waktu yang relatif singkat, misalnya perubahan yang
dapat dilihat pada saat anak memecahkan masalah penjumlahan pada
setiap minggunya selama 11 minggu (Siegler & Jenkins, 1989). 3)
Perkembangan Phylogenic adalah perubahan yang berskala evolusi,
diukur dalam ribuan dan bahkan jutaan tahun. Vygostsky sendiri
berpendapat bahwa untuk pemahaman sejarah spesies dapat
memberikan masukan pada perkembangan anak. 4) Perkembangan
Sociohistorical, mengacu pada perubahan yang terjadi pada budaya,
kepercayaan, norma, dan teknologi. Disini Vygotsky menekankan
bagaimana seseorang berkembang dalam lingkungan yang berubah.
Dengan berfokus pada individu atau pun pada lingkungan tidak cukup
untuk menjelaskan mengenai perkembangan seseorang. Untuk itu
perkembangan sebaiknya dipelajari dari konteks sosial dan budaya.

D. TUJUAN TEORI SOSIOKULTURAL

Adapun tujuan dari teori ini dalah sebagai berikut:

1. Adanya motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab


siswa itu sendiri.
2. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan
dan mencari sendiri pertanyaannya.
3. Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman
konsep secara lengkap.
4. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang
mandiri.
5. Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
E. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TEORI SOSIO-
KULTURAL

Berdasarkan teori Vygotsky akan diperoleh beberapa


keuntungan: 1.Anak memperoleh kesempatan yang luas untuk
mengembangkan zona perkembangan proximalnya atau
potensinya melalui belajar dan berkembang; 2.Pembelajaran
perlu lebih dikaitkan dengan tingkat perkembangan
potensialnya daripada tingkat perkembangan aktualnya;
3.Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk
mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada
kemampuan intramental; 4.Anak diberi kesempatan yang luas
untuk mengintegrasikan pengetahuan deklaratif yang telah
dipelajarinya dengan pengetahuan prosedural yang dapat
dilakukan untuk tugas-tugas atau pemecahan masalah; 5.Proses
belajar dan pembelajaran tidak bersifat transferal tetapi lebih
merupakan kokonstruksi, yaitu proses mengkonstruksi
pengetahuan atau makna baru secara bersama-sama antara
semua pihak yang terlibat di dalamnya. Kelemahan dari teori
sosio-kultural yaitu terbatas pada perilaku yang tampak, proses-
proses belajar yang kurang tampak seperti pembentukan
konsep, belajar dari berbagai sumber belajar, pemecahan
masalah dan kemampuan berpikir sukar diamati secara
langsung oleh karena itu diteliti oleh para teoriwan perilaku.

C. APLIKASI TEORI SOSIO-KULTURAL

Aplikasi teori sosio-kultural dalam pendidikan. Penerapan teori


sosio-kultural dalam pendidikan dapat terjadi pada 3 jenis
pendidikan yaitu: a.Pendidikan informal (keluarga) Pendidikan
anak dimulai dari lingkungan keluarga, dimana anak pertama
kali melihat, memahami, mendapatkan pengetahuan, sikap dari
lingkungan keluarganya. Oleh karena itu perkembangan prilaku
masing-masing anak akan berbeda manakala berasal dari
keluarga yang berbeda, karena faktor yang mempengaruhi
perkembangan anak dalam keluarga beragam, misalnya: tingkat
pendidikan orang tua, faktor ekonomi keluarga, keharmonisan
dalam keluarga dan sebagainya. b.Pendidikan nonformal
Pendidikan nonformal yang berbasis budaya banyak
bermunculan untuk memberikan pengetahuan, ketrampilan, dan
perilaku pada anak, misalnya kursus membatik. Pendidikan ini
diberikan untuk membekali anak hal-hal tradisi yang
berkembang di lingkungan sosial masyarakatnya. c.Pendidikan
formal Aplikasi teori sosio-kultural pada pendidikan formal
dapat dilihat dari beberapa segi antara lain: 1). Kurikulum.
Khususnya untuk pendidikan di Indonesia pemberlakuan
kurikulum pendidikan sesuai Peraturan Menteri nomor 24 tahun
2006 tentang pelaksanaan KTSP, Peraturan Menteri nomor 23
tahun 2006 tentang standar kompetensi, dan Peraturan Menteri
nomor 22 tahun 2006 tentang standar kompetensi dan
kompetensi dasar, jelas bahwa pendidikan di Indonesia
memberikan pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap kepada
anak untuk mempelajari sosio-kultural masyarakat Indonesia
maupun masyarakat internasional melalui beberapa mata
pelajaran yang telah ditetapkan, di antaranya: pendidikan
kewarganegaraan, pengetahuan sosial, muatan lokal, kesenian,
dan olah raga. 2). Siswa Dalam pembelajaran KTSP anak
mengalami pembelajaran secara langsung ataupun melalui
rekaman. Oleh sebab itu pengetahuan, ketrampilan, nilai dan
sikap bukan sesuatu yang verbal tetapi anak mengalami
pembelajaran secara langsung. Selain itu pembelajaran
memberikan kebebasan anak untuk berkembang sesuai bakat,
minat, dan lingkungannya pencapaiannya sesuai standar
kompetensi yang telah ditetapkan. 3). Guru Guru bukanlah
narasumber segala-galanya, tetapi dalam pembelajaran lebih
berperanan sebagai fasilitator, mediator, motivator, evaluator,
desainer pembelajaran dan tutor. Masih banyak peran yang lain,
oleh karenanya dalam pembelajaran ini peran aktif siswa sangat
diharapkan, sedangkan guru membantu perilaku siswa yang
belum muncul secara mandiri dalam bentuk pengayaan,
remedial pembelajaran.

Anda mungkin juga menyukai