Anda di halaman 1dari 14

TEORI BELAJAR SOSIO-KULTURAL

KELOMPOK 7
Viranda Putri Khairna (E1S018091), Sopiana (E1S018080),
Sindy Nova Triastuti (E1S018076)
Pendidikan Sosiologi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Mataram

ABSTRAK
Budaya belajar sebagai faktor pengaruh dan faktor yang dipengaruhi,
terbentuk dari budaya (kultur) yang berkembang di tengah-tengah lingkungan
masyarakat, baik kultur makro maupun kultur mikro. Teori belajar sosio-kultural
sangat berkaitan erat dengan penyelenggaraan pendidikan, baik pendidikan
formal, informal, maupun nonformal. Teori belajar sosio-kultural memandang
bahwa aspek-aspek sosial kemasyarakatan, aspek kebudayaan, dan aspek
lingkungan, merupakan bagian penting dalam proses pembelajaran dan
keberhasilan dalam mencapai tujuan pembelajaran. Patut diakui, bahwa
kebudayaan yang berkembang dalam kelompok masyarakat tertentu akan
menentukan bentuk maupun corak pembelajaran yang dilakukan di lembaga-
lembaga pendidikan.
Kata kunci: sosio-kultural, aspek kemasyarakatan, aspek kebudayaan, aspek
lingkungan.

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang majemuk dengan heterogenitas


kebudayaan yang dimiliki masyarakat sehingga menjadikan corak pendidikan di
Indonesia pun menjadi beragam. Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, dari
Sabang sampai Merauke tidak boleh meminggirkan peranan kebudayaan yang
hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Secara umum, pendidikan
memang dimaksudkan agar setiap kelompok masyarakat dapat menerima
perbedaan, sehingga tercipta masyarakat yang plural dengan tingkat toleransi yang
tinggi.

1
Teori belajar sosio-kultural merupakan suatu konsepsi yang menempatkan
lingkungan sosial dan budaya (kultur) menjadi bagian tak terpisahkan dalam
proses pembelajaran. Pendidikan akan lebih diterima oleh masyarakat bilamana
kebudayaan mengambil bagian dan diberikan tempat dalam proses
penyelenggaraan pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan pun dimaksudkan
untuk mengukuhkan kebudayaan yang telah ada sebagai kekayaan dan warisan
leluhur suatu bangsa. Penyelenggaraan pendidikan juga dimaksudkan untuk
membangun budaya baru yang positif, dinamis, dan sesuai dengan kebutuhan dan
tuntutan zaman. Pendidikan berkebudayaan dipandang mampu menjadi filter bagi
dampak sosial yang ditimbulkan oleh globalisasi. Teori belajar sosio-kultural
selain dapat diaplikasikan dalam berbagai metode pembelajaran, juga menjadi
solusi bagi sebagian permasalahan pendidikan di Indonesia.

PENGERTIAN TEORI BELAJAR SOSIO-KULTURAL

Teori belajar sosio-kultural merupakan teori belajar yang menekankan


pada bagaimana seseorang belajar dengan bantuan orang lain (lingkungan sosial)
dalam suatu zona keterbatasan dirinya dengan memperhatikan aspek budaya yang
dimiliki. Artinya, teori ini menekankan bahwa intelegensi manusia berasal dari
masyarakat, lingkungan, dan budayanya. Hal ini disebabkan karena seseorang
pasti membutuhkan orang lain atau lingkungan sosial dan budayanya untuk
memahami sesuatu dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Teori ini juga
menegaskan bahwa perolehan kognitif individu terjadi pertama kali melalui
interpersonal (interaksi dengan lingkungan sosial), kemudian baru dilanjutkan
melalui tahap intrapersonal (internalisasi yang terjadi dalam diri sendiri).
Menurut Vygotsky, jalan pikiran seseorang dapat dimengerti dengan cara
menelusuri asal usul tindakan sadarnya dari interaksi sosial (aktivitas dan bahasa
yang digunakan) yang dilatari sejarah hidupnya. Peningkatan fungsi-fungsi mental
bukan berasal dari individu itu sendiri melainkan berasal dari kehidupan sosial
atau kelompoknya.
Lingkungan sosial adalah sebagai tempat penyebaran dan pertukaran
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai sosial budaya. Anak-anak memperoleh

2
berbagai pengetahuan dan keterampilan melalui interaksi sehari-hari baik
lingkungan sekolah maupun keluarganya secara aktif. Oleh sebab itu teori belajar
Vygotsky disebut dengan pendekatan Co-Konstruktivisme artinya perkembangan
kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga
ditentukan oleh lingkungan sosial yang aktif pula.

TOKOH-TOKOH YANG MELATARBELAKANGI TEORI BELAJAR


SOSIO-KULTURAL

Jean Piaget
Teori kognitif Piaget berkembang sebagai aliran konstruktivistik kemudian
menjadi latar belakang munculnya teori belajar sosio-kultural. Piaget menekankan
bahwa belajar lebih banyak ditentukan karena adanya karsa individu. Penataan
kondisi (lingkungan) bukan sebagai penyebab terjadinya belajar, tetapi sekedar
memudahkan belajar. Dengan kata lain menurut Piaget lingkungan sosial adalah
faktor sampingan yang menunjang proses belajar. (Hill, 2010)
Menurut Piaget (Hill, 2010), perkembangan kognitif merupakan suatu
proses genetik, yaitu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis dalam
bentuk perkembangan sistem saraf. Makin bertambah umur seseorang, maka
makin komplekslah susunan sel sarafnya dan makin meningkat pula
kemampuannya. Kegiatan belajar terjadi sejalan dengan pola tahap-tahap
perkembangan tertentu dan umur seseorang. Ketika individu berkembang menuju
kedewasaan, ia akan mengalami adaptasi biologis dengan lingkungannya yang
akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan kualitatif di dalam struktur
kognitifnya.
Teori Piaget menimbulkan implikasi kontraproduktif jika dilihat dari asal-
usul pengetahuan, Piaget cenderung menganut teori psikogenesis. Artinya,
pengetahuan berasal dari dalam diri individu. Dalam proses belajar, siswa berdiri
terpisah dengan interaksi lingkungan sosial. Kemampuan menciptakan makna
atau pengetahuan baru itu sendiri lebih ditentukan oleh kematangan biologis.
Piaget juga menjelaskan bahwa dalam fenomena belajar lingkungan sosial
hanya berfungsi sekunder, sedangkan faktor utama yang menentukan terjadinya

3
belajar tetap pada individu yang bersangkutan. Di samping itu, dalam kegiatan
belajar Piaget lebih mementingkan interaksi antara siswa dengan kelompoknya.
Perkembangan kognitif akan terjadi dalam interaksi antara siswa dengan
kelompok sebayanya dari pada dengan orang-orang yang lebih dewasa.
Lev Vygotsky
Vygotsky adalah psikolog kebangsaan Rusia, beliau memberikan
pemikirannya dalam hal teori sosio-kutural. Vygotsky menjelaskan tulisannya
pada tahun 1920-an dan 1930-an menekankan bagaimana interaksi anak dengan
orang dewasa memberikan sumbangan terhadap perkembangan keterampilan dan
pengetahuan. (Hill, 2010)
Menurut Vygotsky, jalan pikiran seseorang dapat dimengerti dengan
cara menelusuri asal usul tindakan sadarnya dari interaksi sosial (aktivitas
dan bahasa yang digunakan) yang dilatari sejarah hidupnya. Peningkatan
fungsi-fungsi mental bukan berasal dari individu itu sendiri melainkan berasal
dari kehidupan sosial atau kelompoknya. Kondisi sosial sebagai tempat
penyebaran dan pertukaran pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai sosial
budaya. Peserta didik memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan
melalui interaksi sehari-hari baik lingkungan sekolah maupun keluarganya secara
aktif. Vygotsky berpendapat bahwa proses belajar akan terjadi secara efisien dan
efektif apabila anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain dalam
suasana dan lingkungan yang mendukung (supportive), dalam bimbingan
seseorang yang lebih mampu, guru atau orang dewasa. (Rusman, 2012)
Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif sesuai dengan teori
sosiogenesis yaitu kesadaran berinteraksi dengan lingkungan dimensi sosial yang
bersifat primer dan demensi individual bersifat derivatif atau turunan dan
sekunder, sehingga teori belajar Vygotsky disebut dengan pendekatan Co-
Konstruktivisme artinya perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan
oleh individu sendiri secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan sosial yang
aktif pula (Rusman, 2012).
Menurut Vygotsky perkembangan kognisi seorang anak dapat terjadi
melalui kolaborasi antar anggota dari satu generasi keluarga dengan yang

4
lainnya. Perkembangan anak terjadi dalam budaya dan terus berkembang
sepanjang hidupnya dengan berkolaborasi dengan yang lain. Dari perspektif ini
para penganut aliran sosio-kultural berpendapat bahwa sangatlah tidak mungkin
menilai seseorang tanpa mempertimbangkan orang-orang penting di
lingkungannya. (Sujarwa, 2010)
Banyak ahli psikologi perkembangan yang sepaham dengan konsep yang
diajukan Vygotsky. Teorinya yang menjelaskan tentang potret perkembangan
manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial dan
budaya. Ia menekankan bahwa proses-proses perkembangan mental seperti
ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran dengan orang–orang
yang ada di lingkungan sosialnya. Selain itu Vygotsky juga menekankan
bagaimana anak-anak dibantu berkembang dengan bimbingan dari orang-orang `

Perbedaan Teori Jean Piaget dan Lev Vygotsky


Meskipun pada akhirnya teori Piaget dan Vygotsky dijadikan teori yang
saling melengkapi namun pendapat dari kedua pakar ini adalah berbeda. Dimana
pembedaannya adalah Piaget menjelaskan bahwa pembentukan pengetahuan ini
tejadi melalui interaksi dalam diri anak (sesuai perkembangan usia) dengan objek
fisik secara langsung yang kemudian anak melakukan pembagunan pengetahuan
secara individu (intrapersonal). Intrapersonal dianggap Piaget menjadi faktor
primer dalam membangun sebuah pengetahuan bermakna sedangkan lingkungan
sosial merupakan faktor turunan dari intrapersonal. Oleh sebab itu usia memiliki
andil besar dalam melihat tingkat pengetahuan seseorang.
Sedangkan Vygotsky menjelaskan bahwa faktor primer dalam proses
membangun pengetahuan bermakna sebagai interaksi seorang anak dengan
lingkungan sosialnya (interpersonal). Oleh sebab itu usia bukanlah landasan untuk
melihat tingkat pengetahuan seseorang.

KONSEP TEORI BELAJAR SOSIO-KULTURAL


Ada 3 konsep penting dalam teori sosiogenesis Vygotsky tentang
perkembangan kognitif sesuai dengan revolusi sosio-kultural dalam teori belajar,

5
yaitu hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development), zona
perkembangan proksimal (zone of proximal development), dan mediasi.

Hukum Genetik tentang Perkembangan (Genetic Law of Development)


Menurut Vygotsky, setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan
berkembang melewati dua tataran, yaitu interpsikologis atau intermental dan
intrapsikologis atau intramental. Pandangan teori ini menempatkan intermental
atau lingkungan sosial sebagai faktor primer dan konstitutif terhadap
pembentukan pengetahuan serta perkembangan kognitif seseorang. Sedangkan
fungsi intramental dipandang sebagai derivasi atau keturunan yang tumbuh atau
terbentuk melalui penguasaan dan internalisasi terhadap proses-proses sosial
tersebut.
Pada mulanya anak berpartisipasi dalam kegiatan sosial tertentu tanpa
memahami maknanya. Pemaknaan atau konstruksi pengetahuan baru muncul atau
terjadi melalui proses internalisasi. Namun internalisasi yang dimaksud oleh
Vygotsky bersifat transformatif, yaitu mampu memunculkan perubahan dan
perkembangan yang tidak sekedar berupa transfer atau pengalihan. Maka belajar
dan berkembang merupakan satu kesatuan dan saling menentukan.

Zona Perkembangan Proksimal (Zone Proximal Development)


Zona Perkembangan Proksimal merupakan konsep utama yang paling
mendasar dari teori belajar sosio-kultural Vygotsky. Menurut Vygotsky (Luis C.
Moll, 1993: 156-157), setiap anak dalam suatu domain mempunyai “level
perkembangan aktual”. Vygotsky membagi perkembangan proksimal (zone of
proximal development) ke dalam dua tingkat yaitu tingkat perkembangan aktual
dan potensial:
Tingkat perkembangan aktual yang tampak dari kemampuan seseorang
untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan berbagai masalah
secara mandiri. Hal ini disebut sebagai kemampuan intramental.
Tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang
untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika di
bawah bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman

6
sebaya yang lebih kompeten. Ini disebut sebagai kemampuan
intermental.
Secara jelas Vygotsky memberikan pandangan yang matang tentang
konsep tersebut, bahwa jarak antara keduanya yaitu tingkat perkembangan aktual
dan tingkat perkembangan potensial ini disebut zona perkembangan proksimal
(Luis C. Moll, 1993: 157). Zona perkembangan proksimal diartikan sebagai
fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum matang yang masih
berada dalam proses pematangan. Ibaratnya sebagai embrio, kuncup atau bunga,
yang belum menjadi buah. Tunas-tunas perkembangan ini akan menjadi matang
melalui interaksinya dengan orang dewasa atau kolaborasi dengan teman sebaya
yang lebih kompeten.
Gagasan Vygotsky tentang zona perkembangan proksimal ini mendasari
perkembangan teori belajar dan pembelajaran untuk meningkatkan kualitas dan
mengoptimalkan perkembangan kognitif anak. Jadi sebagai bentuk fundamental
dalam belajar adalah partisipasi dalam kegiatan sosial. Vygotsky (Slavin, 2008).
mengemukakan ada empat tahapan zona perkembangan proksimal yang terjadi
dalam perkembangan dan pembelajaran.
Tahap 1 : Tindakan anak masih dipengaruhi atau dibantu orang lain.
Seorang anak yang masih dibantu memakai baju, sepatu dan kaos
kakinya ketika akan berangkat ke sekolah ketergantungan anak pada
orang tua dan pengasuhnya begitu besar, tetapi ia suka memperhatikan
cara kerja yang ditunjukkan orang dewasa
Tahap 2 : Tindakan anak yang didasarkan atas inisiatif sendiri. Anak
mulai berkeinginan untuk mencoba memakai baju, sepatu dan kaos
kakinya sendiri tetapi masih sering keliru memakai sepatu antara kiri dan
kanan. Memakai baju pun masih membutuhkan waktu yang lama karena
keliru memasangkan kancing.
Tahap 3 : Tindakan anak berkembang spontan dan terinternalisasi. Anak
mulai melakukan sesuatu tanpa adanya perintah dari orang dewasa.
Setiap pagi sebelum berangkat ia sudah mulai paham tentang apa saja

7
yang harus dilakukannya, misalnya memakai baju kemudian kaos kaki
dan sepatu.
Tahap 4 : Tindakan anak spontan akan terus diulang-ulang hingga anak
siap untuk berpikir abstrak. Terwujudnya perilaku yang otomatisasi, anak
akan segera dapat melakukan sesuatu tanpa contoh tetapi didasarkan
pada pengetahuannya dalam mengingat urutan suatu kegiatan. Bahkan ia
dapat menceritakan kembali apa yang dilakukannya saat ia hendak
berangkat ke sekolah. Pada empat tahapan ini dapat disimpulkan bahwa.
Seseorang akan dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa dia
lakukan dengan bantuan yang diberikan oleh orang dewasa maupun
teman sebayanya yang lebih berkompeten terhadap hal tersebut
Kesimpulannya pada konsep zona perkembangan proksimal, sebelum terjadi
internalisasi dalam diri anak atau sebelum kemampuan intramental terbentuk,
anak perlu dibantu dalam proses belajarnya. Orang dewasa dan teman sebaya
yang lebih kompeten perlu membantu dengan berbagai cara seperti memberikan
contoh, memberikan feedback, menarik kesimpulan, dan sebagainya dalam rangka
perkembangan kemampuannya.

Mediasi
Mediasi merupakan tanda-tanda atau lambang-lambang yang digunakan
seseorang untuk memahami sesuatu di luar pemahamannya. Menurut Vygotsky,
kunci utama untuk memahami proses-proses sosial dan psikologis adalah tanda-
tanda atau lambang-lambang yang berfungsi sebagai mediator. Tanda-tanda atau
lambang-lambang tersebut merupakan produk dari lingkungan sosio-kultural di
mana seseorang berada. Untuk memahami alat-alat mediasi ini, anak-anak dibantu
oleh guru, orang dewasa maupun teman sebaya yang lebih kompeten.
Elemen-elemen yang dapat digunakan sebagai mediasi terdiri dari ucapan,
bunyi suara, tipe percakapan sosial, dialog dan lain-lain, di mana secara
kontekstual elemen-elemen tersebut berada dalam batasan sejarah, kelembagaan,
budaya dan faktor-faktor individu. Ada dua jenis mediasi, yaitu mediasi
metakognitif dan mediasi kognitif. (Supratiknya, 2002)

8
Mediasi metakognitif adalah penggunaan alat-alat semiotik yang
bertujuan untuk melakukan self-regulation atau regulasi diri, meliputi
self-planning, self-monitoring, self-checking, dan self-evaluating.
Mediasi metakognitif ini berkembang dalam komunikasi antar pribadi.
Selama menjalani kegiatan bersama, orang dewasa atau teman sebaya
yang lebih kompeten biasa menggunakan alat-alat semiotik tertentu
untuk membantu mengatur tingkah laku anak. Selanjutnya anak akan
menginternalisasikan alat-alat semiotik ini untuk dijadikan sarana
regulasi diri. (Suciati, 2001)
Mediasi kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk
memecahkan masalah yang berkaitan dengan pengetahuan tertentu.
Mediasi kognitif bisa berkaitan dengan konsep spontan (yang bisa salah)
dan konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya). Konsep-konsep
ilmiah yang berhasil diinternalisasikan anak akan berfungsi sebagai
mediator dalam pemecahan masalah. Konsep-konsep ilmiah dapat
berbentuk pengetahuan deklaratif (declarative knowledge) yang kurang
memadai untuk memecahkan berbagai persoalan, dan pengetahuan
prosedural (procedural knowledge) berupa metode atau strategi untuk
memecahkan masalah. Menurut Vygotsky, untuk membantu anak
mengembangkan pengetahuan yang sungguh-sungguh bermakna
dengan cara memadukan antara konsep-konsep dan prosedur melalui
demonstrasi dan praktik. Dengan begitu pengetahuan pada anak akan
terbentuk lebih mudah.

HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN KETIKA MENERAPKAN


TEORI BELAJAR SOSIO-KULTURAL
Pada penerapan pembelajaran dengan teori belajar sosio-kultural, guru
berfungsi sebagai motivator yang memberikan rangsangan agar siswa aktif dan
memiliki gairah untuk berpikir, fasilitator, yang membantu menunjukkan jalan
keluar bila siswa menemukan hambatan dalam proses berpikir, manejer yang
mengelola sumber belajar, serta sebagai rewarder yang memberikan penghargaan

9
pada prestasi yang dicapai siswa, sehingga mampu meningkatkan motivasi yang
lebih tinggi dari dalam diri siswa.
Gagasan Vygostsky mengenai reconstruction of knowledge in social
setting bila diterapkan dalam konteks pembelajaran, guru perlu memperhatikan
hal-hal berikut. Pada setiap perencanaan dan implementasi pembelajaran
perhatian guru harus dipusatkan kepada kelompok anak yang tidak dapat
memecahkan masalah belajar sendiri, yaitu mereka yang hanya dapat solve
problems with help. (Hadis, 2006)
Guru perlu menyediakan berbagai jenis dan tingkatan bantuan (helps)
yang dapat memfasilitasi anak agar mereka dapat memecahkan permasalahan
yang dihadapinya. Dalam kosakata Psikologi Kognitif, bantuan-bantuan ini
dikenal sebagai cognitive scaffolding. Bantuan-bantuan tersebut dapat dalam
bentuk pemberian contoh-contoh, petunjuk atau pedoman mengerjakan,
bagan/alur, langkah-langkah atau prosedur melakukan tugas, pemberian balikan,
dan sebagainya.
Bimbingan atau bantuan dari orang dewasa atau teman yang lebih
kompeten juga dapat diberikan guru dalam proses memberi bantuan kepada siswa
dalam proses pembelajaran. Bimbingan atau bantuan dari orang dewasa atau
teman yang lebih kompeten sangat efektif untuk meningkatkan produktifitas
belajar. Bantuan-bantuan tersebut tentunya harus sesuai dengan konteks sosio-
kultural atau karakteristik anak.. Berdasarkan teori Vygotsky (Slavin, 2008), ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan teori sosio-kultural pada
praktik pembelajaran, yaitu:
Dalam kegiatan pembelajaran hendaknya anak memperoleh kesempatan
yang luas untuk mengembangkan zona perkembangan proksimalnya atau
potensinya melalui belajar dan berkembang.
Pembelajaran perlu dikaitkan dengan tingkat perkembangan potensialnya
dari pada perkembangan aktualnya.
Pembelajaran lebih diarahkan pada penggunaan strategi untuk
mengembangkan kemampuan intermentalnya daripada kemampuan
intramentalnya.

10
Anak diberikan kesempatan yang luas untuk mengintegrasikan
pengetahuan deklaratif yang telah dipelajarinya dengan pengetahuan
prosedural untuk melakukan tugas-tugas dan memecahkan masalah.
Proses belajar dan pembelajaran tidak sekedar bersifat transferal tetapi
lebih merupakan ko-konstruksi.

APLIKASI TEORI BELAJAR SOSIO-KULTURAL DALAM


PEMBELAJARAN

Penerapan teori sosio-kultural dalam pendidikan dapat terjadi pada 3 jenis


pendidikan yaitu:

Pendidikan informal (keluarga)

Pendidikan peserta didik dimulai dari lingkungan keluarga, dimana


peserta didik pertama kali melihat, memahami, mendapatkan pengetahuan, sikap
dari lingkungan keluarganya. Oleh karena itu, perkembangan perilaku masing-
masing peserta didik akan berbeda manakala berasal dari keluarga yang berbeda,
karena faktor yang mempengaruhi perkembangan peserta didik dalam keluarga
beragam, misalnya: tingkat pendidikan orang tua, faktor ekonomi keluarga,
keharmonisan dalam keluarga dan sebagainya. (Sukardjo, 2010)
Pendidikan nonformal

Pendidikan nonformal yang berbasis budaya banyak bermunculan untuk


memberikan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku pada peserta didik,
misalnya kursus membatik. Pendidikan ini diberikan untuk membekali peserta
didik hal-hal tradisi yang berkembang di lingkungan sosial
masyarakatnya. (Sukardjo, 2010)

Pendidikan formal

Aplikasi teori sosio-kultural pada pendidikan formal dapat dilihat dari beberapa
segi antara lain:
Kurikulum dan Peserta Didik

11
Khususnya untuk pendidikan di Indonesia pemberlakuan Kurikulum
2013, jelas bahwa pendidikan di Indonesia memberikan pengetahuan,
nilai dan sikap kepada peserta didik untuk mempelajari sosio-kultural
masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional. Pada
Kurikulum 2013 siswa lebih dituntut untuk aktif, kreatif dan inovatif
dalam setiap pemecahan masalah yang mereka hadapi di sekolah.
Penentuan nilai bagi siswa bukan hanya didapat dari nilai ujian saja
tetapi juga didapat dari nilai kesopanan, religi, praktik, sikap dan lain-
lain. Munculnya pendidikan karakter dan pendidikan budi pekerti yang
telah diintegrasikan ke dalam semua program studi. Sangat tanggap
terhadap fenomena dan perubahan sosial. Hal ini mulai dari
perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun
global. (Sukardjo, 2010)
Guru
Guru bukanlah narasumber segala-galanya, tetapi dalam pembelajaran
lebih berperanan sebagai fasilitator, mediator, motivator, evaluator,
desainer pembelajaran dan tutor. Masih banyak peran yang lain,
oleh karenanya dalam pembelajaran ini peran aktif siswa sangat
diharapkan, sedangkan guru membantu perilaku siswa yang belum
muncul secara mandiri dalam bentuk pengayaan, remedial
pembelajaran. (Sukardjo, 2010)

KELEBIHAN TEORI BELAJAR SOSIO-KULTURAL

Berdasarkan teori Vygotsky akan diperoleh beberapa keuntungan:


Mendorong peserta didik untukuntuk berpikir dam proses membina
pengetahuan baru. Siswa berpikir untuk menyelesaikan masalah,
membuat ide, dan mengambil keputusan.
Peserta didik akan memiliki pemahaman, karena terlibat secara langsung
dalam membina pengetahuan baru. Peserta didik akan lebih paham dan
dapat mengaplikasikannya dalam semua situasi.

12
Memiliki ingatan yang kuat terhadap proses pembelajaran yang telah
dilakukan dan pengalaman, karena siswa terlibat secara langsung dengan
aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Siswa melalui
pendekatan ini membina sendiri pengetahuannya.
Memiliki efikasi diri yang tinggi, yakni memiliki keyakinan bahwa
dirinya dan orang lain yang terlibat dalam interaksi belajar akan mampu
mengatasi permasalahan dalam pembelajaran.
Memiliki kemahiran sosial yang diperoleh melalui interaksi dengan rekan
dan guru dalam membina pengetahuan.
Pembelajara berlangsung menyenangkan, karena peserta didik terlibat
secara aktif dan berkelanjutan.

KEKURANGAN TEORI BELAJAR SOSIO-KULTURAL

Pendidik dituntut bisa mengaitkan lingkungan dan pengetahuan yang


ingin di ajarkan sehingga anak memiliki keleluasaan dalam membangun
pengetahuannya dari lingkungan tersebut.
Proses-proses belajar yang kurang tampak seperti pembentukan konsep,
melainkan belajar praktis.
Pemecahan masalah dan kemampuan berpikir sukar diamati secara
langsung. Perlu tenaga ahli khusus untuk mengetahuinya.

KESIMPULAN

Teori belajar sosio-kultural adalah teori belajar yang titik tekan utamanya
adalah pada bagaimana seseorang belajar dengan bantuan orang lain (lingkungan
sosial) dalam suatu zona keterbatasan dirinya dengan memperhatikan aspek
budaya yang dimiliki. Dimana Lev Vygotsky adalah salah satu pakar yang sangat
jelas memaparkan teori belajar ini.
Peningkatan fungsi-fungsi mental bukan berasal dari individu itu
sendiri. Kondisi sosial sebagai tempat penyebaran dan pertukaran pengetahuan,
keterampilan dan nilai-nilai sosial budaya. Terdapat 3 konsep penting dalam teori

13
sosiogenesis Vygotsky tentang perkembangan kognitif sesuai dengan revolusi
sosio-kultural dalam teori belajar dan pembelajaran yaitu genetic law of
development, zona of proximal development dan mediasi.

DAFTAR PUSTAKA

Hadis A. 2006. Psikologi dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta.


Hill, F Winfrend. 2010. Theories of Learning. Bandung: Nusa Media.
Moll, L.C. 1990. Vygotsky and Education : Instructionsl Implication od
Sociohistorical Psychology. Victoria : Cambridge University Press.
Rusman. 2012. Seri Managemen Sekolah Bermutu, Model-model
Pembelajaran (Mengembangkan Profesionalisme Guru). Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Slavin, Robert E, 2008. Cooperative Learning Theori Reseach and Practice.
Boston: Allyn and Bacod.
Suciati, Prasetya P. 2001. Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta : PAU-
PPAI, Universitas Terbuka.
Sujarwa. 2010. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Manusia dan Fenomena
Sosial Budaya). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sukardjo. 2010. Landasan Pendidikan: Teori dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka
Cipta.
Supratiknya, A. 2002. Service Learning, Belajar dan Konteks Kehidupa n
Masyarakat: Paradigma Pembelajaran Berbasis Problem,
Mempertemukan Jean Piaget dan Lev Vygotsky. Yogyakarta: Pidato Dies
USD ke-47.

14

Anda mungkin juga menyukai