Anda di halaman 1dari 10

PAPER PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

“PERKEMBANGAN ASPEK SOSIAL DAN EMOSI ANAK USIA DINI DALAM

KONTEKS PENDIDIKAN”

MUHAMMAD ZHAQY ARYA (1671042026)

DAMAYANTI DARMAN (1771040030)

DEWITA SARI (1971042029)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2021
A. Pengertian Anak Usia Dini
Dalam pandangan agama (Islam), anak merupakan amanah (titipan) Allah
SWT yang harus dijaga, dirawat, dipelihara dengan sebaik-baiknya oleh setiap orang
tua. Sejak lahir anak telah diberikan berbagai potensi yang dapat dikembangkan
sebagai penunjangnya di masa depan. Bila potensi-potensi ini tidak diperhatikan,
nantinya akan mengalami hambatan-hambatan dalam pertumbuhan dan
perkembanganya. Dalam pasal 28 Undang-Undang sistem pendidikan nasional
Nomor 20 tahun 2013 ayat 1, disebutkan bahwa yang termasuk anak usia dini adalah
anak yang masuk dalam rentang 0-6 tahun. Menurut kajian rumpun ilmu PAUD dan
penyelenggaranya di beberapa negara PAUD dilaksanakan sejak 0-8 tahun.
Sedangkan Bredekamp membagi anak usia dini menjadi tiga kelompok, yaitu
kelompok bayi hingga 2 tahun, kelompok 3 hingga 5 tahun, dan kelompok 6 hingga 8
tahun. Berdasakan keunikan dan perkembanganya, anak usia dini terbagi menjadi tiga
tahapan, yaitu masa bayi lahir sampai 12 bulan, masa batita (toddler) usia 1-3 tahu,
masa parasekolah usia 3-6 tahun, dan masa kelas awal 6-8 tahun. Dengan demikian,
anak usia dini adalah anak yang berkisar 0-6 /0-8 tahun yang memiliki perkembangan
dan keunikan tersendiri.

B. Perkembangan social
Perkembangan sosial merupakan perkembangan tingkah laku pada anak
dimana anak diminta untuk menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku dalam
lingkungan masyarakat. Dengan kata lain, perkembangan sosial merupakan proses
belajar anak dalam menyesuaikan diri dengan norma, moral dan tradisi dalam sebuah
kelompok (Yusuf dalam Yahro, 2009). Piaget menunjukkan adanya sifat egosentris
yang tinggi pada anak karena anak belum dapat memahami perbedaan perspektif
pikiran orang lain (Suyanto, 2005). Pada tahapan ini anak hanya mementingkan
dirinya sendiri dan belum mampu bersosialisasi secara baik dengan orang lain. Anak
belum mengerti bahwa lingkungan memiliki cara pandang yang berbeda dengan
dirinya (Suyanto, 2005).
Anak masih melakukan segala sesuatu demi dirinya sendiri bukan untuk orang
lain. Awal perkembangan sosial pada anak tumbuh dari hubungan anak dengan orang
tua atau pengasuh dirumah terutama anggota keluarganya. Anak mulai bermain
bersama orang lain yaitu keluarganya. Tanpa disadari anak mulai belajar berinteraksi
dengan orang diluar dirinya sendiri yaitu dengan orang-orang disekitarnya. Interaksi
sosial kemudian diperluas, tidak hanya dengan keluarga dalam rumah namun mulai
berinteraksi dengan tetangga dan tahapan selanjutnya ke sekolah. Perkembangan
sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orang tua
terhadap anak dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial atau norma dalam
masyarakat. Proses ini biasanya disebut dengan sosialisasi.
Tingkah laku sosialisasi adalah sesuatu yang dipelajari, bukan sekedar hasil
dari kematangan. Perkembangan sosial anak diperoleh selain dari proses kematangan
juga melalui kesempatan belajar dari responss terhadap tingkah laku. Perkembangan
sosial mulai agak komplek ketika anak menginjak usia 4 tahun dimana anak mulai
memasuki ranah pendidikan yang paling dasar yaitu taman kanak-kanak (Rahman,
2002). Pada masa ini anak belajar bersama temanteman diluar rumah. Anak sudah
mulai bermain bersama teman sebaya (cooperative play). Vygotsky dan Bandura
menyebutnya dengan teori belajar sosial melalui perkembangan kognitifnya.
Perkembangan sosial dapat dipetakan dalam beberapa aspek. Kostelnik,
Soderman dan Waren (Yahro, 2009) menyebutkan bahwa perkembangan sosial
meliputi komperensi sosial dan tanggung jawab sosial. Kompetensi sosial
menggambarkan keefektifan kemampuan anak dalam beradaptasi dengan lingkugan
sosialnya. Misalnya mau bergantian dengan teman lainnya dalam sebuah permainan.
Tanggung jawab sosial menunjukkan komitmen anak terhadap tugasnya, menghargai
perbedaan individual, memperhatikan lingkungannya dan mampu menjalankan
fungsinya.
Aspek penting dalam perkembangan sosial yang terjadi pada masa awal anak-
anak, di antaranya permainan, hubungan dengan orang tua, teman sebaya,
perkembangan gender, dan moral.
1. Permainan
Permainan adalah salah satu bentuk aktivitas sosial yang
dominan pada awal masa anak-anak. Sebab, anak-anak menghabiskan
lebih banyak waktunya di luar rumah bermain dengan teman-temannya
dibanding terlibat dalam aktivitas lain. Jadi, permainan bagi anakanak
adalah suatu bentuk aktivitas ini sendiri, bukan karena memperoleh
sesuatu yang dihasilkan dari aktivitas ini. Hal ini karena bagi anak-
anak proses melakukan sesuatu lebih menarik daripada hasil yang akan
didapatkan menurut Schwartzman, 1978.
Permainan mempunyai dua fungsi utama yaitu:
 Fungsi kognitif, permainan membantu perkembangan
kognitif anak. Melalui permainan, anak-anak
menjelajahi lingkungannya, mempelajari objek-objek
disekitarnya, dan belajar memecahkan masalah yang
dihadapinya. Melalui permainan, memungkinkan anak-
anak mengembangkan kompetensi dan keterampilan
yang diperlukannya dengan cara yang menyenangkan.
 Fungsi emosi, permainan memungkinkan anak untuk
memecahkan, sebagian dari masalah emosionalnya,
belajar mengatasi kegelisahan dan konlik batin.
Permainan memungkinkan anak melepaskan energi isik
yang berlebihan dan membebaskan perasaan-perasaan
yang terpendam. Karena tekanan batin terlepaskan
dalam permainan, anak dapat mengatasi masalah-
masalah kehidupan.
2. Hubungan dengan Orang Tua
Hubungan dengan orang tua atau pengasuhnya merupakan
dasar bagi perkembangan emosional dan sosial anak. Sejumlah ahli
memercayai bahwa kasih sayang orang tua atau pengasuh selama
beberapa tahun pertama kehidupan merupakan kunci utama
perkembangan sosial anak, meningkatkan kemungkinan anak memiliki
kompetensi secara sosial, dan penyesuaian diri yang baik pada tahun-
tahun prasekolah dan setelahnya. Salah satu aspek penting dalam
hubungan orang tua dan anak ialah gaya pengasuhan yang diterapkan
oleh orang tua. Menurut Diana Baumrind, 1972 dalam Lerner &
Hultsch, 1983, dalam psikologi perkembangan (Desmita 2005: 144)
merekomendasikan tiga tipe pengasuhan yang dikaitkan dengan aspek-
aspek yang berbeda dalam tingkah laku sosial anak yaitu otoritatif,
otoriter, dan permisif.
3. Hubungan dengan Teman Sebaya
Teman sebaya (peer) sebagai sebuah kelompok sosial sering
dideinisikan sebagai semua orang yang memiliki kesamaan tingkat
usia, menurut Hetherington & Parke dalam Psikologi Perkembangan,
Desmita (2005: 145). Akan tetapi, belakangan deinisi teman sebaya
lebih ditekankan pada kesamaan tingkah laku atau psikologis menu-rut
Lewis & Rosenblum, 1975.
Sejumlah penelitian telah merekomendasikan betapa hubun-gan
sosial dengan teman sebaya memiliki arti yang sangat penting bagi
perkembangan pribadi anak. Salah satu fungsi kelompok teman sebaya
yang paling penting ialah menyediakan suatu sumber dan
perbandingan tentang dunia luar keluarga. Anak-anak meneri-ma
umpan balik tentang kemampuan mereka dari kelompok teman sebaya.
Anak-anak mengevaluasi apakah yang mereka lakukan lebih baik,
sama, atau lebih jelek dari yang dilakukan oleh anak-anak lain. Mereka
menggunakan orang lain sebagai tolok ukur untuk membandingkan
dirinya. Proses pembandingan sosial ini merupakan dasar bagi
pembentukan rasa harga diri dan gambaran diri anak menurut
Hetherington & Parke, 1981.
4. Perkembangan Gender
Gender dimaksudkan sebagai tingkah laku dan sikap yang
diasosiasikan dengan laki-laki atau perempuan. Kesadaran tentang
stereotip gender atau yang biasa di sebut peran jenis kelamin ini telah
dimilikioleh anak-anak prasekolah. Ia sering membicarakannya dan
bahkan bertindak menurut cara-cara yang mencerminkan stereotip
peran gender tersebut. Stereotip peran gender merujuk pada
karakteristik psikologis atau perilaku yang secara tipikal diasosiasikan
dengan laki-laki atau perempuan. Anak-anak mempelajari stereotip
peran gender ini melalui berbagai cara dan pola-pola yang dapat
diramalkan.
Pada awal usia sekolah, anak mulai menghubungkan keluarga
dan pekerjaan tertentu dengan gender, sekalipun keluarga mereka tidak
memperlihatkan pembagian ini. Mereka percaya bahwa anak
perempuan tinggal di rumah untuk mengasuh anak dan mengurus
rumah tangga, sedangkan anak laki-laki pergi keluar untuk bekerja.
Karena itu, tidak heran kalau anak sering mengasosiasikan perawat
ialah perempuan dan pilot ialah laki-laki.
5. Perkembangan Moral
Perkembangan moral adalah perkembangan yang berkaitan
dengan aturan dan konvensi mengenai apa yang seharusnya dilakukan
oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain menurut Santrock,
1995. Tetapi dalam dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk
dikembangkan. Karena itu, melalui pengalamannya berinteraksi
dengan orang lain (dengan orang tua, saudara, dan teman sebaya), anak
belajar memahami tentang perilaku yang buruk yang tidak boleh
dikerjakan.
Teori belajar sosial melihat tingkah laku moral sebagai respons
atau stimulus. Dalam hal ini, proses penguatan, penghukuman, dan
peniruan digunakan untuk menjelaskan perilaku moral anak-anak. Bila
anak diberi hadiah atas perilaku yang sesuai dengan aturan dan kontrak
sosial, mereka akan mengulangi perilaku ini. Sebaliknya, bila mereka
dihukum atas perilaku yang tidak bermoral, maka perilaku ini akan
berkurang atau hilang. Teori kognitif Piaget mengenai perkembangan
moral melibatkan prinsip dan proses yang sama dengan pertumbuhan
kognitif yang ditemui dalam teorinya tentang perkembangan
intelektual. Bagi Piaget, perkembangan moral digambarkan melalui
aturan permainan. Karena itu, hakikat moralitas adalah kecenderungan
untuk meneri-ma dan menaati sistem peraturan.

C. Perkembangan emosi
Campos (dalam Santrock 2007) mendefinisikan emosi sebagai perasaan atau
afeksi yang timbul ketika seseorang berada dalam suatu keadaan yang dianggap
penting oleh individu tersebut. Emosi diwakilkan oleh perilaku yang mengekspresikan
kenyamanan atau ketidaknyamanan terhadap keadaan atau interaksi yang sedang
dialami. Emosi dapat berbentuk rasa senang, takut, marah, dan sebagainya.
Karaktristik emosi pada anak berbeda dengan karakteristik yang terjadi pada
orang dewasa, dimana karekteristik emosi pada anak itu antara lain:
a. Berlangsung singkat dan berakhir tiba-tiba
b. Terlihat lebih hebat atau kuat
c. Bersifat sementara atau dangkal
d. Dapat diketahui dengan jelas dari tingkah lakunya
e. Reaksi mencerminkan individualitas.
Emosi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu, emosi positif maupun negatif.
Santrock mengungkapkan bahwa emosi dipengaruhi oleh dasar biologis dan juga
pengalaman masa lalu. Terutama ekspresi wajah dari emosi, disini dituliskan bahwa
emosi dasar seperti bahagia, terkejut, marah, dan takut memiliki ekspresi wajah yang
sama pada budaya yang berbeda. Emosi memiliki peranan yang sangat penting dalam
perkembangan anak, baik pada usia prasekolah maupun pada tahaptahap
perkembangan selanjutnya, karena memiliki pengaruh terhadap perilaku anak.
Woolfson menyebutkan bahwa anak memiliki kebutuhan emosional, seperti ingin
dicintai, dihargai, rasa aman, merasa kompeten dan mengoptimalkan kompetensinya.
Pada usia prasekolah anak-anak belajar menguasai dan mengekspresikan
emosi. Pada usia enam tahun anak-anak memahami konsep emosi yang lebih
kompleks, seperti kecemburuan, kebanggaan, kesedihan dan kehilangan, tetapi anak-
anak masih memiliki kesulitan didalam menafsirkan emosi orang lain. Pada tahapan
ini anak memerlukan pengalaman pengaturan emosi, yang mencakup kapasitas untuk
mengontrol dan mengarahkan ekspresi emosional, serta menjaga perilaku yang
terorganisir ketika munculnya emosi-emosi yang kuat dan untuk dibimbing oleh
pengalaman emosional. Seluruh kapasitas ini berkembang secara signifikan selama
masa prasekolah dan beberapa diantaranya tampak dari meningkatnya kemampuan
anak dalam mentoleransi frustasi.
Kemampuan untuk mentoleransi frustasi ini, yang merupakan upaya anak
untuk menghindari amarah dalam situasi frustasi yang membuat emosi tidak
terkontrol dan perilaku menjadi tidak terorganisir. Anak-anak tampak meningkat
kemampuannya dalam mentoleransi frustasi ketika diminta melakukan sesuatu yang
berlawanan dengan keinginan mereka. Mereka juga mulai belajar bagaimana
menegosiasikan konflik tersebut. Sedangkan Kemampuan untuk menunjukkan kontrol
diri terhadap emosi akan menjadi anugerah yang dilematis bagi anak apabila anak
tidak mampu menyesuaikan levelnya terhadap situasi tertentu. Pada beberapa situasi
anak diharapkan mampu menahan diri, tetapi pada situasi yang lain anak-anak dapat
berperilaku impulsif dan ekspresif seperti yang mereka inginkan.
Santrock (2007) perkembangan emosi pada masa kanak-kanak awal ditandai
dengan munculnya emosi evaluatif yang disadari rasa bangga, malu, dan rasa
bersalah, dimana kemunculan emosi ini menunjukkan bahwa anak sudah mulai
memahami dan menggunakan peraturan dan norma sosial untuk menilai perilaku
mereka. Berikut penjelasan dari tiga emosi tersebut:
a. Rasa bangga
Perasaan ini akan muncul ketika anak merasakan kesenang setelah sukses melakukan
perilaku tertentu. Rasa bangga sering diasosiasikan dengan pencapaian suatu tujuan
tertentu.
b. Malu
Perasaan ini muncul ketika anak menganggap dirinya tidak mampu memenuhi standar
atau target tertentu. Anak yang sedang malu sering kali berharap mereka bisa
bersembunyi atau menghilang dari situasi tersebut. Secara fisik anak akan terlihat
mengerut seolah-olah ingin menghindar dari tatapan orang lain. Dan biasanya rasa
malu lebih disebabkan oleh interpretasi individu terhadap kejadian tertentu.
c. Rasa bersalah
Rasa ini akan muncul ketika anak menilai perilakunya sebagai sebuah kegagalan. Dan
dalam mengekspresikan perasaan ini biasa anak terlihat seperti melakukan gerakan-
gerakan tertentu seakan berusaha memperbaiki kegagalan mereka.

Pada masa perkembangan anak dan remaja pasti melewati ta-hap pengaruh
emosi. berikut ini beberapa contoh tentang pengaruh emosi terhadap perilaku individu
di antaranya:

a) Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas


hasil yang dicapai.
b) Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan
dan sebagai puncak dari keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa
(frustrasi).
c) Menghambat konsentrasi belajar, apabila sedang mengalami
ketegangan emosi dan dapat juga menimbulkan sikap gugup dan gagap
dalam berbicara.
d) Terganggunya penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri
hati.
e) Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa
kecilnya akan mempengaruhi sikapnya di kemudian hari, baik terhadap
dirinya maupun orang lain.
D. Konteks Pendidikan Anak Usia Dini (Pendidikan Karakter)
Sue Bredekamp dalam Ratna Megawangi menyatakan banyaknya praktek-
praktek pendidikan yang salah yang dilakukan pada anak usia dini, sehingga mereka
gagal menghasilkan siswa yang dapat berpikir kritis dan dapat menyelesaikan
berbagai permasalahan dalam kehidupan. Paradigma pendidikan bagi anak sejak dini
hingga kini masih terbatas pada keberhasilan membangun manusia yang memiliki
otak yang cerdas atau sering dikatakan pendidikan lebih bersifat mengajar daripada
hakekat mendidik itu sendiri. Kandungan materi pelajaran yang berhubungan dengan
kepekaan sosial, kejujuran, kerjasama, perasaan memiliki belum sepenuhnya dapat
ditanamkan pada diri anak padahal hal tersebut sangat berperan dalam kehidupan
anak kelak di masyarakat.
Periode usia dini merupakan masa yang mendasari kehidupan manusia
selanjutnya. Masa ini biasa disebut the golden age yaitu masa-masa keemasan anak.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa pada usia dini, 90% dari fisik anak sudah
terbentuk. Menurut Gardner (1998) sebagaimana dikutip Mulyasa, menyebutkan
bahwa anak usia dini memegang peranan yang sangat penting karena perkembangan
otak manusia mengalami lompatan dan berkembang sangat pesat, yaitu mencapai
80%. Ketika dilahirkan kedunia, anak manusia telah mencapai perkembangan otak
25%, sampai usia 4 tahun perkembanganya mencapai 50%, dan sampai 80 tahun
mencapai 80%, selebihnya berkembang sampai usia 18 tahun.
Atas dasar inilah, penting kiranya dilakukan pendidikan karakter pada anak
usia dini, dalam memaksimalkan kemampuan dan potensi anak. Kita harus
memanfaatkan masa golden age ini sebagai masa pembinaan, pengarahan,
pembimbingan, dan pembentukkan karakter anak usia dini. Apabila pada masa ini
sudah memperoleh kualitas pendidikan dan pengajaran yang kurang baik maka setelah
dewasa nantinya juga akan menghasilkan manusia yang tingkat produktivitasnya
rendah, kepekaan sosialnya kurang dan moral yang rendah pula.
Pendidikan karakter bagi anak usia dini dimaksudkan untuk menanamkan
nilai-nilai kebaikan supaya dapat menjadi kebiasaan ketika kelak dewasa atau pada
jenjang pendidikan selanjutnya. Anak usia dini merupakan masa yang tepat untuk
melakukan pendidikan karakter karena anak belum memiliki pengaruh negatif yang
banyak dari luar atau lingkunganya. Mulyasa berpendapat bahwa pendidikan karakter
bagi anak usia dini mempunyai makna yang lebih tinggi dari pendidikan moral karena
tidak hanya berkaitan dengan masalah benar-salah, tetapi bagaimana menanamkan
kebiasaan (habit) tentang berbagai perilaku yang baik dalam kehidupan sehingga anak
memiliki kesadaran dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan
sehari-hari

Daftar Pustaka

Hadisi, L. (2015). Pendidikan Karakter Pada Anak Usia Dini. Jurnal Al-Ta’dib, 8(2), 50-69

Jahja, Yudrik. (2011). Psikologi Perkembangan. Jakarta: Prenada Media.

Nurmalitasari, F. (2015). Perkembangan sosial emosi pada anak usia prasekolah. Buletin
Psikologi, 23(2), 103-111.

Anda mungkin juga menyukai