Anda di halaman 1dari 5

A. Analisis UU no.22 Tahun 1999/UU no.

32 Tahun 2004
Pada dasarnya setiap Undang-undang memiliki kelebihan dan kelemahan sehingga
Undang-undang berubah secara dinamis seiring dengan perkembangan dan kebutuhan
masyarakat dalam menjawab tuntutan perubahan. Otonomi dan desentralisasi yang
diberlakukan pada tahun 2001 memberikan perubahan yang sangat berarti kepada setiap
daerah untuk bersentuhan langsung dengan demokrasi dan secara penuh dijamin oleh
Undang-undang. Otonomi dan desentralisasi memberikan kesempatan kepada masyarakat
untuk mengembangkan daerah sesuia dengan potensi masyarakat yang ada dengan tidak
terlepasnya perhatian pemerintah kepada masyarakat yang ada didaerah. Perjalanan
pemilihan kepala daerah dimulai dalam UU No. 5 Tahun 1974 namun besarnya intervensi
pemerintah berlaku hingga reformasi. Kelahiran UU No. 22 Tahun 1999 melalui otonomi-
desentralisasi meskipun pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD hingga akhirnya
disahkannya UU No. 32 Tahun 2004 memberlakukan pemilihan kepala daerah secara
langsung dengan mengembalikan hak rakyat sepenuhnya dalam alam demokrasi yang
berhak dipilih dan memilih. Keterbukaan demokrasi juga melahirkan UU No. 12 Tahun 2008
yang memberikan peluang bagi setiap calon perseorangan. UU No. 22 Tahun 1999 dengan
UU No. 32 Tahun 2004 memiliki beberapa persamaan yaitu kentalnya politik uang yang
diberikan kepada DPRD dalam pencapaian kekuasaan di daerah serta masih rendahnya
pendidikan politik masyarakat, UU No. 32 Tahun 2004 secara tersendiri mengatur tentang
pemilihan kepala daerah secara langsung untuk memberikan pemahaman dan pendidikan
politik kepada masyarakat melalui partisipasi politik masyarakat namun kesalahan dalam UU
No. 22 Tahun 1999 justru berpindah kepada UU No. 32 Tahun 2004 dimana praktek politik
uang dalam bentuk memberikan uang kepada setiap pemilih.Pemilihan kepala daerah sudah
tidak seharusnya menggunakan uang dalam pencapain kekuasaan namun lebih menekankan
pada kejujuran, keadilan serta tanggungjawab akan tugas yang diemban dalam
mensejahterakan masyarakat. Rakyat berhak meminta pertanggungjawaban kepala daerah
sesuai dengan janji-janji yang telah diberikan namun bila tidak tercapai maka masyarakat
akan menghukum kepala daerah dengan tidak lagi memilihnya. Tugas kepala daerah adalah
memandirikan daerah sesuai dengan potensi daerah sesuai dengan kewenangan yang telah
diberikan oleh pemerintah kepada daerah.

Otonomi Daerah Pasca Revisi UU Nomor 22 Tahun 1999: Tantangan Dalam Mewujudkan
Local Accountability

Di Indonesia soal desentralisasi menyangkut dua masalah penting, yakni: Pertama,


penyebaran dan pelimpahan kekuasaan pemerintahan ke segenap daerah negara. Kedua,
penyerasian perbedaan-perbedaan yang ada diantara daerah-daerah, pemenuhan aspirasi-
aspirasi dan tuntutan daerah dalam kerangka negara kesatuan. Kedua masalah itu akan
berkembang sejalan dengan dinamika politik dan respon elite terhadap desentralisasi. Jika
diawal tahun 2000, ketika UU No.22 Tahun 1999 mulai diterapkan, banyak kalangan menilai
sebagai suatu era kebangkitan kembali otonomi daerah di Indonesia. Dengan terjadi terjadi
perluasan wewenang pemerintah daerah, terutama pada Kabupaten/Kota yang kebagian
otonomi penuh merentangkan harapan akan terwujudnya local accountability , yakni
meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak dari
komunitasnya bukan lagi suatu hal yang mustahil. Pada saat peluang dan ruang otonomi
daerah itu baru pada taraf disiasati daerah guna mencapai hasilnya yang optimal, tiba-tiba
pemerintah mengambil suatu kebijakan untuk mengganti UU N. 22 tahun 1999 yang ditandai
dengan telah di sah kan oleh DPR dan kini hanya tinggal menunggu pengundangan dalam
lembaran negara. Hal ini tentu menjadikan masalah otonomi daerah menarik untuk
dipahami kembali dalam perspektif terwujudnya local accountability. Dalam konteksnya
dengan harapan untuk mewujudkan local accountability., maka pertanyaan pokoknya
adalah, apakah konsepsi otonomi daerah yang dikembangkan dalam undang-undang yang
baru itu (berdasarkan informasi terakhir terakhir telah diberi nomor, yakni UU No.32 Tahun
2004 dan selanjutnya dipergunakan dalam tulisan ini) merupakan proteksi terhadap konsep
otonomi luas yang dianut UU No.22 tahun 1999 atau merupakan pemantapan konsep
otonomi luas yang telah dibangun sejak runtuhnya orde baru beberapa tahun lalu. Jawaban
atas pertanyaan pokok tadi, setidaknya dapat dipahami dengan membandingkan jiwa dan
semangat otonomi daerah dari kedua undang-undang pemerintahan daerah itu. Kalau UU
No.22 Tahun 1999 menganut paham, bahwa desentralisasi itu adalah penyerahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia, maka konsepsi itu tampaknya tidak jauh berbeda dengan
undang-undang yang baru, yakni penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah
kepada daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Persoalan baru muncul ketika Daerah dihadapkan pada
konsepsi otonomi daerah, dimana UU No.32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa : Otonomi
Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konsepsi otonomi daerah yang dianut
undang-undang ini mirip dengan konsepsi otonomi daerah yang dianut UU No. 5 Tahun
1974. Dan sangat berbeda dengan rumusan otonomi daerah yang dianut UU No. 22 Tahun
1999 yang menyebutkan otonomi daerah itu adalah kewenangan Daerah Otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika dalam
UU No.22 Tahun 1999 Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamananan,peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain, maka
dalam undang-undang No.32 Tahun 2004 kewenangan Daerah sudah ditentukan sedemikian
rupa. Dalam hubungan ini UU No.32 Tahun 2004 menentukan 16 urusan wajib untuk urusan
propinsi dan 16 urusan wajib pula untuk Kabupaten/Kota. Selain urusan wajib baik Propinsi
maupun Kabupaten/Kota disertai dengan urusan yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang
bersangkutan. Kewenangan sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun 2004, menurut
penulis memperlihatkan perbedaan yang signifikan dengan pola UU No.22 tahun 1999 yang
dituangkan dalam PP No.25 Tahun 2000. Pola yang dikembangkan UU No.22 Tahun 1999
vide PP No.25 Tahun 2000 adalah pembagian kewenangan antara pemerintah dan daerah,
dimana sudah ditentukan apa-apa yang menjadi kewenangan pemerintah dan apa-apa yang
menjadi kewenangan propinsi dan apa yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota adalah
kewenangan yang tidak temasuk kewenangan pemerintah dan propinsi. Dalam konteks ini
undang-undang tidak memberi ruang kepada pemerintah untuk mencampuri urusan yang
telah menjadi kewenangan Propinsi, Kabupaten dan Kota. Propinsi tidak pula dapat
mencampuri urusan-urusan Kabupaten/Kota. Berbeda halnya dengan undang-undang No. 32
Tahun 2004, dimana undang-undang ini menganut paham pembagian urusan. Antara
pembagian kewenangan dengan pembagian urusan jelas terdapat perbedaan yang
mendasar. Secara yuridis yang diartikan dengan kewenangan adalah hak dan kekuasaan
Pemerintah untuk menentukan atau mengambil kebijakan dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan (Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000 pada pasal 1 angka 3), sedangkan
yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah isi dari kewenangan itu sendiri. Dengan
demikian, maka titik tekanan pada undang-undang No.22 Tahun 1999 adalah pada
kewenangan dan dengan kewenangan itu daerah menentukan apa-apa yang akan menjadi
isi dari kewenangannya. Pola ini merangsang kreatifitas dan prakarsa daerah menggali
berbagai aktifitas dan gagasan guna mewujudkan pelayanan publik dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sementara itu, kalau titik penekanannya pada
pembagian urusan, maka kewenangan daerah hanya sebatas urusan yang telah ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan dan bertambah apabila ada penyerahan dari
pemerintah. Artinya kewenangan daerah bertambah hanya jika ada penyerahan urusan.
Mekanisme yang demikian, lagi-lagi mirip model undang-undang No.5 Tahun 1974.
Mencermati pola pembagian urusan yang dituangkan dalam UU No.32 Tahun 2004 memang
tidak harus ditanggapi secara skeptis, tetapi konsep otonomi daerah yang akan
dikembangkan tampaknya berjiwa sentralistik. Meskipun undang-undang baru itu masih
memaknai desentralisasi sebagai penyerahan wewenang, tetapi sesungguhnya hanya
penyerahan urusan. Dan atas urusan yang diserahkan kepada daerah itu diberikan rambu-
rambu yang tidak mudah untuk dikelola daerah dengan leluasa sebagai urusan rumah tangga
sendiri. Setidaknya ada beberapa-beberapa rambu, yakni: Daerah dalam menjalankan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya menjalankan otonomi seluas-luasnya
untuk mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan criteria
eksternalitas, akuntabelitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan
antar susunan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan
pelaksanaan hubungan kewenangan antar pemerintah dan pemerintah daerah propinsi,
kabupaten/kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis
sebagai suatu sistem pemerintahan. Berdasarkan rambu-rambu penyelenggaraan urusan
pemerintahan di atas, maka sulit diingkari, bahwa dibawah payung UU No.32 Tahun 2004
Pemerintahan daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan sesungguhnya tidak lagi
otonom sebagaimana layaknya dibawah UU No.22 Tahun 1999, melainkan otonomi
terkontrol. Ini terutama dikarenakan penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan
pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintah daerah propvinsi,
Kabupaten dan Kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan
sinergis sebagai suatu sistem pemerintahan. Dari sisi ini, otonomi seluas-luasnya yang dianut
ternyata adalah otonomi yang tidak luas dalam perspektif tumbuhnya prakarsa dan inisiatif
daerah sendiri. Kebijakan daerah tidak lagi punya tempat, sekalipun itu hanya urusan local
atau stempat, yang ada hanya kebijakan pusat yang harus menjadi acuan bagi setiap
pengambilan kebijakan pemerintahan daerah. Padangan kita terhadap kebijakan otonomi
daerah yang diambil pembentuk undang-undang yang dituangkan dalam UU No.32 Tahun
2004 bukanlah suatu sinisme, melainkan memang kebijakan otonomi daerah yang protektif
dan tampaknya lebih dominan dibangun padangan politik juga sebagai reaksi yang
berlebihan atas otonomi daerah yang berlansung dibawah UU No.22 tahun 1999. Bahkan
tidak tertutup kemungkinan semangat otonomi daerah dari UU No. 32 Tahun 2004 dibangun
atas pandangan UU No.22 Tahun 1999 dipahami sebagai berjiwa federalis. Jika persepsi ini
benar, maka sejarah desentralisasi di Indonesia kembali mengalami kemunduran. Konsepsi
otonomi daerah yang dirumuskan dalam UU No.32 Tahun 2004 sebagaimana digambarkan
di atas, ia jelas akan membawa pengaruh dan perubahan yang mendasar bagi eksistensi
Daerah dan pemerintahannya. Sekaligus merupakan tantangan bagi daerah dan
menghadapkan pemerintahan daerah pada suatu kondisi yang dilematis ketika desakan
untuk mewujudkan local accountability. Jika ditelusuri lebih jauh konsepsi otonomi daerah
menurut undang-undang No.32 Tahun 2004, saya pikir juga berpotensi konflik dalam
pengimplementasiannya dan membingungkan daerah. Dalam Pasal 10 ayat 1 UU No. 32
Tahun 2003 disebutkan bahwa: pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan
pemerintahan yang menjadi kewenagannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Ketentuan ini tentu tidak
diperlukan, karena di dalam undang-undang ini telah disebutkan apa-apa yang menjadi
urusan pemerintahan daerah. Dan kalau dikuti ketentuan pasal 10 ayat 1 UU No. 32 Tahun
2004 itu maka tidak diperlukan lagi penentuan secara limitatif apa yang menjadi urusan
pemerintah daerah. Pemerintahan daerah berhak mengatur urusan-urusan yang tidak
menjadi urusan pemerintah pusat. Di sisi lain, kalau daerah menngikuti ketentuan apa-apa
yang menjadi urusannya, maka siapakah yang akan mengurus urusan-urusan yang tidak
termasuk urusan pemerintah pusat dan tidak pula termasuk urusan pemerintahan daerah.
Implikasi dari prolema ini akan sangat dirasakan daerah, ketika kita cermati penjelasan
undang-undang ini yang menyebutkan, bahwa sejalan dengan prinsip otonomi seluas-
luasnya, dilaksanakan pula prinisip otonomi nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi
nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan
berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi
untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan
demikian isi dan jenis otonomi daerah bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah
lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi
yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk membedayakan daerah termasuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Dari
beberapa yang kita kemukakan mengenai konse[si otonomi daerah dalam UU No. 32 Tahun
2004 sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka tidak terelakan lagi, bahwa tantangan
utama bagi daerah dalam berotonomi pasca revisi UU No.22 Tahun 1999 adalah kesiapan
daerah dan masyarakatnya kembali kejiwa dan semangat Otonomi Daerah sebagaimana
pernah dipratekkan semasa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 yang berbeda hanya dalam
beberapa dan sistemnya, tetapi substansinya kurang lebih sama. Disadari memang, cukup
banyak argumen yang dapat didalikan untuk membantah pandangan di atas dengan
mengajukan pola dan mekanisme yang dituangkan dalam undang-undang No. 32 Tahun
2004, tetapi undang-undang ini telah mengampungkan suatu konsep, bahwa dalam
menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas
otonomi dan tugas pembantuan. Dalam konteks ini yang dimaksudkan dengan asas otonomi
dan tugas pembantuan adalah bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah itu
sendiri dan dapat pula penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/Kota
dan desa atau penugasan dari pemerintah kabupaten Kota/Kota ke Desa. Ini tentu saja
sangat berbeda dengan apa yang kita pahami selama ini, bahwa di bawah undang-undang
No.5 Tahun 1974 penyelenggaraan pemerintahan daerah didasarkan pada asas
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Bahkan Undang-Undang No. 22 Tahun
1999 menyebutkan, bahwa undang-undang ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi. Lebih jauh
UU No. 22 Tahun 1999 menegaskan, bahwa dengan memperhatikan pengalaman
penyelenggaraan Otonomi Daerah pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang
nyata dan bertanggungjawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan
kewajiban daripada hak, maka dalam Undang-undang ini pemberian kewenangan otonomi
kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja
dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Tetapi tidak demikian
halnya dengan UU No. 32 Tahun 2004, bahwa asas desentralisasi, tugas pembantuan dan
dekonsentrasi bukan lagi menjadi asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, melainkan
menjadi asas penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah (pemerintah pusat). Dengan
demikian, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak akan kita lihat lagi
pemerintahan propinsi dengan otonominya yang terbatas dan daerah Kabupaten/Kota
dengan otonomi penuh yang mengatur urusan rumah tangganya hanya berdasarkan asas
desentralisasi saja. Pertanyaannya pentingnya, siapkan daerah menghadapi perubahan ini
dan meninggalkan otonomi daerah yang telah dilalui dengan sejumlah harapan dibawah
naungan UU No.22 Tahun 1999 ? Tidak mudah memang untuk menjawab pertanyaan di
atas, namun yang pasti bila kelahiran UU No.22 Tahun 1999 dipahami sebagai berakhirnya
era pemerintahan yang sentralistik. Tetapi, kini era sentralistik itu kembali tercium.
Sayangnya luput dari pembicaraan publik, justeru yang santer adalah pembicaraan dan
perdebatan pemilihan kepala daerah lansung yang antusias. Padahal, Pilkada lansung tidak
akan memberikan kontibusi yang signifikan dalam perspektif otonomi di bawah UU No.32
tahun 2004 dalam rangka mewujudkan local accountability.

Anda mungkin juga menyukai