Anda di halaman 1dari 18

Sejarah dan Perkembangan

Hk.Pemerintah Daerah

1. Era Pemerintah Hindia – Belanda


Pendekatan Sejarah

Sulit untuk memahami kebijakan otonomi dewasa ini di Indonesia tanpa


melihat latar belakang sejarah perkembangan otonomi itu sendiri.
Pendekatan historis ini akan memberikan titik tolak dalam menganalisa
perkembangan otonomi di Indonesia Pendekatan sejarah dimaksudkan untuk
menunjukkan sekuen perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem
pemerintahan daerah di Indonesia. Ada dua tahap utama perubahan sistem
pemerintahan daerah di Indonesia yaitu sistem pemerintahan daerah
sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan

1. Sistem Pemerintahan Daerah Sebelum Kemerdekaan

Pemerintah Daerah yang bersifat relatif otonom pertama kali didirikan oleh
Pemerintah Kolonial Belanda pada awal abad ke 20 melalui Desentralisasi
Wet 1903. Undang-undang ini dimaksudkan hanya mencakup wilayah Jawa
dan Madura saja. Sebelum tahun 1903, seluruh wilayah Indonesia diperintah
secara sentral dibawah Gubernur Jenderal sebagai Wakil Raja Belanda
ditanah jajahan. Disamping pemerintahan yang dijalankan oleh pihak
kolonial Belanda, terdapat juga daerah-daerah yang disebut ‘Swapraja’ yang
diperintah oleh raja-raja pribumi setempat. Raja-raja tersebut diakui haknya
untuk memerintah di wilayahnya asalkan mereka mengakui dan tunduk
kepada kekuasaan Pemerintah kolonial atas wilayah mereka.

Raja-raja tersebut diberi kewenangan untuk memerintah wilayahnya


menurut adat dan tradisi daerah yang bersangkutan, sepanjang mereka
tunduk kepada pemerintah Kolonial Belanda. Raja-Raja tersebut memerintah
wilayahnya berdasarkan kontrak politik yang ditanda tangani dengan
Belanda dan diberikan tugas untuk menjalankan beberapa tugas pusat atas
nama pemerintah kolonial. Beberapa diantara kerajaan tersebut adalah
Yogyakarta, Surakarta, Deli, Bone dal lain-lainnya.
Pada tahun 1922, Pemerintah Kolonial Belanda mengadakan pembaharuan
dengan maksud untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada
Pemerintah daerah untuk menjadikannya lebih efektip dalam menjalankan
aktivitasnya. Pembaharuan tersebut menyangkut hal-hal sebagai berikut:

1. Memberikan kewenangan lebih besar kepada pejabat-pejabat Belanda


yang ditugaskan di wilayah.
2. Memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pejabat-pejabat
pribumi
3. Melibatkan unsur-unsur progresif yang ada di daerah untuk ikut
berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan di daerah (Muslimin,
1960) .

Perbedaan sistem pemerintahan daerah sebelum dan sesudah UU 1903


terletak pada ada tidaknya dewan daerah. Sebelum UU 1903, tidak terdapat
sama sekali otonomi pemerintah daerah. Semua unit pemerintahan bersifat
administratip atas dasar prinsip dekonsentrasi. Namun setelah UU 1903
dikeluarkan, didirikanlah sejenis Dewan Daerah pada unit-unit pemerintahan
tertentu dan mereka diberikan kewenangan untuk menggali pendapatan
daerah untuk membiayai pemerintahan daerah. Anggota Dewan Daerah
diangkat dari tokoh-tokoh masyarakat setempat, namun Kepala
Pemerintahan seperti Gubernur, Residen, atau Bupati tetap diangkat oleh
pemerintah pusat.

Pemerintah Kolonial Belanda digantikan oleh pendudukan Jepang dari tahun


1942 sampai dengan 1945. Sistem pemerintahan dibawah tentara
pendudukan Jepang diatur secara militer. Sumatra dan Jawa diperintah
dibawah angkatan darat yang masing-masing bermarkas di Bukittinggi dan
Jakarta. Diluar Jawa dan Sumatra dibawah angkatan laut dengan markas
besarnya di Ujungpandang (Makassar). Pada dasarnya sistem pemerintahan
dibawah tentara pendudukan Jepang meneruskan sistem pemerintahan yang
diwariskan oleh pemerintah kolonial Belanda. Unit-unit pemerintahan daerah
diatur berdasarkan prinsip dekonsentrasi dan semua kegiatan politik
dilarang.

Ketika Jepang mendekati kekalahan, mereka mengijinkan pendirian Dewan


Daerah dengan tujuan untuk menggalang dukungan kepada bala tentara
Jepang. Bahkan sebelum mereka menyerah, Jepang mendirikan suatu Komite
beranggotakan pemimpin-pemimpin nasional untuk persiapan kemerdekaan
Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang berakhir seiring dengan
kekalahan mereka dalam perang Asia Timur Raya dan rakyat Indonesia
memproklamirkan kemerdekaannya. Dengan proklamasi kemerdekaan
tersebut dimulailah era pemerintahan daerah pasca kemerdekaan

2. Sistem Pemerintahan Daerah Pasca


Kemerdekaan
Deskripsi sistem pemerintahan daerah di Indonesia pasca proklamasi
ditandai dengan diberlakukannya berbagai perundang-undangan tentang
pemerintahan daerah. Setiap Undang-Undang yang diberlakukan akan
menandai terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah dan ini
sangat erat kaitannya dengan situasi politik nasional. Pada dasarnya
terdapat lima kali perubahan yang bersifat pokok terhadap sistem
pemerintahan daerah pasca kemerdekaan. Setiap perubahan sistem
tersebut dituangkan dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah
yang memuat pengaturan yag berbeda satu sama lainnya. Adapun sekuen
perubahan tersebut adalah sebagaimana terurai berikut ini.

1). Undang Undang No.1/ 1945

Undang-Undang ini dikeluarkan pada tanggal 23 Nopember 1945 dan


merupakan UU Pemerintahan Daerah yang pertama setelah kemerdekaan.
Undang-Undang tersebut didasarkan pasa pasal 18 UUD 1945. Pada
dasarnya pengaturan-pengaturan yang dimuat dalam Undang-Undang
1/1945 tersebut, meneruskan sistem yang diwariskan oleh Pemerintah
Kolonial Belanda.

Sebuah Komite National Daerah didirikan pada setiap level terkecuali di


tingkat Propinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan legislatip dan
anggota-anggotanya diangkat oleh Pemerintah Pusat. Komite tersebut
memilih lima orang dari anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutip
yang dipimpin oleh Kepala Daerah untuk menjalankan roda pemerintahan
daerah. Kepala Daerah memjalankan dua fungsi utama yaitu sebagai Kepala
Daerah Otonom dan sebagai Wakil Pemerintah Pusat di daerah yang
bersangkutan.

Sistem ini mencerminkan kehendak Pemerintah untuk menerapkan prinsip


desentralisasi dan dekonsentrasi dalam sistem pemerintahan daerah, namun
penekanan lebih diberikan kepada prinsip dekonsentrasi. Hal tersebut
terlihat dari dualisme fungsi yang diberikan kepada figur Kepala Daerah.
Status Kepala Daerah adalah diangkat dan diambil dari Keanggotaan Komite.
Walaupun terdapat Komite Daerah, mereka mempunyai kewenangan yang
terbatas karena status mereka yang diangkat oleh Pemerintah dan bukan
dipilih.

Namun kondisi tersebut dapat dimaklumi dalam masa awal kemerdekaan.


Pemerintah secara keseluruhan pada masa tersebut masih lemah dan dalam
tahap konsolidasi. Disamping itu Belanda masih terus berusaha menuntut
haknya terhadap Indonesia sebagai bekas tanah jajahannya dengan
berpedoman pada hasil Konperensi Postdam setelah Perang Dunia II
berakhir. Dalam kondisi ini sangatlah beralasan peranan sentral yang
diberikan kepada figur Kepala Daerah untuk mengkonsolidasikan seluruh
kekuatan daerah pada waktu itu dalam usaha mempertahankan
kemerdekaan.

2). Undang Undang Nomor 22 Tahun 1948

Undang-Undang No.22/1948 dikeluarkan pada tanggal 10 Juli 1948 yang


dimaksudkan sebagai pengganti UU 1/1945 yang dianggap sudah tidak
sesuai lagi dengan semangat kebebasan setelah kemerdekaan. Undang-
Undang No.22/1948 hanya mengatur mengenai daerah otonom dan sama
sekali tidak menyinggung daerah administratip.

UU tersebut hanya mengakui 3 tingkatan daerah otonom yaitu; Provinsi,


Kabupaten atau Kotamadya dan terakhir Desa atau Kota Kecil. Kekuasaan
Eksekutip dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan
pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan Daerah
(DPD). Kepala Daerah bertindak selaku Ketua DPD. Kepala Daerah diangkat
oleh Pemerintah dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD.  Walaupun
demikian terdapat klausul dalam pasal 46 UU 22/1948 yang memungkinkan
Pemerintah untuk mengangkat orang-orang, yang umumnya diambil dari
Pamong Praja untuk menjadi Kepala Daerah. Melalui klausul tersebut
pemerintah sering menempatkan para calon yang dikehendaki tanpa harus
mendapatkan persetujuan DPRD.

DPD yang menjalankan urusan pemerintahan daerah bertanggung jawab


kepada DPRD baik secara kolektif maupun sendiri-sendiri. Kondisi tersebut
merupakan cerminan dari praktek demokrasi parlementer yang dianut pada
masa tersebut. Pada sisi lain Kepala Daerah tetap menjalankan dwifungsi;
sebagai ketua DPD pada satu sisi dan sebagai wakil Pusat di daerah pada sisi
yang lain. Sebagai alat Pusat, Kepala Daerah mengawasi DPRD dan DPD,
sedangkan sebagai Ketua DPD, ia bertindak selaku wakil dari Daerah yang
bersangkutan. Posisi ini bisa jadi menimbulkan  dilema, manakala terdapat
perbedaan antara kepentingan Daerah dan Pusat.

Tidak seperti UU 1/1945, UU 22/1948 secara jelas menyatakan urusan-


urusan yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah (otonomi materiil)
seperti prinsip Ultra Vares yang diterapkan pada Pemerintah Daerah di
Inggris. Terdapat 15 jenis urusan yang diserahkan kepada Pemerintah
Daerah tanpa melihat tingkatannya. Bahkan kota Kecil sebagai Pemerintah
Daerah Tingkat III mempunyai urusan yang sama dengan urusan Pemerintah
Daerah tingkat atasnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian otonomi
mengenyampingkan kemampuan riil dari pemerintah daerah. Keinginan
memberikan otonomi lebih didasarkan kepada pertimbangan politis
dibandingkan pertimbangan efisiensi dan efektifitas.

Walaupun UU 22/1948 menyiratkan keinginan untuk memberikan aksentuasi


pada prinsip desentralisasi, kebijaksanaan ini tetap belum cukup untuk
melonggarkan kontrol Pusat terhadap daerah. Ada dua alasan pokok kenapa
Pusat tetap mempertahankan kontrol yang kuat terhadap Daerah.

Pertama, kebanyakan Daerah pada masa tersebut masih dibawah kontrol


Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Belanda telah merubah
daerah-daerah yang didudukinya kembali menjadi negara-negara bagian
dibawah sistem Federal. Sedangkan wilayah Republik Indonesia hanya
terbatas pada Jawa Tengah, sebagian Sumatra, dan Kalimantan. UU 22/1948
hanya berlaku pada wilayah Republik, sedangkan daerah-daerah dibawah
sistem Federal diatur sistim Pemerintahan Daerahnya menurut UU
No.44/1950.

Kedua, sistim pemerintahan negara Republik Indonesia pada waktu itu


berdasarkan sistem Parlementer. Terjadi persaingan politik yang cukup
sengit pada waktu itu dari berbagai partai politik yang pada dasarnya
melemahkan persatuan Indonesia. Pemberian otonomi yang tinggi
cenderung memicu gerakan separatisme dalam kondisi politik yang tidak
stabil.

3). Undang Undang Nomor.1 Tahun 1957


Apabila UU 1/1945 lebih menekankan pada aspek Dekonsentrasi, dan UU
22/1948 pada aspek desentralisasi, maka UU 1/1957 ditandai dengan
penekanan yang lebih jauh lagi kearah Desentralisasi. UU 1/1957 adalah
produk dari sistem parlemen Liberal hasil dari Pemilihan Umum pertama
tahun 1955. Partai-Partai politik di Parlemen menuntut adanya pemerintah
daerah yang lebih demokratik. Keadaan tersebut telah menimbulkan
keresahan di kalangan Pamong Praja yang bertugas melaksanakan urusan-
urusan Pemerintah Pusat di daerah. Kelompok Pamong Praja menurut
Peraturan Pemerintah No.27 tahun 1956 terdiri dari Gubernur, Residen,
Bupati, Wedana, dan Asisten Wedana atau Camat (Suryaningrat, 1980).

Meskipun terdapat dorongan yang sangat kuat untuk meluaskan otonomi


daerah, pada kenyataannya kewenangan yang dilimpahkan kepada
pemerintah Daerah tetaplah terbatas. Dari 15 urusan yang telah diserahkan
ke daerah sama seperti urusan yang dilimpahkan berdasarkan UU 22/1948,
sampai dengan tahun 1958 hanya baru 7 urusan yang sebenarnya
diserahkan kepada Propinsi. Penyebabnya adalah bahwa pelimpahan urusan
harus dilakukan dengan Peraturan Pemerintah dan prosedur tersebut
memakan waktu yang sangat lama.

Sistem Pemerintahan Daerah menurut UU 1/1957 adalah hampir sama


dengan pengaturan dalam UU 22/1948. Pemerintah Daerah terdiri dari DPRD
dan DPD. Anggota DPD dipilih dari DPRD dan bertanggung jawab kepada
DPRD. Kepala Daerah bertindak selaku ketua DPD, namun kekuasaan
tertinggi d daerah terletak ditangan DPRD. DPRD membuat kebijakan daerah
dan DPD bertugas untuk melaksanakannya.

Perbedaannya dengan UU 22/1948 terletak pada peranan yanng dijalankan


oleh Kepala Daerah. Kepala Daerah hanya berperan selaku alat daerah dan
tidak bertanggung jawab kepada Pusat. Kepala Daerah dan DPD baik secara
sendiri-sendiri maupun secara kolektip bertanggung jawab kepada DPRD.
Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, namun sebelum diangkat ia harus
mendapatkan pengesahan dari Presiden untuk Daerah Tingkat I dan Menteri
Dalam Negeri untuk Daerah Tingkat II dan Tingkat III.

Sistem ini mendapatkan tantangan yang keras terutama dari pihak Pamong
Praja dan Angkatan Darat. Mereka menuntut diadakannya evaluasi kembali
terhadap otonomi daerah, posisi yang jelas untuk Pamong Praja,
pengawasan yang efektip terhadap pemerintah daerah, dan larangan
terhadap pegawai negeri untuk ikut dalam partai politik. Mereka juga
menyarankan bahwa bila Kepala Daerah tidak menjadi wakil Pusat di daerah,
alternatifnya haruslah ada pejabat-pejabat Pusat di daerah seperti Gubernur,
Bupati, Walikota untuk menjalankan urusan-urusan Pusat di Daerah
(Syafrudin, 1976).
UU 1/1957 telah menyebabkan dualisme kepemimpinan di daerah. Pertama,
Kepala Daerah bersama-sama DPD bertindak selaku Eksekutip daerah yang
bertanggung jawab kepada DPRD dan mereka bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan pemerintahan daerah sehari-hari. Pada sisi lain, Gubernur,
Bupati dan Walikota yang bertanggung jawab kepada Pusat mempunyai
tanggung jawab melaksanakan urusan-urusan Pusat yang ada di Daerah.
Dalam kenyataan, rakyat lebih mengenal jabatan-jabatan Gubernur, Bupati
dan Walikota dibandingkan jabatan Kepala Daerah dalam mengacu kepada
pimpinan pemerintahan di daerah. Akibatnya timbul kekaburan di
masyarakat mengenai siapa figur Gubernur atau Bupati/walikota; apakah
mereka agen pusat atau ? Bahkan anggota DPD seringkali mengklaim diri
mereka sebagai Wakil Bupati atau Wakil Walikota (Syafrudin, ibid). Inilah
alasan utama mengapa UU 1/1957 dianggap telah menciptakan dualisme
kepemimpinan di daerah.

Dalam kjenyataannya, ditingkat nasional, sistem pemerintahan parlementer


tidak sesuai dengan kondisi Indonesia pada waktu itu yang mengakibatkan
tidak stabilnya pemerintahan nasional yang ditandai dengan jatuh
bangunnya berbagai Kabinet Pemerintahan sedangkan pembangunan
ekonomi terlupakan. Pemberontakan bersenjata meletus diberbagai daerah
seperti Sumatra Barat, Aceh, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Maluku yang
disebabkan karena ketidak-puasan kepada pemerintahan Pusat yang lemah.

Keinginan untuk menciptakan pemerintahan yang demokratik tidak diiringi


dengan kedewasaan sosial dan politik. Dalam kekacauan politik tersebut,
kabinet dibawah Perdana Menteri Juanda mengundurkan diri dan keadaan
daruratpun diumumkan. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno
mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya yaitu; mencabut berlakunya UUDS
1950, membubarkan Kabinet, dan kembali kepada UUD 1945. Pada saat
tersebut dimulailah apa yang disebut Demokrasi Terpimpin (Guided
Democracy).

Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959

Pada tanggal 16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden,
Pemerintah mengeluarkan Penpres 6/1959 untuk mengatur Pemerintahan
Daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres tersebut diatur
bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala
Daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutip daerah dan wakil
Pusat di daerah. Kepala Daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai
eksekutip daerah ia bertanggung jawab kepada DPRD, namun tidak bisa
dipecat oleh DPRD. Sedangkan sebagai wakil Pusat dia bertanggung jawab
kepada Pemerintah Pusat.

Kepala daerah diusulkan oleh DPRD, tapi diangkat oleh Presiden untuk
Daerah Tingkat I, dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Kepala Daerah
Tingkat II. Sebagai eksekutip daerah Kepala daerah dibantu oleh Badan
Pemerintah Harian (BPH) yang anggota-anggotanya dipilih dari DPRD, namun
harus bebas dari partai politik.

Penpres 6/1959 menandai beralihnya kebijaksanaan pemerintahan daerah


kearah prisip Dekonsentrasi. Kekuasaan Daerah pada dasarnya terletak
ditangan Kepala Daerah, dan Pusat mempunyai kontrol yang kuat terhadap
Kepala Daerah yang umumnya direkrut dari Pamong Praja. Meskipun DPRD
mempunyai hak untuk mengusulkan calon-calon Kepala Daerah, Presiden
ataupun Menteri Dalam Negeri mempunyai hak untuk menolaknya dan
mengangkat calon yang direstui. Golongan Pamong Praja mendominasi
jabatan Bupati dan Walikota. Pada awal tahun 1960an pada waktu semua
jabatan Kepala Daerah terisi, dari 238 Kepala Daerah, 150 orang atau 63%
berasal dari Pamong Praja (Legge, 1961).

Arus balik dari peranan Pamong Praja yang dominan tersebut terjadi dengan
dikeluarkannya Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 yang menyatakan
pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Pemerintah Daerah.
Sebagai tindak lanjutnya Pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah
Nomor 50 Tahun 1963 tentang Penyerahan Urusan-Urusan Pusat yang
sebelumnya dijalankan oleh Pamong Praja kepada Pemerintah Daerah.
Urusan-Urusan yang dijalankan oleh Residen diserahkan kepada Gubernur,
dan urusan-rusan yan dijalankan oleh Wedana diserahkan kepada Bupati
atau Walikota, sedangkan posisi Asisten Wedana atau Camat tetap
dipertahankan. Kemudian Undang-Undang No.18 Tahun 1965 dikeluarkan
untuk mengganti Penpres 6/1959. Ini merupakan terjadinya arus balik dari
dekonsentrasi kearah desentralisasi. Hal ini juga merupakan refleksi dari
menguatnya peranan partai-partai politik dalam percaturan politik nasional.

4.) Undang Undang Nomor 18 tahun 1965

Pada pertengahan dekade 1960an telah timbul tntutan yang semakin kuat
untuk merevisi sistem Pemerintahan Daerah agar sejalan dengan semangat
Demokrasi Terpimpin dan Nasakom yaitu konsep politik yang dikeluarkan
oleh Presiden Sukarno untuk mengakomodasikan tiga kekuatan politik
terbesar pada waktu itu yaitu kelompok partai Nasionalis, Agama dan
Komunis.

Berdasarkan UU 18/1965, Kepala Daerah tetap memegang peran ganda


yaitu sebagai pimpinan daerah dan wakil Pusat di daerah. Meskipun prinsip
desentralisasi dan dekonsentrasi dianut dalam sistem tersebut, namun
Dekonsentrasi hanyalah dianggap sebagai pelengkap (supplement) saja
walaupun diberi embel-embel vital.

Perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam sistem pemerintahan


daerah adalah bahwa Kepala Daerah bukanlan lagi bertindak sebagai Ketua
DPRD, dan dia juga diijinkan menjadi anggota partai politik. Secara
struktural, terdapat tiga tingkatan Pemerintah Daerah yang otonom yaitu;
Propinsi, Kabupaten atau Kotamadya dan Kecamatan. Otonomi yang
diberikan kepada Daerah adalah otonomi nyata dan seluas-luasnya. Hal ini
hampir serupa dengan otonomi dalam UU 1/1957.

UU 18/1965 merupakan arus balik dari kecenderungan sentralisasi menuju


ke desentralisasi. Hal ini nampak dari kebebasan yang diberikan kepada
Kepala Daerah dan BPH untuk menjadi anggota partai politik tertentu.
Dengan demikian kesetiaan atau loyalitas dari para eksekutip daerah tidak
lagi semata-mata hanya kepada Pemerintah Pusat.

Keadaan politik secara nasional pada waktu itu menunjukkan bahwa partai-
partai politik mendapatkan kekuasaannya kembali setelah hampir bangkrut
pada akhir tahun 1950an. Partai Politik berusaha memperoleh akses ke
kelompok eksekutif daerah melalui adanya ketentuan yang membolehkan
para eksekutip tersebut untuk menjadi anggota partai. Telah terjadi tuntutan
yang kuat untuk memberikan yang seluas-luasnya kepada Daerah dan
tuntutan pendirian Daerah Otonomi Tingkat III yang berbasis pada
Kecamatan. Kondisi tersebut memungkinkan Parpol untuk mendapatkan
dukungan politis dari grass-roots dimana sebagian terbesar dari masyarakat
bertempat tinggal.

Pada sisi lain terasa bahwa Demokrasi Terpimpin ditujukan untuk


mengalihkan perhatian masyarakat dari kemiskinan dan kesulitan ekonomi
kearah entusias politik dan konfrontasi seperti dengan Malaysia dan negara-
negara Barat pada umumnya. Kondisi tersebut terjadi sampai dengan
meletusnya Kudeta yang gagal dari PKI melalui Gerakan 30 September 1965.
Era Demokrasi Terpimpin telah berakhir dan diganti oleh era Pemerintahan
Orde Baru. Dalam pengaturan Pemerintahan Daerah UU 18/1965 diganti
dengan UU 5/1974 yang berlaku sampai saat ini.

Dua hal pokok dapat ditarik dari pemahaman sistem pemerintahan daerah
berdasarkan pendekatan historis. Pertama, pada masa sebelum
kemerdekaan, basis pemerintahan daerah yang relatif modern dibentuk oleh
Pemerintah Kolonial Belanda, namun karakter pemerintahan daerah tersebut
lebih menekankan pada penerapan konsep dekonsentrasi dibandingkan
desentralisasi. Walaupun kemudian diperkenalkan adanya Dewan Daerah
yang anggota-anggotanya diangkat dari tokoh-tokoh masyarakat dan
golongan berpendidikan, namun konsep pemilihan belum diadakan. Ini
berarti Pemerintah Kolonial Belanda lebih menekankan pada tujuan efisiensi
dibandingkan pada tujuan politis dengan menjadikan pemerintah daerah
sebagai wahana  politik masyarakat. Pada sisi berikutnya, ketika tentara
pendudukan Jepang berkuasa, mereka secara prinsip tidak mengadakan
perubahan sistem yang mendasar, namun lebih bersifat mneruskan sistem
yang diwariskan oleh pihak belanda.
Sistem pemerintahan daerah setelah masa kemerdekaan lebih menekankan
kepada tujuan-tujuan politis dibandingkan efisiensi. Hal ini disebabkan
karena sebagian besar dari para pejabat yang memegang posisi-posisi
penting di pemerintahan daerah belum mempunyai pengalaman yang
memadai karena terbatasnya karir yang mereka peroleh pada masa sebelum
kemerdekaan. Kurangnya profesionalisme namun kuat dalam ide-ide politis
telah menyebabkan tidak efisiennya penyelenggaraan pemerintahan daerah
pada waktu itu. Kuntjaraningrat mengatakan bahwa terjadi sikap-sikap
menerabas dari pejabat-pejabat Indonesia setelah perang kemerdekaan.
Sifat-sifat ini merupakan warisan dari jaman pendudukan Jepang, ketika
banyak jabatan-jabatan penting yang dulunya dipegang oleh pejabat
Belanda telah diambil alih oleh orang-orang Indonesia tanpa pengalaman
dan profesionalisme yang memadai. Sifat-sifat tersebut muncul lagi pada
masa pemerintahan Sukarno yang memungkinkan pejabat-pejabat yang
kurang berpengalaman menduduki jabatan-jabatan yang lebih tinggi
(Kuntjaraningrat, 1987). Pejabat-pejabat tersebut berusaha membuat
perubahan-perubahan dalam sistem pemerintahan dengan memasukkan ide-
ide demokrasi, namun hasilnya jauh dari memuaskan yang pada gilirannya
menyebabkan kegagalan baik di tingkat nasional maupun daerah.

Isu kritis semenjak masa kemerdekaan adalah bagaimana pemerintah pusat


menjalankan kontrol terhadap daerah. Dann Suganda mengatakan bahwa
baik UU 22/1948 maupun UU 1/1957 berusaha menghilangkan dualisme
dalam pemerintahan daerah; antara DPRD dan DPD pada satu sisi dengan
Kepala Daerah pada sisi yang lain. Kedua UU tersebut mengisyaratkan
bahwa pemerintah daerah haruslah terdiri dari DPRD dan DPD dan Kepala
Daerah hendaknya jangan menjadi wakil pemerintah pusat di daerah
(Suganda, 1985).

Namun dalam banyak kasus, Pusat selalu menghendaki Kepala Daerah


sebagai wakil pusat di daerah. Kepala Daerah sering berada dalam posisi
delematik. Dia harus membagi loyalitasnya kepada dua pihak; pihak Pusat
dan pihak Daerah. Untuk memenangkan loyalitasnya, Pusat selalu
mencampuri pada pengangkatan Kepala Daerah dengan justifikasi bahwa
Kepala Daerah adalah juga sebagai alat Pusat sehingga Pusat mempunyai
hak turut campur dalam proses pengangkatannya. Bargaining power yang
lebih kuat dari Pusat dalam banyak hal telah menyebabkan kuatnya loyalitas
Kepala daerah kepada Pusat.

Apabila kita mencoba mengadakan suatu analisis terhadap perkembangan


otonomi sejak kemerdekaan Indonesia 1945, terlihat bahwa perubahan2
konsepsi otonomi banyak ditentukan oleh perubahan2 politik yang
diciptakan oleh elite yang berkuasa pada waktu itu. Hal ini terlihat jelas
dalam pengaturan pemerintahan daerah dalam UU no.1/1945, UU 22/1948,
UU no.1/1957, Penpres 6/1959, UU 18/1965, dan terakhir UU no.5 / 1974.
Ciri penting mengenai otonomi daerah sejak kemerdekaan 1945 adalah
adanya perubahan titik berat kebijaksanaan pada desentralisasi dan
dekonsentrasi. Perubahan titik berat ini tidak terlepas dari perubahan politik
nasional yang terjadi.

Apabila UU no.1/1945 menitik beratkan pada aspek dekonsentrasi, maka UU


no.22/1948 lebih mengarah pada titik berat desentralisasi. Titik sentral dari
perubahan ini adalah pada peran yang diberikan terhadap Kepala Daerah.
Selalu ada dua peran (dual roles) yang diberikan kepada figur Kepala Daerah
yaitu sebagai alat pusat dan alat Daerah. Dalam UU no.1/1957, ditentukan
bahwa Kepala Daerah hanya bertanggung jawab jawab kepada DPRD,
sedangkan dilain pihak ada juga figur Bupati atau Gubernur sebagai alat
Pusat di daerah. Keadaan ini sempat menimbulkan terjadinya dualisme
struktural.

Perubahan sebaliknya terjadi pada waktu dikeluarkannya Penpres 6/1959


yang lebih memberikan titik berat pada aspek dekonsentrasi. Kepala Daerah
melalui Penpres ini diangkat oleh Pusat terutama dari kalangan Pamong
Praja (1961).Perubahan mendasar terjadi lagi dengan diundangkannya UU
18/1965 yang lebih memberikan titik berat kepada desentralisasi dengan
konsep otonomi yang seluas-luasnya, sedangkan dekonsentrasi hanya
sebagai komplemen saja. Bahkan pada waktu itu timbul tuntutan untuk
pembentukan Daerah Tk.III. Hal ini terjadi karena besarnya dominasi partai
politik dalam penentuan kebijaksanaan otonomi.

Setelah terjadinya G.30.S PKI, pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam
pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan
dikeluarkannya UU.5/1974. Tiga prinsip utama yang mendasari UU.5/1974
yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan (medebewind). Isu
pembangunan menjadi isu sentral dibandingkan isu politik. Terasa seolah-
olah telah terjadi proses depolitisasi Pemda dengan menggantikannya
dengan isu pembangunan.

Dari pendekatan historis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pada awal
kemerdekaan tujuan politis dari desentralisasi lebih diutamakan
dibandingkan tujuan administratip atau ekonomisnya. Padahal kebanyakan
pejabat daerah pada waktu itu kurang mempunyai kemampuan (skill) untuk
mencapai tujuan2 administratip dan ekonomis dari keberadaan Pemda
tersebut. Kurangnya kemampuan profesionalisme dan kuatnya ide2 politis
telah menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam penyelenggaraan Pemda.
Gejala ini merupakan gejala umum di semua tingkatan pemerintahan di
Indonesia. Ketika jabatan2 tinggi yang tadinya dipegang oleh pejabat2
Belanda digantikan oleh orang2 Indonesia tanpa pengalaman dan keahlian
yang memadai, tapi kuat dalam ide2 politis telah menyebabkan rendahnya
performance birokrasi pemerintahan baik di tingkat nasional maupun lokal
(Kuncaraningrat, 1987).
Dari pendekatan historis ini isu sentral yang dapat ditarik adalah bagaimana
pemerintah pusat selalu berusaha memegang kendali/ kontrol terhadap
daerah. Dalam banyak hal, pemerintah pusat berusaha mengontrol daerah
melalui figur Kepala Daerah yang didudukkan sebagai alat pusat dan alat
daerah. Untuk memenangkan kesetiaan Kepala Daerah kepada pusat dalam
menjalankan dual roles nya, pusat seringkali sangat dominan dalam
penentuan/ pengangkatan Kepala Daerah. Kuatnya bargaining position pusat
dalam penentuan Kepala Daerah ini telah mendorong loyalitas Kepala
Daerah yang lebih tinggi kepada pusat dibandingkan kepada daerah. Aspek
positip dari kebijaksanaan ini adalah adanya kepastian bahwa program2
ataupun arahan pusat terlaksana secara aman di daerah. Pada tahap2 awal
kemerdekaan pendekatan ini sangat berguna untuk menggalang persatuan
dan kesatuan bangsa yang masih sangat rawan pada waktu itu (tujuan
integratif). Aspek negatipnya (terutama setelah tujuan integratif tercapai)
adalah pada diri Kepala Daerah sendiri, yang sering dihadapkan pada suatu
dilemma manakala dihadapkan pada situasi harus memilih antara
kepentingan pusat dan daerah. Ke-Pusat dia dituntut loyalitas, ke daerah
dia dihadapkan pada akauntabilitas.

2. Era Demokrasi Liberal (1945-1959)

Periode 1949 -1959 merupakan masa berkiprahnya partai-partai politik pada


pemerintahan Indonesia. Pada masa ini terjadi pergantian kabinet, partai-
partai politik terkuat mengambil alih kekuasaan. Dua partai terkuat pada
masa itu (PNI dan Masyumi) silih berganti memimpin kabinet. Hampir setiap
tahun terjadi pergantian kabinet. Masa pemerintahan kabinet tidak ada yang
berumur panjang, sehingga masing-masing kabinet yang berkuasa tidak
dapat melaksanakan seluruh programnya. Keadaan ini menimbulkan
ketidakstabilan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan keamanan.
Kabinet-kabinet yang pemah berkuasa setelah penyerahan kedaulatan dari
tangan Belanda adalah sebagai berikut: Kabinet natsir (6 September 1950-
21 Maret 1951). Setelah bentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS)
dibubarkan, kabinet pertama yang memerintah Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah Kabinet Natsir. Kabinet Natsir merupakan kabinet koalisi
yang dipimpin oleh Masyumi. PNI sebagai partai kedua terbesar lebih
memilih kedudukan sebagai oposisi. PNI menolak ikut serta dalam kabinet,
karena merasa tidak diberi kedudukan yang sesuai dengan kekuatan yang
dimilikinya.Yahya (2005: 72) menjelaskan kabinet Natsir mendapat
dukungan dari militer dan dari tokoh-tokoh terkenal yang memiliki keahlian
dan reputasi tinggi seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Mr. Asaat, Mr.
Moh. Roem, Ir. Djuanda dan Dr.Sumitro Djojohadikusumo. Program pokok
dari Kabinet Natsir adalah:1. usaha keamanan dan
ketentraman.2.Konsolidasi dan menyempurnakan
pemerintahan.3.Menyempurnakan organisasi angkatan
perang.4.Mengembangkan dan memperkuat ekonomi
kerakyatan.5.Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian BaratPada masa
pemerintahan dan kekuasaan Kabinet Natsir terjadi pemberontakan hampir
di seluruh wilayah Indonesia. Masalah dalam keamanan negeri, seperti
Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, dan Gerakan RMS.
Perundingan-perundingan masalah Irian Barat juga mulai dirintis, namun
mengalami jalan buntu. Oleh karena itu, muncul mosi tidak percaya
terhadap Kabinet Natsir. PNI juga tidak menyetujui berlakunya Peraturan
Pemerintah No. 39 tahun 1950 tentang DPRD yang dianggap
menguntungkan Masyumi. Mosi itu disampaikan kepada parlemen tanggal
22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21
Maret 1951 Perdana Menteri Natsir mengembalikan mandatnya kepada
presiden.

3. Era Demokrasi Terpimpin (1959-1966)


Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Dalam dekrit tersebut, Presiden menyatakan
membubarkan Dewan Konstituante dan kembali pada Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945. Dekrit presiden tersebut mengakhiri era
demokrasi parlementer. Dekrit Presiden juga membawa dampak sangat
besar dalam kehidupan politik nasional. Era baru demokrasi dan
pemerintahan Indonesia dimulai yaitu suatu konsep demokrasi yang oleh
Presiden Soekarno disebut Demokrasi Terpimpin. Maksud konsep terpimpin
ini dalam Pandangan Soekarno adalah dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyawaratan dalam permusyawaratan dan perwakilan.
Demokrasi terpimpin merupakan pembalikan total dari proses politik yang
berjalan pada masa demokrasi parlementer. Yang disebut demokrasi pada
masa ini ialah perwujudan kehendak presiden dalam rangka menempatkan
dirinya sebagai satu-satunya institusi yang paling berkuasa di Indonesia

Kinerja Dewan Konstituante yang berlarut-larut membawa Indonesia ke


dalam persoalan politik yang pelik. Kondisi negara serta tidak pasti.
Landasan konstitusional tidak mempunyai kekuatan hukum tetap karena
hanya bersifat sementara. Situasi seperti ini berpengaruh besar terhadap
situasi keamanan nasional. Karena membahayakan persatuan dan kesatuan
nasional. Presiden Soekarno sebagai kepala negara melihat situasi ini sangat
membahayakan bila terus dibiarkan. Oleh karena itu untuk mengeluarkan
bangsa dari persoalan pelik tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan
dekrit pada 5 Juli 1959 yang selanjutnya disebut Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
4. Era Orde Baru (1966-1998)
Permasalahan pemerintahan di era Orde Lama, kurang mampu diredam
Orde Baru. Orde Baru hanya menyelesaikan permasalahan terkait
pengorganisasian militer, namun pada saat yang sama justru semakin
memperparah dua permasalahan terpenting yaitu mengembangkan sistem
pemerintahan dan keuangan daerah yang semakin tersentralisir, dan
semakin memperlebar dikotomi struktur ekonomi yang fundamental antara
Jawa dan Luar Jawa.

Sentralisasi sumberdaya politik dan ekonomi di tangan sekelompok kecil elit


di pemerintah pusat adalah konsekuensi yang melekat dari sistem politik
otoritarian tersebut. Bahkan, sentralisasi ini masih diperparah lagi dengan
dikembangkannya uniformitas supra- dan infra-struktur politik.

Orde Baru mengatur pemerintahan lokal secara detail dan diseragamkan


secara nasional. Organ-organ supra-struktur politik lokal diatur secara
terpusat dan seragam tanpa mengindahkan heterogenitas ‘sistem politik’
lokal yang telah eksis jauh sebelum terbentuknya konsep kebangsaan
Indonesia. Melalui strategi korporatisme negara, pemerintah Orde Baru
melakukan penunggalan kelompok kepentingan yang dikontrol secara
terpusat. Para buruh di seluruh nusantara hanya diakui eksistensinya apabila
bernaung di bawah SPSI. Demikian pula halnya untuk pegawai negeri yang
telah disediakan Korpri, untuk guru telah disediakan PGRI, untuk petani telah
disediakan HKTI, untuk pengusaha telah disediakan KADIN, untuk para
wartawan telah disediakan PWI, dan lain-lain. Kondisi tersebut diperparah
dengan adanya sentralisasi kelembagaan kelompok kepentingan dan
kemudian menjadi salah satu mesin politik untuk membangun dukungan
masyarakat (walaupun mungkin semu) kepada pemerintah melalui
organisasi payung yang dinamakan Golongan Karya (King 1982, Reeve
1990).

Dengan kata lain, dalam era Orde Baru telah terjadi proses negaraisasi
(state formation) secara luar biasa yang berusaha menisbikan eksistensi
politik lokal yang telah lama berakar di masyarakat. Hal ini menjadi semakin
efektif melalui keterlibatan militer dalam day-to-day politics yang secara
intens menumbuhkan suasana ketakutan (baik represi ideologis maupun
fisik) di kalangan komunitas politik yang berusaha menolak dominasi pusat.
Administrasi negara juga terlalu banyak merambah di dalam kehidupan
privat, seperti pengurusan Kartu Tanda Penduduk, Surat Kelakuan Baik,
Keterangan Bersih Lingkungan, dan lain-lain yang menciptakan
ketergantungan individu kepada negara (Antlov 1994).

Mekanisme kontrol politik secara nasional tersebut bahu-membahu dengan


sentralisasi pengelolaan sumber daya ekonomi secara nasional yang sangat
bias pusat (Jakarta, dan kemudian Jawa). Dengan wacana pembangunan
nasional, pemerataan pembangunan antar daerah dan integrasi nasional,
pemerintah melakukan pengelolaan sumber daya ekonomi daerah secara
nasional. Pertambangan, hutan, beberapa hasil laut dan beberapa jenis
perkebenan dikelola secara nasional yang hasilnya dibawa secara penuh ke
Jakarta.

Mekanisme sentralistis semacam ini terus berkepanjangan karena dua hal


utama. Pertama, pada tingkat nasional, elit politik pembuat keputusan tidak
mempunyai basis politik lokal sekali. Kekuatan eksekutif nasional (yang bisa
jadi hanya Lembaga Kepresidenan, dan bahkan hanya Suharto saja) yang
menjadi aktor tunggal dalam pentas politik nasional tidak berakar dari
bawah, dan bahkan tidak membutuhkan dukungan politik dari masyarakat
untuk kelangsungan kekuasaan politik mereka. Kedua, pada tingkat daerah,
masyarakat politik lokal teralienasi dari mekanisme politik yang telah
sepenuhnya ternasionalisasi. Bahkan juga, arena politik lokal telah
dimonopoli oleh orang pusat yang ada di daerah.

Karena supra-struktur dan infra-struktur politik lokal telah mengalami


negaraisasi secara substansial, maka praktis tidak ada resistensi politik
daerah yang memadai terhadap sentralisasi pengelolaan sumber daya
ekonomi yang terpusat ini. Dengan kata lain, secara ringkas bisa dikatakan
bahwa berbagai sosok bias pusat dalam distribusi sumber daya politik dan
ekonomi yang terjadi selama 32 tahun terakhir ini adalah produk dari sebuah
rejim politik otoritarian yang membangun legitimasi politiknya melalui
sentralisasi serta monopoli sumber daya politik dan ekonomi secara
nasional.

Namun, kerja politik yang sentralistis dan monolitis ini hanya mampu
memperbaiki keadaan sesaat dan bersifat semu belaka. Sinyal-sinyal
kegagalan pengaturan politik lokal Orde baru semakin mencolok ke
permukaan tatkala beberapa masyarakat daerah, terutama Irian Jaya dan
Aceh, menuntut perubahan mendasar dalam pengaturan politik lokal dan
dalam hubungan pusat-daerah di tahun 1997an. Bahkan, salah satu bentuk
tuntutan itu adalah tuntutan separatis untuk membentuk negara sendiri.
Tuntutan pembentukan negara sendiri atau melepaskan diri dari bagian
wilayah NKRI benar-benar terwujud yakni dengan lepasnya Propinsi Timor
Timur dari bagian wilayah NKRI melalui referendum pada era Presiden
Habibie.
Fakta-fakta tentang adanya tuntutan separatis yang akhirnya diwujudkan
melalui lepasnya Timor Timur dari wilayah Indonesia merupakan bukti
bahwa‘ketaatan’ komunitas politik lokal terhadap pusat yang terjadi selama
ini adalah sebuah ketaatan yang semu dan penuh keterpaksaan. Tentu saja
konsep negara-bangsa semacam ini sangat rentan terhadap gejolak. Tatkala
krisis ekonomi melanda Indonesia, tatkala reformasi politik digulirkan
masyarakat, dan tatkala pelanggaran HAM di Indonesia semakin menjadi
sorotan dunia, maka tatkala itulah proses pembusukan politik (bukan
pembangunan politik) Orde Baru mulai terangkat ke permukaan.

Akhirnya, desentralisasi atau otonomi daerahpada masa Orde Baru


bukannya tak ada sekali. Undang-undang No 5 tahun1974 tentang Pokok-
pokok Pemerintahan di Daerah telah mengatur bagaimana pola hubungan
antara pemerintah pusat dan pemerintah di daerah.

Namun, sebagaimana terwujud dalam praktiknya, UU tersebut tampaknya


lebih disusun dalam kerangka sentralisasi ketimbang merupakan sebuah
landasan bagi terlaksananya desentralisasi. Salah satu penjelasan UU
tersebut juga secara tegas mengatakan otonomi daerah pada hakekatnya
lebih merupakan kewajiban daripada hak, yaitu kewajiban daerah untuk ikut
melancarkan jalannya pembangunan.

5. Era Pemerintahan Daerah (Reformasi)


Bacharuddin Jusuf Habibie, adalah wakil presiden selama masa
jabatan presiden sebelumnya, Suharto. Dia menggantikan Suharto pada
tahun 1998 ketika Suharto turun dari kursi kepresidenan. Namun, hal ini
tidak mengakhiri sistem politik yang telah diterapkan selama Orde Baru.
Banyak orang Indonesia sangat mencurigai Habibie karena kedekatannya
dengan Suharto (yang telah menjadi sosok ayah bagi Habibie) dan fakta
bahwa dia adalah pemain penting dalam sistem patronase politik Suharto.
Penolakan Habibie untuk memerintahkan penyelidikan menyeluruh terhadap
harta kekayaan Suharto hanya memperkuat rasa ketidakpercayaan ini.

Habibie tidak memiliki pilihan lain selain meluncurkan program-program


reformasi. Dia akan melakukan "bunuh diri politik" jika tidak mematuhi
tuntutan masyarakat Indonesia itu. Selama masa kepresidenan Habibie, 30
undang-undang (UU) baru disetujui oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR), beberapa di antaranya ditandai dengan perbedaan-perbedaan
fundamental dengan perpolitikan di masa lampau.

Sejumlah tindakan reformasi penting adalah:


 Dimulainya kebebasan pers
 Pemberian izin pendirian partai-partai politik dan serikat-serikat buruh
baru
 Pembebasan tahanan-tahanan politik
 Pembatasan masa jabatan presiden menjadi dua periode lima tahun
 Desentralisasi kekuasaan ke daerah

Keputusan penting lainnya adalah penjadwalan pemilihan umum baru, yang


diselenggarakan pada bulan Juni 1999. Kendati begitu, parlemen belum
mempunyai niat untuk mengurangi pengaruh politik militer dan
memerintahkan penyelidikan terhadap kekayaan Suharto.

Indonesia memasuki masa peningkatan kekerasan di daerah. Jawa Timur


dilanda pembunuhan misterius (yang mungkin dilakukan oleh unit-unit
tentara) sementara kekerasan agama berkobar di Jakarta, Ambon (Maluku),
Kupang (Nusa Tenggara Timur) beserta Kalimantan Barat. Selain itu, ada tiga
daerah yang memberontak terhadap Pemerintah Pusat: Aceh (Sumatera),
Irian Jaya (Papua) dan Timor Timur.

Ini semua menghasilkan kondisi yang membuat para investor asing sangat
ragu-ragu untuk berinvestasi, sehingga menghambat pemulihan ekonomi
Indonesia. Tidak kalah penting adalah pembersihan sektor keuangan
Indonesia, yang telah menjadi jantung dari Krisis Keuangan Asia di akhir
tahun 1990-an. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), didirikan
pada Januari 1998, menjadi sebuah lembaga yang kuat yang melakukan
serangkaian kegiatan terpadu dan komprehensif mencakup masalah seperti
program liabilitas bank, pemulihan dana negara, restrukturisasi perbankan,
restrukturisasi pinjaman bank, dan penyelesaian sengketa kepemilikan
saham.

Kasus Timor Timur adalah salah satu hal yang menyebabkan banyak konflik,
baik di tingkat nasional maupun internasional. Timor Timur telah
mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1975 tetapi diinvasi oleh
Indonesia pada tahun berikutnya. Hal ini tidak mengakhiri keinginan Timor
Timur untuk merdeka. Habibie memiliki sikap terbuka terhadap
kemerdekaan Timor Timur. Dia menyatakan bahwa jika Timor Timur menolak
status provinsi otonomi khusus di Indonesia, maka Timor Timur dapat
merdeka.

Pernyataan Habibie ini tidak disetujui oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI)
yang sangat ingin mencegah pemisahan Timor Timur dari Indonesia.
Menurut pihak TNI, pemisahan Timor Timur itu berbahaya bagi persatuan
Indonesia karena dapat menyebabkan efek domino di provinsi-provinsi lain.
Diputuskan bahwa rakyat Timor Timur boleh membuat keputusan ini melalui
referendum. Hasil referendum ini adalah bahwa 78% pemilih memilih untuk
merdeka. Tentara Indonesia kemudian bereaksi dengan menyerang banyak
wilayah di Timor Timur, menewaskan lebih dari seribu orang.

Reputasi Habibie rusak parah akibat hilangnya kendali atas situasi politik di
Timor Timur. Meskipun unit tentara dan milisi sipil yang melakukan tindak
kekerasan ekstrim, Habibie secara pribadi dianggap bertanggung jawab
sebagai presiden yang menjabat. Selain itu, Habibie sendiri dikaitkan dengan
skandal korupsi besar yang melibatkan Bank Bali. Bank ini menerima dana
dari BPPN untuk rekapitalisasi tetapi - diduga - hampir setengah dari dana
tersebut digunakan oleh tim kampanye Habibie.

Nama : Yerico Christian Nugroho


Kelas :C
Npm : 18.4301.267
Dosen : Alda Rifada Rizqi, S.H.,M.H.

Anda mungkin juga menyukai