Hk.Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah yang bersifat relatif otonom pertama kali didirikan oleh
Pemerintah Kolonial Belanda pada awal abad ke 20 melalui Desentralisasi
Wet 1903. Undang-undang ini dimaksudkan hanya mencakup wilayah Jawa
dan Madura saja. Sebelum tahun 1903, seluruh wilayah Indonesia diperintah
secara sentral dibawah Gubernur Jenderal sebagai Wakil Raja Belanda
ditanah jajahan. Disamping pemerintahan yang dijalankan oleh pihak
kolonial Belanda, terdapat juga daerah-daerah yang disebut ‘Swapraja’ yang
diperintah oleh raja-raja pribumi setempat. Raja-raja tersebut diakui haknya
untuk memerintah di wilayahnya asalkan mereka mengakui dan tunduk
kepada kekuasaan Pemerintah kolonial atas wilayah mereka.
Sistem ini mendapatkan tantangan yang keras terutama dari pihak Pamong
Praja dan Angkatan Darat. Mereka menuntut diadakannya evaluasi kembali
terhadap otonomi daerah, posisi yang jelas untuk Pamong Praja,
pengawasan yang efektip terhadap pemerintah daerah, dan larangan
terhadap pegawai negeri untuk ikut dalam partai politik. Mereka juga
menyarankan bahwa bila Kepala Daerah tidak menjadi wakil Pusat di daerah,
alternatifnya haruslah ada pejabat-pejabat Pusat di daerah seperti Gubernur,
Bupati, Walikota untuk menjalankan urusan-urusan Pusat di Daerah
(Syafrudin, 1976).
UU 1/1957 telah menyebabkan dualisme kepemimpinan di daerah. Pertama,
Kepala Daerah bersama-sama DPD bertindak selaku Eksekutip daerah yang
bertanggung jawab kepada DPRD dan mereka bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan pemerintahan daerah sehari-hari. Pada sisi lain, Gubernur,
Bupati dan Walikota yang bertanggung jawab kepada Pusat mempunyai
tanggung jawab melaksanakan urusan-urusan Pusat yang ada di Daerah.
Dalam kenyataan, rakyat lebih mengenal jabatan-jabatan Gubernur, Bupati
dan Walikota dibandingkan jabatan Kepala Daerah dalam mengacu kepada
pimpinan pemerintahan di daerah. Akibatnya timbul kekaburan di
masyarakat mengenai siapa figur Gubernur atau Bupati/walikota; apakah
mereka agen pusat atau ? Bahkan anggota DPD seringkali mengklaim diri
mereka sebagai Wakil Bupati atau Wakil Walikota (Syafrudin, ibid). Inilah
alasan utama mengapa UU 1/1957 dianggap telah menciptakan dualisme
kepemimpinan di daerah.
Pada tanggal 16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden,
Pemerintah mengeluarkan Penpres 6/1959 untuk mengatur Pemerintahan
Daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres tersebut diatur
bahwa Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Kepala
Daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutip daerah dan wakil
Pusat di daerah. Kepala Daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai
eksekutip daerah ia bertanggung jawab kepada DPRD, namun tidak bisa
dipecat oleh DPRD. Sedangkan sebagai wakil Pusat dia bertanggung jawab
kepada Pemerintah Pusat.
Kepala daerah diusulkan oleh DPRD, tapi diangkat oleh Presiden untuk
Daerah Tingkat I, dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Kepala Daerah
Tingkat II. Sebagai eksekutip daerah Kepala daerah dibantu oleh Badan
Pemerintah Harian (BPH) yang anggota-anggotanya dipilih dari DPRD, namun
harus bebas dari partai politik.
Arus balik dari peranan Pamong Praja yang dominan tersebut terjadi dengan
dikeluarkannya Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960 yang menyatakan
pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Pemerintah Daerah.
Sebagai tindak lanjutnya Pemerintah mengeluarkan Penetapan Pemerintah
Nomor 50 Tahun 1963 tentang Penyerahan Urusan-Urusan Pusat yang
sebelumnya dijalankan oleh Pamong Praja kepada Pemerintah Daerah.
Urusan-Urusan yang dijalankan oleh Residen diserahkan kepada Gubernur,
dan urusan-rusan yan dijalankan oleh Wedana diserahkan kepada Bupati
atau Walikota, sedangkan posisi Asisten Wedana atau Camat tetap
dipertahankan. Kemudian Undang-Undang No.18 Tahun 1965 dikeluarkan
untuk mengganti Penpres 6/1959. Ini merupakan terjadinya arus balik dari
dekonsentrasi kearah desentralisasi. Hal ini juga merupakan refleksi dari
menguatnya peranan partai-partai politik dalam percaturan politik nasional.
Pada pertengahan dekade 1960an telah timbul tntutan yang semakin kuat
untuk merevisi sistem Pemerintahan Daerah agar sejalan dengan semangat
Demokrasi Terpimpin dan Nasakom yaitu konsep politik yang dikeluarkan
oleh Presiden Sukarno untuk mengakomodasikan tiga kekuatan politik
terbesar pada waktu itu yaitu kelompok partai Nasionalis, Agama dan
Komunis.
Keadaan politik secara nasional pada waktu itu menunjukkan bahwa partai-
partai politik mendapatkan kekuasaannya kembali setelah hampir bangkrut
pada akhir tahun 1950an. Partai Politik berusaha memperoleh akses ke
kelompok eksekutif daerah melalui adanya ketentuan yang membolehkan
para eksekutip tersebut untuk menjadi anggota partai. Telah terjadi tuntutan
yang kuat untuk memberikan yang seluas-luasnya kepada Daerah dan
tuntutan pendirian Daerah Otonomi Tingkat III yang berbasis pada
Kecamatan. Kondisi tersebut memungkinkan Parpol untuk mendapatkan
dukungan politis dari grass-roots dimana sebagian terbesar dari masyarakat
bertempat tinggal.
Dua hal pokok dapat ditarik dari pemahaman sistem pemerintahan daerah
berdasarkan pendekatan historis. Pertama, pada masa sebelum
kemerdekaan, basis pemerintahan daerah yang relatif modern dibentuk oleh
Pemerintah Kolonial Belanda, namun karakter pemerintahan daerah tersebut
lebih menekankan pada penerapan konsep dekonsentrasi dibandingkan
desentralisasi. Walaupun kemudian diperkenalkan adanya Dewan Daerah
yang anggota-anggotanya diangkat dari tokoh-tokoh masyarakat dan
golongan berpendidikan, namun konsep pemilihan belum diadakan. Ini
berarti Pemerintah Kolonial Belanda lebih menekankan pada tujuan efisiensi
dibandingkan pada tujuan politis dengan menjadikan pemerintah daerah
sebagai wahana politik masyarakat. Pada sisi berikutnya, ketika tentara
pendudukan Jepang berkuasa, mereka secara prinsip tidak mengadakan
perubahan sistem yang mendasar, namun lebih bersifat mneruskan sistem
yang diwariskan oleh pihak belanda.
Sistem pemerintahan daerah setelah masa kemerdekaan lebih menekankan
kepada tujuan-tujuan politis dibandingkan efisiensi. Hal ini disebabkan
karena sebagian besar dari para pejabat yang memegang posisi-posisi
penting di pemerintahan daerah belum mempunyai pengalaman yang
memadai karena terbatasnya karir yang mereka peroleh pada masa sebelum
kemerdekaan. Kurangnya profesionalisme namun kuat dalam ide-ide politis
telah menyebabkan tidak efisiennya penyelenggaraan pemerintahan daerah
pada waktu itu. Kuntjaraningrat mengatakan bahwa terjadi sikap-sikap
menerabas dari pejabat-pejabat Indonesia setelah perang kemerdekaan.
Sifat-sifat ini merupakan warisan dari jaman pendudukan Jepang, ketika
banyak jabatan-jabatan penting yang dulunya dipegang oleh pejabat
Belanda telah diambil alih oleh orang-orang Indonesia tanpa pengalaman
dan profesionalisme yang memadai. Sifat-sifat tersebut muncul lagi pada
masa pemerintahan Sukarno yang memungkinkan pejabat-pejabat yang
kurang berpengalaman menduduki jabatan-jabatan yang lebih tinggi
(Kuntjaraningrat, 1987). Pejabat-pejabat tersebut berusaha membuat
perubahan-perubahan dalam sistem pemerintahan dengan memasukkan ide-
ide demokrasi, namun hasilnya jauh dari memuaskan yang pada gilirannya
menyebabkan kegagalan baik di tingkat nasional maupun daerah.
Setelah terjadinya G.30.S PKI, pada dasarnya telah terjadi kevakuman dalam
pengaturan penyelenggaraan pemerintahan di daerah sampai dengan
dikeluarkannya UU.5/1974. Tiga prinsip utama yang mendasari UU.5/1974
yaitu desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas perbantuan (medebewind). Isu
pembangunan menjadi isu sentral dibandingkan isu politik. Terasa seolah-
olah telah terjadi proses depolitisasi Pemda dengan menggantikannya
dengan isu pembangunan.
Dari pendekatan historis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pada awal
kemerdekaan tujuan politis dari desentralisasi lebih diutamakan
dibandingkan tujuan administratip atau ekonomisnya. Padahal kebanyakan
pejabat daerah pada waktu itu kurang mempunyai kemampuan (skill) untuk
mencapai tujuan2 administratip dan ekonomis dari keberadaan Pemda
tersebut. Kurangnya kemampuan profesionalisme dan kuatnya ide2 politis
telah menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam penyelenggaraan Pemda.
Gejala ini merupakan gejala umum di semua tingkatan pemerintahan di
Indonesia. Ketika jabatan2 tinggi yang tadinya dipegang oleh pejabat2
Belanda digantikan oleh orang2 Indonesia tanpa pengalaman dan keahlian
yang memadai, tapi kuat dalam ide2 politis telah menyebabkan rendahnya
performance birokrasi pemerintahan baik di tingkat nasional maupun lokal
(Kuncaraningrat, 1987).
Dari pendekatan historis ini isu sentral yang dapat ditarik adalah bagaimana
pemerintah pusat selalu berusaha memegang kendali/ kontrol terhadap
daerah. Dalam banyak hal, pemerintah pusat berusaha mengontrol daerah
melalui figur Kepala Daerah yang didudukkan sebagai alat pusat dan alat
daerah. Untuk memenangkan kesetiaan Kepala Daerah kepada pusat dalam
menjalankan dual roles nya, pusat seringkali sangat dominan dalam
penentuan/ pengangkatan Kepala Daerah. Kuatnya bargaining position pusat
dalam penentuan Kepala Daerah ini telah mendorong loyalitas Kepala
Daerah yang lebih tinggi kepada pusat dibandingkan kepada daerah. Aspek
positip dari kebijaksanaan ini adalah adanya kepastian bahwa program2
ataupun arahan pusat terlaksana secara aman di daerah. Pada tahap2 awal
kemerdekaan pendekatan ini sangat berguna untuk menggalang persatuan
dan kesatuan bangsa yang masih sangat rawan pada waktu itu (tujuan
integratif). Aspek negatipnya (terutama setelah tujuan integratif tercapai)
adalah pada diri Kepala Daerah sendiri, yang sering dihadapkan pada suatu
dilemma manakala dihadapkan pada situasi harus memilih antara
kepentingan pusat dan daerah. Ke-Pusat dia dituntut loyalitas, ke daerah
dia dihadapkan pada akauntabilitas.
Dengan kata lain, dalam era Orde Baru telah terjadi proses negaraisasi
(state formation) secara luar biasa yang berusaha menisbikan eksistensi
politik lokal yang telah lama berakar di masyarakat. Hal ini menjadi semakin
efektif melalui keterlibatan militer dalam day-to-day politics yang secara
intens menumbuhkan suasana ketakutan (baik represi ideologis maupun
fisik) di kalangan komunitas politik yang berusaha menolak dominasi pusat.
Administrasi negara juga terlalu banyak merambah di dalam kehidupan
privat, seperti pengurusan Kartu Tanda Penduduk, Surat Kelakuan Baik,
Keterangan Bersih Lingkungan, dan lain-lain yang menciptakan
ketergantungan individu kepada negara (Antlov 1994).
Namun, kerja politik yang sentralistis dan monolitis ini hanya mampu
memperbaiki keadaan sesaat dan bersifat semu belaka. Sinyal-sinyal
kegagalan pengaturan politik lokal Orde baru semakin mencolok ke
permukaan tatkala beberapa masyarakat daerah, terutama Irian Jaya dan
Aceh, menuntut perubahan mendasar dalam pengaturan politik lokal dan
dalam hubungan pusat-daerah di tahun 1997an. Bahkan, salah satu bentuk
tuntutan itu adalah tuntutan separatis untuk membentuk negara sendiri.
Tuntutan pembentukan negara sendiri atau melepaskan diri dari bagian
wilayah NKRI benar-benar terwujud yakni dengan lepasnya Propinsi Timor
Timur dari bagian wilayah NKRI melalui referendum pada era Presiden
Habibie.
Fakta-fakta tentang adanya tuntutan separatis yang akhirnya diwujudkan
melalui lepasnya Timor Timur dari wilayah Indonesia merupakan bukti
bahwa‘ketaatan’ komunitas politik lokal terhadap pusat yang terjadi selama
ini adalah sebuah ketaatan yang semu dan penuh keterpaksaan. Tentu saja
konsep negara-bangsa semacam ini sangat rentan terhadap gejolak. Tatkala
krisis ekonomi melanda Indonesia, tatkala reformasi politik digulirkan
masyarakat, dan tatkala pelanggaran HAM di Indonesia semakin menjadi
sorotan dunia, maka tatkala itulah proses pembusukan politik (bukan
pembangunan politik) Orde Baru mulai terangkat ke permukaan.
Ini semua menghasilkan kondisi yang membuat para investor asing sangat
ragu-ragu untuk berinvestasi, sehingga menghambat pemulihan ekonomi
Indonesia. Tidak kalah penting adalah pembersihan sektor keuangan
Indonesia, yang telah menjadi jantung dari Krisis Keuangan Asia di akhir
tahun 1990-an. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), didirikan
pada Januari 1998, menjadi sebuah lembaga yang kuat yang melakukan
serangkaian kegiatan terpadu dan komprehensif mencakup masalah seperti
program liabilitas bank, pemulihan dana negara, restrukturisasi perbankan,
restrukturisasi pinjaman bank, dan penyelesaian sengketa kepemilikan
saham.
Kasus Timor Timur adalah salah satu hal yang menyebabkan banyak konflik,
baik di tingkat nasional maupun internasional. Timor Timur telah
mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1975 tetapi diinvasi oleh
Indonesia pada tahun berikutnya. Hal ini tidak mengakhiri keinginan Timor
Timur untuk merdeka. Habibie memiliki sikap terbuka terhadap
kemerdekaan Timor Timur. Dia menyatakan bahwa jika Timor Timur menolak
status provinsi otonomi khusus di Indonesia, maka Timor Timur dapat
merdeka.
Pernyataan Habibie ini tidak disetujui oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI)
yang sangat ingin mencegah pemisahan Timor Timur dari Indonesia.
Menurut pihak TNI, pemisahan Timor Timur itu berbahaya bagi persatuan
Indonesia karena dapat menyebabkan efek domino di provinsi-provinsi lain.
Diputuskan bahwa rakyat Timor Timur boleh membuat keputusan ini melalui
referendum. Hasil referendum ini adalah bahwa 78% pemilih memilih untuk
merdeka. Tentara Indonesia kemudian bereaksi dengan menyerang banyak
wilayah di Timor Timur, menewaskan lebih dari seribu orang.
Reputasi Habibie rusak parah akibat hilangnya kendali atas situasi politik di
Timor Timur. Meskipun unit tentara dan milisi sipil yang melakukan tindak
kekerasan ekstrim, Habibie secara pribadi dianggap bertanggung jawab
sebagai presiden yang menjabat. Selain itu, Habibie sendiri dikaitkan dengan
skandal korupsi besar yang melibatkan Bank Bali. Bank ini menerima dana
dari BPPN untuk rekapitalisasi tetapi - diduga - hampir setengah dari dana
tersebut digunakan oleh tim kampanye Habibie.