Anda di halaman 1dari 8

kronologis perkembangan pemerintahan di indonesia mulai

zaman kemerdekaan hingga sekarang 1945 2015 :


Perkembangan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia telah mengalami
pasang surut mulai sejak jaman kolonial Belanda sampai saat ini. Pengaruh
kekuasaaan regim tampaknya menjadi salah satu elemen yang turut mempengaruhi
pasang surutnya desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Oleh karena itu
bentuk, dimensi dan derajat desentralisasi dan otonomi daerah pun selalu berbedabeda sesuai dengan keinginan regim yang berkuasa pada zamannya.
Submodul 4 ini membahas mengenai perkembangan desentralisasi dan otonomi
daerah di Indonesia, mulai dari masa penjajahan Hindia Belanda sampai masa
sekarang. Uraian dilakukan berdasarkan kronologis berdasarkan masa kekuasaan
regim yang menandai jarak waktu perkembangan desentralisasi dan otonomi daerah di
Indonesia.
Dengan demikian setalah mempelajari modul 4 ini pembaca diharapkan dapat
memahami perkembangan konsep dan implementasi desentralisasi dan otonomi
daerah di Indonesia mulai dari:
1.
A. Masa Penjajahan

Masa Penjajahan Belanda


Pada
tahun
1903
pemerintah
kolonial
Belanda
mengeluarkan decentralisatie wet (Staastblaad No. 329 tahun 1903) yang memberi
peluang dibentuknya satuan pemerintahan (gewest) yang mempunyai sistem keuangan
sendiri. Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan kepada sebuah raad atau dewan di
masing-masing
daerah. Decentralisatie wet ini
kemudian
diperkuat
dengan decentralisatiebesluit (S 137/1905) dan locale radenordonannti (S 181/1905)
yang menjadi undang-undang terbentuknya locale ressort dan locale raad. Akan tetapi
pemerintah daerah hampir tidak mempunyai kewenangan, dan bahkan
anggota raad sebagiannya diangkat, dan sebagian lagi merupakan pejabat pemerintah.
dan beberapa anggota yang dipilih. Hanya raad ditingkat gementee yang dipilih. Dewan
daerah atau locale raad memang berhak menentukan peraturan setempat (locale
verondeningen) yang menyangkut hal-hal yang belum diatur oleh pemerintah kolonial
Belanda. Pengawasan terhadap pemerintah setempat dilaksanakan sepenuhnya
oleh gouveneu general (gubernur jenderal) Hindia Belanda yang berkedudukan di
Batavia (Yusoff dan Yusron, 2007; 100-101).
Kemudian pada tahun 1922 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan undang
undang baru yang bernama wet op de bestuurhevormin (S.216/1922). Dengan
ketentuan perundang-undangan yang baru ini maka dibentuklah sejumlah provincie,
regentschap,
stadsgemeente, dan groepmeneenschapyang
semuanya
menggantikan locale resort. Pembentukan sejumlah daerah dilakukan dengan

dikeluarkannya ordonantie seperti ordonantie pembentukan provincie


Jawa-Madura,
provincie West Java, regentschap Batavia. Sementara pulau-pulau di luar Jawa Madura
dibentuk melalui groepmeneenschap ordonant. Sehari-hari pemerintahan dijalankan
oleh gouveneur untuk provincie, regent di regenschap, dan burgermeester di gemeente.
(Yusoff dan Yusron, 2007; 102)
Masa Penjajahan Jepang
Berakhirnya desentralisasi dan otonomi daerah masa penjajahan Belanda
ditandai dengan tergantinya regim kolonialisme Hindia Belanda oleh Jepang.hal ini
dapat dijelaskan melalui berbagai perubahan bentuk pemerintahan yang telah ada pada
masa penjajahan Hindia Belanda oleh pemerintahan Jepang dengan perubahan yang
mendasar seperti struktur pemerintahan sebelum masuknya Jepang terdiri atas
Gubernur Jenderal, Gubernur, Residen dan Controleur, kasunan, Bupati, Wedana dan
Asisten Wedana, kemudian diubah menjadi struktur yang bersifat teritorial yang dibagi
kedlam tiga komando oleh pemerintahan Jepang, yaitu:
a. Sumatera dibawah komando Panglima angkatan darat XXV yang berkedudukan di
Bukittinggi;
b. Jawa dan Madura berada dibawah komando panglima angkatan darat XVI yang
berkedudukan di Jakarta;
c. Daerah lainnya berada dibawah komando panglima angkatan laut yang berkedudukan
di Makassar.
Hirarki komando utama adalah Gunseireiken/Saiko Sikkan (panglima besar yang
sejajar dengan gubernur jenderal) dan yang mengeluarkan peraturan-peraturan
disebut Osamu Seirei dan Gunseiken(pembesar pemerintahan). Di wilayah komando
Jawa Madura Gunseireiken mengeluarkan Osamu Seirei 1942/27 tentang tata
pemerintahan
daerah,
dengan
membagi
Jawa
kedalam
beberapa Syuu(dikepalai Syuutyookan) kemudian Syuu dibagi
kedalam
beberapa Ken (yang dikepalai oleh Kentyoo), Ken dibagi kedalam beberapa Si (yang
dikepalai Sityoo). Struktur tersebut menghilangkan gubernur dan parlemen. Struktur
pemerintahan yang dibangun Jepang tersebut dalam rangka kepentingan militer Jepang
di Indonesia yang sewaktu-waktu dengan mudah dapat dimobilisasi untuk mencapai
tujuan-tujuan pemerintahan militer Jepang (Yusoff dan Yusron, 2007; 105).
B. Masa Orde Lama

Masa Revolusi Kemerdekaan (1945 1949).


Salah satu masa yang paling penting untuk dicatat dalam perkembangan politik
dan pemerintahan Negara kesatuan republik Indonesia adalah masa revolusi
kemerdekaan antara tahun 1945 sampai dengan 1949. Urgensinya adalah bahwa pada

masa ini pemerintah Indonesia belum dapat menjalankan secara penuh otoritasnya
dalam mengatur dan menjalankan sistem pemerintahannya, karena pengakuan
kedaulatan secara penuh baru diperoleh melalui Perjanjian Meja Bundar pada tahun
1949, dimana Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai bekas jajahan Hindia
Belanda. Yang paling penting saat itu adalah bagaimana memelihara persatuan dan
kesatuan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi
walaupun pada masa ini pemerintah Indonesia menerapkan sistem pemerintahan yang
sentralistik dalam rangka memperkuat NKRI, tetapi justru yang paling pertma dipikirkan
adalah bagimana mengatur pemerintahan daerah dalam bingkai NKRI. Itulah sebabnya
sehingga undang-undang pertama yang dibuat pada saat itu setelah UUD 1945 adalah
UU No. 1 tahun 1945 yang mengatur pemerintahan daerah yang hanya berisi 6 pasal
dengan tanpa adanya penjelasan.
UU No. 1 tahun 1945 menetapkan adanya 3 jenis daerah otonom (tampa
menyebut otoritas masing-masing daerah), yaitu 1) keresidenan; 2) kabupaten; dan 3)
kota berotonomi. Sedangkan provinsi yang berjumlah 8 berdasarkan penetapan Panitia
persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) hanya diarahkan berbentuk daerah
administratif tanpa otonomi. Dalam perkembangannya, khusus wilayah provinsi
Sumatera berubah menjadi daerah otonom berdasarkan Peraturan pemerintah Nomor 8
tahun 1947. Menurut ketentuan menteri dalam negeri, komite nasional daerah menjadi
badan perwakilan rakyat daerah dan bersama-sama dengan kepala daerah
menjalankan pemerintahan daerah.
Undang Undang kedua setelah merdeka yang mengatur tentang pemerintahan
daerah di Indonesia dalah UU No. 22 tahun 1948. Undang-undang ini menganut sistem
otonomi material, artinya undang-undang menentukan secara rinci kewajiban (otoritas)
apa saja yang diberikan dari pemerintah pusat kepada daerah, di luar daripada itu
menjadi otoritas pemerintah pusat. dalam undang-undang nomor 22 tahun 1948 ini
telah dikenal tiga tingkatan daerah yaitu; (i) Provinsi atau daerah tingkat I, (ii) kabupaten
dan kota besar sebagai daerah tingkat II; dan (iii) desa atau kota kecil (negeri, marga,
lembang) sebagai daerah tingkat III.
Masa Demokrasi Liberal (1950 1959).
Pada masa tersebut kembali pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 1 tahun
1957 tentang pokok pokok pemerintahan daerah. Undang-undang ini mengalami
penyesuaian dari undang-undang sebelumnya. Tetapi dalam UU No. 1 tahun 1957 ini
dianut istilah baru dalam sistem pemerintahan daerah yaitu apa yang disebut dengan
daerah swantara sebagai suatu kategorisasi dalam pemerintahan daerah. Dalam UU
No. 1 tahun 1957 ini yang disebut dengan daerag swantara adalah daerah yang berhak
untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan demikian pada masa ini dikenal juga
tiga tingkatan pemerintahan daerah yaitu; (i) daerah swantara tingkat I, (ii)
daerah swantara tingkat II, dan (iii) derahswantara tingkat III. Adapun wilayah

administratif daerah berdasarkan sebutan swantara bertingkat disesuaikan dengan


tingkatan dalam UU No. 22/1948).
Masa Demokrasi Terpimpin (1960 1965)
Masa demokrasi terpimpin ditandai dengan keluarnya dekrit presiden 5 juli 1959,
sebagai tanda berakhirnya UUDS 1950, serta berlakunya kembali UUD 1945.
Berlakunya kembali UUD 945 menandai kembalinya era pemerintahan presidensil
dengan kewenangan besar ada ditangan presiden. Dengan kewengan yang
dipegangnya, presiden Soekarno kemudian menetapkan undang-undang operasional
pemerintahan menjadi revolusioner dengan berbagai simbol-simbol perjuangan seperti
manifesto politik. Untuk mencapai tujuan politiknya, Soekarno melakukan konsolidasi
secara internal melalui penyesuaian-penyesuaian struktur pemerintahan dari pusat
sampai daerah. Dalam konteks konsolidasi tersebut Soekarno kemuadian menerbitkan
dua peraturan yaitu Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959 dan penetapan Presiden No.
5 tahun 1960.
Penetapan presiden No. 6 tahun 1959 mengatur tugas dan fungsi kepala derah
serta Badan Pemeriksa Harian (BPH), sedangkan Penetapan Presiden no. 5 tahun
1960 mengatur tugas dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat daerah Gotong Royong
(DPRGR). Berdasarkan Penetapan Presiden no. 6 tahun 1959, kepala daerah diberi
status pegawai negara dan pengangkatannya ditunjuk oleh presiden. Dengan demikian
maka kepala daerah tidak bertanggungjawab kepada DPRGR melainkan kepada
Presiden melalui menteri dalam negeri. Sementara itu tugas dan fungsi DPRDR adalah
bersama-sama dengan kepala daerah menetapkan peraturan daerah. Kedua
penetapan presiden tersebut masih menganut tiga tingkatan pemerintahan daerah,
masing-masing: (i) daerah tingkat I, (ii) daerah tingkat II, dan (iii) daerah tingkat III.
C. Masa Orde Baru & Reformasi

Otonomi Daerah Masa Orde Baru


Sejak tahun 1966, pemerintah Orde Baru berhasil membangun suatu
pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai
landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik yang pada
masa pemerintahan Orde Lama dijadikan panglima, digantikan dengan ekonomi
sebagai panglimanya, dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser
oleh birokrasi dan politik teknokratis. Banyak prestasi dan hasil yang telah dicapai oleh
pemerintahan Orde Baru, terutama keberhasilan di bidang ekonomi yang ditopang
sepenuhnya oleh kontrol dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat.
Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah,
dibentuklah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah.

Mengacu pada UU ini, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan


kewajiban Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selanjutnya yang dimaksud dengan
Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban
mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem
hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah dari Pemerintah atau Daerah tingkat
atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah tangganya;
2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah atau
Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya kepada Pejabat-pejabat di daerah;
3. Tugas Pembantuan (medebewind), tugas untuk turut serta dalam melaksanakan
urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh Pemerintah
oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan kewajiban
mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Dalam kaitannya dengan Kepala Daerah baik untuk Dati I (Propinsi) maupun Dati
II (Kabupaten/Kotamadya), dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang
calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri, untuk
masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan berikutnya, dengan hak, wewenang dan kewajiban sebagai pimpinan
pemerintah Daerah yang berkewajiban memberikan keterangan pertanggungjawaban
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sekurang-kurangnya sekali setahun, atau
jika dipandang perlu olehnya, atau apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, serta mewakili Daerahnya di dalam dan di luar Pengadilan.
Berkaitan dengan susunan, fungsi dan kedudukan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, diatur dalam Pasal 27, 28, dan 29 dengan hak seperti hak yang dimiliki
oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (hak anggaran; mengajukan pertanyaan bagi
masing-masing Anggota; meminta keterangan; mengadakan perubahan; mengajukan
pernyataan pendapat; prakarsa; dan penyelidikan), dan kewajiban seperti a)
mempertahankan, mengamankan serta mengamalkan PANCASILA dan UUD 1945;
b)menjunjung tinggi dan melaksanakan secara konsekuen Garis-garis Besar Haluan
Negara, Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat serta mentaati segala
peraturan perundang-undangan yang berlaku; c) bersama-sama Kepala Daerah
menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah dan peraturan-peraturan Daerah
untuk kepentingan Daerah dalam batas-batas wewenang yang diserahkan kepada
Daerah
atau
untuk
melaksanakan
peraturan
perundangundangan
yang
pelaksanaannya ditugaskan kepada Daerah; dan d) memperhatikan aspirasi dan

1.
2.
3.

1.

2.

3.

memajukan tingkat kehidupan rakyat dengan berpegang pada program pembangunan


Pemerintah.
Dari dua bagian tersebut di atas, nampak bahwa meskipun harus diakui bahwa
UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun dalam prakteknya yang
terjadi adalah sentralisasi (baca: kontrol dari pusat) yang dominan dalam perencanaan
maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena paling menonjol
dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan Pemda yang relatif
tinggi terhadap pemerintah pusat
Otonomi Daerah Masa Reformasi
Upaya serius untuk melakukan desentralisasi di Indonesia pada masa reformasi
dimulai di tengah-tengah krisis yang melanda Asia dan bertepatan dengan proses
pergantian rezim (dari rezim otoritarian ke rezim yang lebih demokratis). Pemerintahan
Habibie yang memerintah setelah jatuhnya rezim Suharto harus menghadapi tantangan
untuk mempertahankan integritas nasional dan dihadapkan pada beberapa pilihan
yaitu ,
melakukan pembagian kekuasaan dengan pemerintah daerah, yang berarti
mengurangi peran pemerintah pusat dan memberikan otonomi kepada daerah;
pembentukan negara federal; atau
membuat pemerintah provinsi sebagai agen murni pemerintah pusat.
Pada masa ini, pemerintahan Habibie memberlakukan dasar hukum
desentralisasi yang baru untuk menggantikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1974, yaitu
dengan memberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Beberapa hal yang mendasar mengenai otonomi
daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
yang sangat berbeda dengan prinsip undang-undang sebelumnya antara lain :
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pelaksanaan otonomi daerah lebih
mengedepankan otonomi daerah sebagai kewajiban daripada hak, sedang dalam
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 menekankan arti penting kewenangan daerah
dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat melalui prakarsanya sendiri.
Prinsip yang menekankan asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama
dengan asas dekonsentrasi seperti yang selama ini diatur dalam Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1974 tidak dipergunakan lagi, karena kepada daerah otonom diberikan
otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Hal ini secara proporsional
diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional
yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di samping itu,
otonomi daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang juga
memperhatikan keanekaragaman daerah.
Beberapa hal yang sangat mendasar dalam penyelenggaraan otonomi daerah
dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, adalah pentingnya pemberdayaan
masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas mereka secara aktif, serta

meningkatkan peran dan fungsi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu,
dalam Undang-undang ini otonomi daerah diletakkan secara utuh pada daerah otonom
yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu daerah yang selama ini berkedudukan
sebagai Daerah Tingkat II, yang dalam Undang-undang ini disebut Daerah Kabupaten
dan Daerah Kota.
4.
Sistem otonomi yang dianut dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
adalah otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab, dimana semua kewenangan
pemerintah, kecuali bidang politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal
serta agama dan bidang- bidang tertentu diserahkan kepada daerah secara utuh, bulat
dan menyeluruh, yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5.
Daerah otonom mempunyai kewenangan dan kebebasan untuk membentuk dan
melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat. Sedang yang
selama ini disebut Daerah Tingkat I atau yang setingkat, diganti menjadi daerah
propinsi dengan kedudukan sebagai daerah otonom yang sekaligus wilayah
administrasi, yaitu wilayah kerja Gubernur dalam melaksanakan fungsi-fungsi
kewenangan pusat yang didelegasikan kepadanya.
6.
Kabupaten dan Kota sepenuhnya menggunakan asas desentralisasi atau
otonom. Dalam hubungan ini, kecamatan tidak lagi berfungsi sebagai peringkat
dekonsentrasi dan wilayah administrasi, tetapi menjadi perangkat daerah
kabupaten/kota. Mengenai asas tugas pembantuan dapat diselenggarakan di daerah
propinsi, kabupaten, kota dan desa. Pengaturan mengenai penyelenggaraan
pemerintahan desa sepenuhnya diserahkan pada daerah masing-masing dengan
mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.
7.
Wilayah Propinsi meliputi wilayah laut sepanjang 12 mil dihitung secara lurus dari
garis pangkal pantai, sedang wilayah Kabupaten/Kota yang berkenaan dengan wilayah
laut sebatas 1/3 wilayah laut propinsi.
8.
Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya
sedang DPRD bukan unsur pemerintah daerah. DPRD mempunyai fungsi pengawasan,
anggaran dan legislasi daerah. Kepala daerah dipilih dan bertanggung jawab kepada
DPRD. Gubernur selaku kepala wilayah administratif bertanggung jawab kepada
Presiden.
9.
Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD
sesuai pedoman yang ditetapkan Pemerintah, dan tidak perlu disahkan oleh pejabat
yang berwenang.
10.
Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi
daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan
pertimbangannya lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah, daerah,
daerah yang tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah dapat dihapus dan atau
digabung dengan daerah lain. Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah,
yang ditetapkan dengan undang-undang.

11.

Setiap daerah hanya dapat memiliki seorang wakil kepala daerah, dan dipilih
bersama pemilihan kepala daerah dalam satu paket pemilihan oleh DPRD.
12.
Daerah diberi kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan,
pemberhentian, penetapan pensiun, pendidikan dan pelatihan pegawai sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan daerah, berdasarkan nama, standar, prosedur yang
ditetapkan pemerintah.
13.
Kepada Kabupaten dan Kota diberikan otonomi yang luas, sedang pada propinsi
otonomi yang terbatas. Kewenangan yang ada pada propinsi adalah otonomi yang
bersifat lintas Kabupaten dan Kota, yakni serangkaian kewenangan yang tidak efektif
dan efisien kalau diselenggarakan dengan pola kerjasama antar Kabupaten atau Kota.
Misalnya kewenangan di bidang perhubungan, pekerjaan umum, kehutanan dan
perkebunan dan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya dalam skala
propinsi termasuk berbagai kewenangan yang belum mampu ditangani Kabupaten dan
Kota.
14.
Pengelolaan kawasan perkotaan di luar daerah kota dapat dilakukan dengan
cara membentuk badan pengelola tersendiri, baik secara intern oleh pemerintah
Kabupaten sendiri maupun melalui berkerjasama antar daerah atau dengan pihak
ketiga. Selain DPRD, daerah juga memiliki kelembagaan lingkup pemerintah daerah,
yang terdiri dari Kepala Daerah, Sekretariat Daerah, Dinas-Dinas Teknis Daerah,
Lembaga Staf Teknis Daerah, seperti yang menangani perencanaan, penelitian dan
pengembangan, pendidikan dan latihan, pengawasan dan badan usaha milik daerah.
Besaran dan pembentukan lembaga-lembaga itu sepenuhnya diserahkan pada daerah.
Lembaga pembantu Gubernur, Pembantu Bupati/Walikota, Asisten Sekwilda, Kantor
Wilayah dan Kandep dihapus.
15.
Kepala Daerah sepenuhnya bertanggung jawab kepada DPRD, dan DPRD dapat
meminta Kepala Daerahnya berhenti apabila pertanggungjawaban Kepala daerah
setelah 2 (dua) kali tidak dapat diterima oleh DPRD.

Anda mungkin juga menyukai