Anda di halaman 1dari 14

FENOMENA DAN DAMPAK KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus: Permasalahan Kebakaran di Propinsi Riau dalam Perspektif

Hukum) Goalter Zoko, Gunawan Budi Hartono, Imam Mashudi**) Mahasiswa Pasca Sarjana PSAL UNPAR 2010 A. Latar Belakang Kewajiban pertama kali sebuah masyarakat untuk menjaga kawasan padang alangalangsupaya tidak terbakar dan membakar, dapat ditemukan dalam dokumen kuno yakni PrasastiMalang 1395 dari jaman Kerajaan Majapahit (Wiratno, 2001 dalam Sumantri, 2007). Sejarahini menunjukan bahwa api sudah dipercaya pada waktu itu sebagai salah satu unsur perusak alamy a n g h e b a t d a y a r u s a k n y a . D i s i s i l a i n , a p i j u g a s u d a h melekatdalam kehidupan masyarakatsebagai alat manajemen yang paling simpel dan murah untuk rutinitas kegiatannya. MenurutS u m a n t r i ( 2 0 0 7 ) R a j a - r a j a d i J a w a , B a l i , d a n Lombok j u g a m e n a r u h p e r h a t i a n t e h a d a p penggunaan api ini oleh masyarakatnya yang dituangkan dalam peraturan raja-raja. Hal ikhwal kebakaran hutan dan lahan hingga sekarang masih menjadi p e r h a t i a n pemerintah, hal ini terbukti dengan dimasukannya masalah kebakaran hutan dan lahan ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah, serta aturan-aturan lainyang lebih rendah. Dari tahun ke tahun kebakaran hutan dan lahan tidak semakin berkurang dan belum tentua k a n b e r k u r a n g d i m a s a - m a s a y a n g a k a n d a t a n g . B a h k a n t e r c a t a t dalam sejarah peradabanmanusia bahwa fenomena kebakaran di dunia p a d a a b a d m o d e r n i n i , j u s t r u m e m u n c u l k a n masalah baru yakni akumulasi polusi asap (haze) di atmosfer dan membawa kerugian materiil b a h k a n n y a w a , tidak hanya di Indonesia tapi juga negara-negara maju seperti Kanada d a n Australia. Berita tentang Kota Dumai Dikepung Kabut Asap Perih (Kompas, 26/10/2010)sebenarnya bukanlah fenomena baru di wilayah k e p u l a u a n I n d o n e s i a . B e n c a n a a s a p y a n g disebabkan oleh pembakaran lahan dan hutan merupakan fenomena yang terjadi hampir setiap tahun di Indonesia, terutama di sepuluh propinsi rawan kebakaran termasuk salah satunya adalahPropinsi Riau.

Kebakaran hutan dan lahan menjadi perhatian internasional sebagai isu lingkungan danekonomi, khususnya setelah bencana El Nino (ENSO)dalam kurun waktu 1997-1998yang menghanguskan lahan hutan seluas 25 juta hektar di seluruh dunia. Kebakaran dianggap sebagaia n c a m a n potensial bagi pembangunan b e r k e l a n j u t a n k a r e n a e f e k n y a s e c a r a l a n g s u n g p a d a ekosistem, kontribusi emisi karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman hayati. Pencemarankabut asap merupakan masalah berulang bahkan selama tahun-tahun ketika peristiwa ENSO diIndonesia dan negara-negara tetangganya tidak terjadi. (Tacconi, 2003). Menurut Usman (2010) kebakaran hutan dan lahan sebagai penyebab bencana asap diPropinsi Riau tahun ini kembali menjadi sorotan publik luas, tidak saja dalam skala nasionaltetapi internasional. Selain menimbulkan dampak turunnya kualitas lingkungan hidup kejadianini juga telah menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit jumlahnya. Selain dampak yangdirasakan di dalamnegeri, b e n c a n a A s a p i n i j u g a t e l a h m e n u a i k e c a m a n d a r i p i h a k n e g a r a tetangga Malaysia dan Singapura yang juga merasakan dampak dari Asap akibat kebakaran lahandi Propinsi Riau. Hutan Indonesia memiliki berbagai species yang beraneka ragam, dan merupakan hutantropis terbesar ketiga di dunia. Namun kini telah mengalami degradasi yang luar biasa. LaporanFWI pada tahun 2002 menyatakan bahwa laju kerusakan hutan mencapai 1,7 juta hektar per tahunbahkan pada tahun 2003 Departemen Kehutanan mengatakan bahwa laju kerusakan hutanmencapai 3,4 juta hektar per tahun yang diakibatkan oleh berbagai sebab (Minangsari, dkk.,2005). Pada tahun 1999 tercatat 101,79 juta ha (total 120,35 juta ha) hutan Indonesia dalamkeadaan rusak. Laju deforestasi 1,6 juta ha /tahun (2000), 3.6 juta ha /tahun (2004) dan padatahun 2005 laju deforestasi sebesar 3,8 juta ha /tahun (Rumajomi, 2006). Dengan laju kerusakanseperti ini, berbagai pakar memprediksi bahwa hutan tropis dataran rendah di Pulau Sumaterad a n P u l a u K a l i m a n t a n akan musnah dalam waktu bahwa sepuluh hutan di tahun. Indonesia Bahkan akan Bank hilang duniamemperkirakan

d a l a m 1 0 1 5 t a h u n k e d e p a n . Kehancuran tersebut diakibatkan oleh b e b e r a p a f a k t o r a n t a r a l a i n p e n g e l o l a a n y a n g t i d a k berkelanjutan, illegal logging dan kebakaran hutan (Minangsari, dkk., 2005). Berdasarkan Kehutanan, Kalimantan Barat data Sumatera hotspot Selatan, Satelit Riau, NOAA : dan di Departemen Tengah, umumnya provinsi r a w a n kebakaran adalah Kalimantan Jambi.P a d a

kebakaran lahan dan hutan di provinsi tersebut terjadi pada lahan gambutsehingga sulit dipadamkan dan menimbulkan kabut asap. Data hotspot tersebut dapat juga digunakan sebagai indikator kinerja p e n g e n d a l i a n k e b a k a r a n h u t a n y a n g m e m p u n y a i n i l a i akurasi dan validasi yang cukup tinggi. Kebakaran lahan dan hutan di Riau ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara l a i n pembukaan lahan dengan menggunakan sistem pembakaran. Kurangnya pengawasan dan kontroldalam sistem pembakaran ini sering menyebabkan api merambat dan menyebar ke tempat lainyang lebih luas di sekitarnya. Khusus pembukaan lahan untuk pertanian, pembakaran ini dilakukan oleh para petani sebagai upaya untuk membersihkan lahan yang dianggap efektif dan efisien. Dengan membakar lahan maka pekerjaan menjadi lebih cepat, mudah, dan murah. selain itu sisa abu pembakarandapat digunakan sebagai zat yang dapat menaikkan ph tanah yang bersifat asam. Kondisi ini diperparah dengan adanya beberapa perusahaan yang melakukan kegiatan land clearing dengan sistem pembakaran. Berdasarkan pemantauan satelit Modis Terra Aqua yang dilakukan oleh Eyes on The Forest (EoF) periode 18 - 21 Oktober 2010 ditemukan 172 titik api di Provinsi Riau, sekitar 82 titik api berada di areal konsesi HTI (Hutan Tanaman Industri)sisanya 90 titik api menyebar di lahan perkebunan sawit , hutan dan padang alang-alang. Dari 82titik api di HTI terdeteksi 62 berada di konsesi perusahaan yang berafiliasi dengan APP/Sinar Mas Group, kemudian 20 titik api berada di konsesi APRIL Group. Beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan APP / Sinarmas y a n g d i a n a l i s i s E o F berdasarkan satelit Modis yang berkobar oleh kebakaran pada bulan Oktober adalah PT. TiaraC a h a y a D e l i m a ( G i a m S i a k K e c i l b l o k ) , P T . L i w a P e r d a n a M a n d i r i , P T R u a s U t a m a J a y a (Senepis blok), PT. Surya Dumai Agrindo, PT Rimba Rokan Perkasa, PT Arara Abadi dan PTSatria Perkasa Agung. Sementara, perusahaan yang berafiliasi dengan APRIL yang berkobar o l e h k e b a k a r a n a d a l a h d i k o n s e s i P T S u m a t e r a R i a n g L e s t a r i ( S R L ) d a n P T P u s a k a M e g a . (Usman, 2010). B. Rumusan Masalah Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia merupakan permasalahan yang rutin terjadi p a d a s e t i a p m u s i m k e m a r a u . P e n y e b a b u t a m a s e b a g i a n b e s a r

karena perbuatan manusia,t e r u t a m a

pada

saat

menyiapkan

lahan

u n t u k p e r k e b u n a n , h u t a n t a n a m a n i n d u s t r i , d a n perladangan. Pembakaran hutan dan lahan telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan asap yangditimbulkan telah mengakibatkan terganggunya berbagai aspek kehidupan bagi masyarakat di Indonesia, bahkan telah meresahkan negara tetangga. Beberapa sektor yang terganggu dengan bencana asap ini antara lain sosial, ekonomi, politik (antar negara), dan yang paling signifikanadalah sektor ekologi. Menurut Sumantri (2007) Gangguan sebagai akibat kebakaran tersebut berupa perubahanekosistem hutan (munculnya dominasi spesies tanaman tertentu), menurunnya keanekaragamanhayati, terganggunya hidro-orologis dan kesuburan tanah, perubahan nilai estetika dan nilaiekonomi hutan, terganggunya transportasi darat, sungai, laut, danau, dan udara, perubahan iklimmikro maupun global, munculnya berbagai penyakit, baik terhadap manusia maupun makhluk hidup lain, pencemaran udara lintas bahas dan berbagai kerugian baik langsung maupun tidak langsung lainnya. Makalah ini mencoba melihat secara holistik fenomena dan d a m p a k d a r i k e j a d i a n kebakaran hutan dan lahan, termasuk menganalisa core problems dan solusi strategis yang dapatd i l a k u k a n , d e n g a n s t u d i k a s u s k e j a d i a n k e b a k a r a n h u t a n d a n l a h a n d i P r o p i n s i R i a u d a l a m perspektif hukum, karena selain sebagai salah satu propinsi yang rawan terjadinya kebakaran, juga sedang mengalami bencana asap pada bulan Oktober 2010. Dimana kejadian kebakaranhutan dan lahan di wilayah ini tidak hanya terjadi dimusimkemarau tetapi juga pada musim penghujan. C. Pembahasan Pola Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2008) Kebakaran hutan danl a h a n adalah peristiwa terbakarnya hutan dan lahan s e b a g a i a k i b a t t i d a k t e r k e n d a l i n y a penggunaan api atau faktor alam. H a l i n i b e r d a m p a k p a d a p e r u b a h a n l a n g s u n g a t a u t i d a k langsung terhadap sifat fisik atau hayati yang menyebabkan kurang berfungsinya hutan atau lahan. Berdasarkan lokasi biomassa dan perilaku api, Ebert (1988) mengelompokkan kebakaranhutan kedalam empat tipe, yaitu: G r o u n d F i r e , S u r f a c e F i r e , C r o w n

F i r e , M a s s F i r e , y a n g masing-masing mempunyai skala dampak yang berbeda. Indonesia adalah salah satu negara yangmempunyai risiko terkena dampak EL-Nino dan LaNina. Dampak dari EL-Nino menimbulkan p e r u b a h a n i k l i m , a n t a r a l a i n m u s i m p a n a s y a n g b e r k e p a n j a n g a n s e h i n g g a m e n i m b u l k a n kekeringan, dan pada akhirnya menjadi salah satu factor pencetus kejadian kebakaran hutan.Departemen Kehutanan (2003) menyebutkan bahwa kebakaran hutan yang terjadi di Indonesiam e r u p a k a n k a s u s y a n g b e r u l a n g d a l a m b e b e r a p a t a h u n t e r a k h i r . T e r c a t a t k e b a k a r a n h u t a n terbesar di Indonesia terjadi pada tahun 1997, sekitar 3,5 juta hektar hutan di Kalimantan habisterbakar. Kebakaran ini disusul dengan kebakaran besar tahun 1998. Applegate, G. dalam Cifor (2001) mengatakan bahwa terdapat perbedaan pemahaman penyebab yang mendasari terjadinya kebakaran. Departemen Kehutanan, misalnya, menyalahkan para peladang berpindah sebagai penyebab kebakaran di Kalimantan. Di pihak lain, para pecintalingkungan hidup menyebutkan bahwa kebakarankebakaran yang terjadi merupakan berpindah atas akibat pengelolaan yang hutan yang buruk. OrganisasiKemudian pemerintah menyalahkan suku-suku pengembaray a n g m e l a k u k a n perladangan kebakaran terjadi. o r g a n i s a s i lingkungan hidup menyalahkan perusahaan-perusahaan kayu dan perkebunan. Penelitian Cifor (2001), mengidentifikasi empat penyebab langsung dari kebakaran, dan enam kekuatan yangmendasari terjadinya kebakaran.Identifikasiini bukan penggolongan yang bersih dan berdirisendiri, banyak penyebab kebakaran yang saling terkait erat satu sama lain. Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan dan lahan merupakan fenomena yang sudah sering terjadi di berbagaitempat di Indonesia, terutama selama musim kering. Penyebab terjadinya kebakaran hutan danlahan di Indonesia bisa bermacam-macam. Namun selama ini sebagaimana sudah diketahui banyak pihak, penyebab utamanya adalah akibat aktivitas pembukaan lahan (land clearing)dengan menggunakan api (dibakar), baik secara tradisional (oleh masyarakat), konversi lahanHPHTI/Perkebunan sawit (swasta). Sependapat dengan Hidayat dkk (2003) bahwa meningkatnya frekuensi dan intensitaskebakaran hutan di Indonesia seperti Riau, Sumatera ataupun di

Kalimantan merupakan salahsatu akibat dari salah urus pengelolaan hutan sejak awal. Hutan-hutan tropis basah yang belumditebang (belum terganggu) umumnya benar-benar tahan terhadap kebakaran dan hanya akanterbakar setelah periode kemarau yang berkepanjangan. Sebaliknya, hutan-hutan yang telahd i b a l a k , mengalami degradasi, dan ditumbuhi semak belukar, jauh lebih rentan t e r h a d a p kebakaran

Upaya menyalahkan perladangan tradisional gilir balik adalah sangat tidak beralasan. Halini dapat dipahami bahwa kegiatan tradisional tersebut telah lama diakukan oleh masyarakattradisional dengan kearifan lokalnya tidak pernah terjadi kebakaran besar,meskipunpada masaitu juga telah terjadi el Nino. Dalam skala lokal kasus kebakaran hutan di Riau, Kalimantan, Sulawesi, dan pulaupulaulainnya berpengaruh antara lain pada aspek ekonomi (PAD) dan aspek ekologis dan juga segalaaspek kehidupan masyarakat terutama aspek sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan oleh CIFOR (2001) b e b e r a p a p e n y e b a b terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah :1. 1. Pembersihan lahan. Api merupakan alat yang murah dan efektif untuk membersihkan lahan, dan disukai oleh usaha-u s a h a skala besar yang ingin memberikan material kayu berkualitas rendah untuk dapatmenanam tanaman industri seperti karet d a n k e l a p a s a w i t . A r e a l p e r k e b u n a n k e l a p a s a w i t meningkat dari 120.000 hektar di tahun 1989 menjadi hampir 3 juta hektar di tahun 1999. 2. Kebakaran tak disengajaKebakaran yang tak disengaja akibat api yang berkobar liar merupakan penyebab penting kedua. 3. Api sebagai senjata Pembakaran menjadi faktor penting di pedesaan Indonesia di tahuntahun terakhir. Para petanidan masyarakat lokal yang merasa diperlakukan tidak adil dengan hilangnya tanah mereka yangdiambil oleh perusahaan-perusahaan perkebunan sekarang menggunakan api untuk mengklaimkembali lahan mereka dan menghancurkan hasil-hasil milik perusahaan. 4. Memperbaiki jalan masuk

Penduduk memanen

setempat

seringkali contoh,

menyalakan di daerah

api

untuk

membersihkan semak belukar untuk memperbaiki jalan masuk untuk sumberdaya. Sebagai D a n a u Sentarum Kalimantan Barat banyak kebakaran yang terjadi di tahun 1990-an disebabkan olehnelayan yang membakar semak untuk membuat jalan ke hutan-hutan rawa yang dihuni ikanarwana yang bernilai tinggi. 5. Kepemilikan lahan Kurangnya kebakaran di Indonesia. 6. Alokasi pemanfaatan lahanHukum tradisional setempat seringkali tidak sesuai dengan sistem alokasi lahan pemerintah. 7. Insentif ekonomi Insentif yang bertentangan dengan kesejahteraan hutan, seperti insentif yang alam. 8. Praktek-praktek kehutanan yang buruk Sisa-sisa kayu setelah pembalakan yang dibiarkan berserakan di lantai hutan menjadi bahan bakar yang dapat mengobarkan api membakar hutan. Rawarawa yang mengering menciptakanlingkungan yang lebih rentan terhadap kebakaran. 9. Perpindahan penduduk Api digunakan secara meluas baik oleh transmigran maupun oleh aparat yang berwenang dalammembuka lahan berhutan untuk pemukiman. 10. Kekurangcukupan pencegahan kebakaran Seringkali, bahkan terlalu sering tidak ada lembaga yang kompeten untuk mencegah kebakaransecara tepat. Pembakaran hutan dan lahan dibeberapa tempat juga dijadikan pilihan untuk menaikkan pH tanah. Di sebagian Kalimantan dan Sumatera misalnya, dengan pH berkisar antara 34 m e m b u a t k o m o d i t i p e r k e b u n a n t i d a k c o c o k u n t u k tumbuh dikawasan tersebut. D e n g a n melakukan pembakaran, abu y a n g t e r s i s a a k a n m a m p u m e n a i k k a n p H t a n a h m e n j a d i 5 6 sehingga layak untuk ditanami. diberikan kepada p e r u s a h a a n - p e r u s a h a a n yang mengubah hutan p r o d u k s i m e n j a d i p e r k e b u n a n , m e n d o r o n g peningkatan laju pembersihan hutan aturan formal mengenai siapa pemilik dan p e n g g u n a l a h a n m e n g a k i b a t k a n peningkatan skala, keparahan dan frekuensi

Sedangkan menurut Ruchiat (2001) berdasarkan hasil penelitian dapat dirumuskan: 1. Penyebab utama terjadinya kebakaran berasal dari api yang ditimbulkan dari kegiatan peladangan berpindah dan pembalakan lokal. Api merambat pada padang alang-alang yang sangat rentanterhadap api. 2. Program rehabilitasi alang-alang seperti pembangunan kebun k e l a p a s a w i t , h u t a n t a n a m a n industri dan kebun karet dapat mengurangi masalah kebakaran dan asap dalam jangka panjang.Tetapi dalam jangka pendek, api masih digunakan dalam kegiatan persiapan lahan. Dapat disimpulkan bahwa penyebab utama kebakaran hutan adalah faktor manusia danfaktor yang memicu meluasnya areal kebakaran adalah kegiatan perladangan oleh masyarakaty a n g sembrono, pembukaan HTI dan p e r k e b u n a n ( s e k t o r s w a s t a ) s e r t a k o n f l i k p e n g u a s a a n wilayah hutan. Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan Menurut Rumajomi (2006) Secara umum dampak kebakaran hutan terhadap lingkungansangat luas, antara lain kerusakan ekologi, menurunnya keanekaragaman sumber daya hayati danekosistemnya, serta penurunan kualitas udara. Dampak kebakaran menyangkut berbagai aspek, baik fisik maupun non fisik, langsung maupun tidak langsung pada berbagai bidang maupunsektor, berskala lokal, nasional, regional, maupun global. Sebagian dapat disebutkan antara lain pada aspek kesehatan, penurunan kualitas lingkungan hidup (kesuburan lahan, biodiversitas, p e n c e m a r a n u d a r a , d s t . ) , e m i s i G R K ( G a s R u m a h K a c a ) y a n g s e l a n j u t n y a m e n i m b u l k a n permanasan global dan perubahan iklim. Syumanda (2003) menyebutkan adanya 4 (empat) aspek yang terindentifikasi sebagaid a m p a k y a n g d i t i m b u l k a n d a r i k e b a k a r a n h u t a n d a n l a h a n a d a l a h d a m p a k t e r h a d a p s o s i a l , budaya dan ekonomi, dampak terhadap ekologis dan kerusakan lingkungan, dampak terhadaphubungan antar negara, dampak terhadap perhubungan dan pariwisata. Sedangkan Hidayat, dkk.,(2003) mengatakan bahwa akibat yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan tidak hanya berskala lokal, melainkan berskala nasional dan bahkan berskala regional. Asap yang timbul dari kebakaran hutan dan lahan dapat mengganggu negara tetangga kita s e p e r t i S i n g a p u r a d a n Malaysia. Untuk itulah berbagai upaya baik pada tingkat

nasional, regional maupun internasionalsudah dilakukan guna menangatasi kebakaran hutan dan lahan. Gambut yang terbakar di Indonesia melepas karbon lebih banyak ke atmosfir daripadayang dilepaskan Amerika Serikat dalam satu tahun. Hal itu membuat Indonesia menjadi salahsatu pencemar lingkungan terburuk di dunia pada periode tersebut (Applegate, G. dalam CIFOR,2001). Dampak kebakaran hutan 1997/1998 bagi ekosistem d i r e v i s i k a r e n a p e r u b a h a n perhitungan luas kebakaran yang ditemukan. Tacconi (2003) menyebutkan bahwa kebakaranyang mengakibatkan degradasi hutan dan deforestasi menelan biaya ekonomi sekitar 1,62-2,7m i l i a r d o l a r . Biaya akibat pencemaran kabut asap sekitar 674-799 juta dolar; b i a y a i n i kemungkinan lebih tinggi karena perkiraan dampak ekonomi bagi kegiatan bisnis di Indonesiat i d a k terkait dengan emisi biayanya mencapai 2,8 miliar dolar. Syumanda, R. (2003) mendapatkan angka kerugian senilai dua milyar lebih untuk sebuahkebakaran tidak lebih dari sepuluh hari. Angka ini diperoleh dari hitungan bahwa pada awal Juniini kita sudah menemukan 2.406 titik api. Diasumsikan dengan resolusi paling tinggi, 1 titik hotspot mewakili luas 1.500 m2. Menurut Raflis dan Khunaifi (2008) pada awal Juni (2 12 Juni 2003) dengan teoris e d e r h a n a , bencana kebakaran Propinsi R i a u d a l a m k u r u n w a k t u 1 0 h a r i s a j a s u d a h menimbulkan angka kerugian sebesar 19 milyar lebih. Munculnya kasus kebakaran hutan, penyebab dan kerugiannya kasus kebakaran hutanyang besar di Sumatera dimulai sejak 1980 an, ketika industri perkebunan mulai menggeliat danmulai mempraktekkan budaya tebang, imas dan bakar, yang akhirnya menjadi ritme keseharianindustri kehutanan dan perkebunan di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa kebakaran hutan adalahside efek dari kesalahan kebijakan dan pengelolaan hutan di Indonesia. Salah satu penyebab deforestasi hutan adalah kasus kebakaran hutan, yang berdampak ganda disamping mempertinggi emisi CO2 ke atmosfer, juga mengurangi kemampuan hutandalam perannya sebagai fungsi klimatologis atau rosot karbon. Dengan demikian secara globalfungsi hutan terutama sebagai fungsi klimatologis (penyerap/ rosot karbon) dan fungsi ekologis(sebagai habitat biodiversitas) tersedia. Valuasi biaya yang karbon menunjukkan b a h w a kemungkinan

juga mengalami penurunan. Kedua fungsi hutan tersebut sangaterat kaitannya dengan kepentingan nasional maupun internasional. Pada hutan rawa gambut yang terbakar, melepaskan jumlah k a r b o n y a n g j a u h l e b i h banyak daripada mangrove yang terbakar. Kontribusi kebakaran hutan dengan emisi CO2 padaGRK adalah sangat signifikan. Dampak peningkatan GRK ini adalah terjadinya pemanasanglobal yang menyebabkan perubahan iklim global yang pada akhirnya berdampak pada semua bentuk kehidupan di bumi. Perhitungan kerugian kebakaran hutan sangatlah besar, mencapai lebih dari dua Milyar rupiah untuk kebakaran hutan tahun 1997/1998 pada delapan provinsi. Provinsi Riau tentunyamenderita kerugian terbesar mengingat Riau mengalami kebakaran terbesar. Perhitungan tersebut belum memasukkan nilai Tegakan Kayu, Hasil Hutan Non Kayu, Sumber Genetika, FungsiR e k r e a s i , F u n g s i E k o l o g i , K e a n e k a - r a g a m a n H a y a t i d a n P e r o s o t E m i s i K a r b o n , y a n g b i l a dihitung akan melebihi angka tersebut. Jika perhitungan ini memasukkan luasan yang tidak lagimengeluarkan panas sehingga tak terdeteksi sebagai hot spot tentu nilai yang terhitung akan jauhlebih besar lagi. Kajian Hukum Permasalahan Kebakaran Hutan dan Lahan Setiap tahun terjadi kebakaran hutan dan lahan. Kejadian ini sudah menjadi issu pentingd a n m e r u p a k a n s e b u a h r u t i n i t a s y a n g m e n g h a b i s k a n A P B N d a n A P B D y a n g c u k u p b e s a r jumlahnya untuk pemadaman kebakaran. Belum lagi kalau dihitung dampak kesehatan terhadap jutaan masyarakat yang terkena dampak dari asap yang ditimbulkan. Sampai Saat ini penanggulangan kebakaran hutan sebatas upaya pemadaman api padasaat kebakaran terjadi. Sedangkan perencanaan menyeluruh belum dilakukan bahkan dalamk o n f r e n s i p e r s y a n g d i l a k u k a n w a k i l gubernur riau yang juga menjabat sebagai ketua p u s d a l k a r h u t h a ( P u s a t p e n g e n d a l i a n k e b a k a r a n h u t a n d a n l a h a n ) b a r u b a r u i n i t i d a k menggambarkan perencanaan yang utuh dalam penaggulangan kebakaran hutan dan lahan. Munculnya bencana asap di riau setiap tahun (periode 2000-2008) diakibatkan oleh izin pemanfaatan ruang yang diberikan terhadap perusahaan besar yang ada di Provinsi Riau dengankontribusi titik api berjumlah sekitar 34.748 atau

60,88%. Kebakaran Terjadi Akibat degradasil i n g k u n g a n s e b a g a i a k i b a t dari pemberian izin pemanfaatan ruang pada kawasan y a n g berkategori lindung (konservasi) menurut kepres 32 tahun 1990, PP 47 tahun 1997 dan PP 26tahun 2008. Jumlah Titik api yang menimbulkan asap berada pada kawasan bergambut pada periode2 0 0 0 - 2 0 0 8 d e n g a n j u m l a h t i t i k a p i 3 9 . 8 1 3 a t a u 6 9 , 7 6 % d a r i t o t a l t i t i k a p i . P e n y e b a b d a r i kebakaran pada kawasan bergambut terjadi karena pembuatan drainase skala besar, sehinggamengganggu keseimbangan hidrologi pada kawasan gambut pada musim kemarau. Terjadinyakebakaran berulang setiap tahun mengindikasikan bahwa pengelolaan kawasan bergambut gagaldikelola sebagai kawasan budidaya. Beberapa tentang lembaga pemerintah memiliki berbagai kebijakan pencegahan d a n pengendalian kebakaran, tetapi kebijakan ini tidak

terkoordinasi dengan baik dan umumnya tidak ditegakkan. Suatu kajian tahun 1998 oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan United Nations Development Program (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998)m e n y i m p u l k a n bahwa efektif berbagai peraturan yang ada "tampaknya Sebelum tahun tidak 1997, u n t u k mengendalikan kebakaran".

b a n y a k s e k a l i k e p u t u s a n M e n t e r i y a n g berkaitan dengan pencegahan kebakaran di berbagai kawasan hutan, pembakaran dengan sengajat i d a k d i l a r a n g s e c a r a k e t a t . Sebaliknya, keputusan bulan April 1997 melegalkan kegiatan"pembakaran terkendali" dan menyiapkan berbagai panduan t e k n i s . K e p u t u s a n i n i d i t a r i k kembali pada bulan Oktober 1997 karena pada tahun tersebut bencana kebakaran terjadi, dansuatu keputusan baru melarang segala penggunaan api untuk membuka lahan di lahan lahanhutan negara. (FWI/GFW, 2001). Indonesia juga memiliki beragam undang-undang lingkungan dan peraturan lainnya yangmenghukum pelaku pembakaran yang dilakukan secara sengaja, baik di tingkat nasional dan ditingkat propinsi. Namun demikian berbagai undang-undang ini jarang ditegakkan. Bahkan akibatkebakaran tahun 1997-1998, hampir tidak ada tindakan resmi yang diambil untuk menghukum berbagai perusahaan yang terlibat dalam pembakaran, dan pada saat penulisan laporan, tidak adahukuman resmi penting yang dijatuhkan.

Pada 2001), yang

bulan meliputi oleh

Februari polusi

2001, dan

pemerintah

mengeluarkan lingkungan Peraturan

satu yang baru

p e r a t u r a n b a r u t e n t a n g kebakaran hutan (Peraturan Pemerintah No. 4 tahun kerusakant e r h a d a p dan lahan. masing-masing disebabkan inim e n g a t u r propinsi dan kebakaran jawab hutan

tanggung daerah

pemerintah

pusat,

d a l a m menangani kebakaran, dalam usaha untuk

menghentikan sikap saling menyalahkan di kalangan berbagai cabang lembaga pemerintah, yang menghambat pencegahan kebakaran lahan dan usahauntuk memadamkan api pada tahun-tahun sebelumya. Namun menjelang pertengahan tahun2001 kebakaran hebat telah membakar sebagian besar Sumatera dan Kalimantan pada bulan Juli,menyebarkan kabut sampai jauh ke Malaysia dan Thailand bagian selatan. Kenyataan diatasmenunjukkan bahwa prospek adanya suatu kebijakan yang efektif untuk menjawab masalahkebakaran yang muncul setiap tahun sampai saat ini masih suram. Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan juga belum memberikan perhatiany a n g memadai bagi upaya penanggulangan kebakaran. S e b a g a i c o n t o h b a h w a l a r a n g a n membakar hutan yang terdapat dalam undangundang tersebut ternyata dapat dimentahkan untuk tujuan-tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat yang berwenang (pasal 50 ayat 3huruf d). Kita bisa membandingkan dengan negara Malaysia yang memberlakukan kebijakantegas (tanpa kecuali) tentang larangan pembukaan lahan dengan cara bakar. UU ini juga secarategas memberikan denda sebesar 500.000 ringgit dan/ 5 tahun penjara baik bagi pemilik mapun penggarap lahan. Demikian halnya dengan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1999 tentang PengusahaanHutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi dimana tidak ada satupun referensinyayang menyinggung masalah pencegahan kebakaran hutan dalam konteks pengusahaan hutan. Titik terang upaya penegakan hukum mulai terjawab dari Undang-Undang Nomor 32tahun 2009, dimana pada pasal Pasal 6 ayat Setiap orang dilarang: melakukan pembukaan lahandengan cara membakar. Pelanggaran hukum masalah ini akan ditindak sesuai Pasal 108, yaituSetiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)h u r u f h , d i p i d a n a d e n g a n p i d a n a p e n j a r a p a l i n g s i n g k a t 3 ( t i g a ) t a h u n d a n p a l i n g l a m a 1 0 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan

paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Sedangkan untuk kebakaran hutan lebihmengarah pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 Pasal 50 bahwa Setiap orang dilarang membakar hutan, dan barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Serta barang siapakarena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d , d i a n c a m dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling b a n y a k R p . 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah). CIFOR dan ICRAF (1998) mengadakan pertemuan dengan perwakilan pemerintahAmerika Seikat untuk merencanakan suatu studi m e n d a l a m t e n t a n g p e n y e b a b d a n d a m p a k kebakaran dengan jangka waktu 3 tahun. Kegiatan ini akan dibiayai oleh US Forest Service danUS Agency for International Development. Dalam rangka membantu proses analisa penyebabk e b a k a r a n serta penyediaan program-program dasar pengembangan sistem p e m a n t a u a n kebakaran yang lebih baik, maka akan dilakukan suatu k e g i a t a n y a n g m e n g k o m b i n a s i k a n penginderaan jarak jauh dengan kajian kondisi sosial setempat. Kajian pertama akan dilakukan di dua lokasi dimana kebakaran h u t a n s e r i n g t e r j a d i selama tahun 1997 1998, yaitu Lampung dan Riau di Sumatera serta Kalimantan Timur. US Forest Service akan mengkoordinasikan pengumpulan data penginderaan jarak jauh sedangkanC I F O R d a n I C R A F melakukan serangkaian kegiatan penelitian lapangan dalam r a n g k a menyesuaikan data sekunder dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan, mengidentifikasikan praktek pemanfaatan lahan serta menyelidiki faktor-faktor sosial yang mungkin menyebabkanterjadinya kebakaran. Pada akhirnya, kegiatan seperti ini akan diperluas untuk menyelidiki lebih jauh lagi penyebab utama kebakaran hutan. Sedangkan menurut Ruchiat (2001) implikasi kebijakan dari kebakaran hutan dan lahanadalah : Implikasi Kebijakan (1). Rehabilitasi padang alang-alang menjadi lahan yang lebihtinggi nilai ekonominya dan berwawasan lingkungan perlu dianalisa lebih lanjut dalam rangka peningkatan kesejahteraan baik untuk masyarakat lokal maupun untuk industri berskala besar.Oleh sebab itu, perlu dilakukan identifikasi padang teknik, sosial, ekonomi (2). dan institusional insentif dalam dan merehablitasi alang-alang. Memberikan

mengusahakan

t i n g g i n y a partisipasi masyarakat lokaldalam usaha merehabilitasi karet rakyat dengan (4).

padang alang-alang. (3). Meningkatkan p r o d u k t i v i t a s pertanian dan menyediakan bibit karet yang

memberikan bimbingan teknik melalui perbaikan sistem penyuluhan bermutu tinggi. M e m b e r i k a n prioiritas dalam pembangunan perkebunan baik berskala kecil maupun besar di padang alang-a l a n g d e n g a n m e m b e r i k a n i n s e n t i f p a d a semua alang pengguna dan lahan. (5). Melakukan dengan i n i s i a t i f penelitian dalam mengidentifikasi jenis-jenis kayu yang cocok untuk merehabilitasi padanga l a n g diintegrasikan pembangunan masyarakat. M e n y e d i a k a n s e b u a h perencanaan dan peraturan khusus dalam kegiatan penambangan emas oleh masyarakat lokal. Kesimpulan dan Saran Kebakaran hutan dan lahan dalam skala besar merupakan salah satu sebab degradasihutan dan lingkungan, terbukti menimbulkan kerusakan dan kerugian baik pada aspek ekonomi,e k o l o g i , maupun sosial, dan dapat dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan b e r k e l a n j u t a n k a r e n a e f e k n y a s e c a r a l a n g s u n g b a g i e k o s i s t e m k o n t r i b u s i n y a t e r h a d a p peningkatan emisi karbon dan dampaknya bagi keanekaragaman hayati, dan juga bagi kesehatan manusia. Penyebab kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Riau ataupun di tempat lain di Indonesia bersumber pada kebijakan pengelolaan hutan, lemahnya peraturan perundangan lahan. Bahwa api tidak bisa sepenuhnya dihilangkan dari ekosistem h u t a n , b e b e r a p a t i p e vegetasi hutan merupakan klimaks api. Pengurangan resiko kebakaran hutan dapat ditempuhd e n g a n m e m p e r t i m b a n g l k a n k e a r i f a n l o k a l d a r i m a s y a r a k a t t r a d i s i o n a l R i m b a w a n t e l a h menggunakan api dalam praktek kehutanan yang dikenal dengan istilah manajemen api dalam bentuk Swalling dan Prescribe Burning. dan penegakana t u r a n yang ada, dan mekanisme s i s t e m / k e l e m b a g a a n y a n g b e r t a n g g u n g j a w a b t e r h a d a p kebakaran hutan dan

Anda mungkin juga menyukai