Anda di halaman 1dari 7

Prosiding Seminar Nasional dan Konsultasi Teknologi Lingkungan

Jakarta, 20 September 2018

KONSEP PENGELOLAAN SAMPAH KOTA


DAN KAJI TERAP TEKNOLOGI PENGELOLAANNYA
Sri Wahyono
Pusat Teknologi Lingkungan
Kedeputian Teknologi Sumberdaya Alam
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
e-mail: sri.wahyono@bppt.go.id

Abstrak
Timbulan sampah terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan perubahan
pola konsumsi serta gaya hidup. Sayangnya, meningkatnya timbulan sampah secara umum tidak
diikuti oleh tata kelola sampah yang baik sehingga mengakibatkan permasalahan lingkungan. Untuk
mengelola sampah yang baik diperlukan konsep dan penerapan teknologi yang ramah lingkungan,
yang efisien dan secara sosial diterima oleh masyarakat. Berbagai konsep dan pengembangan
teknologi pengelolaan sampah telah dikembangkan oleh BPPT. Teknologi pengolahan sampah yang
dikembangkan bervariasi mulai dari teknologi persampahan dari yang sederhana sampai yang
rumit dan dari yang skalanya rumah tangga sampai skala kota. Inovasi berbagai teknologi tersebut
dapat menjadi solusi bagi permasalahan sampah yang dihadapi oleh banyak kota.

Kata kunci: konsep, sampah, teknologi

1. PENDAHULUAN
Setiap orang adalah penghasil sampah. Pada jaman pra-sejarah, jumlah sampah perkapita masih relatif
sedikit yaitu sekitar 0,1 ton pertahun. Namun, sejalan dengan perubahan peradaban, gaya hidup yang semakin
konsumtif, dan tingkat pendapatan yang meningkat, maka timbulan sampah pada jaman sekarang semakin besar
yaitu 30 kali lipatnya atau sekitar 3 ton pertahun (Brunner dan Rechberger, 2002). Jenis sampah yang
dihasilkan pun semakin beragam. Pada jaman dahulu, daya dukung alam masih mampu menetralisir keberadaan
sampah yang dihasilkan umat manusia. Namun sekarang, alam mengalami kesulitan untuk menetralisirnya
karena jumlahnya yang melimpah dan karakteristiknya sulit terurai secara alami.
Sayangnya kondisi tersebut tidak dibarengi dengan pengelolaan sampah yang baik. Sampah pada
umumnya hanya dikelola secara tardisional yaitu dengan dikumpulkan, diangkut dan dibuang ke tempat
penanganan akhir (TPA). Dengan kata lain penanganan sampah hanya bertumpu pada TPA yang memiliki
dampak buruk pada lingkungan lokal dan global. Demikian pula, tabiat buruk membuang sampah di saluran air
telah menyebabkan sungai dan laut tercemar oleh sampah sehingga mengancam keseimbagan ekosistem laut
global.
Akar masalah dari buruknya pengelolaan sampah adalah berupa kelemahan pada berbagai aspek seperti
keterbatasan anggaran, sistem manajemen yang belum optimal, lemahnya penegakan hukum, lemahnya peran
serta masyarakat, keterbatasan lahan untuk fasilitas pengelolaan sampah, rendahnya tingkat penerapan teknologi
ramah lingkungan, dan sebagainya.
Berbagai teknologi pengolahan sampah telah tersedia di Indonesia. BPPT sebagai lembaga kaji terap
pemerintah telah melakukan berbagai riset dan pengembangan teknologi persampahan (Wahyono, 2015).
Berbagai teknologi tersebut juga diujiterapkan di berbagai kabupaten/kota baik yang bersakala rumah tangga,
komunal hingga skala kota.

2. DESENTRALISASI DAN SENTRALISASI PENGELOLAAN SAMPAH


Alur pengelolaan sampah pada umumnya diawali dengan timbulan sampah di sumbernya; kemudian
dilakukan pewadahan dan pengumpulan sampah dari sumbernya ke tempat penampungan sampah sementara
(TPS); selanjutnya sampah dari TPS diangkut dan ditimbun di TPA. Pada alur tersebut, secara strata, pertama
sampah dikelola di sumber sampah (individual rumah tangga, kantor, sekolah, dan sebagainya). Kedua, sampah
dikelola di TPS dengan mengubah fungsi dan manajemen TPS yang sebelumnya hanya tempat penampungan

58
Prosiding Seminar Nasional dan Konsultasi Teknologi Lingkungan
Jakarta, 20 September 2018

sampah sementara menjadi tempat pengolahan sampah sistem 3R. Selanjutnya yang ketiga, sampah dapat
dikelola secara terpusat di tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) skala besar.
Pengelolaan sampah di sumber dan di TPS 3R memiliki ciri berupa kentalnya keterlibatan masayarakat
mulai dari pemilahan hingga pengolahannya. Sampah dikelola oleh masyarakat dengan lokasi di rumah sendiri
atau sedekat mungkin dengan sumber sampah; menggunakan teknologi sederhana; berbiaya murah; dan
skalanya kecil-kecil dan tersebar di banyak tempat. Berbeda dengan pengelolaan sampah terpusat atau
tersentralkan, sampah yang dikelola
jumlahnya besar, memerlukan lokasi yang
luas, menggunakan teknologi modern,
berbiaya besar, dan organisasi pelaksananya
adalah dari sektor swasta atau lembaga
khusus.
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pengelolaan sampah di sumber dan
di TPS 3R merupakan pengelolaan sampah
yang terdesentralisasi, sedangkan
pengelolaan sampah terpusat adalah
pengelolaan sampah yang tersentralkan.
Berdasarkan tipologi kota dengan
karakteristik demografi, geografi, dan
ekonomi yang berbeda-beda, kota dengan
tipologi kota kecil hingga kota besar lebih
cocok menerapkan desentralisasi
Gambar 1. Matrik strategi pengelolaan sampah pengelolaan sampah (Wahyono, 2016).
Sementara itu, kota dengan tipologi kota
metropolitan lebih cocok menerapkan sentralisasi pengelolaan sampah (Wahyono, 2016).

3. KONSEP PENGELOLAAN SAMPAH INDIVIDUAL


Pengelolaan sampah disumbernya dapat dilakukan individual rumah tangga atau individual sumber selain
rumah tangga. Sumber timbulan sampah perkotaan antara lain adalah rumah tangga, perkantoran, sekolah, pasar,
pertamanan, dan sebagainya. Secara konseptual, kegiatan pengelolaan sampah yang dapat dilakukan pada level
individual rumah tangga antara lain meliputi kegiatan pemilahan, komposting, biogas, pembuatan handicraft
berbahan baku sampah, dan koleksi recyclable material dalam bank sampah.
Sampah organik berupa sisa makanan dapat didaur ulang menjadi biogas,pupuk cair, kompos dan pakan
ternak. Dengan teknologi Food Digester, sampah makanan di tingkat rumah tangga dapat didaur ulang menjadi
biogas dan pupuk cair (Wahyono et.al. 2017). Biogas yang dihasil dapat digunakan untuk substitusi gas elpiji.
Sedangkan pupuk cairnya dapat digunakan untuk memupuk tanaman hias, tanaman sayur mayur, dan
sebagainya. Untuk mendaur ulang sampah makanan menjadi kompos dapat digunakan Komposter Aerobik
tanpa menimbulkan bau dan belatung. Kompos yang dihasilkan dapat digunakan sebagai pupuk tanaman. Selain
dapat dijadikan biogas dan kompos, sampah makanan juga dapat dikonversikan menjadi maggot sebagai pakan
ternak ikan atau unggas dengan menggunakan MagComp (maggot composter). Teknologi food digester,
komposter aerobik dan MagCompterbukti
cukup handal, mudah penggunaannya dan
relatif murah instalasinya.
Sampah organik lainnya dari
pekarangan atau halaman seperti sampah
daun, potongan rumput dan sisa tanaman
hias dapat dikomposkan atau dimasukan ke
lubang biopori. Sementara itu, sampah
anorganik recyclable dan laku jual dapat
dikumpulkan untuk kemudian disimpan
dalam bank sampah untuk dijual.
Masyarakat dapat membentuk lembaga
bank sampah di lingkungannya masing-
masing. Hal ini sudah banyak contohnya di
berbagai kota di Indonesia (KLHK, 2017).
Gambar 2. Konsep pengelolaan sampah individual Masyarakat juga dapat memanfaatkan
material sampah menjadi handicraft

59
Prosiding Seminar Nasional dan Konsultasi Teknologi Lingkungan
Jakarta, 20 September 2018

sehingga bernilai ekonomi dan dapat memperpanjang usia material sampah.


Seandainya masing-masing rumah tangga mengelola sampahnya sendiri, maka dampaknya sangat luar
biasa. Sampah yang diangkut ke TPA
hanya berupa sampah residual yang
jumlahnya sekitar 20 persen dari sampah
keseluruhan (Wahyono, 2015). Hal
tersebut akan memperpanjang umur TPA,
transportasi sampah menjadi lebih efisien
dan mencegah terjadinya pencemaran.
Dampak positif lainnya yaitu lingkungan
rumah tangga akan menjadi lingkungan
yang bersih dan hijau; tersedia tanaman
obat keluarga dan sayuran; lingkungan
bebas banjir; dan sebagainya.
Selanjutnya, pegolahan sampah di hulu
juga meliputi pengelolaan sampah skala
komunal yang tersebar di dekat sumber-
sumber sampah. Skalanya umumnya kecil
Gambar 3. Konsep pengelolaan sampah individual dan cenderung dioperasikan secara manual
dengan prinsip dekat dengan sumber
sampah (proximity principle) dan berbasis masyarakat (community-based) (Drescher, S dan Zurbrugg, C.,
2006.). Pengelolaan sampah skala komunal atau skala lingkungan umumnya dilakukan di TPS yang fungsinya
diperluas sebagai tempat daur ulang sampah dan komposting. TPS yang demikian dalam peraturan persampahan
disebut sebagai TPS 3R.

4. KONSEP PENGELOLAAN SAMPAH SKALA KAWASAN


Pengelolaan sampah skala kawasan yaitu pengelolaan sampah yang dapat melayani ratusan keluarga yang
dilakukan di dekat sumber sampah dan melibatkan warga setempat. Contoh wujud dari pengelolaan sampah
skala komunal adalah TPS 3R yang dibangun oleh Kementeran PUPR di berbagai kota (Dirjen Cipta Karya,
2018). Idealnya, sampah yang diangkut ke tempat pengelolaan skala kawasan telah dipilah di sumbernya.
Namun jika pemilahan sampah belum dilakukan di sumbernya, pemilahan sampah dapat dilakukan di lokasi
tersebut. Teknologi yang diterapkan meliputi teknologi pemilahan, teknologi komposting sistem, teknologi
biogas, teknologi daur ulang plastik dan bank sampah.

Teknologi komposting untuk skala


kawasan yang paling aplikatif adalah
komposting sistem windrow bergulir.
Aplikasi teknologi komposting saat ini
sedang digalakkan oleh Kementerian
Negara Lingkungan Hidup dan
Departemen Pekerjaan Umum untuk
diterapkan di berbagai kota di
Indonesia. BPPT telah
mengembangkan teknologi
komposting yang telah diadaptasikan
dengan kondisi sosial, ekonomi dan
iklim Indonesia sehingga dapat dengan
mudah diaplikasikan. Bahkan
teknologi komposting sistem windrow
bergulir telah diadopsi dan
direkomendasikan oleh World Bank
untuk diterapkan di kota-kota
Gambar 4. Konsep pengelolaan sampah skala kawasan Indonesia. Selain teknologi
komposting, teknologi aplikatif
lainnya yaitu teknologi biogas.

60
Prosiding Seminar Nasional dan Konsultasi Teknologi Lingkungan
Jakarta, 20 September 2018

Teknologi biogas berbahan baku


sampah organik perkotaan merupakan
hal yang relatif baru dibandingkan
dengan teknologi biogas limbah
peternakan (Lohri, 2009). Biogas yang
dihasilkan digunakan untuk memasak
sebagai pengganti gas LPG.
Sementara itu, sampah plastik dapat
didaur ulang melalui serangkaian proses.
Pada tahap awal daur ulang plastik
secara mekanik, sampah plastik sebelum
dimasukkan kedalam mesin pencacah
harus dipilah-pilah terlebih dahulu
sesuai dengan jenisnya. Setelah terpisah
sesuai jenisnya, sampah plastik
kemudian dicacah dengan mesin
pencacah menjadi flakes dan langsung
masuk ke bak pencuci. Setelah melalui
Gambar 5. Teknologi komposting sistem windrow bergulir skala proses pencucian, flakes dijemur agar
kawasan kering untuk dijual ke industri plastik.

5. KONSEP PENGELOLAAN SAMPAH SKALA KOTA TERINTEGRASI


Pengelolaan sampah skala kota adalah pengelolaan sampah yang dilakukan tersentralkan di suatu lokasi
yang luas, jumlah sampah yang ditangani juga besar, biasanya menggunakan teknologi tinggi dan dikelola oleh
swasta atau lembaga yang profesional. Pengelolaan sampah skala kota tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus
terintegrasi dengan pengelolaan sampah di skala individual dan skala kawasan (TPS 3R). Pengelolaan sampah
skala kota dapat dilengkapi dengan teknologi pembakaran yang menghasilkan listrik atau pembangkit listrik
tenaga sampah yang dapat menangani residual sampah dan hasil mining TPA sehingga penanganan sampah
mendekati nir-sampah (zero waste) seperti halnya dilakukan di beberapa negara di Eropa.
Pengelolaan sampah skala kota antara lain berupa kegiatan pemilahan sampah, komposting, pengelolaan
sampah menjadi energi (Waste to Energy), serta daur ulang plastik dan kertas. Aplikasi teknologi komposting
skala besar biasanya dilanjutkan pembuatan pupuk organik granul (POG). Pupuk POG adalah dua kombinasi
teknologi yang digunakan untuk mengolah sampah organik menjadi produk kompos yang berbentuk granular
yang kemudian diperkaya dengan mikroba fungsional. Saat ini, kebutuhan POG di bidang pertanian sangat besar
seiring dengan adanya subsidi pupuk organik dari Pemerintah sehingga aplikasi tekonologi tersebut kian
meningkat.

Kompos yang dihasilkan, kemudian


diolah menjadi POG melalui tahapan
pengayakan, pencampuran formula
pupuk, proses granulasi, pengeringan
granul, pengayakan, pengayaan granul
dengan mikroba fungsional dan
pengemasan. Produk dari rangkaian
aplikasi teknologi ini adalah POG yang
mengandung mikroba penambat N,
pelarut P, penyedia K dan sebagainya
yang dapat disesuaikan dengan
kebutuhan pemupukan tanaman.
Penggunaan POG yang diperkaya
dengan mikroba telah terbukti
meningkatkan hasil panen padi dan
tanaman lainnya sehingga potensinya
sangat besar dalam mendukung program
Gambar 6. Konsep pengelolaan sampah skala kota terintegrasi
ketahanan pangan (Wahyono et al.
2017b)

61
Prosiding Seminar Nasional dan Konsultasi Teknologi Lingkungan
Jakarta, 20 September 2018

Sementara itu, pemanfaatan sampah


sebagai sumber energi atauwaste to energy
dapat dilakukan dengan tiga cara yakni (i)
fermentasi biomassa dalam anaerobik
digestor menjadi biogas, (ii) recovery dan
pemanfaatan gas dari TPA, dan (iii)
aplikasi proses termal .
Contoh dari pemanfaatansam limbah
menjadi biogas yang kemudian
dikonversikan menjadi energi listrik yang
pernah dilakukan oleh BPPT adalah di
Rumah Potong Hewan (RPH) Cakung
Jakarta Timur (Wahyono et al. 2017b).
Di sana, dari proses pemotongan sapi
Gambar 7. Proses pembuatan POG
dihasilkan limbah cair dan padat dengan
jumlah yang cukup besar. Proses
pengolahan limabah cair menjadi biogas di RPH Cakung dilakukan secara biologis dengan sistem anaerobik
menggunakan reaktor fixed bed. Biogas yang diproduksi menghasilkan listrik sekitar 35 kWh.

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah juga merupakan sumber gas metana yang dapat diubah
menjadi energi dengan cara mengoleksinya dan kemudian memanfaatkan gas tersebut menjadi bahan bakar
genset atau boiler yang energinya dapat digunakan untuk berbagai keperluan, seperti pembangkit listrik.

Kegiatan recovery gas dari TPA mulai


dari studi kelayakan sampai aplikasinya di
TPA telah dilakukan oleh BPPT. Gas dari
dalam TPA di-recovery dengan cara
memasang pipa berpori baik secara vertikal
maupun horisontal yang kemudian dihisap
dengansuction blower dan diarahkan ke
unit pengolahan gas. Gas yang didapatkan
dikondisikan dengan dikurangi kadar
airnya sebelum digunakan untuk bahan
bakar. Pemanfaatan gas metan tersebut
merupakan upaya pencegahan emisi gas
rumah kaca dari timbunan sampah. BPPT
juga telah melakukan studi potensi gas
TPA dan pemanfaatannya di beberapa
kota. Teknik recovery gas yang diterapkan
Gambar 8. Recovery gas metan menjadi energi listrik relatif sederhana dan disesuaikan dengan
kondisi TPA.
BPPT mulai mengembangkan teknologi
proses termal terutama sistem combustion
pada tahun 1987. Instalasi pembakaran
sampah yang pernah dirancang kapasitas
1500 ton sampah/jam. Proses aliran panas
pada instalasi pembakar sampah serupa
dengan proses aliran panas konvensional
pada kebanyakan instalasi pembangkit
listrik tenaga uap. Total listrik yang
dihasilkan diprediksikan sekitar 17 MW.
Sayangnya pada saat itu, hasil kajiannya
tidak ditindaklanjuti dengan pembangunan
fisiknya.

Gambar 9. Pilot Project PLTSa BPPT di TPA Bantargebang

62
Prosiding Seminar Nasional dan Konsultasi Teknologi Lingkungan
Jakarta, 20 September 2018

Cita-cita BPPT membangun plant


PLTSa dengan teknologi incinerator baru
tercapai pada tahun 2018 dengan
berdirinya Pilot Project PLTSa di TPA
Bantargebang. Teknologi incinerator yang
dibangun memiliki kapasitas 100 ton
perhari dengan produksi listrik sekitar 700
kW. Teknologi yang dipakai adalah tipe
stoker dengan dilengkapi alat pengendali
polusi udara.
Kombinasi penerapan berbagai
teknologi skala besar mengasilkan residul
yang memerlukan Tempat Pemrosesan
Akhir Sampah (TPA). Saat ini, untuk
menemukan lokasi TPA yang sesuai
dengan kriteria teknis dan terhindar dari
Gambar 10. Riset TPA guna ulang restriksi masyarakat bukanlah hal yang
mudah. Berbagai upaya dilakukan untuk
mengatasi masalah tersebut. Salah satu upaya tersebut adalah dengan cara menggunakan kembali TPA yang
telah habis masa pakainya melalui landfill mining (penambangan TPA)
Di Indonesia, konsep penggunaan kembali TPA dikenal dengan istilah reusable sanitary landfill. Istilah
tersebut disosialisasikan sejak pertengahan tahun 2000-an oleh BPPT yang kemudian ditindaklanjuti dengan
penelitian multiyears terhadap dua demoplant landfill di TPA Regional Banglet, Bali. Reusable sanitary landfill
adalah pengkondisian lahan urug saniter dengan resirkulasi lindi dan pengendalian gas untuk mempercepat
dekomposisi sampah dalam serial sel lahan urug yang kemudian ditambang secara bergiliran untuk dipakai
kembali menjadi lahan pembuangan akhir sampah.

6. KESIMPULAN
Timbunan sampah yang terus meningkat secara umum tidak diikuti oleh tata kelola sampah yang baik
sehingga timbul berbagai masalah lingkungan. Permasalahan tersebut dapat dipecahkan dengan menerapkan tata
kelola sampah yang diadaptasikan dengan tipologi kota, karakteristik demografi, geografi, dan kemampuan
ekonomi. Berdasarkan hal tersebut, kota dengan tipologi kota kecil hingga kota besar lebih cocok menerapkan
desentralisasi pengelolaan sampah. Sementara itu, kota dengan tipologi kota metropolitan lebih cocok
menerapkan sentralisasi pengelolaan sampah. Konsep desentarisasi dan sentralisasi pengelolaan sampah tersebut
mencakup pengelolaan sampah skala individual, skala kawasan dan skala kota. Pengelolaan sampah skala
individual dan kawasan memiliki ciri berupa kentalnya keterlibatan masayarakat, teknologi sederhana; berbiaya
murah; dan skalanya kecil-kecil dan tersebar di banyak tempat. Sedangkan pengelolaan sampah skala kota
bercirikan sampah yang dikelola jumlahnya besar, memerlukan lokasi yang luas, menggunakan teknologi
modern, berbiaya besar, dan organisasi pelaksananya adalah dari sektor swasta atau lembaga khusus. Saat ini
sebagian besar teknologi pengelolaan sampah dari skala individual hingga skala kota telah dikajiterap oleh
BPPT.

DAFTAR PUSTAKA
Brunner, P dan Rechberger, H. (2002a). Anthropogenic Metabolism and Environmental Legacies. Volume 3,
Causes and consequences of global environmental change, pp 54–72 in Encyclopedia of Global
Environmental Change. John Wiley & Sons, Ltd, Chichester.
Dirjen Cipta Karya. 2018. Pedoman Teknis Pelaksanaan TPS 3R. Direktorat PPLP, Dirjen Cipta Karya,
Kementerian PUPR.
Drescher, S & Zurbrügg, C. 2006. Decentralised Composting: Lessons Learned And Future Potentials For
Meeting The Millennium Development Goals CWG – WASH Workshop 2006, 1 – 5 Februari di Kolkata,
India
KLHK. 2017. Sambutan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Pada Workshop Pengelolaan Sampah di
Pantai dan Laut, Jakarta, 27 Februari 2017
Lohri C. 2009. Research on Anaerobic Digestion of Organic Solid Waste at Household Level In Dar Es Salaam,
Tanzania. Bachelor Thesis at ZHAW (Zurich University of Applied Sciences) in collaboration with Eawag
(Swiss Federal Institute of Aquatic Science and Technology).

63
Prosiding Seminar Nasional dan Konsultasi Teknologi Lingkungan
Jakarta, 20 September 2018

Wahyono, S., Sahwan, F.L., dan Suryanto, F. 2011. Membuat Pupuk Organik Granul dari Aneka Limbah,
September 2016, Penerbit Agromedia
Wahyono, S., Sahwan, F.L., dan Suryanto, F. 2017b. Teknologi Pengelolaan Limbah Rumah Pemotongan
Hewan, September 2016, BPPT Press.
Wahyono, Sri. 2015. Teknologi Pengolahan Sampah Untuk Mendukung Gerakan Nasional Indonesia Bersih,
dalam Prosiding “Gerakan Nasional Indonesia Bersih”, Januari, Tahun 2015. Penerbit BPPT Press
Wahyono, Sri. 2016. Mengidentifikasi dan Memahami Sifat dan Karakteristik Desentralisasi Komposting,
dalam Bunga Rampai “Kompos, Aplikasi Teknis di Lapangan” Januari 2016, BPPT Press.
Wahyono, S., Sahwan, F.L., dan Suryanto, F. 2017. Cara Cerdas Mengurangi dan Mengolah Sampah Makanan
di Rumah, BPPT Press.

64

Anda mungkin juga menyukai