Anda di halaman 1dari 55

Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy

13

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka ini membahas tentang segala sesuatu yang berkenaan
dengan ruang dan perilaku manusia di dalamnya, terutama seting ruang yang
dapat mendorong perilaku spasial yang memperhatikan prinsip-prinsip ekologis
(Eco-Spatial Behavior). Berkaitan dengan hal tersebut akan dibahas teori-teori
yang berkaitan dengan: (1) spasial dari lingkungan buatan rumah susun; (2)
makna dan konsep rumah susun melalui pemahaman hakekat rumah dan
kebutuhan manusia akan rumah; (3) perilaku manusia dan interaksinya dengan
lingkungan serta sikap manusia terhadap lingkungan maupun perilaku manusia
dalam beradaptasi dengan lingkungan; (4) konsep pembangunan yang
berkelanjutan melalui pemahaman akan pengertian pembangunan berkelanjutan
dan upaya pelestarian fungsi lingkungan; (5) konsep model; dan (6) penelitian
terdahulu yang relevan, seperti uraian di bawah ini.

2.1. Konsep Dasar Spasial Lingkungan Buatan
2.1.1. Pengertian Spasial
Istilah spasial berasal dari kata bahasa Inggris spatial yang
mempunyai arti segala sesuatu yang berkenaan dengan ruang (space),
tetapi bukan ruangan yang diartikan sebagai room (bahasa Inggris). Oleh
karena itu, penggunaan terjemahan spatial menjadi spasial dalam bahasa
Indonesia untuk menghindari kerancuan pengertian yang sempit sebagai
room tersebut.
Banyak para ahli menggunakan istilah Ruang sebagai tempat
kehidupan, dengan demikian pengertian ruang tidak lain adalah biosphere
yang merupakan persinggungan antara lithosphere, hydrosphere, dan
atmosphere (Miller,1985), dan Rustiadi (2006) menempati ruang berkisar 3
m dalam tanah atau 200 m di bawah permukaan laut atau 30 m di atas
permukaan tanah. UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang,
ruang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu
kesatuan wilayah tempat manusia dan mahluk hidup lainnya hidup dan
melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. The New

14
Bambang Deliyanto

Grolier Webster International Dictionary, ruang dapat diartikan sebagai
area tiga dimensi yang ukurannya dapat tak terbatas
12
.
Para ahli, pengertian spasial dipahami secara berbeda antara
ilmuwan berlatar belakang geografi dengan ilmuwan yang berlatar
belakang sosial (Rustiadi, dkk. 2000). Dalam perspektif geografi,
pengertian spasial adalah pengertian yang bersifat rigid (kaku), yakni
segala sesuatu yang menyangkut lokasi atau tempat. Definisi suatu tempat
atau lokasi secara geografi sangat jelas, tegas, dan lebih terukur karena
setiap lokasi di atas permukaan bumi dalam ilmu geografi dapat diukur
secara kuantitatif. Domain kajian spasial dalam ilmu geografi lebih fokus
pada bagaimana mendeskripsikan fenomena spasial. Perspektif ilmu sosial
ekonomi (termasuk ilmu kewilayahan) tidak mendefinisikan spasial dalam
bahasa posisi sebagai lokasi kuantitatif, melainkan lebih kepada makna
atau masalah yang ada di dalamnya (seperti makna dan permasalahan
yang ada di desa, kota atau hinterland ). Segala aspek spasial yang
dijelaskan dalam geografi hanya akan memiliki makna dalam kaca mata
ilmu sosial-ekonomi jika dipahami ada masalah dan ada pemahaman sosial
ekonomi di atasnya. Ilmu psikologi membagi spasial berdasarkan
bagaimana individu mempersepsikan ruang di sekitarnya, apakah bersifat
pribadi atau publik.
Perbedaan cara pandang tersebut di atas, dapat dijelaskan lebih rinci
melalui komponen atau gejala yang dapat menimbulkan kesan spasial
antara ilmu sosial-ekonomi dan ilmu geografi, seperti yang disajikan dalam
Tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Gejala spasial dari berbagai cara pandang ilmu

Komponen / gejala adanya Spasial
Geografi Sosial Ekonomi & Ilmu
kewilayahan
Psikologi
Golledge (1997)
1. Movement
2. Network (paths)
3. Nodes (intersections)
4. Nodal Hierarchies
5. Areas
Rustiadi (2006)
1. Jarak
2. Arah
3. Posisi
Gifort & Golledge (1997), Bell
(1978), Holahan (1982)
1. Personal space
2. Territoriality,
3. Crowding & density,
4. Privasi
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Berdasarkan paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian
spasial adalah segala sesuatu mengenai ruang, baik ruang daratan, lautan,

12
The NewGrolier Webster International Dictionary, Vol II, 1975.
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
15

maupun ruang udara yang di dalamnya terdapat aktivitas kehidupan yang
dapat terukur secara kuantitatif, makna, maupun persepsinya.
Rekonstruksi pemikiran atau pemahaman suatu ruang atau Spatial
Cognition ini, direpresentasikan melalui struktur, entities, dan hubungan
dari suatu spasial. Downs dan Stea (1977), proses menggabungkan atau
menyusun transformasi psikologis individu dalam menyimpan, memanggil,
dan menandai informasi tentang lokasi dan atributnya suatu fenomena
keseharian lingkungan spasial disebut dengan pemetaan kognitif (cognitive
mapping), yang sangat bergantung peta kognitif (cognitive map). Salah
satu kegunaan peta kognitif untuk mengetahui perilaku spasial seseorang.
Merekonstruksikan ini dibutuhkan suatu keterampilan yang disebut dengan
spatial abilities, Golledge (ibid), spatial abilities di antaranya meliputi :
a. Kemampuan berpikir secara geometri
b. Kemampuan menggambarkan hubungan ruang yang kompleks secara
3 dimensi maupun 2 dimensi.
c. Kemampuan menyusun fenomena variasi pola spasial pada skala
yang berbeda.
d. Kemampuan mengintepretasi hubungan spasial secara makro baik
untuk distribusi sebaran penduduk, vegetasi maupun tanah.
e. Kemampuan menyusun gambaran spasial ke dalam bentuk tulisan,
dan lainnya.

2.1.2. Lingkungan Buatan
Lingkungan hidup menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup
termasuk manusia dengan perilakunya yang mempengaruhi alam itu
sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lainnya. Dari pengertian tersebut terlihat bahwa unsur
perilaku manusia mempunyai peran yang sangat penting, karena dapat
mempengaruhi kesejahteraan tidak saja manusia itu sendiri tetapi juga
mahluk hidup lainnya. Oleh karena itu lingkungan hidup manusia dapat
diartikan sebagai sistem di mana terdapat kepentingan manusia di
dalamnya. Pendapat ini didukung oleh Gottlieb (1965) yang menyebutkan
16
Bambang Deliyanto

bahwa lingkungan tidak saja yang ada di sekeliling kita, tetapi semua
keadaan yang diperoleh dalam kehidupan dan perilaku manusia.
Sejak manusia muncul di bumi, lingkungan alami mengalami
perubahan, karena perilaku manusia dalam usahanya untuk meningkatkan
kualitas hidup. Lingkungan yang tadinya alami berubah secara drastik
menjadi lingkungan buatan manusia(man-made environment), baik itu
akibat aktivitas pertanian, manufaktur, maupun permukiman di perkotaan
atau di pedesaan. Oleh karena itu para ahli dalam bidang lingkungan
seperti Otto Soemarwoto, Soerjani, Emil Salim, Rambo, Roberts (1984),
dan yang lainnya membagi lingkungan hidup menjadi tiga jenis yaitu: (l)
lingkungan alam meliputi udara, air, tanah, dan organisme yang berada
dalam kelompok tanaman atau hewan hidup, (2) lingkungan buatan (built
environment) dan (3) lingkungan sosial berkaitan dengan kebudayaan,
hukum, ekonomi, musik, dan lainnya.
Lingkungan buatan sebagai bagian dari lingkungan hidup manusia
adalah lingkungan hidup alam yang telah berubah drastis akibat intervensi
yang tinggi dari peradaban manusia dan perubahan lingkungan alami
menjadi lingkungan buatan ini sangat ditentukan oleh lingkungan sosial
budaya (Soerjani, 1988). Salah satu contoh lingkungan buatan di perkotaan
adalah permukiman rumah susun yang di dalamnya terdapat seting fisik
permukiman, seting aktivitas, dan interaksi penghuni baik dengan
lingkungan tempat tinggalnya maupun sesama penghuni, akibat dari
penghunian rumah susun.

2.1.3. Lingkungan Permukiman Rumah Susun
Memahami lingkungan permukiman rumah susun akan dibahas
mengenai makna rumah itu sendiri yang dikembangkan menjadi makna
rumah susun dan lingkungannya serta penghunian rumah susun.
a. Makna Rumah
Rumah
13
merupakan komponen utama perumahan
14
dan
perumahan sendiri merupakan komponen utama suatu

13
Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan
keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya (Undang-undang no 1 tahun
2011 tentang Perumahan danKawasanPermukiman).
14
Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang
dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umumsebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.
(UU no 1 tahun 2011).
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
17

permukiman
15
. Bagi penghuni, rumah tidak hanya berarti fisik semata,
tetapi juga mempunyai makna tersendiri.
Pengertian rumah tidak hanya sebagai bangunan rumah saja
juga dikemukakan oleh Pedro Arrupe yang dikutip Budihardjo (1987):
A House is much more than building. It is social context of family life
the place where man loves and shares with those who are closed to
him. Rumah juga bukan semata-mata merupakan tempat bernaung
untuk melindungi diri dari pengaruh fisik belaka, melainkan juga
harus mampu memenuhi hasrat psikologis insani dalam membina
keluarga (Soedarsono, 1986). Makna yang lebih luas rumah harus
mampu membuka jalan dan memberikan saluran bagi kebutuhan
aspirasi, dan keinginan manusia secara penuh menuju perbaikan
taraf hidup dan kesejahteraan manusia (Batubara, 1986). Rumah
sebagai tempat tinggal merupakan satuan yang kompleks yang
melibatkan berbagai unsur-unsur kebudayaan (Suparlan, 1991).
Dari beberapa makna rumah tersebut di atas, Hayward (1987)
merumuskan hakekat rumah adalah sebagai berikut:
1. Rumah sebagai pengejawantahan jati diri, yaitu sebagai simbol
dan pencerminan tata nilai selera pribadi penghuni.
2. Rumah sebagai wadah keakraban, yaitu dalam rasa memiliki,
kebersamaan, kehangatan, kasih dan rasa aman.
3. Rumah sebagai tempat menyendiri dan menyepi, yaitu
merupakan tempat melepaskan diri dari dunia luar, dari tekanan
dan ketegangan kegiatan rutin.
4. Rumah sebagai akar dan kesinambungan, yaitu dalam konsep
kampung sebagai tempat kembali pada akar dan menumbuhkan
rasa kesinambungan dalam menuju masa depan.
5. Rumah sebagai wadah kegiatan sehari-hari.
6. Rumah sebagai pusat jaringan sosial
7. Rumah sebagai struktur fisik bangunan


15
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satusatuan perumahan yang
mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjangkegiatanfungsi laindi kawasan
perkotaan atau kawasan perdesaan(UU no 1 tahun 2011).
18
Bambang Deliyanto

Rumah sebagai benda dalam pemenuhan kebutuhan manusia
dapat merujuk pada pemenuhan kebutuhan berdasarkan kebutuhan
hirarki dari Maslow, seperti yang disajikan pada Tabel 2.2 berikut ini.

Tabel 2.2 Rumah dalam pemenuhan kebutuhan manusia

No Kebutuhan Bertingkat
(Maslow)
Pemenuhan Kebutuhan Melalui Rumah
1 Fisiologis Memberikan perlindungan dari gangguan alam dan
binatang; tempat istirahat dan pemenuhan fungsi
badani.
2 Rasa aman Rasa aman menjalankan kegiatan ritual,
penyimpanan harta, menjamin hak pribadi
3 Rasa cinta dan memiliki Memberi peluang untuk berinteraksi dan aktivitas
komunikasi, serta mempunyai identitas dalam
komunitas lingkungan perumahan yang ditinggali
4 Rasa harga diri Memberi peluang untuk tumbuhnya harga diri
melalui kepemilikan dan tampilan rumah yang
ditinggali
5 Aktualisasi diri Rumah mencerminkan kesuksesan penghuninya
sebagai bagian mengaktualisasikan diri.
Sumber: Deliyanto, 1997

Dari lima hirarki tersebut di atas, Maslow
16
telah
mengembangkan teorinya menjadi delapan hirarki kebutuhan, yaitu
dua kebutuhan setelah mencapai harga diri berupa kebutuhan
kognisi dan akan keindahan, serta menambahkan kebutuhan puncak
setelah aktualisasi diri yaitu kebutuhan akan keberadaan Tuhan.
Secara lengkap hirarki adalah sebagai berikut : (l) kebutuhan fisik
(physiological needs), (2) kebutuhan rasa aman (safety needs), (3)
kebutuhan memiliki dan kasih sayang (belongingness & love needs),
(4) kebutuhan penghargaan (esteem needs), (5) kebutuhan kognisi
(needs to know & understand), (6) kebutuhan estetika (aesthetic
needs), (7) aktualisasi diri (self-actualitation), dan (8) kebutuhan
pentingnya menemukan arti keberadaan Sang Pencipta
(transcendence).




16
(Maslowhierarchy of needs http\\www.Valdosta.peachnet.edu/-wihuitt/ psy702/regsis/ maslow.html 4/4/00 pp. I of
3 2 of 3).
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
19

b. Rumah Susun dan Lingkungannya
Rumah susun dapat diartikan sebagai bangunan bertingkat
yang terdiri dari beberapa unit rumah tinggal yang disebut Unit
Satuan Rumah Susun (sarusun). Undang-undang Rumah Susun
1985, menyebutkan pengertian Rumah Susun adalah bangunan
gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang
terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional
dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan
yang masing-masing dapat dimiliki atau disewa dan digunakan
secara terpisah terutama untuk hunian; rumah susun dilengkapi
bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Rumah susun
dan lingkungannya direncanakan sebagai tempat yang dapat
mengakomodasi sebuah keluarga berikut kebutuhan-kebutuhannya
yang kompleks tidak semata-mata kebutuhan fisik. Memahami makna
rumah susun tentu saja tidak bisa terlepas akan makna rumah itu
sendiri seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Seperti yang telah dibahas, lingkungan permukiman rumah
susun adalah merupakan lingkungan buatan atau man-made
environment atau built environment, suatu lingkungan dengan
intervensi manusia yang tinggi. Oleh karena itu permukiman rumah
susun sebagai lingkungan hidup dan habitat manusia bukan hanya
untuk manusia saja tetapi juga segala mahluk lain seperti berbagai
jenis hewan yang sudah banyak didominasi dengan hewan piaraan;
dan tumbuh-tumbuhan yang sudah didominasi jenis tanaman hias,
rumput, pohon peneduh yang ditanam manusia, sumber daya air
bersih yang sudah merupakan air bersih olahan, kemampuan
pemurnian kembali limbah secara alami sudah dibantu alat, dan
seterusnya. Kesemuanya saling terkait serta timbal balik sebagai
satu kesatuan sistem ekologi yang sering disebut ekosistem suatu
permukiman (Deliyanto, 2004).
Eko Budihardjo (1993) melihat permukiman di perkotaan
sebagai suatu jaringan sistem organisme utuh yang terdiri atas dua
subsistem yaitu city's hardware (jasmani kota) dan city's software
(rohani kota). Suatu permukiman di perkotaan bisa diibaratkan
sebagai jasad hidup, memahami lingkungan hidup dan kehidupan
20
Bambang Deliyanto

suatu permukiman dapat didekati dengan bagaimana cara
memahami sistem kehidupan jasad hidup.
Budihardjo (ibid), subsistem jasmani kota mencakup gejala
metabolisme (mirip pencernaan makanan), kardiovaskuler (peredaran
darah), nervous (persyarafan), dan skelektal (pertulangan).
Metabolisme kota, dalam kehidupan kota terdapat jaringan yang
menjamin pemenuhan kebutuhan kota seperti; air, pangan, bahan
bakar, listrik, gas, dan seterusnya. Begitu juga untuk pembuangan,
kota mempunyai pengolahan limbah atau menggunakan daerah
pinggiran untuk pembuangan limbah dengan perlakuan tertentu. J ika
penyaluran masuknya kebutuhan dan pembuangan sisa-sisa
konsumsi tidak beres, suatu permukiman akan mengidap penyakit
metabolis, yaitu gangguan pencernaan. Gejala ketidakberesan ini
dapat dilihat adanya banjir jika saluran-saluran air kotor tertutup oleh
sampah, kurangnya air bersih, listrik sering padam, dan seterusnya.
Kardiovaskuler kota, dalam kota terdapat lalu lintas, yang
berfungsi untuk mengirim pangan kepelosok-pelosok, mengirim para
pekerja, dan seterusnya. J ika lalu lintas ini terganggu (macet) akibat
kepadatan kendaraan yang tinggi, maka terganggu pula peredaran
darah kota tersebut. Sementara itu udara yang kotor akibat industri
dan transportasi akan mengakibatkan pernafasan terganggu dan
membahayakan paru-paru. Begitu juga yang terjadi di lingkungan
permukiman rumah susun, bila arus sirkulasi baik vertikal maupun
horizontal seperti lift, tangga, dan koridor rusak juga akan
mengganggu kenyamanan penghuni.
Nervous, diidentikkan dengan jaringan informasi atau
komunikasi seperti radio, televisi, telepon koran dan seterusnya, bila
jaringan ini rusak maka penghuni rumah susun akan kehilangan
informasi dan komunikasi sehingga tidak dapat berbuat apa-apa
seperti bagian tubuh yang tidak bergerak akibat syarafnya rusak.
Skeletal pada permukiman kota, diidentikkan dengan
infrastruktur permukiman seperti: jaringan jalan, parkir, ruang
bermain, bangunan rumah, bangunan utilitas , dan seterusnya.
Terganggunya salah satu sistem jasmani permukiman tersebut di
atas akan mengganggu atau berpengaruh pada sistem jasmani
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
21

permukiman yang lain, sehingga lingkungan permukiman terkesan
sakit.
Di dalam lingkungan permukiman rumah susun juga terdapat
subsistem yang bersifat non jasmani (rohani) atau budaya kebiasaan
tinggal di rumah susun, seperti struktur kelembagaan (perhimpunan
penghuni), sistem penghunian maupun sistem sosial lainnya yang
akan diuraikan pada bab lain.
Berdasarkan paparan tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa rumah susun adalah bangunan bertingkat yang terdiri dari
beberapa unit rumah tinggal yang dibangun dalam lingkungan buatan
dan direncanakan sebagai tempat tinggal yang dapat
mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan sebuah keluarga yang
kompleks, tidak semata-mata kebutuhan fisik melainkan juga
melibatkan berbagai unsur-unsur kebudayaan. Dalam lingkungan
permukiman rumah susun mempunyai dua subsistem yaitu hardware
system dan software system.

c. Penghunian Rumah Susun
Penghunian berasal dari kata huni yang berarti didiami,
ditunggui, atau berpenduduk (Poerwadarminta, 1989), sedangkan
hunian dapat berarti tempat untuk didiami. Penghunian adalah proses
menghuni. Soedarsono (1986), menghuni adalah kehadiran manusia
dalam menciptakan ruang pada lingkungan masyarakat. Pendapat
tersebut senada dengan pendapat Frick (2006) menghuni dapat
diartikan sebagai mengambil ruang sehingga menjadi milik.
Dikatakannya, secara filosofis, proses menghuni berarti menjaga
kepastian tentang perlindungan secara fisik dan non fisik, dikatakan
lebih lanjut proses menghuni merupakan proses interaksi antara
impian dan kenyataan antara kebebasan dan pengaturan seperti
yang digambarkan pada Gambar 2.1. Berdasarkan uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan penghunian adalah
kehadiran manusia dalam menciptakan ruang pada lingkungan
masyarakat untuk menjaga kepastian tentang perlindungan secara
fisik maupun non fisik.

22
Bambang Deliyanto


Gambar 2.1 Proses menghuni sebagai interaksi antara impian
dan kenyataan (Sumber: Frick, 2006 )

Kehidupan bersama dalam satu bangunan rumah seperti
kehidupan di rumah susun yang kita kenal saat ini, sebenarnya
sudah dikenal bangsa Indonesia cukup lama. Bangsa Indonesia
mempunyai pengalaman menata kehidupan bersama dalam sebuah
rumah besar yang dihuni secara komunal. Rumah besar tersebut
disebut Lamin di pedalaman Kalimantan dan Rumah Gadang bagi
keluarga Minangkabau, atau rumah-rumah sejenis di berbagai
daerah di tanah air yang dikenal sebagai extended family, yang
berisi keakraban, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan di
antara anggota-anggotanya yang berorientasi pada nilai yang sama,
yaitu kepentingan kelompok daripada kepentingan individu. Dalam
rumah besar yang dihuni bersama ini berlaku norma kehidupan yang


























Arsitektur yang dapat berpindah-pindah arsitektur yang tetap (tidak bergerak)



Berkhayal kosong Menghuni angkasa
Proses menghuni Menghuni bersama
Pengaruh rumah
atas penghuninya
Transmigrasi,
migrasi, pengungsi
2

Komoditastinggi,
bersifat berkelana 1
Menghuni bumi,
kediaman =ruang hidup
Menghuni rumah
tinggal tetap
Bentukstruktur yang
ringan saja
Sejarah menghuni
(tempat berlindung)
Menghuni rumah
yang dimiliki sendiri
Menghuni rumah di
perumahan
Tipologi gedung
Tata kota dan tata
ruang lingkungan 3
Penggunaan lahan,
hak atas tanah
Pembangunan sesuai
dengan iklim setempat
Tata rencana
perumahan
Prasarana
(infrastructure) 3
Menghuni rumah di
desa/kampung 4
Memiliki tempat
kediaman sendiri 5
Arsitek, ahli sipil,
kontraktor dsb.
Melengkapi rumah Arsitek interior
Perkemahan 6 Waktu luang/libur 3
Memiliki vila sebagai
rumah kedua 1
kebebasan landasan Peraturan dan pengawasan bertambah terus
Peraturan bangunan
dan pengawasan
Perancangan konst,
bangunan 6
Mebel, ornament,
cat
Impian utopia
Interaksi Sosial
Kenyataan
1 perhatian pada limit of growth
2 perhatian pada kependudukan
3 perhatian pada mobilitas dan lalu lintas
4 perhatian pada jaraktempat menghuni dan tempat kerja
5 perhatian pada ekonomi / pembiayaan
6 perhatian pada pencemaran lingkungan

Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
23

ditujukan untuk kelangsungan kehidupan bersama, menghadapi
musuh bersama, kepentingan bersama, dan lainnya.
Lamin, Rumah Gadang, Rumah Susun memiliki satu
persamaan ciri, karena masing-masing merupakan communal
dweling dan proses penghunian karena proses turun temurun.
Rumah susun proses penghuniannya masih belum melalui proses
turun temurun melainkan penghunian baru yang pindah dari rumah
landed houses, di samping itu dalam penghunian rumah susun
menunjukkan adanya berbagai aspek yang berbeda. Kehidupan di
rumah susun nampaknya memberi gambaran suatu kehidupan
masyarakat modern yang cenderung memberi nilai tinggi terhadap
segi-segi kehidupan yang bersifat pribadi (private, privacy) dan
eksklusif. Bila dalam sebuah Lamin atau Rumah Gadang, communal
dweling ditandai oleh adanya kebiasaan anggota rumah untuk
berbagi suka dan duka, di dalam lingkungan rumah susun keluarga
hidup sendiri-sendiri, di dalam unit rumah susun mereka.

2.2. Perilaku Manusia
2.2.1. Pengertian Perilaku
Perilaku atau behavior menurut Sarwono (1997) adalah perbuatan-
perbuatan manusia, baik yang terbuka (kasat indera) maupun yang tertutup
(tidak kasat mata). Perbuatan yang terbuka dinamakan overt behavior,
yaitu semua perilaku yang bisa ditangkap langsung dengan indera seperti:
menulis, menggeser, dan lainnya, sedangkan perilaku yang tak kasat
indera disebut dengan covert behavior, yaitu motivasi, fantasi, sikap,
berpikir, beremosi dan minat. Pendapat ini senada dengan pernyataan
Decrades yang dikutip oleh Noor (1997) menyatakan bahwa ada perilaku
mekanis yaitu perilaku yang berhubungan erat dengan gerakan badan, dan
ada perilaku rasional yang erat hubungannya dengan jiwa.
Tuan (1974), perilaku (tingkah laku) atau tindakan adalah usaha dari
suatu kebutuhan dasar dan struktur kepribadian individu dikombinasikan
rangkaian proses penyesuaian dirinya terhadap situasi dan kondisi fisik.
Proses tersebut merupakan proses kognitif dari penilaian stimuli eksternal
dan aktivitas yang nampak. Adapun ciri-ciri perilaku menurut Watson
(1878-1958) yang dikutip oleh Laurens (2005) sebagai berikut:
24
Bambang Deliyanto

a. Perilaku itu sendiri adalah kasat mata, tetapi penyebab terjadinya
perilaku secara langsung mungkin tidak dapat diamati.
b. Perilaku mengenal beberapa tingkatan, yaitu perilaku sederhana dan
steoreotip, seperti perilaku binatang bersel satu, refleks; dan perilaku
kompleks seperti perilaku sosial manusia.
c. Perilaku bervariasi dengan klasifikasi: kognitif, afektif, dan
psikomotorik, yang menunjukkan pada sifat rasional, emosional, dan
gerakan fisik dalam berperilaku.
d. Perilaku bisa disadari dan bisa tidak disadari.

Berdasarkan pengertian dan ciri perilaku tersebut dapat disimpulkan
bahwa pengertian perilaku atau behavior adalah perbuatan-perbuatan
manusia, baik yang overt behavior maupun yang covert behavior, yang
disadari atau tidak disadari baik secara rasional, emosional, maupun
gerakan fisik dalam berperilaku.

2.2.2. Perilaku Manusia dan Interaksinya dengan Lingkungan
a. Interaksi Manusia dengan Lingkungan
Manusia dan habitatnya (lingkungan hidup manusia), keduanya
saling berinteraksi dan merupakan kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain. Manusia merupakan pusat
lingkungan dan sekaligus menjadi bagian dari lingkungan. Cara
pandang manusia terhadap lingkungan dapat secara imanen atau
transenden. Interaksi manusia dengan lingkungan merupakan jalinan
transactional independency atau saling ketergantungan satu sama
lain, artinya perilaku manusia mempengaruhi lingkungannya,
sebaliknya Gifford (1987) dan Bubolz (1979) yang disitasi oleh
Bianpoen (2000) lingkungan akan mempengaruhi perilaku dan
pengalaman manusia itu sendiri. Melalui proses interaksi dengan
lingkungan hidupnya, selain manusia akan mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh lingkungannya, ia juga membentuk dan terbentuk
oleh lingkungan hidupnya (Soemarwotto, 1989; Soerjani, 1988)
Digambarkan oleh Rambo (1981) secara analitik proses
interaksi ini terjadi di dalam sistem sosial (socio sistem) dengan
ekosistem. Kedua sistem ini saling berhubungan terus menerus
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
25

melalui aliran enerji, materi dan informasi, sehingga terjadi proses
seleksi dan adaptasi antara keduanya. Dalam proses interaksi yang
berlangsung secara terus-menerus, manusia berupaya menjaga,
mempertahankan, memelihara, memperbaiki, membangun, dan
mengembangkan lingkungannya untuk memenuhi kebutuhan dan
aspirasi hidupnya, sehingga manusia dapat hidup sejahtera dengan
kualitas hidup yang lebih baik.
Interaksi manusia dengan lingkungannya dapat menimbulkan
berbagai dampak fisik maupun dampak psikologis, baik yang bersifat
positif maupun negatif. Dampak positif merupakan sesuatu yang
diharapkan oleh para perancang lingkungan, namun menurut
Holahan sejumlah besar hasil rancangannya ternyata telah gagal
mempertemukan kebutuhan perilaku (behavioral need) pemakainya
(Holahan, 1982). Di dalam lingkungan, selain manusia berinteraksi
antar sesamanya secara individu atau kelompok, manusia juga
berinteraksi dengan komponen-komponen lingkungan lain, baik biotik
maupun abiotik. Hasil interaksi antara manusia dengan lingkungan
yang sifatnya positif menguntungkan manusia dan lingkungan,
sebaliknya hasil interaksi yang sifatnya negatif dapat merugikan
manusia dan Iingkungannya. Bahkan bila peristiwa terus-menerus
berlangsung dapat merusak lingkungan yang berakibat pada
menurunnya kualitas hidup manusia. Interaksi ini sifatnya kompleks
berlangsung dinamik dan terus menerus, meskipun dalam kondisi
berubah-ubah diharapkan akan tetap dalam suatu keseimbangan
(Soerjani, 2002).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan interaksi manusia dengan lingkungan adalah
proses hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungannya
yang berlangsung secara terus-menerus, dalam hubungan timbal
balik ini manusia berupaya menjaga, mempertahankan, memelihara,
memperbaiki, membangun, dan mengembangkan lingkungannya
untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi hidupnya.



26
Bambang Deliyanto

b. Sikap Manusia terhadap Lingkungan
Perilaku manusia sangat bergantung pada sikapnya.
Dikemukakan Azwar (2007) bahwa Berkowitz (1972) menemukan
pengertian lebih dari 30 definisi sikap. Puluhan pengertian sikap itu
pada umumnya dapat dimasukkan ke dalam salah satu di antara tiga
kerangka pemikiran, yaitu:
Pertama adalah kerangka pemikiran yang dikemukakan oleh
Thrstone (1928) dan Likert (1932) mendefinisikan sikap adalah
bentuk evaluasi atau reaksi perasaan (Azwar, 2007). Sikap
seseorang terhadap obyek adalah perasaan mendukung atau
memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak
memihak (unfavorable) pada obyek tersebut. Holahan (1982)
berpendapat bahwa sikap manusia terhadap lingkungan adalah
perasaan senang atau tidak senang tehadap lingkungan sebagai
obyek sikap, baik itu isu yang berkenaan dengan karakteristik
lingkungan maupun isu lingkungan fisik misalnya terhadap desain
rumah, penataan rumah, dan lainnya yang mereka tempati. Sikap
manusia terhadap lingkungan dibentuk atas dasar keputusan tentang
keiinginan untuk hidup maupun kepuasan dan ketidakpuasan
(disatification) berkaitan dengan lingkungan hidup sekarang.
Pemikiran yang kedua dikemukakan oleh Chave (1926);
Bogardus (1931) dan Allport (1935), sikap merupakan semacam
kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara tertentu
(Azwar, 2007). Kesiapan bereaksi yang dimaksud, merupakan
kecenderungan potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu
apabila individu dihadapkan pada stimulus yang menghendaki
adanya respons. LaPierre (1934) mendefinisikan sikap sebagai suatu
pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk
menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana sikap
adalah respons terhadap stimuli sosial yang dikondisikan. Oleh
karena itu Deaux (1990) menyatakan bahwa sikap memberikan
petunjuk tentang perilaku di masa datang, sehingga dimungkinkan
untuk meramalkan bagaimana seseorang akan bertindak jika ia
menghadapi obyek keyakinannya.
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
27

Kelompok pemikiran yang ketiga adalah kelompok yang
berorientasi kepada skema triadic (triadic scheme), yaitu sikap
merupakan konstelasi komponen-komponen kognisi, afeksi, dan
konasi yang saling berintegrasi dalam memahami, merasakan, dan
berperilaku terhadap suatu obyek. Komponen kognisi terdiri dari
seluruh kognisi yang dimiliki seseorang mengenai obyek sikap yang
mencakup fakta, pengetahuan, dan keyakinan tentang obyek,
komponen afeksi terdiri dari seluruh perasaan atau emosi seseorang
terhadap obyek sikap, dan komponen konasi adalah kesiapan
seseorang untuk bereaksi atau berperilaku terhadap obyek
(http//www.sbs.eku.edu/psy/winslow/psy.300.attitude.htm2/1/00p1 1of
2).
Berkaitan dengan kelompok pemikiran yang ketiga ini, ada dua
pendekatan dalam melihat konstrak komponen-komponen sikap
(kognisi, afeksi dan konasi), yaitu yang menyatu dan sebagai yang
tidak menyatu (Rosenberg dan Hovland, 1960).
Pemikiran yang melihat komponen sikap sebagai satu
kesatuan, Ajzen (1988) melihat semua komponen berada dalam
suatu kontinum evaluatif, namun masing-masing dapat berbeda.
Sebagai contoh seseorang yang mempunyai afeksi negatif terhadap
penerbangan (takut & cemas naik pesawat) tetapi mempunyai kognisi
positif terhadap pilot (pilot terlatih dan berpengalaman) akan tetap
memutuskan bersedia ikut dalam penerbangan (konasi positif).

Gambar 2.2 Komponen sikap menyatu dalam kontinum evaluatif

Pemikiran yang tidak menyatu menempatkan ketiga komponen
afeksi, kognisi, dan konasi sebagai faktor jenjang pertama dalam
Keyakinan
(Kognisi)
Emosi
(Afeksi)
Konasi
(Kecende-
rungan ber-
perilaku)
SI KAP
28
Bambang Deliyanto

suatu model hirarkis. Ketiganya didefinisikan tersendiri dan kemudian
dalam abstraksi yang lebih tinggi membentuk konsep sikap sebagai
faktor tunggal jenjang kedua (Gambar 2.3).


Gambar 2.3 Konsepsi skematik hirarki sikap (Rosenberg & Hovland, 1960)

Berdasarkan uraian di atas, sikap dapat digunakan untuk
meramalkan perilaku, namun membutuhkan beberapa persyaratan
yaitu, apabila (1) sikap seseorang kuat dan konsisten, (2) dikaitkan
dengan perilaku yang diramalkan, (3) berdasarkan pengalaman, dan
(4) sikap individu (Atkitson, 1987).
Terdapat 4 tipologi karakteristik sikap yang digambarkan oleh
Krech (1962), yaitu (1) affective association, adalah sikap yang
mempunyai kandungan kognisi dan kecenderungan tindakan yang
minimal. Respons dari sikap ini didasari oleh emosi yang rendah
yang ditimbulkan oleh obyek stimulus. Tipe ini tidak dapat
memprediksikan perilaku seseorang; (2) Intellectualized attitude,
karakter sikap ini mempunyai komponen kognisi yang tinggi, tetapi
kurang berorientasi pada tindakan seperti halnya affective
association tipe juga tidak akurat dalam memprediksi sikap; (3) action
Variabel independent
yang bisa diukur
Variabel intervening Variabel independent yang
bisa diukur
STIMULI

(Individu, Situasi, Isu
Sosial, Kelompok
sosial
Obyek sikap lannya)
SIKAP
Respons syaraf
simpatetik

Pernyataan lisan
tentang afek

Respons
perseptual

Pernyataan lisan
tentang keyakinan
Tindakan yang
tampak

Pernyataan lisan
mengenai perilaku

AFEKSI
KOGNISI
KONASI
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
29

oriented attitudes, karakter sikap yang berorientasi pada tindakan ini
dapat merepresentasikan kecenderungan tindakan, namun dengan
kandungan kognisi yang minimum; (4) balance Attitudes, karakter
sikap tipe ini sangat berorientasi pada tindakan dan kaya akan
komponen perasaan. Tipe ini cenderung mempunyai kaitan erat
dengan sistem sikap yang lain dalam konstelasi sikap seseorang.
Oleh karena itu tipe ini dapat memprediksikan kecenderungan
tindakan seseorang. Dari keempat tipe tersebut, tipe terakhir inilah
yang mempunyai tingkat konsistensi yang tinggi dibandingkan
dengan 3 tipe lainnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan sikap manusia terhadap lingkungan adalah
respons manusia terhadap stimuli lingkungan yang merupakan
konstelasi komponen-komponen kognisi, afeksi, dan konasi yang
saling berintegrasi dalam memahami, merasakan, dan berperilaku
terhadap suatu stimuli lingkungan

c. Perilaku Lingkungan
Dalam teori interaksionaisme, Sarwono (1997) mengemukakan
bahwa manusia ditempatkan dalam posisi yang berhadapan dan
berinteraksi pertama kali dengan lingkungannya melalui
penginderaannya. Setelah itu, apa yang ditangkap oleh indera akan
diproses lebih lanjut dalam alam kesadaran manusia (kognitif) dan di
sini ikut berpengaruh sebagai faktor yang terdapat dalam kognisi
seperti memori tentang pengalaman, niat, sikap, motivasi, dan
intelegensi orang yang bersangkutan. Hasil pengolahan akan
berbentuk penilaian terhadap apa yang ditangkap oleh indera, dari
ungkapan penilaian ini akan muncul perilaku. Ciri teori interaksi
interaksionaisme yang diungkapkan oleh Sarwono tersebut adalah
bahwa perilaku dianggap sebagai hasil interaksi antara faktor yang
terdapat dalam diri manusia dan faktor dari luar diri manusia. J adi
manusia dengan lingkungannya merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan.
Nadler (1979), menyatakan bahwa perilaku manusia
merupakan fungsi dari interaksi antara individu dan lingkungannya.
30
Bambang Deliyanto

Perilaku manusia ini ditentukan oleh karakteristik individu itu sendiri
yang meliputi kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan
kebutuhan, dan pengalaman masa lalu. Karakteristik ini akan dibawa
oleh individu bila ia memasuki lingkungannya yang selanjutnya
karakteristik individu akan berinteraksi dengan karakteristik
lingkungan, dengan demikian penyebab perilaku dapat berasal dari
dalam diri manusia (internal) seperti kognitif, dan juga bisa bersumber
dari faktor eksternal atau lingkungan. Ajzen (1980), ada empat
elemen perilaku yaitu perilaku (action), target (target), kontek
(context), dan waktu (time).
Dalam hubungan manusia dengan lingkungan, Edward Chase
Tolman (1886-1959) merumuskan bahwa perilaku (behavior) sangat
bergantung dari situasi dan antecedent. Situasi di sini dimaksudkan
sebagai suatu keadaan yang menggambarkan aktivitas pada suatu
tempat, sementara yang dimaksud antecedent adalah hal-hal yang
mendahului situasi.




Bila situasi tersebut di atas yang menggambarkan aktivitas
pada suatu tempat dapat diartikan sebagai lingkungan manusia,
maka perilaku manusia dalam merespons lingkungannya tergantung
macam lingkungannya dan individu yang bersangkutan. Pendekatan
ini didukung oleh pendapat Kurt Levin (1890-1947) dan Brunswik
(1903-1955) yang menyatakan bahwa masing-masing lingkungan
dan individu seseorang dapat mempengaruhi respons seseorang
secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama lingkungan dan
individu mempengaruhi respons seseorang. Laurens (2005),
menyatakan bahwa individu seseorang dapat berupa motivasi,
pengalaman, pengetahuan, dan karakter seseorang, sedangkan
lingkungan
17
terdiri dari lingkungan fisik, lingkungan sosial,

17
Lingkungan yang dimaksud oleh Laurens (2005) adalah lingkungan fisik terdiri atas terrestrial, seting geografis
atau seting ruang; Lingkungan social terdiri atas organisasi sosial kelompok interpersonal; Lingkungan psikologik
terdiri atas imajinasi yang dimiliki seseorang dalambenaknya dan Lingkungan behavior mencakup elemen-elemen
yang menjadi pencetus respons seseorang.
Behavior =f (situasi, antecedent)

Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
31

lingkungan psikologik, maupun lingkungan behavior, seperti yang
digambarkan pada rumusan dan skema ini.








Gambar 2.4 Pengaruh individu dan lingkungan terhadap perilaku
dapat melalui proses 1 maupun proses 2.


d. Perilaku Adaptasi Manusia terhadap Lingkungan
Manusia melalui alam pikirannya (noosfir) dapat menjangkau
hal-hal yang berwujud maupun yang abstrak (Soerjani, 1987). Oleh
karena itu, manusia adalah mahluk yang mempunyai kemampuan
adaptasi
18
yang sangat besar dalam mempertahankan kelangsungan
hidupnya dibandingkan mahluk hidup lainnya (Soemarwoto, 1991).
Dengan kemampuan adaptasi manusia terhadap lingkungan yang
besar ini, hampir di semua habitat utama
19
dapat dihuni oleh
manusia.
Adaptasi pada manusia dapat melalui proses fisiologi (adaptasi
fisik), proses morfologi (adaptasi bentuk), dan proses sikap atau
tingkah laku (adaptasi kultural) (Soemarwoto, 1991; Environmental
and Human Adaptation 2006). Dalam jangka pendek adaptasi fisik
manusia merupakan respons fisik akibat adanya perubahan
lingkungan
20
, sedangkan untuk jangka panjang adaptasi fisik manusia
dapat secara genetik. Manusia dalam beradaptasi secara kultural
dapat melakukan adaptasi tindak penyesuaian diri melalui perilaku

18
Adaptasi adalah kemampuan makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan alamatau lingkungannya (Holahan,
1982; Soemarwoto, 1991).
19
Habitat Utama: perairan, Daerah Aliran Sungai, hutan hujan tropis, lahan kering, dataran rendah teririgrasi, lahan
basah, lahan liar, daerah urban dan industri (Haeruman, 2007).
20
DisebutkandalamEnvironmental and HumanAdaptation 2006 : suhu (panas, beku), ketinggian /tekanan atmosfir,
ultra violet sinar matahari, danpencemaran.


Behavior =f (environment, individu)

32
Bambang Deliyanto

dan teknologi, menurut Bell (1978) upaya ini disebut dengan
Coping
21
.
Coping atau mekanisme diri adalah upaya tindak penyesuaian
diri manusia dalam berinteraksi dengan sistem lingkungan hidup
manusia baik itu sistem sosial maupun ekosistem. Macam atau
bentuk tindak coping ini dilakukan seseorang berdasarkan
persepsinya
22
terhadap lingkungan.
Dalam melihat persepsi lingkungan ini ada dua pendekatan
yaitu pendekatan konvensional dan pendekatan ekologis dari Gibson
(Bell, 1978). Pendekatan konvensional, persepsi adalah proses
penerimaan sejumlah sensasi melalui bekerjanya sistem syaraf,
sehingga kita dapat mengenal dan menyusun suatu pola yang terjadi
sebagai hasil proses penerimaan informasi melalui penarikan
kesimpulan atau pembentukan arti dari suatu kejadian saat itu, serta
dikaitkan dengan kesan/ingatan untuk kejadian yang sama di masa
lalu.
Pendekatan ekologis dari Gibson, persepsi adalah
penyesuaian timbal balik antara individu, lingkungan sosial dan
lingkungan fisik. Pola persepsi menyampaikan lebih banyak informasi
secara cepat tanpa melalui proses penyesuaian pusat syaraf yang
lebih tinggi. Persepsi lebih banyak holistik, sehingga informasi
lingkungan yang diterima bukan merupakan bagian yang terpisah-
pisah melainkan satu kesatuan yang penting. Persepsi ini
mempengaruhi reaksi seseorang dalam coping sesuai nalurinya,
reaksi ini akan homeostasis bila yang dipersepsikan masih dalam
batas optimal (toleran). Bila lingkungan dipersepsikan di luar batas
optimal atau intoleran, penghuni mengalami stress
23
yang memicu
untuk melakukan penyesuaian diri yang kadang kala berhasil dan
kadang kala gagal (Gambar 2.5).


21
Contoh: Manusia yang hidup di daerah yang tercemar oleh limbah domestik, dalamtubuhnya berkembang
kekebalan terhadap infeksi muntah berak. Orang Indian di pegunungan Andes yang tinggi telah teradaptasi pada
kadar oksigen dalam udara yang rendah. Ketahanan tumbuhan terhadap kekeringan dilakukan dengan
penyesuaian perakaran yang dalamdan luas. Tumbuhan dapat membentuk zat dalamtubuhnya yang membuat
mereka kebal terhadap serangan hama.
22
Persepsi adalah stimulus (sesuatu yang dapat memberikan rangsangan pada syaraf) yang ditangkap oleh panca
indera yang diberi interpretasi (arti) oleh sistemsyaraf (Sarwono, 1989.)
23
Stress adalah beban mental yang timbul akibat suatu rangsangan yang dipersepsikan di luar ambang toleransi
seseorang ( Sarwono, 1992),
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
33













Gambar 2.5 Model tindak penyesuaian diri (Bell ,1978)


Teori tingkat adaptasi (adaptation level theory) menyebutkan,
manusia menyesuaikan respons terhadap rangsang atau stimulus
yang datang dari luar, sementara itu stimulus dapat diubah sesuai
dengan keperluan manusia. Penyesuaian respons terhadap stimulus
sebagai adaptasi, sedangkan penyesuaian stimulus pada keadaan
individu disebut sebagai adjustment (Gambar 2.6).










Gambar 2.6 Bentuk coping yang terdiri dari adaptasi dan adjustment

Dalam hubungan ini, Wohlwill mengatakan bahwa setiap orang
mempunyai tingkat adaptasi (adaptation level) tertentu terhadap
rangsang atau kondisi lingkungan tertentu. Kondisi lingkungan yang

Obyek
Fisik
Individu
Stress
berlanjut
Adaptasi
Kemungkinan
efek lanjutan
Persepsi
Dalam batas
optimum /
toleran
Di luar batas
optimum /
intoleran
Stress Coping
Berhasil
Gagal
Homeostasis
Kemungkinan
efek lanjutan

Manusia

Lingk. Alam
atau Buatan
Adaptasi =respons disesuaikan
dengan lingkungan/stimulus
Adjustment =stimulus disesuaikan
dengan manusia
34
Bambang Deliyanto

sama dengan tingkat adaptasi adalah kondisi optimal (Sarwono,
1992). Pendapat Lazarus yang disitasi Sarwono (ibid), ada dua
macam adaptasi, yaitu tindak penyesuaian diri langsung dan tindak
penyesuaian mental (Palliative coping). Individu cenderung selalu
mempertahankan kondisi optimal ini, dalam skema Bell di atas
kondisi ini dinamakan kondisi homeostasis. Respons dalam bentuk
adaptasi cenderung tidak berdampak negatif pada lingkungan, tetapi
respons dalam bentuk adjustment seringkali dapat merusak
lingkungan baik fisik maupun non fisik.
Permasalahan sosial yang terjadi pada masyarakat, anggota
masyarakat dalam melakukan coping akan mencoba berbagai solusi
yang akhirnya akan menjadi solusi yang terbentuk dengan stabil
pada kebiasaan masyarakat (homeostasis). Kebiasaan ini akan
terpancar kuat pada generasi berikutnya sebagai budaya dari
masyarakat itu sendiri (Krech, 1992).
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud coping lingkungan adalah upaya tindak penyesuaian diri
manusia dalam berinteraksi dengan sistem lingkungan hidup
manusia, baik lingkungan sosial, lingkungan alami, maupun
lingkungan buatan, baik secara langsung dalam bentuk adaptasi dan
adjustment maupun secara mental.

2.3. Spatial Behavior (perilaku spasial)
2.3.1. Konsep Perilaku Spasial
Respons individu terhadap stimulus lingkungan spasial bisa disebut
sebagai perilaku spasial (spatial behavior). Perilaku spasial ini mempunyai
arti yang beragam, para ahli ekonomi, sosiologi dan ahli antropologi
memberikan penjelasan yang masing-masing berbeda (Tabel 2.1). Arsitek
dan perencana kota umumnya lebih menaruh perhatian pada perilaku skala
mikro, mulai dari ruangan hingga lingkungan atau distrik dalam kota.
Laurens (2005), perilaku spasial merupakan fenomena dari kemanfaatan
(affordances) lingkungan, yaitu bagaimana cara manusia menggunakan
suatu seting lingkungannya. Dalam skala makro perilaku spasial oleh ahli
geografi digunakan untuk menggambarkan tentang fluktuasi sistem atau
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
35

elemen sistem keruangan, seperti pertumbuhan wilayah, aliran komoditi,
pertumbuhan penduduk dan sebagainya.
Golledge & Stimson (1997), perilaku spasial mempunyai arti yang
sangat longgar, antara lain adalah perwujudan seting fisik (phisic setting)
ruang akibat dari tindakan manusia, termasuk di dalamnya perilaku
manusia terhadap ruang (seperti sikap, motivasi, tindakan maupun prestasi
manusia) dan fluktuasi dari unsur-unsur sistem nonsensate.
Perilaku manusia dalam konteks ruang atau perilaku spasial ini
sangat kompleks karena merupakan persinggungan interaksi yang rumit
antara manusia dan lingkungan. Dalam interaksi ini melibatkan satuan
variabel lingkungan manusia seperti lingkungan alam dan buatan yang
termasuk di dalamnya adalah faktor budaya, teknologi sosial dan politik
(ibid). Kompleksitas ini digambarkan dalam model pikiran Black Box yang
merupakan persinggungan antara dunia luar dengan perilaku spasial yang
nampak seperti yang diskemakan oleh Gold (1980) dan Burnett (1976)
dalam gambar paradigma perilaku, pemahaman ruang, dan perilaku
spasial (Gambar 2.7).

Gambar 2.7 Paradigma perilaku, pemahaman ruang, dan perilaku spasial
(Sumber :Golledge & Stimson, 1997)

Perilaku spasial ini merupakan respons perilaku hasil proses
pembelajaran yang dipengaruhi dan mempengaruhi persepsi, pemahaman
36
Bambang Deliyanto

atau keyakinan yang pada akhirnya proses ini dapat merubah struktur
lingkungannya. Begitu pula sebaliknya struktur lingkungan ini akan di
respons kembali, dan seterusnya seperti yang digambarkan oleh Golledge
& Stimson (1997) pada Gambar 2.8.


Gambar 2.8 Interface antara perilaku manusia dan lingkungan
(Sumber :Golledge & Stimson, 1997 )

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
perilaku spasial adalah perwujudan tata spasial akibat dari tindakan
manusia, termasuk di dalamnya perilaku manusia terhadap ruang (seperti
sikap, motivasi, tindakan dan prestasi manusia) dan fluktuasi dari unsur-
unsur sistem nonsensate yang dapat membentuk pola perilaku kelompok
sebagai akibat dari kondisi lingkungan atau spasial tertentu.

2.3.2. Pola Perilaku spasial
Sebagai mahluk individu dan sosial, pola perilaku spasial manusia,
Laurens (2005) mengelompokkan ke dalam dua proses, yaitu proses
individual dan proses sosial.
Pola perilaku spasial yang dihasilkan melalui proses individu terjadi
pada alam pikiran seseorang, bagaimana cara manusia memanfaatkan
lingkungan dalam interaksinya dengan lingkungan spasial. Interaksi yang
terjadi dalam alam pikiran ini melalui proses persepsi, kognisi, dan afeksi
yang terwujud dalam tindakan dan respons seseorang baik respons
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
37

emosional maupun evaluasi hasil perilaku yang muncul menghasilkan
skema sikap agar pemanfaatan lingkungan tampak logis (Gambar 2.9).

Gambar 2.9 Perilaku spasial melalui proses perilaku individu
(Sumber: Lang, 1987)

Pola perilaku spasial yang dihasilkan melalui proses sosial di
samping perilaku spasial yang terkait dengan persepsi individu, juga terjadi
akibat adanya hubungan antar manusia atau interpersonal sesama
manusia dalam suatu seting spasial tertentu yang menimbulkan adanya
gejala persepsi, seperti ruang personal (personal space)
24
, teritorialitas
(territoriality)
25
, kesesakan (crowding)
26
, dan kepadatan (density)
27
, serta
privasi (privacy)
28
. Pada kasus lingkungan permukiman rumah susun dapat
disajikan pada Tabel 2.3.






24
Personal Space adalah suatu area dengan batas maya yang mengelilingi diri seseorang dan orang lain tidak
diperkenankan masuk ke dalamnya, tabung maya ii dapat membesar atau mengecil bergantung dengan siapa
seseorang berhadapan (Robert Sommer (1969).
25
Territoriality adalah sesuatu yang berkaitan dengan ruang fisik, tanda, kepemilikan, pertahanan, penggunaan
yang ekslusif, personalisasi, dan identitas. Termasuk di dalamnya dominasi, kontrol, konflik, keamanan, gugatan
akan sesuatu, dan pertahanan (J ulian Edney (1974).
26
Crowding adalah persepsi seseorang terhadap kepadatan (densiy) atau respons subyektif terhadap ruang yang
sesak (Bell, ).
27
Density adalah banyaknya jumlah manusia dalamsuatu batas ruang tertentu (Sarwono,).
28
Privasi adalah kontrol selektif dari askes pada diri sendiri ataupun kelompok (Altman, 1975).

38
Bambang Deliyanto

Tabel 2.3 Gejala persepsi akibat adanya hubungan interpersonal
manusia dalam suatu seting spasial dan lingkungan spasial
yang terbentuk

No
Gejala persepsi akibat
adanya hubungan
interpersonal manusia
dalamsuatu seting
spasial
Lingkungan spasial yang
terbentuk
Penerapan lingkungan spasial
pada rumah susun
1 Ruang personal
(personal space)
Hirarki Jarak komunikasi (intim,
personal, sosial dan publik.
Penataan perabot interior rumah
susun, mis: bagaimana menata
perabot ruang tidur, ruang tamu
dan ruang serbaguna
2 Teritorialitas
(territoriality)
Hirarki Teritorialitas: teritori
primer (tempat sangat pribadi),
teritori sekunder (tempat yang
dimiliki sekelompok manusia),
dan teritori publik (tempat
terbuka untuk umum)
Penataan masterplan permukiman
rumah susun, mis: penataan unit
satuan rumah susun, koridor, dan
ruang public
3 Kepadatan dan
kesesakan (crowding
dan density)
Hirarki kepadatan ruang
(rendah, sedang dan tinggi) dan
hirarki kesesakan ruang(sesak
dan tidak sesak)
Penataan hirarki kepadatan
penghuni rumah susun pada unit
satuan rumah susun, dan ruang
publik
4 Privasi (privacy) Hirarki Sifat ruang(ruang privat,
ruang semi privat, ruang semi
publik, dan ruang publik)
Penataan ruang berdasarkan sifat
ruang, mis: dari privat untuk ruang
tidur sampai publik untuk ruang-
ruang bersama
Diolah dari berbagai sumber

2.3.3. Behavior Setting (seting perilaku)
Manusia dalam memenuhi kebutuhannya seperti yang telah diuraikan
dalam hierarki kebutuhan Maslow, manusia menciptakan ruang-ruang
aktivitas yang terlihat dari pola perilaku penggunanya. Barker (1968)
seorang tokoh psikologikal ekologi telah mengembangkan penelitian
perilaku individual di lapangan dan melahirkan konsep tatar perilaku atau
seting perilaku (behavior setting). Bell (1996) dan Krech (1962) melihat
bahwa ada hubungan timbal balik antara lingkungan spasial yang terbentuk
dan perilaku manusia, oleh karena itu pertemuan antara individu dan
lingkungannya mewujudkan seting perilaku.
Istilah Behavioral Setting oleh Roger Barker (1968) digunakan untuk
menjelaskan kombinasi yang stabil antara perilaku dan milleu
29
tertentu,
sedangkan David Haviland (1967) menyebutkan kombinasi ini sebagai

29
Physical Milleu adalah nilai ruang yang ditentukan oleh kondisi tempat atau spatial tertentu akibat dari sistem
aktivitasnya, misalnya nilai suatu ruang dikatakan sebagai Masjid karena aktivitas kelompok dan seting ruang
disesuaikan dengan fungsi Masjid.
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
39

ruang aktivitas (Laurens, 2005). Kombinasi yang stabil antara perilaku
dan milleu dapat digambarkan pada berbagai ruang aktivitas berikut ini.
Misalnya Behavioral Setting untuk aktivitas prosesi pengadilan, masing-
masing individu pelaku mempunyai peran masing-masing, dan menempati
posisinya masing-masing berdasarkan seting ruang pengadilan. Ruangan
akan ditata secara formal antara kursi hakim, jaksa, pembela, dan
tersangka maupun pengunjung sesuai dengan aktivitas prosesi pengadilan,
akibat aktivitas pengadilan dan penataan ruangnya maka yang terjadi pada
setiap individu yang memasuki ruangan tersebut akan tertata (setting)
sesuai dengan prosesi pengadilan. Perilaku individu yang memasuki
ruangan ini akan berbeda lagi jika ruangan ini diubah menjadi ruang kelas,
di mana di dalamnya ada yang berperan sebagai dosen dan mahasiswa.
Begitu juga bila ruangan ini ditata untuk prosesi ibadah sholat J umat,
Imam akan menempati mihrab dengan posisi tertentu di bagian muka
ruangan, dan jamaah akan bersila menghadap imam pada saat
berkhotbah. Seting perilaku ini pada gilirannya akan mempengaruhi
perilaku masing-masing individu, dan bila terdapat individu yang
berperilaku tidak sesuai dengan setingnya maka seluruh individu dalam
kelompok akan merasa terganggu, misalnya jika di dalam ruangan
pengadilan atau ruang kelas terdapat individu yang berteriak-teriak dan
bertindak tidak sesuai aturan.
Dalam skala ruang kota, ahli geografi mengamati hubungan seting
perilaku manusia dengan struktur ruang kota. Seting perilaku ini tercermin
dalam gambaran fisik tentang arah tindakan atau gerakan manusia
termasuk gambaran fisik yang dapat mengarahkan dan memotivasi proses
tingkah laku (Golledge & Stimson, 1997). Misalnya panjang gerak
transportasi manusia, jaringan pergerakan, kedekatan dengan pusat
belanja, rata-rata jarak antar kota dan lainnya.
Untuk menggambarkan bahwa seting perilaku merupakan kombinasi
yang stabil antara perilaku dan milleu, di bawah ini digambarkan oleh Krech
(1962) variasi setting spatial dan prominent behavior characteristics
masyarakat Midwest dalam memanfaatkan waktu terbesarnya yang
merupakan hasil penelitian Barker dan Wright (1954) seperti pada Tabel
2.4 berikut.

40
Bambang Deliyanto

Tabel 2.4 Variasi perilaku masyarakat Midwest yang ditentukan oleh
penduduk dalam memanfaatkan waktu terbesarnya

Variety of setting Prominent behavior characteristics
Occupancy
Index (per cent
of 1,030,658
hours)
School classes Formal teaching and learning 12.4
Trafficways Traveling between behacior settings 7.5
Grocery, loker, and feed store Buying and selling food 5.7
Motor vehicle sales and
service
Buying, selling, and repairing automobiles,
trucks, and equipment
5.4
Drug, variety, and department
stores
Buying and selling clothing, household
accessories, and medicines
5.1
Indoor entertainments Attending and producing public
entertainments
4.8
Restaurants and tavems Eating, drinking, and preparing food in
public cafes and tavems
4.5
Government and school
offices
Office work 4.0
Home appliance, hardware,
implement, and furniture store
Buying, selling, and repairing home and
farmequipment
3.8
Attorneys, insurance, and real
estate offices
Legal work, buying and selling insurance
and real estate
3.3
Indooe athletic contests Attending and participating in indoor
athletic contests
2.9
Building contractors and
material suppliers
Buying and selling materials and
equipment, and erecting and altering
buildings
2.9
Hotels, rooming houses, and
nurseries
Providing temporary lodging 2.3
Telephone and electric offices Providing and maintaining telephone and
electric service
2.0
Barbers and beauticians Providing and securing hairdressing 1.8
Hallways and cloakrooms Going fromone setting to another within
buildings. Putting on and removing outdoor
garments
1.3
Total 69.7

Berdasarkan contoh-contoh tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa dalam satu lingkungan buatan dapat didesain berbagai behavior
setting. Pada kasus penghunian suatu permukiman rumah susun, dapat
digambarkan pada Tabel 2.5 berikut.


Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
41

Tabel 2.5 Kasus penghunian suatu permukiman rumah susun

I
n
t
e
r
k
s
i

d
e
n
g
a
n

t
e
t
a
n
g
g
a
P
e
r
t
e
m
u
a
n

w
a
r
g
a
B
u
a
n
g

s
a
m
p
a
h
S
i
m
p
a
n

k
e
n
d
a
r
a
a
n
B
e
l
a
n
j
a

/

m
e
n
j
u
a
l

/
j
a
s
a
R
e
k
r
e
a
s
i

O
l
a
h

r
a
g
a
E
s
c
a
p
e

d
r

b
e
n
c
a
n
a
M
e
n
e
r
i
m
a

t
a
m
u
N
o
n
t
o
n

T
V
B
e
r
i
b
a
d
a
h
T
i
d
u
r

/

i
s
t
i
r
a
h
a
t
M
a
n
d
i

-

b
u
a
n
g

a
i
r
B
a
c
a

-

d
u
d
u
k
S
t
u
d
i

-

k
e
r
j
a

b
a
c
a

t
u
l
i
s
H
o
b
i
B
e
r
m
a
i
n


d
l
m


r
u
m
a
h
I
n
t
e
r
a
k
s
i

d
g

k
e
l
u
a
r
g
a
M
a
k
a
n
M
a
s
a
k
C
u
c
i

-

J
e
m
u
r
S
t
r
i
k
a
Ruang Terbuka
Parkir kendaraan
Tmpt Pembuangan Sampah
Tempat Olah Raga
Warung/ Tempat Komersial
Tempat Ibadah
Ruang Serbaguna
Hall Penerima
Koridor/ tangga/ lift
Ruang duduk
Ruang makan
Ruang keluarga
Ruang Tidur
Kamar Mandi / WC
Dapur
Rg multi fungsi rmh
Tempat / ruang
R
.
B
e
r
s
a
m
a

+

F
a
s
.
L
i
n
g
k
.

R
u
s
u
n
U
n
i
t

S
a
t
u
a
n

R
u
s
u
n
Diolah dari berbagai sumber

2.4. Eco-spatial Behavior
2.4.1. Konsep Eco-spatial Behavior
Konsep eco-spatial behavior merupakan pengembangan dari perilaku
perilaku spasial, dan tidak semua stimulus spasial akan direspons manusia
dengan perilaku yang sejalan dengan prinsip-prinsip ekologis, eco-spatial
behavior lebih menekankan hubungan timbal balik antara spasial dan
perilaku manusia yang sejalan dengan prinsip-prinsip ekologis. Oleh
karena itu untuk mehami eco-spatial behavior tidak bisa terlepas dari
pemahaman akan ekologi.
Ekologi berasal dari kata Oikos dan logos (Yunani) yang artinya studi
tentang rumah tangga mahluk hidup. Soerjani (2002), menyatakan bahwa
sampai dengan 2002, ekologi dianggap sebagai cabang dari biologi.
Merebaknya berbagai isu lingkungan hidup antara tahun 1968-1970,
ekologi mulai dilihat sebagai ilmu tersendiri yang interdisiplin, integratif dan
holistik yang mengkaitkan berbagai proses fisik dan hayati walaupun tetap
Aktivitas Penghunian
42
Bambang Deliyanto

mempunyai hubungan erat dengan biologi. Bahkan prinsip-prinsip ekologi
sering digunakan untuk menjelaskan seluk beluk lingkungan buatan,
seperti kota dengan apa yang disebut ekologi perkotaan, dan sebagainya.
Salim (2008) menyatakan bahwa prinsip-prinsip ekologi adalah sebagai
berikut :
a. Adanya interdependensi antar komponen ekosistem;
b. Bila ekosistem mempunyai diversitas besar maka ekosistem tersebut
mempunyai stabilitas ekosistem yang besar; begitu pula sebaliknya.
c. Adanya ekuilibrium antar komponen ekosistem;
d. Mempunyai daya dukung dan daya tampung ekosistem terbatas;
e. Zat dan energi tidak bisa diciptakan, tetapi hanya bisa
ditransformasikan menjadi produk lain beserta limbah cair, gas, dan
padat yang akan masuk ekosistem.

Berdasarkan uraian perilaku spasial dan prinsip-prinsip ekologis
tersebut di atas, maka eco-spatial behavior atau perilaku spasial yang
ekologis adalah hubungan timbal balik antara tata spasial dan perilaku
manusia yang sejalan dengan prinsip-prinsip ekologis. Berdasarkan
pengertian dari konsep perilaku spasial dapat dikembangkan pengertian
eco-spatial behavior sebagai perwujudan tata spasial akibat dari tindakan
manusia, termasuk di dalamnya perilaku manusia terhadap ruang (seperti
sikap, motivasi, tindakan, dan prestasi manusia) dan fluktuasi dari unsur-
unsur sistem nonsensate, yang dapat membentuk pola perilaku manusia
sesuai dengan prinsip-prinsip ekologi.

2.4.2. Prinsip-prinsip yang dapat mendukung Eco-spatial Behavior
Tuntutan perilaku manusia agar menuju eco-spatial behavior dapat
terwujud bila perilaku manusia sudah memperhatikan prinsip-prinsip
kehidupan yang berkelanjutan.
a. Prinsip-prinsip Menuju Kehidupan Berkelanjutan
Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World
Commission on Environment and Development) mendefinisikan
pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi
kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan
kebutuhan generasi mendatang (IUCN, 1993).
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
43

Untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan tersebut sangat diperlukan masyarakat yang
berkelanjutan sebagaimana dituangkan oleh Komisi Dunia untuk
Lingkungan dan Pembangunan melalui sembilan prinsip secara
singkat adalah: (1) menghormati dan memelihara komunitas
kehidupan, (2) memperbaiki kualitas hidup manusia, (3) melestarikan
daya dukung dan keanekaragaman bumi, (4) menghindari
pemborosan sumber daya yang tak terbarukan, (5) berusaha tidak
melampaui kapasitas daya dukung bumi, (6) mengubah sikap dan
gaya hidup orang-per orang, (7) mendukung kreativitas masyarakat
untuk memelihara lingkungan sendiri, (8) menyediakan kerangka
kerja nasional untuk memadukan upaya pembangunan dan
kelestarian, dan (9) menciptakan kerja sama global.
Melestarikan sumber daya dan keanekaragamannya yang
dipentingkan di sini adalah perlindungan terhadap struktur, fungsi,
dan keanekaragaman unsur hayati serta unsur-unsur lain yang dapat
diperbaharui. Dalam hubungan ini mencakup tiga hal pokok yaitu
melestarikan proses-proses ekologi yang berlangsung dalam
ekosistetn, melestarikan keanekaragaman hayati yang meliputi
spesies hewan, tumbuhan, organisme lain, cadangan genetik dalam
tiap spesies, dan menjamin keberlanjutan dalam menggunakan
sumber daya alam yang dapat diperbaharui seperti tanah, hutan, laut,
ekosistem air tawar, sawah dan ladang, dan lainnya.
Di bawah ini disajikan prinsip-prinsip menuju kehidupan yang
berkelanjutan, yang diadaptasi dari IUCN, UNEP, dan WWC dalam
bukunya Caring for the Earth, A Strategy for Sustainable Living, yang
telah diterjemahkan ke dalam buku Bumi Wahana, Strategi Menuju
Kehidupan yang Berkelanjutan (1993: 10-11), sebagai berikut:
1) Memelihara dan menghormati komunitas kehidupan
Prinsip ini menekankan manusia mempunyai kewajiban untuk
peduli kepada orang lain dan kepada bentuk-bentuk kehidupan
lain, sekarang dan di masa mendatang. Karena seluruh
kehidupan di bumi (biosfer) ini adalah bagian dari sebuah
sistem yang besar yang saling bergantung dan saling
berpengaruh.
44
Bambang Deliyanto

2) Memperbaiki kualitas hidup manusia
Tujuan kehidupan yang sesungguhnya adalah untuk
memperbaiki mutu hidup manusia, oleh karena itu prinsip ini
menekankan bahwa pembangunan yang dicapai melalui
pertumbuhan ekonomi baru berarti jika dapat meningkatkan
kualitas hidup manusia dalam segala segi.
3) Melestarikan daya hidup dan keragaman bumi
Prinsip ini mengupayakan kelestarian sistem-sistem penunjang
kehidupan itu agar pembangunan bisa berlanjut.
4) Menghindari pemborosan sumber-sumber daya yang tak
terbarukan,
Prinsip ini merupakan minimalisasi penciutan sumberdaya alam
yang tidak bisa diperbarui melalui penghematan sumber daya
atau bahan baku untuk pembuatan produk dengan cara
mendaur ulang, bahkan bilamana mungkin beralih ke sumber
daya pengganti yang dapat diperbarui
5) Berusaha tidak melampaui kapasitas daya dukung bumi.
Pada batas tertentu ekosistem bumi dan biosfer masih mampu
bertahan terhadap gangguan atau beban tanpa mengalami
kerusakan yang membahayakan, bila kapasitas daya dukung
bumi tidak terlampaui. Oleh karena itu prinsip ini menekankan
bahwa manusia dalam berusaha agar tidak melampaui
kapasitas daya dukung bumi melalui berbagai kebijakan.

b. Prinsip Pembangunan Kota Berkelanjutan
Kota adalah tempat terkonsentrasinya permukiman penduduk.
Permukiman rumah susun sebagai solusi pemenuhan kebutuhan
akan papan warga di perkotaan hendaknya memperhatikan prinsip
pembangunan kota yang berkelanjutan. Budihardjo (2003)
menyatakan ada tujuh prinsip (Prinsip Sapta-E) yang harus
diperhatikan dalam pembangunan kota yang berkelanjutan, yaitu:
1) Environment atau Ekologi. Aspek ini sering terabaikan dalam
perencanaan dan pembangunan kota, sehingga kota semakin
pengap, panas dan gersang di musim kemarau. Sebaliknya
pada musim hujan warga kota sering mengalami banjir. Ruang
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
45

terbuka hijau dan ruang publik semakin melenyap, garis
sempadan pantai dan sungai hilang, akses terhadap
pemandangan, keindahan, fasilitas, dan aneka kenyamanan
lain seolah menjadi milik orang kaya.
2) Employment atau ekonomi. Perencana kota dan penentu
kebijakan seringkali hanya mengalokasikan lokasi-lokasi bagi
kegiatan sektor formal dan kurang memperhatikan sektor
informal. Akibatnya, para pedagang kaki lima, lesehan, dan
lain-lain menempati ruang-ruang kota yang tersisa (left-over
urban space) yang menimbulkan rasa tidak aman dan siap
digusur setiap saat.
3) Engagement atau partisipasi masyarakat. Keterlibatan warga
kota dan segenap pemangku kepentingan merupakan
prasyarat dari pembangunan kota berkelanjutan.
4) Equity yang berarti persamaan hak, kesetaraan, dan keadilan
bagi segenap masyarakat kota tanpa kecuali dapat menjangkau
seluruh sumberdaya perkotaan.
5) Energy conservation menuntut perhatian yang lebih untuk
aktivitas di perkotaan, terutama terhadap sarana dan prasarana
transportasi umum massal.
6) Development Ethic atau etika membangun. Prinsip ini sering
dilanggar terutama dalam pembangunan perumahan skala
besar atau pembangunan kota baru. Pengurugan situ,
pembongkaran hutan bakau, pengeprasan bukit dan perubahan
bentang alam lainnya tanpa ada rasa bersalah di hati dan
pikiran pelakunya.
7) Esthetic atau keindahan, prinsip ini terkadang kontroversial
karena adanya perbedaan persepsi antara warga kota dengan
pengelola kota. Misalnya kampung kumuh atau pedagang kaki
lima bagi pejabat pemerintah dianggap merusak citra,
sementara bagi warganya bahwa keindahan kampung atau kaki
lima terletak pada kekumuhannya.

46
Bambang Deliyanto

Selain ketujuh aspek tersebut Budihardjo (1999) pernah
menyebutkan dua E lagi yaitu Enforcement atau penegakan
hukum dan Enjoyment atau kenikmatan dan kenyamanan.

Berdasarkan uraian prinsip-prinsip yang dapat mendukung
terwujudnya eco-spatial behavior di atas dan prinsip-prinsip ekologi
dari Salim (2008), terdapat beberapa kesamaan prinsip seperti yang
disajikan pada Tabel 2.6. berikut.

Tabel 2.6 Prinsip-prinsip yang dapat mendukung terwujudnya eco-
spatial behavior
Prinsip-prinsip ekologi
Salim(2008)
Prinsip-prinsip menuju
kehidupan yang berkelanjutan
(IUCN, UNEP, &WWC, 1993)
Prinsip Permukiman berkelanjutan
7 E +2 E
(Eko Budihardjo, 2003)
1. Memperhatikan hubungan antara
diversitas dan stabilitas
ekosistem.
1. Melestarikan daya hidup dan
keragaman bumi
1. Perencanaan kota
memperhatikan faktor lingkungan
(Environment)
2. Memperhatikan adanya
ekuilibrium antar komponen
ekosistem
2. Perencana dan pengelola kota
mempertimbangkan Equity atau
persamaan hak, kesetaraan, dan
keadilan
3. Memperhatikan adanya inter-
dependensi antar komponen
ekosistem
2. Memelihara dan
menghormati komunitas
kehidupan
3. Perencanaan kota
memperhatikan Development
Ethic atau etika pembangunan
4. Memperhatikan daya dukung dan
daya tampung ekosistem yang
terbatas
3. Berusaha tidak melampaui
kapasitas daya dukung bumi
5. Memperhatikan transformasi zat
dan energi (yang tidak bisa
diciptakan) menjadi produk lain
beserta limbahnya
4. Menghindari pemborosan
sumber-sumber daya yang
tak terbarukan
4. Perencanaan kota
mempertimbangkan energy
conservation
5. Esthetic atau keindahan
6. Enjoyment atau kenikmatan dan
kenyamanan
__ 5. Memperbaiki kualitas hidup
manusia
7. Perencanaan kota
mempertimbangkan alokasi
ruang untuk berbagai
employment
__ __ 8. Enforcement atau penegakan
hukum
__ __ 9. Engagement atau partisipasi
masyarakat dalam perencanaan
kota

Bila dihayati dari prinsip-prinsip tersebut di atas, prinsip
melestarikan daya hidup dan keragaman bumi dari IUCN, UNEP, &
WWC, (1993) merupakan pijakan etika bagi prinsip-prinsip lainnya
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
47

yang merupakan kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu kehidupan
berkelanjutan dalam suatu pembangunan. Oleh karena itu bab
berikut akan dibahas tentang melestarikan fungsi lingkungan.

c. Melestarikan Fungsi Lingkungan
Resosoedarmo (1988), menyatakan bahwa melestarikan
berasal dari kata lestari berarti langgeng. Melestarikan alam
mempunyai lingkup yang lebih luas, bukan saja mengawetkan alam,
tetapi juga sumber daya alam, dan yang dilindungi bukan hanya
jenis-jenis tertentu melainkan semua makhluk hidup dari faktor
lingkungannya. Usaha melestarikan alam harus ditekankan pada
pelestarian sistem kehidupan secara menyeluruh atau lingkungan
yang lebih baik agar kualitas hidup manusia dapat ditingkatkan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun l997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Bab I, Pasal I butir 5, 7, dan 9
menyebutkan bahwa pelestarian yang dimaksud mencakup: (1)
pelestarian fungsi lingkungan adalah rangkaian upaya untuk
memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup, (2) pelestarian daya dukung lingkungan hidup.
adalah rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan lingkungan
hidup terhadap tekanan perubairan, dan (3) pelestarian daya
tampung iingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk melindungi
kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan atau
komponen lain yang dibuang ke dalamnya. Pelestarian
(conservation) dimaksudkan sebagai pemakaian secara rasional
lingkungan untuk tujuan kualitas hidup yang tinggi dari berbagai jenis
manusia, termasuk perencanaan dan pengendalian manusia dalam
menggunakan lingkungannya, dengan mempertimbangkan masa
depan manusia dan dengan pandangan lingkungan yang
berkelanjutan untuk kepuasan aspirasi manusia, termasuk
memelihara atau meningkatkan keanekaragaman dalam lingkungan.
Berkenaan dengan pelestarian sebagaimana disebutkan di
atas, Hardjasoemantri (1996) menegaskan adanya tiga sasaran
konservasi yang mencakup: (1) menjamin terpeliharanya proses
ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi
48
Bambang Deliyanto

kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia
(perlindungan sistem penyangga kehidupan), (2) menjamin
terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe
ekosistemnya, dan (3) mergendalikan cara-cara pemanfaatan
sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya.
Catanese (1998) mengatakan balwa pelestarian dapat berlangsung
dalam berbagai skala dan situasi yang berbeda, tidak saja bangunan
atau lingkungan permukiman namun keseimbangan secara ekologis.
Melengkapi pendapat yang telah dipaparkan di atas, maka
asas konservasi sesuai dengan asas pengelolaan lingkungan hidup
sebagaimana dituliskan pada Pasal 4 Undang-undang Lingkungan
Hidup (UULH) Nomor 23 tahun 1997 mencakup: (1) tercapainya
keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan
lingkungannya' (2) terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan
lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindakan melindungi dan
membina lingkungan hidup' (3) terjaminnya kepentingan generasi
masa kini dan generasi masa depan, (4) tercapainya kelestarian
fungsi lingkungan hidup, (5) terkendalinya pemanfaatan sumber daya
secara ellsien, dan (6) terlindunginya Negara Kesatuan Republik
Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah
negara yang menyebabkan pencemaran atau perusakan lingkungan.
Bertitik tolak dari pendapat tentang pelestarian sebagaimana
telah dipaparkan di atas, maka perilaku melestarikan adalah suatu.
kegiatan yang berperan membawakan pengetahuan psikologis dalam
mendukung masyarakat berkelanjutan secara ekologis. Perilaku ini
berkait dengan sikap lingkungan, persepsi, dan nilai positif sebagai
alat untuk mengembangkan perilaku yang cocok untuk lingkungan
(De Young, 1999) Oleh karena manusia sebagai makhluk yang
berakal dan berbudaya, manusia membutuhkan rasa penguasaan
dan pengawasan terhadap habitat atau lingkungan. Rasa ini yang
merupakan faktor mendasar dalam menumbuhkan rasa memiliki
untuk kemudian mempertahankan atau melestarikan (Budihardjo,
1998).


Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
49

2.4.3. Indikator Eco-Spatial Behavior Penghunian Rumah Susun
Memperhatikan prinsip-prinsip yang dapat mendukung terwujudnya
Eco-spatial Behavior yang telah diuraikan tersebut di atas, maka diperlukan
indikator-indikator sebagai alat untuk mengukur apakah manusia sudah
berperilaku keruangan yang ekologis. Merujuk pada IUCN, UNEP, dan
WWC dalam buku Caring for the Earth, A Strategy for Sustainable Living
(1993), disampaikan beberapa indikator, yaitu indikator primer untuk
mengukur kondisi ekosistem; indikator sekunder untuk mengukur dampak
manusia; dan indikator tersier untuk menunjukkan keberhasilan upaya-
upaya dalam mengurangi dampak. Ketiga indikator ini dapat diaplikasikan
untuk mengukur keberhasilan penghunian rumah susun, yaitu indikator
primer untuk mengukur kondisi lingkungan permukiman rumah susun;
indikator sekunder untuk mengukur dampak perilaku penghuni terhadap
spasial lingkungan rumah susun; dan indikator tersier menunjukkan upaya-
upaya untuk mengurangi dampak seting spasial permukiman rumah susun.
Tetapi untuk mengetahui ada tidaknya fenomena eco-spatial
behavior pada penghunian rumah susun tidak semua indikator tersebut
dapat diaplikasikan. Karena fenomena eco-spatial behavior adalah
fenomena ada tidaknya perbuatan-perbuatan penghuni, baik yang terbuka
(kasat indera) maupun yang tertutup (tidak kasat mata) dalam merespons
struktur spasial rumah susun secara ekologis, maka dari ketiga indikator
tersebut di atas, hanya Indikator Tersier yang dapat diaplikasikan pada
fenomena eco-spatial behavior penghunian rumah susun, yaitu perilaku
yang menunjukkan adanya upaya-upaya untuk beradaptasi atau
mengurangi dampak setting spasial dari permukiman rumah susun. Dari
berbagai studi literatur yang telah diuraikan pada bab-bab terdahulu, maka
indikator tersebut adalah sebagai berikut:
a. Memiliki sikap dan tindakan yang melestarikan fungsi lingkungan
permukiman rumah susun.
b. Memiliki sikap dan tindakan melakukan coping lingkungan
penghunian rusun baik dalam bentuk adaptasi atau adjustment
c. Memiliki sikap dan tindakan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga
d. Memiliki sikap dan tindakan bekerja sama dalam institusi sosial
kemasyarakatan.
50
Bambang Deliyanto

Secara rinci indikator dan tolok ukur keberhasilan eco-spatial
behavior dalam penghunian rusun dapat dilihat pada tabel 2.7.

Tabel 2.7 Indikator dan tolok ukur keberhasilan eco-spatial behavior
pada penghunian rumah susun

INDIKATOR ESB
NO
KOMPONEN
INDKATOR TAK NAMPAK NAMPAK
TOLOK UKUR
KEBERHASILAN
1 Pelestarian
lingkungan
Sikap peduli terhadap
lingkungan
1) Tindakan memanfaatkan
SD permukiman rusun
secara efisien dan
berkelanjutan
2) Tindakan memelihara
komponen lingkungan
yang rusak
3) Tindakan menjaga
keamanan dan
ketertiban lingkungan



Terawat dan rapi
Bersih dan sehat
Aman dan tertib
2 Adaptasi /
coping
lingkungan
Adaptasi secara
mental terhadap
kehidupan sosial
penghunian rumah
susun,
1) kesediaan hidup
rukun dengan
tetangga,
2) kesediaan mentaati
peraturan
penghunian
1) Tindakan melakukan
adjustment terhadap unit
rumah susun yang
dihuni.
2) Tindakan memanfaatkan
ruang milik bersama bagi
kepentingan bersama.





Nyaman dan betah
Rukun dan kompak
3 Meningkatkan
kesejahteraan
Motivasi meningkatkan
kesejahteraan
1) Tindakan meningkatkan
kualitas Unit rumah
susun yang dihuni
2) Tindakan memanfaatkan
seting spasial rumah
susun untuk menambah
penghasilan keluarga
3) Tindakan meningkatkan
kesehatan penghuni
4) Tindakan meningkatkan
pengetahuan penghuni
5) Tindakan memanfaatkan
seting spasial rusun
untuk kesenangan
(pleasure) .


Meningkatnya
kesejahteraan
Derajat kesehatan
tinggi
Tinggal dalam
rumah yang layak
huni
4 Kesadaran
berorganisasi
Kemauan
berorganisasi
1) Motivasi
mengorgani-sasikan
diri
2) Bersedia bekerja
sama dalam
komunitas rusun &
komunitas lainnya
1) Ikut dalam organisasi
perhimpunan penghuni
2) Ikut perkumpulan
pengajian, arisan, dll


Partisipasi dalam
berorganisasi /
kelompok sosial


Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
51

2.5. Beberapa Hasil Penelitian Terdahulu
Untuk menggambarkan tentang penghunian atau kehidupan di rumah
susun, disampaikan beberapa hasil penelitian terdahulu yang berhubungan
dengan topik penelitian ini, yang menurut Frick (2006), di Indonesia masih sangat
miskin akan penelitian ini terutama penelitian yang holistik.

2.5.1. Coping Terhadap Rumah Susun
Penghuni dalam melakukan upaya coping baik langsung
30
maupun
secara mental (palliativie coping) ini, ada penghuni yang berhasil dan ada
yang tidak berhasil. Kemampuan penyesuaian diri penghuni yang berhasil
menyebabkan seseorang (penghuni) dapat menerima kondisi penghunian
yang optimal atau homeostasis, yaitu suatu keadaan yang serba seimbang
atau dengan kata lain hidup betah. Sedangkan bagi yang tidak berhasil,
penghunian ini akan menimbulkan ketidakseimbangan berupa stress yang
dapat menimbulkan efek lanjutan bagi penghuni.
Efek lanjutan yang ditimbulkan oleh stress adalah: (1) pengaruh pada
penyakit, seperti reaksi fisiologik misalnya meningkatnya tekanan darah,
penyakit fisik seperti psikosomatik gatal-gatal, gangguan perencanaan, dll;
(2) patologi sosial misalnya meningkatnya bunuh diri, penyakit jiwa; (3)
pengaruh pada tingkah laku sosial seperti meningkatnya agresi, menarik
diri dari lingkungan, dll; (4) pengaruh suasana hati prestasi kerja menurun,
murung (Holahan, 1982; Sarwono, 1992).
Gejala-gejala adanya persepsi mereka terhadap ruang (dalam hal ini
rumah susun) sebagai lingkungan tempat tinggalnya, meliputi personal
space, privacy, territoriality, crowding dan density, cognitive map, dan
stress (Bell, 1978).

2.5.2. Adaptasi penghuni terhadap rumah sederhana (rumah susun &
tidak susun)
Pada kasus rumah tidak susun, Buchori (1978) menemukan adanya
60% penghuni Perumnas Krapyak & Sampangan Semarang kecewa atas
rumahnya. Pada kasus RSS Perumnas Klender J akarta, terdapat 68%
penghuni RSS menyatakan betah dan ingin seumur hidup tinggal di

30
Bentuk coping penghuni secara langsung lainnya yang signifikan dalamberadaptasi dengan lingkungan unit
rumah susunadalah penataan interior, penataan interior mampu memanipulasi ruangan sempit berkesan lebar,
sejuk dan berfungsi sesuai dengan kebutuhan penghuni (Deliyanto, 2000).
52
Bambang Deliyanto

rumahnya, 21% agak betah, dan 99% sudah melakukan tindak
penyesuaian diri (coping) dengan cara merenovasi rumah sesuai keinginan
(Deliyanto, 1993). Penelitian Holden (1984) menyatakan adanya penghuni
yang stres tinggal pada suatu hunian di pinggir kanal.
Pada kasus rumah susun, menurut Wirotomo (1993) menyatakan
tingkat adaptasi penghuni rumah susun golongan ekonomi menengah lebih
tinggi dibandingkan golongan ekonomi lemah. Subroto (1988) menyatakan
bahwa adaptasi yang dilakukan oleh penghuni rumah susun Tanah Abang
terhadap rasa sesak dengan cara menggunakan seluruh waktu senggang
di luar rumah, membiarkan pintu terbuka, meletakkan kursi di bawah-
bawah tangga, membiarkan anak bermain di halaman. Hanya 28%
penghuni rumah susun Klender yang betah tinggal, adaptasi yang
dilakukan adalah menata interior, menjaga kekerabatan, bersedia
berhimpun dalam perhimpunan penghuni (Deliyanto, 2000).
Achir (1993) meneliti persepsi penghuni rumah susun mewah
(apartemen), menyatakan bahwa rumah susun sebagai ruangan antara
dinding-dinding yang mengisolasi manusia. Berbeda dengan hasil
penelitian penulis untuk rumah susun sederhana di Klender, communal
dweling masih terlihat dengan adanya kemauan penghuni untuk saling
bertemu dalam bentuk arisan, pengajian atau olah raga (80 %) namun tidak
dalam bentuk saling berkunjung atau ngobrol di gang/hall way (Deliyanto,
2000).

2.5.3. Rumah Susun Bagi Anak, Wanita, dan Lansia
a. Bagi Anak
Rumah susun mewah biasanya dilengkapi berbagai fasilitas
rekreasi baik untuk anak-anak atau orang dewasa, namun tetap
ditemukan kecenderungan terjadinya gejala kurangnya
kesempatan anak untuk bergerak dan bermain di lingkungan
rumah mereka. Achir (1993) menyatakan setiap anak perlu
ruang gerak yang luas untuk mengembangkan fisiknya, bahkan
mengembangkan potensi intelektual dan kreativitasnya.
Beberapa penelitian menemukan bahwa kemampuan spasial
anak dipengaruhi oleh kesempatan mengeksplorasi lingkungan
fisik (biofisik) dan sosialnya (non fisik) yang biasanya kurang
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
53

tersedia di lingkungan kawasan rumah susun. Penelitian Achir
(1993) menemukan bahwa prestasi belajar anak yang tinggal di
rumah susun mewah bisa lebih baik dari anak yang tinggal di
rumah horizontal, karena mempunyai banyak waktu yang dapat
dipakai untuk belajar. Hendradi (1993), menyatakan bahwa
anak-anak yang tinggal di rusun berlantai banyak meningkat
agresifitasnya. Kondisi ini tidak berbeda jauh dengan anak
yang tinggal di rusun sederhana (kurang dari 5 lantai), orang
tua anak yang tinggal di rumah susun sederhana masih ada
yang mengeluhkan (25%) mempunyai masalah untuk tempat
anak bermain (Deliyanto, 2000)

b. Bagi Wanita
Kehidupan di rusun menurut Achir (1993) sangat menjemukan
bagi para wanita yang tidak mempunyai hobby atau pekerjaan.
Biasanya mereka habiskan untuk menonton TV sebagai
sahabat karib yang membantu mengisi waktu luang. Begitu
pula para anak. Ketergantungan masyarakat Indonesia akan
pembantu rumah tangga (yang pada umumnya wanita)
membutuhkan pertimbangan ruangan dan tempat kerja
pembantu karena aktivitas pembantu dapat saling mengganggu
privasi antara majikan dan pembantu.
Tinggal diketinggian juga dapat mengurangi minat penghuni
rumah susun untuk turun (misalnya untuk belanja). Kondisi ini
dapat menyebabkan timbulnya perasaan terisolasi yang
semakin kuat pada diri wanita dan kemungkinan mengalami
kondisi depresi mental. Seperti yang diungkapkan oleh
Hendradi (1993) beberapa ibu rumah tangga yang tinggal di
apartemen Inggris merasa terasing, menderita ketegangan jiwa
dan penyakit syaraf. Oleh karena itu pemerintah Inggris
merekomendasikan bahwa yang tinggal di rumah susun
berlantai banyak adalah mereka yang masih bujangan atau
keluarga tanpa anak.


54
Bambang Deliyanto

c. Bagi Lanjut Usia
Rumah susun seyogyanya juga bisa dihuni oleh penghuni lanjut
usia (lansia), pada kenyataannya para lansia perlu berhati-hati
bila menghuni rumah susun tanpa didampingi oleh anggota
keluarga atau teman. Kebutuhan privasi yang tinggi untuk
tinggal di rusun tidak mendukung kepedulian terhadap
kepentingan orang lain, bisa saja tetangga terdekat tidak
menyadari bahwa lansia yang tinggal di sebelah sedang sakit.

Penelitan terdahulu yang relevan dengan penelitian yang akan
dilakukan dapat dilihat pada Tabel 2.8.
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
55

Tabel 2.8 Penelitian terdahulu yang relevan
No Nama Peneliti Judul Penelitian
Waktu
Penelitian
Metode penelitian Kesimpulan

1 J ohan Silas dan M
Faqih
Sikap penghuni kawasan kumuh
terhadap penataan rumah susun
1991 Observasi gejala sosial
dengan teknik wawancara
terstruktur dengan skala
Linkert dan menguji
dependensi factor yang
berpengaruh terhadap
sikap melalui uji Chi
Square Test
Keberhasilan rumah susun Dupak dan
Sombo Surabaya belum menjamin bahwa
penduduk sekitar siap menerima rumah
susun, tetapi tidak apriori terhadap rumah
susun. Sikap positif terhadap Rusun masih
mendua. Satu sisi lebih suka tinggal di
rumah biasa dibandingkan tinggal di
Rusun, tetapi bila Rusun harus dibangun
di kampungnya mereka bersedia
menghuni. Sikap tokoh panutan dan
pengetahuan terhadap rusun berpengaruh
pada kesediaan menghuni rusun.
2 Muhammad Bandi Hubungan antara lingkungan
sosial budaya, modernisasi
dengan sikap mahasiswa
terhadap etika lingkungan
1995 Observasi gejala sosial
dengan teknik wawancara
terstruktur dan menguji
dependensi factor yang
berpengaruh terhadap etika
lingkungan melalui uji r
Lemahnya sikap mahasiswa terhadap
lingkungan berkelanjutan terlihat dari
hubungan yang negatif antara nilai sikap
mahasiswa terhadap etika lingkungan.
Lemahnya sikap ini disebabkan tidak
tercakupnya etika lingkungan pada
lingkungan sosial budaya J awa, namun
mempunyai hubungan positif tinggi
terhadap modernisasi dan keluarga
berencana.
3 Elly Mulia Pola pendidilan anak dalam
keluarga Rumah Susun Klender
J akarta
1996 Observasi gejala sosial
dengan teknik wawan-cara
terstruktur dan pengamatan
sehari-hari melalui kegiatan
tinggal di keluarga rumah
susun
Ditemukan bahwa lingkungan masyarakat
Rusun Klender adalah heterogen, oleh
karena itu pendidikan diarahkan untuk
hidup bersama dalam kekeluargaan,
menanamkan rasa tenggang rasa yang
tinggi dan menghormati perasaan orang
56
Bambang Deliyanto

No Nama Peneliti Judul Penelitian
Waktu
Penelitian
Metode penelitian Kesimpulan

lain.
Ditemukan pula dua pola pendidikan yaitu
pola Otoriter-Dominatif dan pola
Demokrasi-integratif di llingkungan rumah
susun. Kemampuan ekonomi keluarga
berpengaruh terhadap pendidikan anak
dalam keluarga rusun, bagi golongan
ekonomi lemah diarahkan pada pendidikan
tradisional dan agama.
4 Deliyanto dan Wardiati Faktor-faktor yang mempenga-
ruhi tingkat penghunian Rumah
Susun sederhana di Perumnas
Klender
1999 Observasi gejala sosial
dengan teknik wawancara
terstruktur dan menguji
dependensi factor yang
berpengaruh terhadap
keberhasilan penghunian
melalui uji Chi Square
Test
1. Faktor kondisi fisik rumah susun, faktor
sosial ekonomi, dan faktor psikologis
berpengaruh terhadap keberhasilan
penghunian (kebetahan) tinggal di
rumah susun Klender J akarta.
2. Faktor fisik rumah yang berpengaruh
terhadap keberhasilan penghunian
adalah kelayakan teknis dan kesehatan
rumah susun.
3. Faktor sosial ekonomi yang
berpengaruh terhadap keberhasilan
penghunian adalah pendidikan,
penghasilan, partisipasi masyarakat dan
intensitas pertemuan.
4. Faktor psikologis yang berpengaruh
terhadap keberhasilan penghunian
adalah motivasi, persepsi terhadap
lingkungan, rasa aman, dan rasa sesak.

5 Deliyanto dan Wardiati Tindak penyesuaian diri warga
dalam menghuni rumah susun
sederhana dan lingkungannya
2000 Observasi gejala sosial dan
spasial dengan teknik
wawancara terstruktur dan
1. persepsi warga yang dituangkan dalam
gejala persepsi privasi, personal space,
teritorial, rasa sesak dan kognisi map
berpengaruh terhadap tindak
Lanjutan Tabel 2.8
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
57

No Nama Peneliti Judul Penelitian
Waktu
Penelitian
Metode penelitian Kesimpulan

menguji dependensi factor
yang berpengaruh terhadap
sikap melalui uji Chi
Square Test,
penyesuaian diri penghuni terhadap
rumah susun.
2. Tindak penyesuaian diri penghuni
secara langsung adalah merenovasi
rumah dan mengatur interior.
3. Tindak penyesuaian diri secara mental
adalah kesediaan berpartisipasi,
berkerabat dengan tetangga, dan
kesediaan saling membantu.

6 Harsiti Perilaku masyarakat dalam
melestarikan fungsi lingkungan
permukiman Rumah Susun di
J akarta
2002 Metode survei lapangan
dengan alat bantu
kuesioner yang telah
dikalibrasi. Teknik analisis
menggunakan korelasi
sederhana dan jamak serta
regresi sederhana dan
jamak
1. Ditemukan sikap terhadap lingkungan
mempunyai hubungan positif dengan
perilaku melestarikan fungsi lingkungan.
2. motivasi hidup sehat mempunyai
hubungan positif dengan perilaku
melestarikan fungsi lingkungan.
3. Status sosial ekonomi mempunyai
hubungan positif dengan perilaku
melestarikan fungsi lingkungan.
4. Secara bersama-sama variabel sikap
terhadap lingkungan, motivasi hidup
sehat dan status sosial ekonomi
mempunyai hubungan positif dengan
perilaku melestarikan fungsi lingkungan.

7 Yenny L Chaterina Dampak pembangunan rumah
susun (studi kasus kota baru
bandar Kemayoran)
2002 Analisis kebijakan
penghuni-an Rusun
1. Secara umum (teknis dan administrasi)
keberadaan Rusun Kemayoran tidak
didapati adanya pelanggaran peraturan
secara langsung baik oleh developer
maupun penghuni.
2. Belum konsisten dengan UU no 4 tahun
1992, bahwa rusun tidak hanya sebagai
tempat tinggal tetapi juga tempat orang
tua mengasuh anak dan tempat
Lanjutan Tabel 2.8
58
Bambang Deliyanto

No Nama Peneliti Judul Penelitian
Waktu
Penelitian
Metode penelitian Kesimpulan

bersosialisasinya antar penghuni.
3. Belum konsisten dengan UU no 16
tahun 1985, bahwa rusun sederhana
diperuntukkan bagi masyarakat
berpenghasilan rendah.





Lanjutan Tabel 2.8
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
59

2.6. Alat-alat Penelitian
2.6.1. Evaluasi Pascahuni
Evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluate, yang artinya menilai,
menaksir. Hal ini tertera dalam Kamus Inggris-Indonesia, J ohn M. Echols
(2005). Evaluasi juga mempunyai arti sebagai penilaian (KBBI, 1997)
Evaluasi pascahuni (EPH) atau dikenal sebagai Post Occupancy
Evaluation (POE) didefinisikan oleh Zimring dan Reizenstein (1981) sebagai
pengujian efektivitas sebuah lingkungan buatan bagi kebutuhan manusia
(Laurens 2005). Oleh karena itu evaluasi pascahuni ini mengandalkan
kebutuhan atau program pengguna sebagai kriteria atau tolok ukur
keberhasilan suatu penataan lingkungan buatan melalui persepsi pengguna
dalam hal ini adalah penghuni rumah susun dan hasil pengamatan perilaku
spasial di lapangan.
Proses evaluasi ini menjadi bagian dari desain behavior setting yang
melibatkan para stakeholder seperti individu (calon penghuni) dan berbagai
kelompok yang terkait dalam perencanaan dan manajemen ruang. Proses ini
dapat ,memberikan manfaat dalam mendidik calon penghuni dalam
penggunaan ruang secara bijak dan kreatif agar mendapatkan keseimbangan
yang harmonis antara lingkungan sosial budaya, lingkungan buatan, dan
lingkungan alam.
Evaluasi pascahuni dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu
evaluasi teknis, evaluasi fungsional, dan evaluasi perilaku atau evaluasi
behavior (Snyder 1995; Laurens 2005).
a. Evaluasi Teknis, meliputi peraturan bangunan, ketentuan teknis lain
diluar peraturan serta faktor kesehatan, keselamatan dan keamanan;
b. Evaluasi Fungsional, terdiri dari dimensi fisik, konfigurasi ruang, dan
perabot;
c. Evaluasi Peri laku, meliputi privasi, interaksi penghuni, melalui
fenomena persepsi lingkungan, pemanfaatan behavior setting, dan
kognisi spasial.

60
Bambang Deliyanto

Seperti tahapan evaluasi lainnya, tahapan evaluasi pascahuni diuraikan
Laurens (2005) sebagai berikut:

Gambar 2.10 Proses evaluasi pascahuni

Pada tahap awal merupakan tahap kritis, merupakan awal pertemuan
antara evaluator, organisasi/individu pengguna, dan seting yang akan
dievaluasi. Tahap ini evaluator menentukan kerangka waktu untuk
pelaksanaan evaluasi dan mempelajari konteks dan sejarah seting.
Pada tahap merancang evaluasi, spesifikasi evaluasi pascahuni harus
dikembangkan secara rinci pengembangan strategi, pengembangan desain
dan metode evaluasi, menetapkan sampling, dan prosedur pra-testing serta
menyusun rincian anggaran.
Pada tahap pengumpulan data, evaluator penting mengetahui etika
dalam pengambilan data. Karena evaluasi pascahuni ini selalu berhubungan
dengan data yang sangat pribadi dan sensitif.
Pengumpulan Data Awal
Merancang riset
Menentukan sasaran riset
Mengembangkan strategi
Sampling
Mengembangkan metode dan desain
evaluasi
Pengujian awal
Menentukan anggaran
Mengumpulkan Data
Menganalisa Data
Menyajikan evaluasi
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
61

Pada tahap analisis data, seperti pada penelitian-penelitian lain evaluator
harus mengerti benar tujuan analisis, apa yang dianalisis, dan implikasi dari
setiap masalah metodologis terhadap intepretasi hasil. Laurens (2005),
mengemukakan bahwa proses evaluasi pascahuni ini tampak liniar, namun
sesungguhnya tidak selalu demikian karena adanya siklus umpan balik.
Metode evaluasi pascahuni ini akan digunakan pada penelitian ini untuk
menjawab tujuan penelitian 1, yaitu mengetahui performansi teknis, fungsional
bangunan, dan perilaku melalui persepsi penghuni.

2.6.2. Metode Biplot
Biplot adalah salah satu metode yang dapat menggambarkan data-
data yang terdapat pada matriks ke dalam grafik berdimensi dua. Biplot ini
pertama kali diperkenalkan oleh Gabriel pada 1971 dan telah diperbaharui
oleh Gower dan Hand pada 1996. Kata Bi - menunjukkan dua jenis informasi
yang terdapat dalam matriks. Nilai-nilai yang terdapat dalam matriks ini
diperoleh dari Singular Value Decomposition (SVD) dari matriks awal. Analisis
yang digunakan merupakan salah satu analisis yang terdapat dalam analisis
multivariate untuk menggambarkan hubungan antara objek dan peubah
dalam grafik tunggal, selain itu analisis biplot juga dapat untuk mengetahui
kedekatan antar obyek, keragaman peubah, dan hubungan antar obyek.
Oleh karena itu metode analisis biplot ini akan digunakan untuk
menganalisis keterkaitan karateristik responden dan rumah susun KBBK
terhadap perilaku ESB, di samping itu analisis biplot ini juga akan digunakan
untuk menemu-kenali anteseden agar penghuni berperilaku ESB (tujuan
penelitian 3).

2.6.3. Proses Hirarki Anal itik
Metode Analisis Proses Hiraki (AHP) adalah suatu metode
penyerderhanaan suatu persoalan yang kompleks, yang tidak terstruktur,
stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagian yang terstruktur dalam hirarki.
Metode ini dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan informasi dan
berbagai keputusan secara rasional agar dapat memilih alternatif yang paling
disukai (Maarif, 2006). AHP memasukkan pertimbangan dan nilai-nilai pribadi
62
Bambang Deliyanto

secara logis. Proses ini bergantung pada imajinasi, pengalaman, dan
pengetahuan menyusun hirarki suatu masalah pada logika, intuisi, dan
pengalaman untuk memberikan pertimbangan. Oleh karena itu AHP ini
melibatkan pakar yang terkait dengan masalah yang diteliti dalam hal ini
mengenai permukiman rumah susun.
Tahapan penyusunan AHP mengikuti tahapan sebagai berikut :
(1) Penyusunan hirarki, untuk menguraikan persoalan menjadi unsur-unsur,
dalam wujud kriteria dan alternatif, yang disusun dalam bentuk hirarki.
(2) Penyusunan kriteria, digunakan untuk membuat keputusan yang
dilengkapi (a) uraian sub-kriteria, (b) bentuk alternatif yang terkait
masing-masing kriteria tersebut untuk dipilih sebagai keputusan
tercantum pada tingkatan paling bawah.
(3) Penilaian kriteria dan alternatif, untuk melihat pengaruh strategis
terhadap pencapaian sasaran, yang dinilai melalui perbandingan
berpasangan. Nilai dan definisi pendapat kualitatif (pakar) berdasarkan
skala perbandingan Saaty (Eriyatno, 2007), yaitu:

Tabel 2.9 Skala perbandingan AHP
Nilai Keterangan
1 A sama penting dengan B
3 A sedikit lebih penting dari B
5 A jelas lebih penting dari B
7 A sangat jelas penting dari B
9 A mutlak penting dari B
2,4,6,8 Apabila ragu diantara dua nilai

(4) Penentuan prioritas, menggunakan teknik perbandingan berpasangan
(pairwise comparisons) untuk setiap kriteria dari alternatif. Nilai-nilai
perbandiingan relatif tersebut diolah dengan menggunakan manipulasi
matrik atau melalui penyelesaian persamaan matematik untuk
menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif yang ada. Selanjutnya
dilakukan perhitungan untuk melihat konsistensi penilaian dengan
menggunakan cara perhitungan CR (concistency ratio) sebesar 10 %.

Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
63

Berdasarkan uraian di atas, salah satu out put AHP adalah dapat
menunjukkan peringkat relatif setiap level yang ada, sehingga melalui
peringkat relatif ini dapat diketahui faktor dominan yang mempengaruhi tujuan
yang hendak dicapai. Terkait dengan penelitian ini, tujuan yang hendak dicapai
pembangunan rusun adalah tercapainya hunian yang livable, habitable, dan
suistanable, maupun dapat memilih alternatif terbaik pendekatan ESB
penghunian rumah susun. Selanjutnya beberapa faktor dominan yang
mempengaruhi tujuan pembangunan rumah susun tersebut digunakan untuk
menyusun skenario kebijakan pendekatan ESB pada penghunian rumah
susun.

2.6.4. Pendekatan Sistem
Pengelolaan eco-spatial behavior pada penghunian permukiman rumah
susun merupakan proses multi-stakeholder dengan kepentingan yang
beragam dengan pendekatan holistis. Oleh karena itu diperlukan pendekatan
sistem (system approach) untuk bisa memahami kompleksitas
permasalahannya.
Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisa organisatoris yang
menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisa. Pendekatan sistem
merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya
identifikasi terhadap adanya sejumlah permasalahan atau kebutuhan-
kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang
dianggap efektif (Marimin, 2006).
Sistem didefinisikan sebagai suatu agragasi atau kumpulan obyek-obyek
yang saling menerangkan dalam interaksi dan menerangkan satu sama lain
(Eriyatno dan Sofyar, 2007). Marimin (2005) mendefinisikan sistem sebagai
suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu
sama lain yang berusaha mencapai tujuan dalam lingkungan yang kompleks.
Tiga karakteristik dari pendekatan sistem adalah sibernetik (berorientasi pada
tujuan), holistik (cara pandang yang utuh terhadap kebutuhan sisten), dan
efektif (sistem dapat dioperasionalkan)
Marimin (2006), mengemukakan bahwa pendekatan sistem mempunyai
keunggulan dan kelemahan, adapun keunggulannya adalah:
64
Bambang Deliyanto

- Menonjolkan tujuan yang hendak dicapai, dan tidak terikat pada prosedur
koordinasi atau pengawasan dan pengendalian itu sendiri.
- Konsep sistem berguna sebagai cara berfikir dalam suatu kerangka analisa,
yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai perilaku
dari suatu sistem dalam mencapai tujuannya.
- Memberikan gambaran yang lebih luas mengenai variabel-variabel yang
harus ditangani dalam mengelola suatu sistem organisasi.
Kelemahannya adalah:
- Menambah kompleksitas analisa, bahkan terkadang pendekatan sistem
mengakibatkan kebingungan terutama bagi peneliti atau pemakai pemula.
- Pendekatan sistem menghendaki sikap yang kritis dan pendekatan ilmiah.

Sistem dinamik (System Dynamics) adalah salah satu pendekatan
sistem adalah. Sistem ini diperkenalkan oleh J ay Forrester (Principles of
System) pada tahun 1957 dan sejak itu mengalami penyempurnaan
berkelanjutan. Sebagai sebuah pendekatan sistem, menurut Muhammadi
(2001) sejak tahun 1990-an System Dynamics ini lebih dikenal sebagai
Systems Thinking yang merupakan sebuah pendekatan dalam khasanah ilmu
pengetahuan sistem. Lebih lanjut dikatakan bahwa sistem dinamik dapat
menjelaskan dan meramalkan masalah yang berciri kerumitan, berubah cepat,
dan mengandung ketidakpastian seperti halnya suatu penghunian rumah
susun yang merupakan interaksi aktivitas pengelolaan lingkungan, sosial
budaya, dan ekonomi. Pendapat ini didukung pendapat Soesilo (2007) bahwa
Sistem Dinamik dapat digunakan dalam rancang bangun sistem yang
mempunyai ciri: (1) berubah sejalan dengan perubahan waktu (dinamis), (2)
masalahnya kompleks, (3) non linear, dan (4) adanya umpan balik.
Eriyatno (2007), mengemukakan tahapan pendekatan sistem adalah: (1)
analisis kebutuhan antar pelaku, (2) formulasi masalah, (3) identifikasi Sistem,
(4) permodelan sistem, (5) verifikasi dan validasi model, serta (6) implementasi
model (Gambar 2.11).


Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
65














Gambar 2.11 Tahapan Pendekatan Sistem (Eryatno, 2007)

2.6.5. Model
Model adalah penggambaran abstrak dari suatu sistem dunia nyata atau
kondisi yang sesungguhnya yang dikembangkan untuk tujuan studi (Manetsch
and Park, 1997; dan Maarif, 2006). Tipe model menurut Maarif (2006)
dikelompokkan menjadi empat, yaitu model fisik dengan dasar analogi, model
matematik, model deskriptif (kualitatif), dan model prosedural.
Karena model terkait erat dengan sistem, maka Muhammadi (2001)
pemahaman struktur dan perilaku sistem akan membantu dalam pembentukan
model, baik itu dengan menggunakan diagram sebab akibat (causal loop)
untuk menggambarkan dinamika kuantitatif formal maupun menggunakan
diagram alir (flow chart). Diagram sebab akibat akan dipakai sebagai dasar
Mulai
Absah
Analisis
Kebutuhan
Formulasi
Masalah
Identifikasi Sistem
Absah
Absah
A
Ya
Ya
Ya
tdk
tdk
tdk
Verivikasi &
Validasi
A
Absah
Absah
Permodelan
Sistem
Selesai
Ya
Ya
tdk
tdk
66
Bambang Deliyanto

untuk membuat diagram alir yang akan disimulasikan menggunakan program
model yang ada dalam software atau program untuk analisis sistem untuk
mendapat gambaran yang mendekati dengan kondisi yang sesungguhnya,
dan apabila diperlukan dapat mengambil kesimpulan kebijakan apa yang
harus dilaksanakan.
Tahapan melakukan simulasi model diuraikan Muhammadi (ibid),
sebagai berikut.
a. Penyusunan konsep, pada tahap ini dilakukan identifikasi variabel-
variabel tersebut saling berinteraksi, saling berhubungan, dan saling
berketergantungan. Kondisi ini dijadikan dasar untuk menyusun gagasan
atau konsep mengenai gejala atau proses yang disimulasikan.
b. Pembuatan Model, gagasan atau konsep yang dihasilkan pada tahap
pertama selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian,
gambar, atau rumus.
c. Simulasi, dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model
kualitatif, simulasi dilakukan dengan menelusuri dan melakukan analisis
hubungan sebab akibat antar variabel dengan memasukkan data atau
informasi yang dikumpulkan untuk memahami perilaku gejala atau
proses model
d. Validasi hasi l si mulasi, bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara
hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat
dinyatakan baik jika kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap
gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi
yang sudah divalidasi tersebut digunakan untuk memahami perilaku
gejala atau proses serta kecenderungan di masa depan, yang dapat
dijadikan sebagai dasar bagi pengambil keputusan untuk merumuskan
suatu kebijakan di masa mendatang

Manfaat menggunakan model dalam sistem pendukung manajemen,
menurut Turban (2005) adalah: (1) manipulasi model (mengubah variabel
keputusan atau lingkungan) jauh lebih mudah daripada memanipulasi sistem
riil, karena dalam bereksperimen tidak mengganggu operasional harian dari
suatu organisasi; (2) model memungkinkan kompresi waktu; (3) biaya analisis
Eco Spatial Behavior Approach Of Settlement Occupancy
67

permodelan jauh lebih rendah daripada biaya eksperimen yang dilakukan pada
sistem riil; (4) biaya pembuatan kesalahan selama eksperimen coba salah jauh
lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan sistem riil; (5) lingkungan
bisnis mencakup ketidak pastian yang dapat dipertimbangkan, manajer dapat
mengestimasi risiko dari tindakan-tindakan tertentu; (6) model matematika
memungkinkan analisis terhadap sejumlah solusi yang sangat besar, dan
kadang-kadang tak terbatas; (7) model memperkuat pembelajaran dan
pelatihan; dan (8) metode model dan solusi terdapat di Web.
Model yang akan disusun pada penelitian ini adalah model pendekatan
ESB penghunian rumah susun. Karena model yang akan disusun adalah untuk
mencapai keberlanjutan penghunian rumah susun, maka model ini dirancang
mempunyai sub-sub model yaitu sub model sosial, sub model ekonomi dan
sub model lingkungan. Model ini kemudian dapat divalidasi melalui validasi
struktur, uji konstruksi kesesuaian struktur, dan kestabilan struktur (Muhamadi,
2001) yang akan dijelaskan lebih rinci pada Bab VIII Pendekatan Sistem.
Model ini akan digunakan untuk mensitesakan dan memprediksikan
kondisi yang akan dating berdasarkan data yang dihasilkan dari evaluasi
pascahuni penghunian rumah susun di KBBK, disamping itu model ini juga
akan digunakan untuk mensimulasikan skenario-skenario yang disusun agar
dapat dipilih skenario terbaik.

Anda mungkin juga menyukai