Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH EKOLOGI TUMBUHAN

KONSEP KLIMAKS DAN TEORI KLIMAKS

OLEH:

KELOMPOK 9

Utari adeviani

PENDIDIKAN BIOLOGI A

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2016

1
KLIMAKS

A. PENGERTIAN KLIMAKS

Tingkat terakhir dari proses suksesi dicapai ketika komunitas


tersebut stabil. Komunitas terakhir ini biasanya relatif stabil, tahan lama,
jenis makhluk hidupnya lebih banyak dan lebih kompleks, dan di
dalamnya berlangsung berbagai interaksi antar anggota komunitas.
Komunitas demikian disebut komunitas klimaks. Komunitas klimaks
merupakan akhir dari serangkaian proses suksesi. Artinya, komunitas
demikian dapat dicapai setelah melalui beberapa tahap suksesi.
Komunitas klimaks adalah komunitas terakhir dan stabil (tidak berubah)
yang mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Komunitas klimaks
ditandai dengan tercapainya keseimbangan yaitu suatu komunitas yang
mampu mempertahankan kestabilan komponennya dan dapat bertahan dari
berbagai perubahan dalam system secara keseluruhan. Tiap-tiap tahap
suksesi tersebut disebut tahap suksesional, sedangkan seluruh rangkaian
tahapan suksesi dikenal dengan istilah sere. Beberapa ciri komunitas
klimaks antara lain adalah sebagai berikut.

1. Mampu menyokong kehidupan seluruh spesies yang hidup di


dalamnya.

2. Mengandung lebih banyak makhluk hidup dan macam –


macam bentuk interaksi dibandingkan komunitas suksesional.
Setelah melalui beberapa tahapan perkembangan ekosistem atau
sere, suatu ekosistem dapat mencapai tahapan akhir klimaks atau dapat
pula dianggap sebagai puncak perkembangan ekosistem. Salah satu ciri
pada komunitas klimaks yaitu dengan tidak terdapatnya penumpukan zat

2
organik netto tahunan. Hal ini disebabkan karena produksi tahunan
komunitas seimbang dengan konsumsi tahunan.

Banyak ahli berpendapat bahwa iklim klimaks pada suatu wilayah


belum tentu dapat dicapai walau komunitas yang sudah “mantap”
sekalipun, karena masih menunjukkan adanya perubahan, penyesuaian dan
pembusukan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa perubahan suatu
komunitas dipengaruhi oleh kejadian-kejadian yang terdapat dalam
komunitas tersebut. Berdasarkan hal tersebut telah dipakai kesepakatan
bahwa hampir tidak mungkin pada suatu wilayah mencapai iklim klimaks,
sehingga iklim klimaks tunggal merupakan komunitas teoritis yang dituju
semua suksesi dalam perkembangan pada suatu daerah, asalkan keadaan
lingkungan fisik secara umum tidak terlalu ekstrem sehingga dapat mampu
mempengaruhi iklim lingkungan. Umumnya suksesi berakhir pada
klimaks edaphik, dengan hanya terkait pada masing-masing pengaruh
faktor pembatas fisik pada wilayah setempat.

Meskipun suksesi pada suatu ekosistem untuk dapat mencapai


klimaks membutuhkan waktu yang tidak sebentar, namun cepat lambatnya
masih tergantung pula oleh tingkatan suksesi yang terjadi kepadanya.
secara umum terdapat dua macam ekosistem suksesi yaitu, ekosistem
suksesi primer dan ekosistem suksesi sekunder. Ekosistem suksesi primer
lebih dinyatakan pada berkembangnya ekosistem tersebut melalui substrat
yang baru. Artinya kehidupan yang ada pada ekosistem tersebut setelah
perlakuan benar-benar dimulai dari nol, dan harus dimulai dari kerja
organisme pionir dengan segala perlakuan dari faktor pembatas fisik yang
ada. Sedangkan ekosistem suksesi sekunder berkembang setelah ekosistem
alami rusak total tetapi dimulai dengan tidak terbentuk substrat yang baru,
atau dapat dianggap sebagai dimulainya kehidupan baru setelah adanya
“gangguan” pada ekosistem alami.

3
(http://massofa.wordpress.com/2008/09/23/sejarah-dan-ruang-
lingkup-ekologi-dan-ekosistem/ksesi

Contoh suksesi sekunder salah satunya yaitu kebakaran hutan


tahun 1994 yang terjadi di Bukit Pohen Cagar Alam Batukahu telah
menyisakan kerusakan sebagian areal kawasan konservasi. Restorasi
ekologi dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi
pemulihan kerusakan kawasan tersebut. Dalam upaya menyusun model
restorasi yang sesuai untuk kawasan Bukit Pohen, telah dilakukan survey
dilapangan mengenai kondisi vegetasinya. Hasil survey lapangan
menunjukkan bahwa sedang terjadi suksesi sekunder di kawasan ini
dengan kehadiran beberapa jenis indikator seperti Eupatorium, Melastoma
dan Homalathus. Spesies lokal penting seperti Dacrycarpus imbricatus
juga ditemukan di bekas areal yang terbakar dan mulai ber-regenerasi. Di
dalam makalah ini juga didiskusikan usulan konsep restorasi yang
terintegrasi untuk membantu memulai perbaikan ekosistem di kawasan ini.
(Sutomo, 2009. Jurnal Biologi XIII (2) : 45)

Di dalam kondisi klimaks ini spesies-spesies itu dapat mengatur


dirinya sendiri dan dapat mengolah habitat sedemikian rupa sehingga
cenderung untuk melawan inovasi baru. Di dalam konsep klimaks ini
Clements berpendapat:

1. Suksesi dimulai dari kondisi lingkungan yang berbeda, tetapi


akhirnya punya klimaks yang sama.
2. Klimaks hanya dapat dicapai dengan kondisi iklim tertentu,
sehingga klimaks dengan iklim itu saling berhubungan. Dan
kemudian klimaks ini disebut klimaks klimatik.
3. Setiap kelompok vegetasi masing-masing mempunyai klimaks.

Karena iklim sendiri menentukan pembentukan klimaks maka


dapat dikatakan bahwa klimaks klimatik dicapai pada saat kondisi fisik di

4
sub stratum tidak begitu ekstrem untuk mengadakan perubahan terhadap
kebiasaan iklim di suatu wilayah. Kadang-kadang klimaks dimodifikasi
begitu besar oleh kondisi fisik tanah seperti topografi dan kandungan air.
Klimaks seperti ini disebut klimaks edafik. Secara relatif vegetasi dapat
mencapai kestabilan lain dari klimatik atau klimaks yang sebenarnya di
suatu wilayah. Hal ini disebabkan adanya tanah habitat yang mempunyai
karakteristik yang tersendiri.

Jadi, di dalam wilayah tertentu dapat dikenali adanya:

1. Klimaks tunggal yang klimatiks, yaitu yang bersifat berkeseimbangan


dengan iklim secara umum
2. Klimaks edafik yang cacahnya berbeda-beda, yang termodifikasi oleh
kondisi substrat lokal.
Klimaks klimatik ialah komunitas teoretik yang merupakan
kecenderungan tujuan semua perkembangan suksesional di wilayah
manapun, komunitas klimatik ini akan dapat terjadi jika kondisi fisik
substrat tidak terlalu ekstrem. Suksesi akan berakhir pada suatu klimaks
yang edafik pada topografi, tanah, air, api, atau gangguan lain sehingga
klimaks klimatik tak dapat berkembang. Bila komuitas stabil, tetapi bkan
klimaks klimatik atau klimkas edafik, dipelihara oleh manusia dan hewan
ternaknya maka dapat dinamakan disklimaks (=klimaks gangguan) atau
subklimaks anthropogenik. (Soetjipta, 1993 :192)
Adakalanya vegetasi terhalang untuk mencapai klimaks, oleh karena
beberapa faktor selain iklim. Misalnya adanya penebangan, dipakai untuk
penggembalaan hewan, tergenang dan lain-lain. Dengan demikian vegetasi
dalam tahap perkembangan yang tidak sempurna (tahap sebelum klimaks
yang sebenarnya) baik oleh faktor alam atau buatan. Keadaan ini disebut
sub klimaks. Komunitas tanaman sub klimaks akan cenderung untuk
mencapai klimaks sebenarnya jika faktor-faktor penghalang/penghambat
dihilangkan.

5
Telah dijelaskan bahwa akhir suksesi adalah terbentuknya suatu
komunitas klimaks. Berdasarkan tempat terbentuknya, terdapat tiga jenis
komunitas klimaks sebagai berikut :

1. Hidroser yaitu sukses yang terbentuk di ekosistem air tawar.


2. Haloser yaitu suksesi yang terbentuk di ekosistem air payau
3. Xeroser yaitu sukses yang terbentuk di daerah gurun.

Pembentukkan komunitas klimaks sangat dipengaruhi oleh musim


dan biasanya komposisinya bercirikan spesies yang dominan.
(http://sobatbaru.blogspot.com/2008/06/pengertian-suksesi.html)

Suksesi meliputi pengorganisasian sendiri dan perubahan dimana


ekosistem – ekosistem menjadi mantap dan kadang-kadang kembali ke
awal (retrogress). Suksesi dipertimbangkan berakhir apabila suatu pola ke
suatu kondisi yang kurang terorganisir memulai melakukan suksesi lagi.
Klimaks adalah merupakan puncak pertumbuhan. (Odum, 1992 : 456)

Meskipun klimaks adalah relatif stabil dan bertahan lama


sebagaimana kalau dibandingkan dengan tahap permulaannya, hal ini tidak
diketahui bila suatu komunitas adalah komplit ‘self pertuating’ dan
permanen. “Catastrophes” seperti kilat, kebakaran, dan periode yang
panjang dari kekeringan dapat memperpendek jangka hidup dari suatu
komunitas. Sebagai contoh, bila suatu padang rumput menunjukkan
menunjukkan suatu seri dari tahun kekeringan, ia akan kembali ke
belakang pada tahap suksesi awalnya mengandung lebih dari tahunannya
dan perenial kehidupan yang pendek. Di sana beberapa kejadian yang
menunjukkan bahwa suatu proses umur kemungkinan mengambil tempat
pada hutan yang telah lama. Jadi, pohon-pohon muda mungkin tidak
menggantikan pohon yang lebih dewasa yang mati, daur mineral dan aliran
energi rata-rata akan menjadi turun secara lambat. Beberapa ahli ekologi
menyatakan bahwa pada klimaks yang lama dapat menjadi mati dan dapat

6
digantikan oleh komunitas yang muda, kemungkinannya berbeda dalam
peningkatan spesiesnya. Karena itu, tidak banyak diketahui tentang pada
waktu sekarang dan lebih banyak studi perlu banyak dilakukan. (Ramli,
1989 : 175)
Contoh vegetasi yang mengalami gangguan berupa kebakaran
adalah pada hutan Bukit Pohen yang merupakan salah satu situs dari Cagar
Alam Batukahu pada tahun 1994 mengalami kebakaran hutan dan mengakibatkan
pengurangan luasan hutan sebesar 30,4 Ha. Untuk mendapatkan gambaran
mengenai kondisi vegetasinya dilakukan survei pada titik pengamatan di lokasi
yang terkena kebakaran. Seperti terlihat pada gambar, pada lokasi ini terdapat
rumpang atau gap yang cukup luas akibat kehilangan penutupan tajuk hutan oleh
api. Kondisi terbuka ini menyebabkan perubahan iklim mikro dan komposisi
serta struktur vegetasinya. Hutan ini adalah hutan sekunder yang tengah
berproses ke arah komunitas klimaks setelah terjadinya kebakaran hebat pada
tahun 1994.

(Sutomo, 2009. Jurnal Biologi XIII (2) : 46)

7
B. TEORI KLIMAKS
Gangguan dapat menyebabkan modifikasi klimaks yang
sebenarnya dan ini menyebabkan terbentuknya sub klimaks yang berubah
(termodifikasi). Keadaan seperti ini disebut disklimaks (Ashby, 1971).
Sebagai contoh vegetasi terbakar menyebabkan tumbuh dan
berkembangnya vegetasi yang sesuai dengan tanah bekas terbakar tersebut.
Odum (1961) mengistilahkan klimaks tersebut dengan pyrix klimaks.
Tumbuh-tumbuhan yang dominan pada pyrix klimaks antara lain:
Melastoma polyanthum, Melaleuca leucadendron dan Macaranga sp.
Contohnya di Bukit Pohen, suksesi sekunder pada tahap fallow stage tengah
berjalan, yang ditandai dari dominansikehadiran jenis-jenis seperti Eupatorium
odoratum,Melastoma malabathricum Lantana dan Rubus. Van Steenis, (1972)
juga melaporkan adanya dominasi jenis Eupatorium pada hutan sekunder muda
bekas perkebunan teh di Cibodas. Demikan pula halnya di petak tujuh hutan
lindung Kaliurang Yogyakarta yang bekas terbakar dijumpai pula Eupatorium
sebagai dominansi jenis tumbuhan bawahnya (Sutomo, 2004). Demikian pula
Melastoma yang memang kerap dijumpai hidup di lokasi-lokasi alami yang
terganggu karena pembukaan lahan pada ketinggian tempat hingga 3000 m d.p.l .
Selain terna, pada tingkat pohon juga banyak terdapat jenis pohon Homalanthus
giganteus di bekas lahan kebakaran hutan di Bukit Pohen.
Jika pergantian iklim secara temporer menghentikan
perkembangan vegetasi sebelum mencapai klimaks yang diharapkan
disebut pra klimaks (pre klimaks). Berhubungan dengan berbagai klimaks
maka terdapat kekaburan arti klimaks. Oleh karena terjadi ketidak
sepakatan kemudian berkembang tiga teori klimaks dengan argumentasi
masing-masing, yaitu sebagai berikut:
a. Teori Monoklimaks
Dalam teorinya pada tahun 1916 Clements menyatakan bahwa
komunitas klimaks untuk suatu kawasan semata-mata merupakan fungsi
dari iklim. Dia memperkirakan bahwa pada waktu yang cukup dan bebas

8
dari berbagai pengaruh gangguan luar, suatu bentuk umum vegetasi
klimaks yang sama akan terbentuk untuk setiap daerah iklim yang sama.
Dengan demikian iklim sangat menentukan batas dari formasi klimaks.
Pemikiran ini dipahami sebagai teori monoklimaks dan diterima secara
luas oleh pakar botani pada pertengahan awal dari abad ini.
Clements dan para pendukungnya dari teori monoklimaks ini tidak
melihat kenyatan bahwa banyak sekali variasi lokal dalam suatu daerah
iklim tertentu. Variasi-variasi ini oleh Clements dianggap fasa seral
meskipun berada dalam keadaan yang stabil. Clements menganut teori
klimaks ini didasarkan pada keyakinan akan waktu yang panjang, dimana
perbedaan-perbedaan local dari suatu vegetasi akibat kondisi tanahnya
akan tetap berubah menjadi bentuk vegetasi regionalnya apabila diberi
waktu yang cukup lama. Penamaan-penamaan khusus diberikan untuk
menggambarkan perbedaan-perbedaan vegetasi local ini. Istilah
”subklimaks” dipergunakan untuk suatu fasa seral akhir yang
berkepanjangan yang akhirnya akan berkembang juga ke bentuk
klimaksnya. Sedangkan istilah ”disklimaks” dipakai untuk komunitas
tumbuhan yang menggantikan bentuk klimaks setelah terjadi kerusakan.
Teori monoklimaks menyebutkan bahwa tiap-tiap wilayah hanya
memiliki satu komunitas klimaks dan semua komunitas akan menuju ke
arah komunitas klimaks tersebut. Asumsi fundamental yang dicetuskan
Clements, jikalau diberi waktu dan keterbatasan dari gangguan, maka akan
dihasilkan suatu vegetasi klimaks yang tergolong ke dalam tipe umum
yang sama dan akan dimantapkan tanpa mengingat kondisi tenpat
sebelumnya. Iklim, menurut Clements adalah faktor penentu untuk
vegetasi dan klimaks di area manapun adalah suatu fungsi dari iklim di
daerah itu.
Tetapi di area tertentu yang manapun akan didapati dan ada saja
komunitas yang bukan klimaks seperti yang dimaksudkan oleh Clements,
komunitas yang non-klimaks dan komunitas yang klimaks dalam keadaan
ekuilibrium. Kedua jenis komunitas tersebut ditentukan oleh faktor

9
topografi, edafik, dan biotik.oleh karena banyaknya pengecualian dan
anyaknya peristilahan di dalam teori Celemnts mengenai monoklimaks
ditentang oleh kebanyakan ekologiwan.

b. Teori Poliklimaks
Beberapa pakar ekologi berpendapat bahwa teori monoklimaks
terlalu kaku. Tidak memberikan kemungkinan untuk mengangkat variasi
lokal dalam suatu komunitas tumbuhan. Dalam tahun 1939 Tansley,
seorang pakar botani dari Inggris mengusulkan suatu alternatif yaitu teori
poliklimaks, dengan teori ini memungkinkan untuk mendapat mosaik dari
bentuk klimaks dari setiap daerah iklim. Dia menyadari bahwa komunitas
klimaks erat hubungannya dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya
yaitu meliputi tanah ;drainage ; dan berbagai faktor lainnya. Teori
poliklimaks mengenal kepentingan dari iklim, tetapi faktor-faktor lain
hendaknya jangan dipandang sebagai suatu faktor yang bersifat temporal.
Teori poliklimaks mempunyai keuntungan yang besar, dalam memandang
semua komunitas tumbuhan yang sifatnya stabil bisa dianggap sebagai
bentuk klimaks. Teori poliklimaks ini ternyata pendekatannya tidak
bersifat kaku, sehingga dapat diterima dikalangan pakar secara luas.
(http://www.scribd.com/doc/49145571/Buku-ajar-EKTUM)

Teori poliklimaks menyebutkan bahwa banyak komunitas klimaks


yang berbeda dapat dikenali dalam suatu area tertentu dan klimaks yang
demikian itu dikendalikan oleh lengas dalam tanah, zat hara di dalam
tanah, aktivitas makhluk hewan, dan faktor lainnya

Perbedaan mendasar dari teori monoklimaks dan poliklimaks


adalah terletak dalam faktor waktu di dalam pengukuran nisbi. Penganut
monoklimaks mengatakan bahwa jika diberi waktu secukupnya, suatu
komunitas tunggal akan berkembang bahkan dapat menguasai klimaks
edafik. Pertanyaannya adalah waktu yang digunakan apakah skala

10
geologik atau skala ekologik. Butir penting di sini adalah bahwa iklim
berfluktuasi dan tidak pernah konstan. Jadi kondisi ekuilibrium tidak
pernah tercapai sebab vegetasi tidak di dalam iklim yang konstan tetapi di
dalam iklim yang berubah. Iklim berubah pada skala waktu ekologik dan
pada skala waktu geologik. Suksesi terjadi secara kontinu dalam vegetasi
yang berubah dan dalam iklim yang berubah. (Soetjipta, 1993 :193)

c. Teori Potensi Biotik atau Pola Klimaks Hipotesis

Dalam tiga decade terakhir para pakar menyadari bahwa komunitas


klimaks tidak ditentukan oleh hanya satu atau lebih faktor lingkungan
yang berinteraksi terhadapnya, seperti iklim tanah; topografi; dan
sebagainya. Dengan demikian sekian banyak bentuk klimaks akan terjadi
sebagai akibat kombinasi dari kondisi-kondisi tadi. Perhatikan konsep
faktor holosinotik atau holismal. Pemikiran ini pertama-tama
diformulasikan oleh R.H. Whittaker pada tahun 1950-an. Ia menekankan
bahwa komunitas alami teradaptasi terhadap seluruh pola dari faktor
lingkungan, dan komunitas klimaks itu akan bervariasi secara teratur
meliputi suatu region dan merefleksikan perubahan faktor-faktor (suhu,
tanah, bentuk lahan, dansebagainya), secara gradual. Klimaks dari setiap
daerah merefleksikan potensi perkembangan ekosistem di lokasi itu.
Pemikiran ini dikenal sebagai pola klimaks hipotesis atau teori potensial
biotik. Pendekatan ini sedikit lebih abstrak daripada teori monoklimaks
dan poliklimaks. Pendekatan ini memberi kemungkinan untuk penelaahan
yang lebih realistik dari komunitas klimaks. Pada dewasa ini timbul
tantangan-tantangan baru terhadap konsep-konsep klimaks ini. Berbagai
ahli percaya bahwa suksesi berkecendrungan membentuk ekosistem yang
kompleks dan lebih stabil. Tetapi mereka merasakan bahwa karakteristika
dari hasil akhir perlu untuk dikaji kembali. Ini merupakan tantangan untuk
kemajuan ekologi, dimana pada dewasa ini telah masuk dalam kajian yang

11
modern dan tidak terbelenggu dalam pola pemikiran yang bersifat filosofis
serta deskriptif lagi. Sejalan dengan perkembangan dari ekologi umumnya
maka dalam kajian suksesi inipun mengalami perkembangan, dan dapat
dibagi dalam dua perioda pendekatan, yaitu pendekatan secara lama atau
tradisional disatu pihak dan pendekatan yang ditujukan untuk melengkapi
atau mengoreksi pendekatan lama berdasarkan konsep-konsep ekosistem
yang mendasarinya di fihak lain.

(http://www.scribd.com/doc/49145571/Buku-ajar-EKTUM)

Komunitas alami beradaptasi dengan keseluruhan pola faktor


lingkungan yang merupakantempat komunitas itu ada. Pada teori ini
memperbolehkan banyak suatu kontinuitas tipe klimaks yang berbeda
secara gradual sepanjang gradien lingkungan yang tidak mungkin untuk
dipisahkan menjadi tipe klimaks yang terpisah. Jadi teori pola klimaks
hipotesis ini adalah suatu perluasan ide kontinu dan hampiran analisis
gradien untuk vegetasi. (Soetjipta, 1993 :193)

12
KESIMPULAN

1. Klimaks adalah komunitas terakhir dari proses suksesi, biasanya relatif


stabil, tahan lama, jenis makhluk hidupnya lebih banyak dan lebih
kompleks, dan di dalamnya berlangsung berbagai interaksi antar anggota
komunitas.
2. Ciri- ciri komunitas klimaks :
a. Mampu menyokong kehidupan seluruh spesies yang hidup di
dalamnya.
b. Mengandung lebih banyak makhluk hidup dan macam – macam
bentuk interaksi dibandingkan komunitas suksesional.
c. Tidak terdapatnya penumpukan zat organik netto tahunan. Hal ini
disebabkan karena produksi tahunan komunitas seimbang dengan
konsumsi tahunan.
3. Teori – teori klimaks:
a. Teori Monoklimaks oleh Clements pada tahun 1916
b. Teori Poliklimaks oleh Tansley pada tahun 1939
c. Teori Potensi Biotik atau Pola Klimaks Hipotesis oleh R.H.
Whittaker pada tahun 1950-an

13
DAFTAR PUSTAKA

Odum, Howard T. 1992. Ekologi Sistem. Yogyakarta : UGM Press

Ramli, Dzakir. 1989. Ekologi. Jakarta : Depdikbud Dikti

Soetjipta. 1993. Dasar-dasar Ekologi Hewan. Jakarta : Depdikbud Dikti

Sutomo. 2009. Kondisi Vegetasi dan Panduan Inisiasi Restorasi Ekosistem Hutan
di Bekas Areal Kebakaran Bukit Pohen Cagar Alam Batukahu Bali (suatu
kajian pustaka). Jurnal Biologi XIII (2) : 45 – 50

(http://massofa.wordpress.com/2008/09/23/sejarah-dan-ruang-lingkup-ekologi-
dan-ekosistem/)

(http://sobatbaru.blogspot.com/2008/06/pengertian-suksesi.html)

(http://www.scribd.com/doc/49145571/Buku-ajar-EKTUM)

14

Anda mungkin juga menyukai