Anda di halaman 1dari 19

Konsep Dasar

Pembangunan Wilayah
Oleh :
Ir. Umi Salawati, M.Si
Sebelum kita sampai pada istilah
pengembangan wilayah, maka kita harus
melihat dulu apa yang dimaksud dengan
pembangunan?
Secara Filosofis suatu proses pembangunan
dapat diartikan sebagai “upaya yang
sistematik dan berkesinambungan untuk
menciptakan keadaan yang dapat
menyediakan berbagai alternatif yang sah
bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang
paling humanistik’’. Dpl, proses
pembangunan merupakan proses
memanusiakan manusia.
Di Indonesia dan di berbagai negara negara
berkembang, istilah pembangunan seringkali
berkonotasi fisik artinya melakukan kegiatan-
kegiatan membangun secara fisik, bahkan
seringkali secara lebih sempit diartikan sebagai
membangun infrastruktur/fasilitas fisik.
Pengertian dari “pemilihan alternatif yang sah”
dalam definisi pembangunan di atas
bahwasanya upaya pencapaian aspirasi
tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum
yang berlaku atau dalam tatanan kelembagaan
atau budaya yang dapat diterima.
UNDP mendefinisikan pembangunan dan
khususnya pembangunan manusia sebagai
suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan
bagi penduduk (a process of enlarging people’s
choice). Dalam konsep tersebut, penduduk
ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimate
end), bukan alat, cara atau instrumen
pembangunan sebagaimana yang dilihat oleh
model formasi modal manusia (human capital
formation), sedangkan upaya pembangunan
dipandang sebagai sarana untuk mencapai
tujuan itu.
Pembangunan dapat dikonseptualisasikan sebagai
suatu proses perbaikan yang berkesinambungan
atas suatu masyarakat atau suatu sistem sosial
secara keseluruhan menuju kehidupan yang lebih
baik atau lebih manusiawi, dan pembangunan
adalah mengadakan atau membuat atau mengatur
sesuatu yang belum ada. Paling tidak menurut
TODARO (2000), pembangunan harus memenuhi
tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis
konseptual dan pedoman praktis dalam memahami
pembangunan yang paling hakiki yakni : kecukupan
(sustainance) memenuhi kebutuhan pokok,
meningkatkan harga diri atau jatidiri (self-esteem),
serta kebebasan (freedom) untuk memilih.
Todaro berpendapat, bahwa pembangunan harus
dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang
mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur
sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi
nasional, di samping tetap mengejar akselerasi
pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan
pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada
hakekatnya pembangunan ini harus mencerminkan
perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian
sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan
keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual
maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di
dalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi
kehidupan yang serba lebih baik secara material
maupun spiritual.
Terjadinya perubahan baik secara
incremental maupun paradigma menurut
ANWAR (2001), mengarahkan pembangunan
wilayah kepada terjadinya pemerataan
(equity) yang mendukung pertumbuhan
ekonomi (efficiency), dan keberlanjutan
(sustainability). Konsep pembangunan yang
memperhatikan ketiga aspek tersebut, dalam
proses perkembangannya secara evolusi
dengan berjalan melintas waktu ditentukan
oleh perubahan tata nilai dalam masyarakat,
seperti perubahan keadaan sosial, ekonomi
serta realitas politik.
Pembangunan dapat diartikan sebagai
kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu
negara/wilayah untuk mengembangkan kualitas
hidup masyarakatnya. Jadi pembangunan harus
dipandang sebagai suatu proses di mana terdapat
saing keterkaitan dan saling mempengaruhi antara
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
perkembangan tersebut dapat diidentifikasi dan
dianalisis dengan seksama sehingga diketahui
runtutan peristiwa yang timbul yang akan
mewujudkan peningkatan taraf kesejahteraan
masyarakat dari satu tahap pembangunan ke
tahap pembangunan berikutnya.
Urgensi Perubahan Pendekatan Makro menjadi
Gerakan Baru Pengembangan Wilayah
Skala prioritas pembangunan yang cenderung
mengejar sasaran sasaran makro pada akhirnya dapat
menimbulkan berbagai ketidakseimbangan
pembangunan berupa menajamnya disparitas spasial,
kesenjangan desa-kota, kesenjangan struktural, dsb.
Pendekatan makro juga cenderung mengabaikan
plurality akibat keberagaman sumberdaya alam
maupun sosial budaya. Pergeseran paradigma
pembangunan dalam pembangunan spasial terutama
menyangkut konsep strategi kutub pertumbuhan ke
hinterland (penetesan dampak ke daerah belakang)
ternyata net-effect (efek bersihnya) adalah
menimbulkan massive backwash effect (Lipton, 1977).
Badan PBB, Committee for Development,
secara tegas mengusung tiga prasyarat terhadap
percepatan pengembangan wilayah :
1. Mobilisasi serta pergerakan potensi dan
sumberdaya domestik
2. Partisipasi masyarakat luas dalam proses
pembangunan dan upaya memenuhi standar
hidup minimum masyarakat banyak
3. Mempraktekkan “perencanaan partisipatif”
untuk membangun kapasitas sosial dan
kelembagaan masyarakat yang dibutuhkan
untuk pembangunan berkelanjutan.
Pengembangan wilayah pada dasarnya
mempunyai tujuan agar wilayah itu
berkembang menuju tingkat perkembangan
yang diinginkan. Pengembangan wilayah
dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan
sumberdaya yang dimilikinya secara harmonis,
serasi dan terpadu melalui pendekatan yang
bersifat komprehensif mencakup aspek fisik,
ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup
untuk pembangunan yang berkelanjutan.
Prinsip ini juga sering disebut dengan
pembangunan berkelanjutan dengan basis
pendekatan penataan ruang wilayah.
Untuk pertama kalinya konsep pengembangan
wilayah yang dikaitkan dengan aspek
pengaturan ruang telah diperkenalkan oleh
Hirschman (1958) dan Myrdal (1957) yang
“menjembatani” model pertumbuhan ekonomi
wilayah dengan teori pengembangan wilayah
(United Nations, 1979). Konsep ini
mempertegas adanya pusat-pusat
pertumbuhan ekonomi dalam suatu entitas
wilayah (growth pole). Konsep ini didasari atas
pemikiran, bahwa kondisi yang terjadi saat itu
semua pertumbuhan ekonomi wilayah terjadi
secara tidak merata.
Kondisi tersebut dalam artian, yang tumbuh
berkembang akan semakin berkembang,
sementara yang tidak berkembang semakin
terbelakang dan terhisap oleh yang sudah
berkembang. Hirschman dan Myrdal mengatakan
dalam teorinya, sebaiknya dibuatkan kutub-kutub
pertumbuhan secara hirarkis dalam satuan
wilayah agar dari kutub pertumbuhan tersebut
terjadi penetesan (trickling down effect) dan
penjalaran pertumbuhan ekonomi baik kepada
simpul berikutnya sebagai hinterland secara
hirarkis maupun kepada sektor-sektor kegiatan
ekonomi ke depan pada kegiatan hilir maupun ke
belakang pada sektor kegiatan hulu (spread,
backward dan forward).
Dalam perjalanannya konsep pengembangan
wilayah telah mengalami perkembangan dan saling
koreksi satu teori dengan teori lainnya. Beberapa ahli
pengembangan wilayah seperti Rondinelli, Ruddle,
Rostow, Friedman, Perroux, Lewis, Isard, dan lainnya
sejak era tahun 1960-an s/d tahun 2000-an telah
menghasilkan berbagai konsepsi yang antara lain terkait
teori tahapan pertumbuhan (Rostow, stages of growth :
traditional, take-off, drive to maturity, and mass
consumption), regionalisasi (homogeneous, functional
dan planning region), basic and non basic need,
pendekatan sektoral (menetapkan lead sector) sampai
dengan yang terakhir ini, model-model yang
mengedepankan aspek ekologi (the ecological model)
yaitu mengembangkan wilayah dengan
mempertimbangkan daya dukungnya
dengan mengkaji terlebih dahulu aspek-aspek
ekosistem untuk menetapkan kemampuan
lingkungan wilayah dalam mendukung kegiatan
sosial-ekonomi wilayah.
Dalam era menjelang tahun 2000 teori
pengembangan wilayah yang memadukan aspek
ekonomi, pertumbuhan, dan lingkungan telah
mulai berkembang. McCann (2001) telah
membuat model kuantitatif ekonomi wilayah yang
mempertimbangkan daya dukung lingkungan,
khususnya dalam menghitung nilai sewa lahan
untuk suatu wilayah yang mengalokasikan ruang
terbuka hijau (green belt) antara kota dan
pedesaannya (hinterland) yang berfungsi untuk
preservasi kawasan pedesaan.
Di Indonesia, konsepsi pengembangan wilayah
juga telah mengalami perkembangan dan koreksi
untuk setiap periodenya (Djakapermana dan
Djumantri, 2002). Mulai dari pengembangan
wilayah dengan pengembangan sektoral dan
parsial pada era tahun 1960-an, kutub
pertumbuhan (growth pole) yang lebih
mengutamakan pembangunan infrastruktur,
regionalisasi dengan basis wilayah fungsional
(region) yaitu membagi wilayah Indonesia dengan
satuan-satuan wilayah ekonomi (SWE), sampai
dengan konsep wilayah era 2000-an dengan
pendekatan lingkungan, khususnya dengan
lahirnya UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang
dan disempurnakan dengan UU No 26 tahun
2007 tentang Penataan Ruang.
Memasuki abad ke 21 ini, konsepsi pengembangan
wilayah di Indonesia harus mengikuti kaidah penataan
ruang. Dalam UU No. 17 tahun 2006 tentang
Pembangunan Jangka Panjang Indonesia juga
disebutkan harus berbasis pada tata ruang. UU No.
26/2007 disusun atas dasar keinginan mengoptimalkan
pemanfaatan sumberdaya alam dan buatan untuk
kesejahteraan rakyat. Dengan demikian harus dijaga
dan dikelola untuk prinsip keberlanjutan, menjaga
keserasian dan mencegah kesenjangan antar daerah,
antar pusat dan daerah, antar kota dan desa, dan antar
wilayah/kawasan (yang direpresentasikan perlu
pengaturan sistem pusat pertumbuhan/kota dan
sistem pengembangan perwilayahan secara merata dan
hirarkis), menciptakan ruang yang aman, nyaman,
produktif dan berkelanjutan, dan berbasis mitigasi
bencana untuk meningkatkan keselamatan,
kenyamanan kehidupan dan penghidupan.
• Berdasarkan landasan Undang-undang tersebut,
maka dapat disimpulkan konsepsi pengembangan
wilayah di Indonesia by legal dan empirikal
haruslah mengikuti kaidah pendekatan yang
bersifat gabungan (mixed-concept), yaitu :
a. struktur ruang yang terdiri dari pusat-pusat
permukiman sebagai pusat pertumbuhan
ekonomi dan pelayanan sosial secara hirarkis
(growth pole) sebagai pusat yang akan
memberikan penjalaran perkembangandan
jaringan infrastruktur wilayah sebagai media/alat
untuk menjalarkannya, yaitu jaringan
transportasi (jalan, pelabuhan udara dan laut,
dan link-nya), listrik, telepon, energi dan jaringan
sumberdaya air,
b. pola ruang yang terdiri dari
pengaturan kawasan yang berfungsi lindung
(ecological approach) seperti hutan lindung,
hutan taman nasional, hutan bakau, hutan
buru, dan lainnya serta kawasan budidaya
untuk kegiatan manusia meningkatkan
produktivitasnya bagi tumbuh dan berkembang
ekonomi wilayah dan kegiatan sosial, seperti
kegiatan pertambangan, industri, pariwisata,
pertanian, perikanan, kawasan permukiman
dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai