[3]
METODOLOGI
tanaman pangan sudah mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk investasi di
bidang mekanisasi pertanian.
eksploitasi
Keunggulan sosial meliputi (1) strategi PEL memberdayakan masyarakat lokal dan
mendorong adanya dialog lokal, dan (2) strategi PEL membantu menciptakan institusi lokal yang lebih
transparan dan akuntabel yang berkontribusi pada pengembangan masyarakat sipil lokal. Sementara
dari sisi ekonomi, keunggulan pendekatan PEL merupakan yang paling nyata: (1) karena strategi PEL
melekatkan aktivitas ekonomi tergantung pada keunggulan komparatif dan kondisi ekonomi spesifik
wilayah, mak akan tercipta kesempatan kerja yang berkelanjutan dan lebih mampu bertahan dalam
perubahan lingkungan ekonomi global, (2) sebagai akibat dari pelibatan para pemangku kepentingan
lokal dan mengakar pada aktivitas ekonomi wikayah, strategi PEL juga berkontribusi untuk perbaikan
kualitas pekerjaan.
Tabel 3.2 Perbedaan utama antara kebijakan pembangunan tradisional dan PEL
Kebijakan pembangunan tradisional Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL)
Pendekatan top-down dimana keputusan tentang Menggerakkan pembangunan di semua wilayah
wilayah mana yang akan diintervensi tergantung dengan inisiatif yang sering kali muncul dari bawah
pada kebutuhan pusat
Dikelola oleh administrasi pusat Desentralisasi, kerja sama vertikal antara berbagai
tingkat pemerintahan dan kerja sama horizontal
antara badan-badan publik dan swasta
Pembangunan dengan pendekatan sektoral Pembangunan dengan pemdekatan wilayah
(lokalitas, ‘milieu’)
Pembangunan proyek industri besar untuk Memaksimalkan potensi wilayah untuk merangsang
merangsang aktivitas ekonomi lain sistem ekonomi lokal yang progresif untuk
memperbaiki lingkungan ekonomi
Dukungan finansial, insentif, dan subsidi sebagai Provisi sebagai syarat utama untuk pengembangan
faktor utama untuk menggerakkan aktivitas aktivitas ekonomi
ekonomi
PEL mengutamakan peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan rumah tangga,
pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Dalam alur berpikir seperti ini, pembangunan ekonomi
harus dilaksanakan di tingkat lokal dan penduduk lokal memperoleh manfaat dari pembangunan
tersebut (Chmura dan Orozbekov 2009).
Peran pemerintah lokal dalam PEL adalah menciptakan kondisi yang baik bagi
berkembangnya wirausahawan dan meningkatnya pembangunan lokal. Peran pemerintah lokal bukan
membentuk perusahaan baru, tetapi meningkatkan kualitas pelayanan publik. Peran pemerintah lokal
adalah menciptakan kondisi bagi bisnis lokal untuk bertahan memperluas aktivitas mereka serta
menarik investor dari luar wilayah. Dengan demikian, untuk menggerakkan PEL perlu dilakukan lima
tahapan: (1) pengorganisasian, (2) evaluasi strategi sebelumnya, (3) menyusun rencana strategik
untuk pembangunan ekonomi lokal, (4) menciptakan sistem PEL dan mengimplementasikan rencana
strategik, dan (5) monitoring dan evaluasi.
Konsep lokal dapat dipadankan dengan pemikiran Schmidt-Kallert (2005) yang
memperkenalkan wilayah mikro (micro region), yaitu suatu unit ruang koheren yang berada di antara
tingkat desa dan kabupaten. Wilayah mikro umumnya lebih kecil dari wilayah-wilayah perencanaan
konvensional. Wilayah mikro dapat ditentukan antara lain berdasarkan: (1) hubungan fungsional
seperti pasar dengan hinterland, dan (2) kesamaan basis sumber daya. Perencanaan wilayah mikro
bertujuan untuk mengkoordinasikan aktivitas perencanaan dari semua aktor dalam suatu unit
teritorial yang terbatas; yang berkaitan dengan: (1) ekonomi, sosial, dan budaya; (2) infrastruktur;
(3) perumahan dan pola permukiman; (4) kelembagaan dan organisasi desa; serta (5) lingkungan.
Tabel 3.3 Sasaran PEL dari beberapa kepustakaan terpilih
Penulis/institusi Sasaran PEL
Bank Dunia (2011) Pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja
berkelanjutan, daya saing, dan pemerataan
penyimpanan, luas lahan dengan perbaikan budidaya, dan jumlah fasilitas penyimpanan yang dibangun
dan digunakan.
Komisi Eropa (2001) merilis indikator efisiensi produksi yang antara lain adalah:
produktivitas modal, produktivitas tenaga kerja, dan produktivitas lahan. Ruttan (2002) menyatakan
bahwa rasio produktivitas parsial dapat berupa produktivitas lahan (output/ha), produktivitas tenaga
kerja (output/tenaga kerja), dan rasio lahan-tenaga kerja (luas lahan pertanian/tenaga kerja).
Sementara input umumnya terdiri dari lahan, tenaga kerja, ternak, modal, dan pupuk.
Brambilla dan Porto (2006) mendefinisikan produktivitas sebagai hasil per hektar dalam
unit fisik. Definisi ini berbeda dengan definisi standar yang digunakan dalam analisis industry, yang
biasanya menggunakan ukuran nilai tambah pada harga konstan. Definisi produktivitas dalam unit
fisik secara ekonomi lebih memiliki makna karena merefleksikan teknologi yang digunakan;
sementara nilai tambah tergantung pada situasi pasar melalui harga.
Odhiambo et al. (2004) menemukan bahwa tenaga kerja dan lahan merupakan faktor yang
sangat penting sebagai penentu pertumbuhan dan produktivitas pertanian. Faktor penting lainnya
adalah kebijakan perdagangan, iklim, dan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian. Handayani
dan Dewi (2006) mendefinisikan produktivitas tenaga kerja sebagai pendapatan dalam satu musim
panen (merupakan output) dibagi dengan jam kerja selama musim panen tersebut (merupakan input).
Studi tentang perubahan produktivitas pertanian dalam ekonomi global pada Negara
produsen pertanian besar di Negara sedang berkembang dilakukan di China, India, Negara-negara
eks Uni Soviet dan Eropa Timur. Negara-negara ini merupakan produsen pertanian besar yang
memiliki konsekuensi besar bagi ekonomi pangan global. Selain itu, kebijakan dan kelembagaan yang
dibutuhkan untuk menjaga pertumbuhan produktivitas yang lestari seperti sistem penelitian dan
pengembangan dan pasar yang efisien belum mantap, dan karenanya prospek pertumbuhan ke depan
menjadi kurang meyakinkan dibandingkan dengan negara-negara industri maju (Fuglie dan
Schimmelpfennig 2010).
Merujuk Heimligh (2003), perubahan output pertanian (ΔO) merupakan hasil dari
perubahan output pertanian (ΔI) dan pertumbuhan produktivitas (ΔY). Dalam formula sederhana
dituliskan sebagai ΔO = ΔI + ΔY. Output pertanian diukur dengan output yang dapat dipasarkan,
input pertanian merupakan faktor-faktor produksi seperti intermediate input (pupuk, pestisida, benih,
energi), tenaga kerja dan modal. Sementara pertumbuhan produktivutas ditentukan oleh penelitian
dan pengembangan pertanian, penyuluhan, pendidikan, infrastruktur, dan program-program
pemerintah.
Hal yang menarik dari Heimlich (2003) adalah bahwa produktivitas diukur bukan hanya
untuk memperoleh informasi tentang peran faktor penentu produktivitas tersebut secara terpisah,
tetapi yang terpenting adalah memahami sumber-sumber pertumbuhan produktivitas dalam
memformulasi kebijakan yang tepat untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan
masyarakat. Brambilla dan Porto (2006) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitas usaha tani. Beberapa faktor yang dikaji antara lain adalah: umur, gender, pendidikan,
teknologi, akses kredit, penyilihan pertanian, dan pemanfaatan lahan.
Pendekatan Kebijakan:
Pengembangan SDM, Pengembangan Infrastruktur, Investasi dalam Penelitian dan
Pengembangan, Insentif Harga, Perbaikan Fleksibilitas Operasional
Gambar 3.2 Kerangka Produktivitas Pertania (Penm 2012)
Gambar 3.3 Keterkaitan Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Pengembangan Kawasan Tanaman Pangan dan
Hortikultura Jawa Timur Tahun 2015-2019
Sumber: Masterplan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Timur 2015-2019
Sumber: Masterplan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Timur 2015-2019
3.3.3 Kesimpulan
Dengan memperhitungkan berbagai potensi dan peran strategis masing-masing komoditas
dari setiap kabupaten / kota di Jawa Timur, telah ditetapkan 7 (tujuh) kawasan komoditas tanaman
pangan dan hortikultura, yaitu: padi, jagung, kedelai, ubi kayu, cabai merah, bawang merah dan jeruk,
dengan tipe kawasan:
1. Inisiasi : Jeruk (Tulungagung, Kediri, Blitar, Bondowoso, Probolinggo, Madiun,
Kota Malang, Tuban, Mojokerto, Lamongan, Situbondo, Bojonegoro Sumenep);
Bawang Merah (Ponorogo, Situbondo, Madiun, Ngawi, Lamongan); Cabai Merah
(Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Situbondo, Mojokerto, Madiun, Ngawi,
Lamongan, Bangkalan, Sumenep, Kota Surabaya);
2. Penumbuhan : Padi (Pacitan); Jagung (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep),
Kedelai (Pacitan, Blitar, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Kediri, Malang, Gresik,
Bojonegoro, Tuban, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep), Ubi Kayu (Lumajang,
Jember, Madiun, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, Sidoarjo,
Mojokerto, Gresik, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep); Jeruk (Pacitan,
Ponorogo); Bawang Merah (Kediri, Sampang); Cabai Merah (Pacitan, Magetan,
Bojonegoro, Gresik Sampang, Pamekasan, Kota Batu);
3. Pengembangan : Padi (Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Kediri, Lumajang,
Jember, Nganjuk, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, Bojonegoro, Lamongan,
Bangkalan, Sampang, Sumenep), Jagung (Bondowoso, Probolinggo, Jember,
Lumajang, Situbondo, Banyuwangi, Malang, Pasuruan, Blitar, Jombang, Mojokerto,
Tulungagung, Magetan Pacitan, Trenggalek, Kediri, Madiun Nganjuk, Ngawi,
Ponorogo, Tuban, Bojonegoro, Lamongan, Gresik) dan kedelai (Ngawi dan
Trenggalek); Ubi Kayu (Blitar, Kediri, Malang, Pasuruan, Jombang, Nganjuk, Magetan,
Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan); Jeruk (Pasuruan, Nganjuk, Magetan, Ngawi,
Gresik, Bangkalan, Pamekasan); Bawang Merah (Bondowoso Magetan, Bojonegoro,
Sumenep, Kota Probolinggo, Kota Batu); Cabai Merah (Bondowoso, Pasuruan,
Jombang, Sampang);
4. Pemantapan : Padi (Ponorogo, Malang, Pasuruan, Banyuwangi, Sidoarjo,
Mojokerto, Jombang, Madiun, Magetan, Ngawi, Tuban, Gresik, Pamekasan); Kedelai
(Ponorogo, Tulungagung, Lumajang, Banyuwangi, Jember, Pasuruan, Mojokerto,
Jombang, Nganjuk, Madiun, Magetan, Lamongan, Sampang) dan Ubi Kayu
(Ponorogo, Trenggalek, Pacitan, Tulungagung); Jeruk (Kabupaten Malang, Kota
Batu, Lumajang, Jember, Banyuwangi); Bawang Merah (Malang, Probolinggo,
Mojokerto, Nganjuk, Pamekasan) ; Cabai Merah (Tuban, dan Jember )
5. Integrasi Antar Kawasan Cabai Merah di Kediri, Malang, Lumajang, Blitar, Banyuwangi.
Sebagai Rencana Tindak Lanjut disusun skenario pengembangan kawasan tanaman pangan
dan hortikultura Jawa Timur:
1. Peningkatan Produktivitas Tanaman Pangan dan Hortikultura;
2. Peningkatan Indeks Pertanaman (IP) untuk Padi
3. Penurunan Tingkat Kehilangan Hasil Tanaman Pangan dan Hortikultura;
Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Tanaman Pangan dan Hortikultura melalui
Pengembangan Industri Olahan.
PUSAT
DISTRIBUSI
DESA DONO
§ Kawasan Spatial
§ Sistem Agribisnis &
Agroindustri
§ Organisasi &
Kelembagaan
§ Pengembangan Sarana
& Prasarana
PUSAT PELAYANAN
Keterangan : DESA SENDANG
LOKASI PUSAT DISTRIBUSI
LOKASI PUSAT DISTRIBUSI
LOKASI PUSAT PELAYANAN
LOKASI PUSAT PELAYANAN
SKILL INNOVATION
LABOUR DRIVEN
CAPITAL
DRIVEN
FACTOR
DRIVEN
UNSKILL
LABOUR
NATURAL
NATURAL
RESOURCES INPUT
RESOURCES INPUT
DRIVEN
DEVELOPMEN
T CAPITAL INPUT
KNOWLEDGE &
TECNHNOLOGY
INPUT
4. Perumusan indikasi program dan kegiatan untuk mencapai tujuan/ kondisi akhir yang
diinginkan.
Perbedaan status kawasan antara kondisi awal dengan kondisi/ sasaran akhir dari kawasan
yang akan dikembangkan menunjukkan adanya kesenjangan (gap) yang harus diminimalisasi.
VISI PENGEMBANGAN
KAWASAN ANALISIS
POTENSI
SUMBERDAYA
MISI PENGEMBANGAN
KAWASAN
ANALISIS
ROADMAP &
RENCANA AKSI
OUTPUT & OUTCOME SASARAN