Anda di halaman 1dari 16

Laporan Antara

BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR











[3]




METODOLOGI


3.1 TANTANGAN DAN PERMASALAHAN PEMBANGUNAN PERTANIAN


Kompas.com pada bulan Maret 2017, menerbitkan artikel dengan judul “Tiga Masalah
Utama Sektor Pertanian Nasional, Apa Saja?”. Artikel ini membahas mengenai tiga permasalahan
utama di sektor pertanian nasional menurut Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan
Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo antara lain adalah produksi, distribusi, dan
keterjangkauan harga, sebagai berikut:
1. Masalah produksi terkait kapasitas, produktivitas petani, insentif untuk petani, dan
data yang tidak akurat sehingga menimbulkan masalah dalam kebijakan impor;
2. Masalahan dalam distribusi antara lain panjangnya tata niaga dan adanya pelaku-pelaku
yang dominan di pasar. Di samping itu, pembentukan harga juga dikuasai oleh
beberapa pelaku pasar saja.
3. Masalah dalam hal keterjangkauan harga, struktur pasar produk pertanian dikuasai
oleh beberapa pelaku utama saja.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi menerbitkan artikel pada bulan September 2015 yang
berjudul “Solusi, Tantangan dan Harapan Masalah Pangan.” Artikel tersebut membahas beberapa
permasalahan pangan sebagai berikut:
1. Terbatasnya tenaga kerja dan semakin berkurangnya minat generasi muda untuk turun
kedunia pertanian.
2. Kondisi lahan tidak semuanya bisa didekati dengan alat mesin yang seragam, ada tanah
yang datar ada yang petakan luasnya sangat panjang, ada berlereng dengan kontur yang
petakannya kecil. Mesin pertanian harus menyesuaikan kondisi alam sumber daya yang
ada di Indonesia. Contoh misalnya untuk daerah pasang surut di Sumatera rawa Lebak
arealnya luas petakannya besar-besar maka alat yang cocok untuk mengolah tanah
adalah traktor roda 4.
3. Mahalnya harga alat dan mesin pertanian, dalam kondisi seperti ini disinilah negara
hadir sehingga Kementerian Pertanian dalam programnya peningkatan produksi

Masterplan Pengembangan Kawasan 3-1


Pertanian di Kabupaten Tulungagung
Laporan Antara

tanaman pangan sudah mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk investasi di
bidang mekanisasi pertanian.

3.2 PERKEMBANGAN EKONOMI LOKAL


3.2.1 Pendekatan Baru
Pengembangan ekonomi local (PEL) mengacu pada proses dimana pemerintah local atau
organisasi berbasis masyarakat berusaha menggerakkan dan memelihara aktivitas bisnis dan/atau
kesempatan kerja. Tujuan utama PEL adalah merangsang kesempatan kerja lokal pada sektor
tertentu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan menggunakan sumber daya manusia
dan sumber daya alam. PEL berorientasi proses, yaitu pengembangan institusi baru, industri
alternatif, memperbaiki kapasitas tenaga kerja, identifikasi pasar baru, transfer pengetahuan, dan
memelihara perusahaan dan usaha yang baru (Blakely, 1994).
Tidak ada teori atau perangkat teori yang cukup untuk menjelaskan PEL atau
pengembangan ekonomi wilayah (PEW). Namun ada beberapa teori yang dapat membantu untuk
memahami alasan rasional PEL. Gabungan teori-teori yang dimaksud dalam persamaan berikut
(Blakely, 1994):
PEL/PEW = f (sumber daya alam, tenaga kerja, modal investasi, kewirausahaan,
transportasi, komunikasi, komposisi industri, teknologi, skala pasar ekspor, kondisi ekonomi
internasional, kapasitas pemerintah lokal, pengeluaran wilayah dan negara, factor pendukung
pembangunan)
Semua factor di atas mungkin penting dalam PEL, namun para praktisi pembangunan
ekonomi tidak pernah yakin factor mana yang memiliki bobot terbesar dalam suatu kondisi tertentu.
PEL dapat dikaji berdasarkan beberapa teori, di antaranya: teori ekonomi non klasik, teori basis
ekonomi, teori lokasi, teori tempat pusat, teori kausasi kumulatif, dan model atraksi. Namun teori-
teori ini tidak cukup menjadi template bagi aktivitas PEL, sehingga perlu dilakukan sintesis dan
reformulasi alternative pendekatan PEL seperti pada tabel di bawah ini (Blakely 1994).
Tabel 3.1 Pendekatan baru teori pengembagan ekonomi local
Komponen Konsep lama Konsep baru
Kesempatan kerja Lebih banyak perusahaan = lebih Perusahaan mengambangkan
banyak pekerjaan kualitas pekerjaan yang sesuai
dengan penduduk local
Basis pembangunan Membangun sektor-sektor Membangun institusi ekonomi
ekonomi yang baru
Aset lokasi Keunggulan komparatif berbasis Keunggulan bersaing berbasis
aset fisik kualitas lingkungan
Sumber daya pengetahuan Ketersediaan tenaga kerja Pengetahuan sebagai penggerak
ekonomi
Sumber: Blakely (1994)

Kebijakan pembengunan wilayah berkembang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan


dan kebutuhan masyarakat lokal. PEL menjadi alternatif akibat kelemahan top-down policy dan bottom-
up policy. Kebijakan pembangunan dari atas dapat menyebabkan disparitas antar-wilayah akibat
eksploitasi sumber daya lokal oleh wilayah yang lebih besar (Gambar 9). Kebijakan dari bawah sering
kali memiliki muatan yang baik tetapi lemah dalam implementasi sehingga tidak membumi atau
bersifat utopia (Adji 2011; Iqbal dan Anugerah 2009; Supriyadi 2007)

Masterplan Pengembangan Kawasan 3-2


Pertanian di Kabupaten Tulungagung
Laporan Antara

Kebijakan dari atas

eksploitasi

Kebijakan PEL Pembangunan wilayah


alternatif
utopia

Kebijakan dari bawah

Gambar 3.1 Kebijakan pembangunan wilayah dengan pendekatan PEL

3.2.2 Definisi Pengembangan Ekonomi Lokal


Dari beberapa definisi PEL dan penyesuaian terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya
masyarakat Indonesia, Adji (2011) mendefinisikan PEL sebagai usaha mengoptimalkan pemanfaatan
sumber daya lokal yang melibatkan pemerintah, dunia usaha, masyarakat lokal, dan organisasi
masyarakat madani untuk mengembangkan eknomi pada suatu wilayah.
Bartik (2003) mendefinisikan PEL sebagai peningkatan dalam kapasitas ekonomi lokal untuk
menciptakan kesejahteraan bagi penduduk lokal. Peningkatan yang dinaksud terjadi apabila sumber
daya lokal seperti tenaga kerja dan lahan dimanfaatkan dengan lebih produktif. Pembangunan
ekonomi juga terjadi dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja dan lahan.
PEL adalah aktivitas lokal yang merupakan proses pembangunan partisipatif di wialayah
administratif lokal melalui kemitraan para pemangku kepentingan public dan swasta. Pendekatan PEL
menggunakan sumber daya lokal dan keunggulan kompetitif untuk menciptakan lapangan kerja dan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (ILO 2010).
Aktivitas PEL berkaitan dengan masyarakat lokal yang bekerja bersama untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang memberikan manfaat ekonomi dan perbaikan kualitas
hidup bagi semua orang. Tujuan PEL adalah menciptakan kondisi yang lebih baik bagi pertumbuhan
ekonomi dan penciptaan lapangan kerja (Bank Dunia 2011). James et.al (2002) melakukan kajian
tentang dampak PEL terhadap pertumbuhan kesempatan kerja. Westbrod et.al (2004) antara lain
menggunakan variabel kesempatan kerja dan pendapatan sebagai infikator untuk mengevaluasi
strategi PEL.
Adji (2011) memperkenalkan fokus PEL dalam peningkatan kandungan lokal dan
optimalisasi pemanfaatan sumber daya lokal dan partisipatif, pendekatan bisnis bukan pendekatan
karikatif, optimalisasi kegiatan ekonomi berdasarkan potensi wilayah, pewilayahan komoditas, tata
ruang, atau regionalisasi ekonomi. Sementara Birkholzer (2005) menawarkan sejumlah prinsip PEL,
yaitu kepentingan bersama, pendekatan holistik terintegrasi, prioritas kebutuhan yang belum
terpenuhi, modal sosial, dan pembagunan yang berpusat pada masyarakat.
Kecenderungan perkembangan global mengharuskan pemikiran ulang strategi perencanaan
pembangunan. Kebijakan pembangunan tradisional yang dilakukan selama ini [erlu mengalami
perubahan menjadi kebijakan PEL (Tabel 7). Perbedaan yang utama di antara keduanya dinyatakan
oleh Rogerson (2009).
Rodriguez-Posse (2001) sebagaimana dirujuk oleh Rogerson (2009) mengidentifikasi
sejumlah keunggulan strategi PEL jika dibandingkan dengan program pembangunan tradisional.
Keunggulan dimaksud dapat dirinci ke dalam keunggulan sosial dan ekonomi.

Masterplan Pengembangan Kawasan 3-3


Pertanian di Kabupaten Tulungagung
Laporan Antara

Keunggulan sosial meliputi (1) strategi PEL memberdayakan masyarakat lokal dan
mendorong adanya dialog lokal, dan (2) strategi PEL membantu menciptakan institusi lokal yang lebih
transparan dan akuntabel yang berkontribusi pada pengembangan masyarakat sipil lokal. Sementara
dari sisi ekonomi, keunggulan pendekatan PEL merupakan yang paling nyata: (1) karena strategi PEL
melekatkan aktivitas ekonomi tergantung pada keunggulan komparatif dan kondisi ekonomi spesifik
wilayah, mak akan tercipta kesempatan kerja yang berkelanjutan dan lebih mampu bertahan dalam
perubahan lingkungan ekonomi global, (2) sebagai akibat dari pelibatan para pemangku kepentingan
lokal dan mengakar pada aktivitas ekonomi wikayah, strategi PEL juga berkontribusi untuk perbaikan
kualitas pekerjaan.
Tabel 3.2 Perbedaan utama antara kebijakan pembangunan tradisional dan PEL
Kebijakan pembangunan tradisional Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL)
Pendekatan top-down dimana keputusan tentang Menggerakkan pembangunan di semua wilayah
wilayah mana yang akan diintervensi tergantung dengan inisiatif yang sering kali muncul dari bawah
pada kebutuhan pusat
Dikelola oleh administrasi pusat Desentralisasi, kerja sama vertikal antara berbagai
tingkat pemerintahan dan kerja sama horizontal
antara badan-badan publik dan swasta
Pembangunan dengan pendekatan sektoral Pembangunan dengan pemdekatan wilayah
(lokalitas, ‘milieu’)
Pembangunan proyek industri besar untuk Memaksimalkan potensi wilayah untuk merangsang
merangsang aktivitas ekonomi lain sistem ekonomi lokal yang progresif untuk
memperbaiki lingkungan ekonomi
Dukungan finansial, insentif, dan subsidi sebagai Provisi sebagai syarat utama untuk pengembangan
faktor utama untuk menggerakkan aktivitas aktivitas ekonomi
ekonomi

PEL mengutamakan peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan rumah tangga,
pengurangan kemiskinan dan pengangguran. Dalam alur berpikir seperti ini, pembangunan ekonomi
harus dilaksanakan di tingkat lokal dan penduduk lokal memperoleh manfaat dari pembangunan
tersebut (Chmura dan Orozbekov 2009).
Peran pemerintah lokal dalam PEL adalah menciptakan kondisi yang baik bagi
berkembangnya wirausahawan dan meningkatnya pembangunan lokal. Peran pemerintah lokal bukan
membentuk perusahaan baru, tetapi meningkatkan kualitas pelayanan publik. Peran pemerintah lokal
adalah menciptakan kondisi bagi bisnis lokal untuk bertahan memperluas aktivitas mereka serta
menarik investor dari luar wilayah. Dengan demikian, untuk menggerakkan PEL perlu dilakukan lima
tahapan: (1) pengorganisasian, (2) evaluasi strategi sebelumnya, (3) menyusun rencana strategik
untuk pembangunan ekonomi lokal, (4) menciptakan sistem PEL dan mengimplementasikan rencana
strategik, dan (5) monitoring dan evaluasi.
Konsep lokal dapat dipadankan dengan pemikiran Schmidt-Kallert (2005) yang
memperkenalkan wilayah mikro (micro region), yaitu suatu unit ruang koheren yang berada di antara
tingkat desa dan kabupaten. Wilayah mikro umumnya lebih kecil dari wilayah-wilayah perencanaan
konvensional. Wilayah mikro dapat ditentukan antara lain berdasarkan: (1) hubungan fungsional
seperti pasar dengan hinterland, dan (2) kesamaan basis sumber daya. Perencanaan wilayah mikro
bertujuan untuk mengkoordinasikan aktivitas perencanaan dari semua aktor dalam suatu unit
teritorial yang terbatas; yang berkaitan dengan: (1) ekonomi, sosial, dan budaya; (2) infrastruktur;
(3) perumahan dan pola permukiman; (4) kelembagaan dan organisasi desa; serta (5) lingkungan.
Tabel 3.3 Sasaran PEL dari beberapa kepustakaan terpilih
Penulis/institusi Sasaran PEL
Bank Dunia (2011) Pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja
berkelanjutan, daya saing, dan pemerataan

Masterplan Pengembangan Kawasan 3-4


Pertanian di Kabupaten Tulungagung
Laporan Antara

Penulis/institusi Sasaran PEL


ILO (2010) Kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan
Supriana dan Nasution (2010) Pendapatan dan kesempatan kerja
Rustiadi et al. (2009) Pendapatan dan tenaga kerja
UN-Habitat (2009) Penggunaan sumber daya lokal secara efektif
(tenaga kerja, modal, dan sumber daya lainnya)
Chmura dan Orozobekov (2009) Peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan
rumah tangga, pengurangan kemiskinan dan
pengangguran
Weisbrod et a.l (2004) Kesempatan kerja dan tingkat pendapatan
Bartik (2003) Pengingkatan produktivitas sumber daya lokal
(tenaga kerja, lahan)
James et al. (2002) Pertumbuhan kesempatan kerja
Joseph (2002) Kesempatan kerja, pembangunan pedesaan
berkelanjutan, manfaat bagi masyarakat miskin dan
marginal
Blakely (1994) Kesempatan kerja

3.2.3 Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis Pertanian


Fungsi profuksi menggambarkan suatu hubungan antara input dan output atau menjelaskan
transformasi input (sumber daya) menjadi output (komoditas). Secara simbolik, fungsi produksi
dapat ditulis sebagai Y = f (X1, X2, X3,…, Xn), dimana Y adalah output, X1,… Xn adalah input yang
digunakan untuk menghasilkan Y (Debertin 1986); Doll dan Oazem 1984).
Fungsi produksi menggambarkan respon produksi pada semua tingkat dan kombinasi input
dalam kaitannya dengan teori penawaran, dan memperhatikan variasi dalam masing-masing input.
Fungsi produksi merupakan model ekonomi yang berfungsi membantu dalam pembuatan prediksi,
rekomendasi kebijakan, dan proyeksi (Lewis 1969). Fungsi poroduksi merupakan representasi
matematis yang menunjukkan jumlah output maksimum yang dapat dihasilkan dari sejumlah input
yang digunakan (Besanko 2004).
Produktivitas merupakan isu sentral pentingdalam perekonomian sebab menjadi penentu
utama kesejahteraan ekonomi. Analisis produktivitas pertanian mendapat tempat khusus dalam
ekonomi pertanian karena: (1) ketergantungan sektor pertanian pada sumber daya alam, (2)
keterbatasan ketersediaan sumber daya alam dalam mendukung produksi pertanian, dan (3) dalam
jangka panjang produktivitas pertanian berimplikasi pada pengurangan kemiskinan di Negara yang
sedang berkembang dan tantangan lingkungan global seperti perubahan iklim (Fuglie dan
Schimmelpfennig 2010).
Produktivitas pertanian merupakan rasio antara output pertanian dan input pertanian,
produktivitas faktor total (PFT) didefinisikan sebagai rasio antara nilai output dengan nilai semua
input yang digunakan. Namun PFT sulit diukur karena kendala menilai input-input utama ketika pasar
tidak berfungsi dengan baik. Suatu pendekatan alternatif adalah produktivitas faktor parsial (PFP).
PFP diukur dengan membagi output fisik (Q) dengan input faktor fisik (Xi), PFP = Q/X. Produktivitas
dapat bervariasi sebagai akibat dari penerapan teknologi yang berbeda atau variasi dalam input-input
yang tidak terukur, dalam suatu fungsi, produksi adalah sebagai berikut Q = f (X1, X2,… Xn;t). Ukuran
parsial yang dibangun secara hati-hati merupakan ukuran yang sah mengukur variasi output dan
variasi input (Alston et al. 1994; Ramaila et al. 2011; Owuor 1998).
Dalam sektor pertanian, Diskin (1997) memperkenalkan delapan indicator kinerja
produktivitas pertanian secara umum yaitu hasil panen per hektar, kesenjangan antara hasil aktual
dan per rumah tangga, jumlah bulan ketersediaan pangan rumah tangga, kehilangan hasil selama

Masterplan Pengembangan Kawasan 3-5


Pertanian di Kabupaten Tulungagung
Laporan Antara

penyimpanan, luas lahan dengan perbaikan budidaya, dan jumlah fasilitas penyimpanan yang dibangun
dan digunakan.
Komisi Eropa (2001) merilis indikator efisiensi produksi yang antara lain adalah:
produktivitas modal, produktivitas tenaga kerja, dan produktivitas lahan. Ruttan (2002) menyatakan
bahwa rasio produktivitas parsial dapat berupa produktivitas lahan (output/ha), produktivitas tenaga
kerja (output/tenaga kerja), dan rasio lahan-tenaga kerja (luas lahan pertanian/tenaga kerja).
Sementara input umumnya terdiri dari lahan, tenaga kerja, ternak, modal, dan pupuk.
Brambilla dan Porto (2006) mendefinisikan produktivitas sebagai hasil per hektar dalam
unit fisik. Definisi ini berbeda dengan definisi standar yang digunakan dalam analisis industry, yang
biasanya menggunakan ukuran nilai tambah pada harga konstan. Definisi produktivitas dalam unit
fisik secara ekonomi lebih memiliki makna karena merefleksikan teknologi yang digunakan;
sementara nilai tambah tergantung pada situasi pasar melalui harga.
Odhiambo et al. (2004) menemukan bahwa tenaga kerja dan lahan merupakan faktor yang
sangat penting sebagai penentu pertumbuhan dan produktivitas pertanian. Faktor penting lainnya
adalah kebijakan perdagangan, iklim, dan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian. Handayani
dan Dewi (2006) mendefinisikan produktivitas tenaga kerja sebagai pendapatan dalam satu musim
panen (merupakan output) dibagi dengan jam kerja selama musim panen tersebut (merupakan input).
Studi tentang perubahan produktivitas pertanian dalam ekonomi global pada Negara
produsen pertanian besar di Negara sedang berkembang dilakukan di China, India, Negara-negara
eks Uni Soviet dan Eropa Timur. Negara-negara ini merupakan produsen pertanian besar yang
memiliki konsekuensi besar bagi ekonomi pangan global. Selain itu, kebijakan dan kelembagaan yang
dibutuhkan untuk menjaga pertumbuhan produktivitas yang lestari seperti sistem penelitian dan
pengembangan dan pasar yang efisien belum mantap, dan karenanya prospek pertumbuhan ke depan
menjadi kurang meyakinkan dibandingkan dengan negara-negara industri maju (Fuglie dan
Schimmelpfennig 2010).
Merujuk Heimligh (2003), perubahan output pertanian (ΔO) merupakan hasil dari
perubahan output pertanian (ΔI) dan pertumbuhan produktivitas (ΔY). Dalam formula sederhana
dituliskan sebagai ΔO = ΔI + ΔY. Output pertanian diukur dengan output yang dapat dipasarkan,
input pertanian merupakan faktor-faktor produksi seperti intermediate input (pupuk, pestisida, benih,
energi), tenaga kerja dan modal. Sementara pertumbuhan produktivutas ditentukan oleh penelitian
dan pengembangan pertanian, penyuluhan, pendidikan, infrastruktur, dan program-program
pemerintah.
Hal yang menarik dari Heimlich (2003) adalah bahwa produktivitas diukur bukan hanya
untuk memperoleh informasi tentang peran faktor penentu produktivitas tersebut secara terpisah,
tetapi yang terpenting adalah memahami sumber-sumber pertumbuhan produktivitas dalam
memformulasi kebijakan yang tepat untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan
masyarakat. Brambilla dan Porto (2006) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
produktivitas usaha tani. Beberapa faktor yang dikaji antara lain adalah: umur, gender, pendidikan,
teknologi, akses kredit, penyilihan pertanian, dan pemanfaatan lahan.

Masterplan Pengembangan Kawasan 3-6


Pertanian di Kabupaten Tulungagung
Laporan Antara

Peningkatan Pertumbuhan Produktivitas Pertanian

Kondisi Makroekonomi Input di Tingkat Usaha Tani Faktor Eksternal

Kondisi Operasional yang Inovatif

Pendekatan Kebijakan:
Pengembangan SDM, Pengembangan Infrastruktur, Investasi dalam Penelitian dan
Pengembangan, Insentif Harga, Perbaikan Fleksibilitas Operasional

Gambar 3.2 Kerangka Produktivitas Pertania (Penm 2012)

Penm (2012) menyatakan bahwa pertumbuhan produktivitas pertania dipengaruhi tiga


faktor utama yaitu kondisi makro ekonomi, input di tingkat usaha tani, dan faktor eksternal. Ketiga
faktor ini harus didukung kondisi operasional yang inovatif yang dapat dicapai melalui pendekatan
kebijakan pemerintah. Kebijakan yang ditempuh pemerintah difokuskan pada pengembangan sumber
daya manusia, infrastruktur, investasi dalam penelitian dan pengembangan, insentif harga dan
perbaikan fleksibilitas operasional.

3.3 MASTERPLAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA JAWA


TIMUR 2015-2019
3.3.1 Visi, Misi dan Tujuan Strategis
Keterkaitan Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Pengembangan Kawasan Tanaman Pangan dan
Hortikultura Jawa Timur Tahun 2015-2019 dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 3.3 Keterkaitan Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran Pengembangan Kawasan Tanaman Pangan dan
Hortikultura Jawa Timur Tahun 2015-2019

Masterplan Pengembangan Kawasan 3-7


Pertanian di Kabupaten Tulungagung
Laporan Antara

3.3.2 Roadmap dan Rencana Aksi Pengembangan Kawasan


3.3.2.1 Overview Pengembangan Kawasan Agropolitan (PKA) Jawa Timur)
Sasaran pengembangan kawasan agropolitan adalah untuk mengembangkan kawasan
pertanian yang berpotensi menjadi kawasan agropolitan, melalui: a) Pemberdayaan masyarakat
pelaku agribisnis agar mampu meningkatkan produksi, produktivitas komoditi pertanian serta
produk-produk olahan pertanian, yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis
yang efisien dan menguntungkan serta berwawasan lingkungan; b) Penguatan kelembagaan petani; c)
Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis (penyedia agroinput, pengolahan hasil, pemasaran, dan
penyediaan jasa); d) Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan Pembangunan Terpadu; e)
Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi; f) Peningkatan sarana-prasarana meliputi:
jaringan jalan termasuk jalan usaha tani (farm road), irigasi, pasar, air bersih, pemanfaatan air limbah,
dan sampah; g) Peningkatan sarana -prasarana kesejahteraan sosial meliputi pendidikan, kesehatan,
kebudayaan, dan sarana-prasarana umum lainnya seperti listrik, telekomunikasi dan lain sebagainya.
Gerakan dan partisipasi aktif masyarakat (baik petani, penyedia agroinput, pengolah hasil, pemasaran
dan penyedia jasa) yang di fasilitasi Pemerintah melalui dana stimulan untuk mendorong Pemerintah
Daerah dan masyarakat, yang diarahkan untuk membiayai sarana dan prasarana yang bersifat publik
dan strategis, dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga dan masyarakat
tani pada kawasan agropolitan.
Pengembangan Kawasan Agropolitan di Jawa Timur terbagi dalam 8 kawasan sebagai
berikut: 1) Kawasan Agropolitan Madura; 2) Kawasan Agropolitan Ijen; 3) Kawasan Agropolitan
Bromo - Tengger - Semeru; 4) Kawasan Agropolitan Wilis; 5) Kawasan Metropolitan; 6) Kawasan
Segitiga Emas; 7) Kawasan Regional Kelud; 8) Kawasan Pesisir dan Pulau - pulau kecil.
Keragaan Komoditas Unggulan dan Prasarana yang tersedia di Kawasan Agropolitan sesuai
dengan komoditas unggulan tanaman pangan dan hortikultura: Banyuwangi (jeruk siam, Pisang, padi,
jagung,), Bondowoso (kopi, adpokad, durian, strawbery), Lumajang (pisang agung semeru, pisang
mas kirana, manggis, kentang, kobis), Probolinggo (mangga, manggis, dan kentang), Pasuruan (apel,
durian, padi, dan jagung), Malang (apel, belimbing, kelengkeng, bawang merah, cabe, dan bunga
potong), Blitar (blimbing, langsep), Tulungagung (padi, jagung), Trenggalek ( durian, salak dan
manggis), Nganjuk (bawang merah, padi, jagung,), Madiun (jambu biji, jambu air, nangka, jeruk,
mangga), Ngawi (padi organik, dan kedelai), Ponorogo (durian, mangga, dan cabai), Pacitan
(janggelan, biofarmaka, jagung, ubi kayu, dan jeruk keprok), Jombang (tomat, bawang merah, cabai,
belimbing, salak, padi dan jagung), Mojokerto (padi organik, jagung, ubi jalar, bawang putih, dan
wortel), Lamongan (jagung), Tuban (duku Prunggahan, kacang tanah, srikaya, dan belimbing
tasikmadu), Bojonegoro (salak, belimbing, padi dan jagung), Bangkalan (salak, dan bunga melati),
Pamekasan (jagung), Kediri (jagung, dan padi), Jember (padi, jagung dan durian), Situbondo ( padi,
jagung, kedelai dan durian), Sampang (semangka, cabe jamu, bentul), Sumenep (bawang merah, cabe,
gayam, sukun dan alpokad).
Permasalahan umum kawasan agropolitan yang timbul selama ini ialah faktor sumber daya
manusia termasuk petugas, sarana dan prasarana serta informasi tentang agribisnisnya. Upaya
pemecahan masalah dilakukan dengan melakukan koordinasi provinsi dan kabupaten melakukan
pembinaan dan evaluasi.
3.3.2.2 Roadmap dan Rencana Aksi Pengembangan Kawasan Tanaman Pangan dan
Hortikultura Provinsi Jawa Timur
Dengan memperhitungkan berbagai potensi dan peran strategis masing-masing komoditas
dari setiap kabupaten / kota di Jawa Timur, telah ditetapkan 7 (tujuh) kawasan komoditas tanaman
pangan dan hortikultura.

Masterplan Pengembangan Kawasan 3-8


Pertanian di Kabupaten Tulungagung
Laporan Antara

A. Kawasan Tanaman Pangan


Pengembangan kawasan tanaman pangan di Jawa Timur dikelompokan berdasarkan kelas
kawasan sesuai Klasifikasi Kawasan Tanaman Pangan, yaitu: Kawasan Penumbuhan, Kawasan
Pengembangan dan Kawasan Pemantapan. Klasifikasi tersebut berdasarkan rerata produktivitas
komoditas tanaman pangan, yaitu padi, jagung, kedelai dan ubi kayu selama tahun 2010 – 2014.
Selanjutnya perbedaan kelas kawasan tersebut menjadi dasar upaya penguatan yang akan dilakukan
sesuai tingkat kebutuhan. Di Jawa Timur untuk kawasan padi dilakukan di 29 kabupaten, jagung 15
kabupaten dan kedelai serta ubi kayu masing-masing dilakukan di 10 kabupaten potensial.
Gambar 3.4 Klasifikasi Kawasan Tanaman Pangan Jawa Timur Tahun 2015


Sumber: Masterplan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Timur 2015-2019

Berdasarkan tabel tersebut, Kabupaten Tulungagung termasuk dalam klasifikasi sebagai


berikut:
1. Padi: kelas pengembangan
2. Jagung: kelas pengembangan
3. Kedelai: kelas pemantapan
4. Ubi kayu: kelas pemantapan
B. Kawasan Hortikultura
Komoditas hortikultura merupakan komoditas potensial yang mempunyai nilai ekonomi
dengan permintaan pasar yang tinggi. Akan tetapi penanganan komoditas hortikultura di dalam suatu
kawasan sampai sekarang masih belum optimal, meskipun potensi bisnis di dalam kawasan cukup
besar yang terindikasi dari 323 varietas, terdiri dari 80 varietas sayuran, 60 varietas buah, 117
komoditas florikultura, dan 66 varietas tanaman biofarmaka. Didalam pengembangannya ditetapkan
40 komoditas unggulan nasional dan diantaranya cabai, bawang merah dan jeruk sesuai Keputusan
Menteri Pertanian RI nomor 45 /Kpts/PD.200/I/2015 tentang penetapan Kawasan Cabai, Bawang
Merah dan Jeruk Nasional. Beberapa permasalahan pengembangan hortikultura:
1. Rendahnya produksi, produktivitas dan kualitas hortikultura akibat belum optimalnya
pembinaan teknis terutama dalam penerapan inovasi teknologi baik prapanen dan
pascapanen sehingga daya saing produk hortikultura asih lemah
2. Lokasi terpencar;
3. Penerapan GAP – SOP yang masih belum konsisten;
4. Petani hortikultura masih memiliki daya tawar yang lemah dibanding pelaku usaha
lainnya yang disebabkan oleh masih lemahnya fungsi atau peran dari kelembagaan
hortikultura (Poktan, Gapoktan, Asosiasi).

Masterplan Pengembangan Kawasan 3-9


Pertanian di Kabupaten Tulungagung
Laporan Antara

Berpedoman pada Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/CT.140/8/2012


tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian dan sesuai Strategi Pengembangan Kawasan
Tanaman Pangan dan Hortikultura, maka pengembangan kawasan hortikultura Jawa Timur
berdasarkan klasifikasi kawasan hortikultura untuk komoditas cabai merah, bawang merah dan jeruk
sesuai kelas kawasan : a) Kawasan Baru / inisiasi; b) Penumbuhan; c) Pengembangan; d) Pemantapan
dan e) yang terintegrasi antar kawasan.
Gambar 3.5 Klasifikasi Kawasan Hortikultura Jawa Timur Tahun 2015


Sumber: Masterplan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Timur 2015-2019

Berdasarkan tabel tersebut, Kabupaten Tulungagung termasuk dalam klasifikasi sebagai


berikut:
1. Jeruk: kelas penumbuhan
2. Bawang merah: kelas inisiasi
3. Cabai merah: kelas inisiasi

3.3.3 Kesimpulan
Dengan memperhitungkan berbagai potensi dan peran strategis masing-masing komoditas
dari setiap kabupaten / kota di Jawa Timur, telah ditetapkan 7 (tujuh) kawasan komoditas tanaman
pangan dan hortikultura, yaitu: padi, jagung, kedelai, ubi kayu, cabai merah, bawang merah dan jeruk,
dengan tipe kawasan:
1. Inisiasi : Jeruk (Tulungagung, Kediri, Blitar, Bondowoso, Probolinggo, Madiun,
Kota Malang, Tuban, Mojokerto, Lamongan, Situbondo, Bojonegoro Sumenep);
Bawang Merah (Ponorogo, Situbondo, Madiun, Ngawi, Lamongan); Cabai Merah
(Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Situbondo, Mojokerto, Madiun, Ngawi,
Lamongan, Bangkalan, Sumenep, Kota Surabaya);
2. Penumbuhan : Padi (Pacitan); Jagung (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep),
Kedelai (Pacitan, Blitar, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Kediri, Malang, Gresik,
Bojonegoro, Tuban, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep), Ubi Kayu (Lumajang,
Jember, Madiun, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, Sidoarjo,
Mojokerto, Gresik, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep); Jeruk (Pacitan,
Ponorogo); Bawang Merah (Kediri, Sampang); Cabai Merah (Pacitan, Magetan,
Bojonegoro, Gresik Sampang, Pamekasan, Kota Batu);
3. Pengembangan : Padi (Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Kediri, Lumajang,
Jember, Nganjuk, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, Bojonegoro, Lamongan,
Bangkalan, Sampang, Sumenep), Jagung (Bondowoso, Probolinggo, Jember,
Lumajang, Situbondo, Banyuwangi, Malang, Pasuruan, Blitar, Jombang, Mojokerto,
Tulungagung, Magetan Pacitan, Trenggalek, Kediri, Madiun Nganjuk, Ngawi,
Ponorogo, Tuban, Bojonegoro, Lamongan, Gresik) dan kedelai (Ngawi dan

Masterplan Pengembangan Kawasan 3-10


Pertanian di Kabupaten Tulungagung
Laporan Antara

Trenggalek); Ubi Kayu (Blitar, Kediri, Malang, Pasuruan, Jombang, Nganjuk, Magetan,
Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan); Jeruk (Pasuruan, Nganjuk, Magetan, Ngawi,
Gresik, Bangkalan, Pamekasan); Bawang Merah (Bondowoso Magetan, Bojonegoro,
Sumenep, Kota Probolinggo, Kota Batu); Cabai Merah (Bondowoso, Pasuruan,
Jombang, Sampang);
4. Pemantapan : Padi (Ponorogo, Malang, Pasuruan, Banyuwangi, Sidoarjo,
Mojokerto, Jombang, Madiun, Magetan, Ngawi, Tuban, Gresik, Pamekasan); Kedelai
(Ponorogo, Tulungagung, Lumajang, Banyuwangi, Jember, Pasuruan, Mojokerto,
Jombang, Nganjuk, Madiun, Magetan, Lamongan, Sampang) dan Ubi Kayu
(Ponorogo, Trenggalek, Pacitan, Tulungagung); Jeruk (Kabupaten Malang, Kota
Batu, Lumajang, Jember, Banyuwangi); Bawang Merah (Malang, Probolinggo,
Mojokerto, Nganjuk, Pamekasan) ; Cabai Merah (Tuban, dan Jember )
5. Integrasi Antar Kawasan Cabai Merah di Kediri, Malang, Lumajang, Blitar, Banyuwangi.
Sebagai Rencana Tindak Lanjut disusun skenario pengembangan kawasan tanaman pangan
dan hortikultura Jawa Timur:
1. Peningkatan Produktivitas Tanaman Pangan dan Hortikultura;
2. Peningkatan Indeks Pertanaman (IP) untuk Padi
3. Penurunan Tingkat Kehilangan Hasil Tanaman Pangan dan Hortikultura;
Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Tanaman Pangan dan Hortikultura melalui
Pengembangan Industri Olahan.

3.4 MASTERPLAN KAWASAN AGROPOLITAN KABUPATEN


TULUNGAGUNG
3.4.1 Rencana Pengembangan Kawasan Agropolitan Kabupaten Tulungagung
Rencana pengembangan kawasan agropolitan Kabupaten Tulungagung terdiri dari:
1. Rencana pengembangan komoditas unggulan Kawasan Agropolitan Sendang (KAS)
a) Rencana pengembangan komoditas hortikultura buah-buahan eksotis tropis
(apokat, mangga, durian, rambutan, pisang, sirsak dan manggis);
b) Rencana pengembangan komoditas hortikultura sayuran (cabe merah, kacang
panjang, buncis, sawi, kubis, terung dan tomat);
c) Rencana pengembangan komoditas tanaman pangan (padi, jagung, kacang-
kacangan, ketela pohon, ketela rambat, kedelai dan sorghum);
d) Rencana pengembangan komoditas kambing/domba (daging dan kulit);
e) Rencana pengembangankomoditas sapi perah dan sapi potong (susu, daging, kulit);
2. Rencana tata guna lahan dan perwilayahan komoditas KAS
3. Rencana struktur tata ruang dan sistem KAS
a) Kota tani (desa pusat pertumbuhan agribisnis) berfungsi sebagai pusat pelayanan
agribisnis berpusat di Desa Sendang.
b) Hinterland berfungsi sebagai produsen dan pemasok bahan baku, terdiri dari Desa
Kedoyo, Talang, Nglutung, Dono, Krosok, Tugu, Picisan, Nyawangan, Sendang,
Nglurup dan Geger.
4. Rencana pengembangan sarana dan prasarana dasar di KAS

Masterplan Pengembangan Kawasan 3-11


Pertanian di Kabupaten Tulungagung
Laporan Antara

3.4.2 Strategi Dasar Pengembangan Kawasan Agropolitan Kabupaten


Tulungagung
3.4.2.1 Strategi Dasar
Sebagai suatu kawasan terpilih untuk pengembangan Agropolitan, maka perlu adanya
strategi yang cocok dan efektif dalam pengembangan Kawasan Agropolitan Kabupaten Tulungagung.
Dalam kaitan ini strategi dasar yang dipilih adalah FOKUS dan TUMBUH.

Gambar 3.6 Ilustrasi Strategi Fokus dan Tumbuh

PUSAT
DISTRIBUSI
DESA DONO

§ Kawasan Spatial
§ Sistem Agribisnis &
Agroindustri
§ Organisasi &
Kelembagaan
§ Pengembangan Sarana
& Prasarana

PUSAT PELAYANAN
Keterangan : DESA SENDANG


LOKASI PUSAT DISTRIBUSI
LOKASI PUSAT DISTRIBUSI

LOKASI PUSAT PELAYANAN
LOKASI PUSAT PELAYANAN

Penerapan strategi Fokus dalam pengembangan Kawasan Agropolitan Kabupaten


Tulungagung akan menjamin efektifitas program karena sumberdaya dan upaya terkonsentrasi pada
satu titik massa.
Secara filosofis konsentrasi sumberdaya pada satu titik ini akan memaksimalkan kekuatan
gravitasi dan mampu memberikan momentum untuk bergerak dan berkembang dalam suatu proses
perkembangan yang lebih dinamis.
Dengan penerapan strategi Fokus dan Tumbuh, maka pertumbuhan dan perkembangan
akan bergerak dari satu titik ke berbagai arah, dengan tetap mempertahankan momentumnya.
Demikian pula dalam pengembangan Kawasan Agropolitan Kabupaten Tulungagung, maka strategi
Fokus dan Tumbuh akan menjamin efektifitas program dan efisiensi penggunaan sumberdaya.

Masterplan Pengembangan Kawasan 3-12


Pertanian di Kabupaten Tulungagung
Laporan Antara

Strategi Fokus dan Tumbuh diterapkan pada berbagai aspek:


1. Aspek pengembangan spatial, yakni dari kawasan mana mulai dan ke kawasan mana
tahap perkembangannya / perluasannnya;
2. Aspek pengembangan agribisnis, dari pengembangan agribisnis yang bersifat factor
driven secara bertahap dan seimbang mengarah ke innovation driven;
3. Aspek pengembangan organisasi dan kelembagaan di mulai dari penguatan dan
pemantapan organisasi yang paling kecil, yang ada dimasyarakat ditumbuhkembangkan
menjadi sistem organisasi yang lebih besar dan berkualitas.
3.4.2.2 Strategi dan Kebijakan Pengembangan Ekonomi KAS
Faktor yang sangat fundamental dalam pengembangan Kawasan Agropolitan Sendang
dengan konsep pembangunan ekonomi berbasis ekonomi kerakyatan adalah:
1. Melakukan Transformasi Keunggulan Komparatif Wilayah ke arah Keunggulan
Kompetitif;
2. Melakukan Transformasi Agribisnis tradisiohil yang dilaksanakan oleh petani ke arah
Agribisnis/Agroindustri Modem, menghasilkan produk yang bersifat factor driven
(natural based & unskilled labour-based) ke arah capital driven (capital & skilled
labour-based); dan kemudian mengarah ke innovation driven (knowledge & skilled
labour-based);
3. Melakukan suatu terobosan yang mampu melompati kurva atau quantum leap,
termasuk diantaranya melakukan hal yang tidak biasanya dilakukan dan melakukan hal
yang memberikan hasil yang sangat significant (spektakuler).
3.4.2.3 Strategi dan Kebijakan Pengembangan SDM Kelembagaan
Pengembangan SDM dan Kelembagaan di Kawasan Agropolitan dilakukan dengan
menempuh strategi dan pendekatan capacity building. Tujuan capacity building adalah untuk
mendorong perubahan secara bertahap kapasitas petani sebagai individu maupun organisasi petani
sebagai lembaga untuk secara terus menerus memahami dan menyadari prinsip-prinsip agribisnis
yang profesional-berdaya saing; mencari dan menemukan inovasi-inovasi baru - baik dalam aspek
manajemen, teknologi, pendekatan dan metodologi, meningkatkan ketrampilan'- (skill), memiliki
kemampuan mengakses modal dan pasar; yang pada akhimya menjadikan petani dan lembaga bisnis
petani dapat melaksanakan kegiatan agribisnis secara profesional-berdaya saing.
Gambar 3.7 Model Pengembangan Ekonomi Kawasan Agropolitan Kabupaten Tulungagung
COMPETITIVE
COMPARATIVE ADVANTAGE
ADVANTAGE

SKILL INNOVATION
LABOUR DRIVEN

CAPITAL
DRIVEN

FACTOR
DRIVEN
UNSKILL
LABOUR

NATURAL
NATURAL
RESOURCES INPUT
RESOURCES INPUT
DRIVEN
DEVELOPMEN
T CAPITAL INPUT

KNOWLEDGE &
TECNHNOLOGY
INPUT

Masterplan Pengembangan Kawasan 3-13


Pertanian di Kabupaten Tulungagung
Laporan Antara

Implementasi strategi dan pendekatan capacity building yaitu :


1. Diterapkannya suatu pola dan sistematika pendidikan, pembelajaran dan pelatihan
(pengembangan SDM) kepada masyarakat sebagai pelaku ekonomi; baik dalam aspek
peningkatan skill, pengetahuan, wawasan dan sekaligus proses penyadaran.
2. Untuk mengembangkan Agribisnis/Agroindustri - khususnya kepada masyarakat
petani/UKM yang pada umumnya memiliki latar belakang sosial-ekonomi-budaya yang
resisten terhadap inovasi - perlu adanya strategi PEMASARAN, KONSEP, METODE
dan TEKNOLOGI yang tepat dan efektif dalam agribisnis sebgai suatu sistem.
Kombinasi berbagai metode pelatihan, mencoba berdasar pengalaman dan percobaan,
sekolah lapang, studi banding, studi tour, demonstrasi partisipatif, diskusi kelompok,
temu bisnis, dan lainnya dapat cepat mengubah persepsi masyarakat tani dan UKM
serta memberi keyakinan mereka bahwa inovasi sangat diperlukan (dibutuhkan).
Kunci untuk mempercepat proses penerimaan dan adopsi teknologi adalah bahwa
masyarakat harus dilibatkan secara aktif dalam berbagai proses pengembangan. Prinsip
yang dipegang adalah melihat lebih baik daripada mendengar, dan mengalami jauh lebih
baik serta lebih meyakinkan daripada melihat. Inilah konsep dasar dalam pendidikan,
yang harus diterapkan dalam pendidikan kepada masyakat petani dan UKM, sehingga
menjadi bagian tidak terpisahkan dari capacity building;
3. Revitalisasi PUSDIKLAT Agribisnis. Disamping meningkatkan pengetahuan dan skill
masyarakat tani dan UKM (fungsi agent of education), juga difungsikan sebagai agent of
promotion atau promotion media (di sini tidak digunakan istilah agent of development
karena konsepnya terlalu ngawang). Yang dipromosikan tentunya cara-cara, konsep,
inovasi dan teknologi baru kepada masyarakat tani dan UKM. Dengan demikian
PUSDIKLAT Agribisnis perlu ditingkatkan performanya dan dapat melakukan
terobosan-terobosan dalam merancang program pendidikan dan pelatihan kepada
petani maupun petugas lapangan (SP2AB, Da'l Pembangunan, Fasilitator, PPL dan lain
sebagainya).
Bagaimana mengfungsikan PUSDIKLAT sebagai agent of education dan agent of
promotion, serta bagaimana mendidik dan mengembangkan petugas lapangan sebagai
agent of promotion, communication and education, perlu disusun suatu program
pengembangan kelembagaan dan SDM terhadap PUSDIKLAT Agribisnis dan Petugas
lapang.
4. Riset dan pengembangan harus lebih banyak menganut supply create demand, dalam
arti kegiatan riset dan pengembangan harus proaktif - namun tetap berdasar pada
kebutuhan-kebutuhan lapangan maupun kebutuhan untuk meningkatkan daya saing
(produktivitas, kualitas, dan lainnya). Suatu inovasi baru yang dapat memberikan
manfaat lebih (peningkatan produktivitas, perbaikan kualitas, efisiensi biaya,
peningkatan penjualan, pengembangan pasar, ...) selalu akan diperlukan jika hasil-
hasilnya telah teruji, aplikatif dan disebarluaskan (dipromosikan) kepada pengguna
(dalam hal ini masyarakat tani dan UKM).
Program kegiatan Riset dan Pengembangan perlu di-set up dalam rangka
mengembangkan Agribisnis/ Agroindustri di Kawasan Agropolitan Kabupaten
Tulungagung, melalui berbagai kombinasi pendekatan, antara lain:
a) Menjalin Networking dan kerjasama dengan perusahaan besar (Community
Development), BPTP (Balai Pengembangan Teknologi Pertanian), Perguruan Tinggi

Masterplan Pengembangan Kawasan 3-14


Pertanian di Kabupaten Tulungagung
Laporan Antara

(Universitas, Institut dan Poltek), BPPT - Jakarta, dan lembaga-lembaga


internasional dalam mengembangkan program-program riset aplikatif unggulan
agribisnis / agroindustri;
b) Mengembangkan model-model kegiatan riset dan pengembangan partisipatif yang
melibatkan kelompok masyarakat tani / UKM, sehingga kegiatan ini akan memiliki
multiple function, yakni riset dan pengembangan teknologi aplikatif, pendidikan dan
latihan, dan promosi / penyuluhan.
5. Bekerja sama dengan Disnakertrans mengadakan recruitment tenaga kerja melalui
program Ketenagakerjaan Pola Agropolitan untuk mengatasi kelangkaan tenaga kerja
(SDM).
6. Dalam rangka Pengembangan SDM tersebut di atas harus memperhatikan keragaman
budaya dan agama serta kepercayaan yang ada dimasyarakat, dan diikuti dengan
program-program dalam upaya membangun jiwa spiritual.
3.4.2.4 Strategi dan Kebijakan Pengembangan Lembaga Keuangan
Beberapa saran dan masukan perihal kebijakan Pemerintah Kabupaten Kabupaten
Tulungagung untuk pengembangan Lembaga Keuangan di KAS, antara lain:
1. Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung bekerjasama dengan PT. Permodalan
Nasional Madani membentuk PT. Permodalan Kawasan Agropolitan Kabupaten
Tulungagung. Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung bertindak atau berperan
sebagai "avalis" / penjamin.
2. Bekerjasama dengan Bank Pembangunan Daerah dan masyarakat/ koperasi, membuka
BPA (Bank Perkreditan Agribisnis) yang keberadaannya ada di desa.
3. Sepenuhnya mendukung pengembangan Koperasi sebagai lembaga/ organisasi
ekonomi masyarakat desa.

3.5 KERANGKA PEMIKIRAN ANALISIS PENYUSUNAN MASTERPLAN


PERTANIAN
Untuk menjadikan masterplan sebagai dokumen perencanaan teknokratis yang di dalamnya
mencakup proyeksi arah, skenario dan tahapan pengembangan kawasan pertanian dalam jangka
panjang dan menengah yang dijabarkan dalam strategi, arah kebijakan dan tahapan pengembangannya,
maka hasil akhir dari berbagai analisis yang digunakan dalam menyusun masterplan harus mampu
menghasilkan suatu rancang bangun pengembangan kawasan pertanian secara jauh ke depan.
Spesifikasi masterplan pengembangan kawasan pertanian sudah barang tentu harus sesuai dengan
karakteristik dasar sektor pertanian yang sangat dipengaruhi oleh agroekosistem dan dominansi
pertanian rakyat sebagai pelaku utama pembangunan pertanian. Dengan demikian, maka masterplan
pengembangan kawasan pertanian akan sangat terkait dengan analisis terhadap sumber daya, sosial
ekonomi dan tata ruang wilayah dimana kawasan pertanian berada, sehingga analisis terhadap ketiga
aspek mendasar tersebut harus menjadi ciri utama dari masterplan pengembangan kawasan
pertanian.
Secara garis besar, kerangka analisis perencanaan masterplan terbagi ke dalam tiga besar,
yaitu:
1. Analisis kondisi awal,
2. Analisis spesifikasi status dan rencana keterkaitan/ kerjasama antar kawasan lintas
kabupaten/kota,
3. Analisis penetapan tujuan/ kondisi akhir atau sasaran, dan

Masterplan Pengembangan Kawasan 3-15


Pertanian di Kabupaten Tulungagung
Laporan Antara

4. Perumusan indikasi program dan kegiatan untuk mencapai tujuan/ kondisi akhir yang
diinginkan.
Perbedaan status kawasan antara kondisi awal dengan kondisi/ sasaran akhir dari kawasan
yang akan dikembangkan menunjukkan adanya kesenjangan (gap) yang harus diminimalisasi.

VISI PENGEMBANGAN
KAWASAN ANALISIS
POTENSI
SUMBERDAYA
MISI PENGEMBANGAN
KAWASAN

KONDISI EKSISTING ANALISIS


TUJUAN & SASARAN SAAT INI PERENCANAAN
PENGEMBANGAN

ARAH PROGRAM &


KEGIATAN GAP

ANALISIS
ROADMAP &
RENCANA AKSI
OUTPUT & OUTCOME SASARAN

Gambar 3.8 Kerangka Pemikiran Analisis Penyusunan Masterplan Pertanian



















Masterplan Pengembangan Kawasan 3-16


Pertanian di Kabupaten Tulungagung

Anda mungkin juga menyukai