Anda di halaman 1dari 26

Dosen penanggungjawab: Prof. Dr.

Ramli Umar
Mata kuliah: filsafat Ilmu

MAKALAH
OLIGARKI EKONOMI DI INDONESIA

DISUSUN OLEH

MUHAMMAD SAINAL ALFANDY

PROGRAM PASCA SARJANA


PENDIDIKAN GEOGRAFI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2018

1
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala,


yang telah memberi rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan makalah. Shalawat dan salam juga semoga tercurah kepada Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wasallam, keluarga beliau, para sahabatnya dan seluruh ummatnya
yang tetap istiqamah di atas ajaran Islam.

Makalah ini pada dasamya merupakan sarana untuk mendukung mata


kuliah Filsafat Ilmu Geografi dengan dibimbing oleh Prof. Dr. Ramli Umar,M.Si.
Oleh karena itu kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat, terutama
untuk memperdalam penguasaan teori khususnya dalam pengembangan ilmu
geografi.

Penulis berharap semoga makalah ini bisa menjadi sumber rujukan bagi pembaca
dalam menambah wawasan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki

Makassar , September 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................ i

DAFTAR ISI............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................................... 1
B. Rumusan masalah.......................................................................................... 4
C. Tujuan............................................................................................................. 4
D. Manfaat ........................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Oligarki menurut Winters......................................................... 5

2. Tipe-tipe Oligarki menurut .......................................................................... 8

3. kondisi ketimpangan yang terjadi di Indonesia........................................... 14

BAB III PENUTUP

 Kesimpulan ..................................................................................................... 21

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 22

ii
1
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Jika kita melihat hirarki perekonomian Indonesia dengan konsep
perekonomian kerakyatan, seharusnya pemerataan ekonomi menjadi acuan
dalam kesuksesan pembangunan negara. Tetapi semenjak  orde baru hirarki
perekonomian sangat mencolok terjadi di Indonesia. Hirakhi yang sangat
mencolok antara orang-orang kaya dan masyarakat miskin, dimana
kelompok orang kaya yang mendominasi pendapatan negara menjadi
kelompok minoritas dan masyarakat miskin menjadi kelompok mayoritas.
Oligarki perekonomian sejak zaman orde baru sampai sekarang
sangatlah jelas. Menurut Hasil kajian Prof Jeffrey Winters dari
Northwestern University,AS, mengutip data dari Capgemini and Merrill
Lynch menunjukkan kurang dari 1% orang kaya di Indonesia mempunyai
kekayaan setara dengan 25% GDP (Gross Domestic Product). Tetapi
perbedaan Oligarki dalam sektor ekonomi pada era Soeharto dengan era
reformasi sekarang adalah pada era orde baru Soeharto dapat
mengendalikan orang-orang kaya tersebut menjadi oligarki di bawah
kekuasaannya.
Keadilan ekonomi menjadi fokus dari Pemerintahan Jokowi-JK
dengan corak pembangunan yang asimetris, dari pinggiran serta redistribusi
aset dan akses.
Sejak reformasi, transformasi struktural perekonomian Indonesia yang
diharapkan lebih berkeadilan ternyata mengalami hambatan akibat tren
penguasaan aset dan akses terhadap sumber daya ekonomi yang tidak banyak
berubah dan diindikasikan dikuasai serta dikendalikan oleh sekelompok
kecil pelaku ekonomi (Oligarki) Kondisi ketimpangan di Indonesia sejak
reformasi mengalami peningkatan ditunjukkan dengan rasio gini, rasio gini
tanah dan penguasaan aset dan akses keuangan di perbankan

1
1. Oligarki Masa Orde Baru
Oligarki dalam perekonomian pada Era orde baru dibangun beriringan
dengan sentralisasi politik pada zaman itu. Di bawah kepemimpinan
soeharto selama tiga puluh tahun lebih memupuk berkembangnya oligarki
dalam kelompok-kelompok tertentu saja. Kelompok oloigarki orde baru
terdiri dari keluarga besar Soeharto yaitu anak, istri, dan para kerabatnya.
Sementara itu dipupuk pula lingkaran oligarki yang lain yaitu para
pengusaha tionghoa seperti Liem Sioe Liong dan Bob Hasan dan para
petinggi-petinggi militer yang menguasai aset-aset negara. Semua
lingakaran oligarki tersebut dapat dikendalikan secara penuh oleh Soeharto
untuk melanggengkan kekuasaanya selama tiga dekade lebih.
Soeharto telah membangun kerajaan oligarkinya semenjak dia
menjadi mandataris presiden Republik Indonesia dengan mengeluarkan PP
no. 8 tahun 1966 dengan mengambil alih konglomerasi Soekarno. Pada
tahun-tahun berikutnya keberpihakan Soeharto kepada oligarki bisnis
keluarganya terlihat sangat jelas dengan mengeluarkan peraturan
perundang-undangan yang mendukung bisnisnya. Terlihat jelas pada awal
tahun 1990-an dengan  banyaknya peraturan pemerintah yang dikeluarkan
demi mendukung monopoli usaha, pembebasan pajak, hingga dibentuknya
puluhan yayasan keluarga demi menghimpun dana untuk menyelamatkan
usahanya.Peraturan-peraturan tersebut antara lain, Keputusan Presiden
(Keppres) No. 86 tahun 1994 yang berisi tentang hak atas monopoli
distribusi bahan peledak industri yang diberikan kepada perusahaan
keluarganya yaitu PT. Multinitrotama Kimia. Tidak hanya di situ saja,
negara juga dibebani utang PPN perusahaan tersebut dengan mengeluarkan
Keppres No. 42 tahun 1995.
2. Oligarki Ekonomi Era Reformasi
Setelah 32 tahun Indonesia terjajah dalam sector ekonomi oleh
oligarki ekonomi Soeharto dan keluarganya. Akhirnya rezim Soeharto jatuh
juga karena ulanya sendiri yang mengakibatkan krisis ekonomi, sehingga

2
gerakan massa besar-besaran menurunkan Soeharto dari kursi presiden.
Runtuhnya rezim orde baru yang digantikan dengan era reformasi sempat
memberikan harapan bagi rakyat yang dahulunya terkekang dan terisolasi
untuk dapat membangun perekonomiannya. Tetapi semua itu hanya ilusi
semata, dalam prakteknya demokrasi dan Desentralisasi yang dilakukan
malah membangun oligarki ekonomi yang lebih besar pada tingkat nasional
maupun daerah.
Pada faktanya selama lebih dari sepuluh tahun setelah reformasi dan
desentralisasi, Aktor-aktor lama pada era orde baru yang cukup lama
dipupuk masih mempunyai kekuatan besar dalam era reformasi. Kekuatan-
kekuatan itu bukan hanya pada unsur modal saja karena sudah mengusai 30
tahun lebih, tetapi kekuatan politik orde baru ternyata masih menancap di
pusat maupun daerah. Kondisi ini dibahasakan Vedi Hadiz dengan kaum
Predatoris, yaitu para pelaku politik lama ditingkat paling dasar dalam
simpul oligarki dan primordial orde baru yang masih resisten dan terbawa
arus desentralisasi sampai ke daerah-daerah. Para aktor ekonomi baru juga
mulai membentuk kerajaan oligarkinya dengan memanfaatkan desentralisasi
pemerintahan.
Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi juga dibidik sebagai
penggerak ekonomi rakyat, dengan memperhatikan aspek registrasi usaha
skala mikro dan kecil, pengembangan sarana dan prasarana usaha bagi
UMKM, fasilitasi sertifikasi, standardisasi, merek, dan pengemasan, juga
akses UMKM untuk mendapat kredit, dan perbaikan tata kelola dan
kelembagaan koperasi. Wirausaha juga menjadi fokus pembangunan,
dengan target meningkatkan partisipasi wirausaha untuk meningkatkan
jumlah tenaga kerja persentase wirausaha terhadap jumlah penduduk
Indonesia pada periode 2016-2017 tercatat masih sangat kecil, yakni hanya
sebesar 3,1%. Menurut Bambang, kunci peningkatan dan penguatan iklim
kewirausahaan adalah inovasi dan transfer teknologi serta penelitian dan
pengembangan.

3
Sementara itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia
terus meningkat. Sesuai data Human Development Report Office of the
United Nations Development Programme (UNDP), IPM Indonesia pada
2015 menempati peringkat 113 dari 188 negara.

B. Rumusan Masalah

1. Jelaskan pngertian Oligarki menurut Winters

2. Jelaskan tipe-tipe Oligarki menurut Winters yang digolongkan menurut


empat ciri utama

3. Bagaimana kondisi ketimpangan yang terjadi di Indonesia

C. Tujuan Penelitian

1. Mampu menjelaskan pengertian Oligarki menurut Winters

2. Mampu menjelaskan tipe-tipe Oligarki menurut Winters yang


digolongkan menurut empat ciri utama

3. Mampu mengetahui kondisi ketimpangan yang terjadi di Indonesia

D. Manfaat penelittian

1. Mahasiswa mengetahui pengertian Oligarki menurut Winters

2. Mahasiswa dapat mengetahui tipe-tipe Oligarki menurut Winters yang


digolongkan menurut empat ciri utama

3. Mahasiswa dapat mengetahui kondsi ketimpangan yang terjadi di


Indonesia

4
BAB II

PEMBAHASAN

1. Teori Oligarki menurut Winters

Secara konseptual, istilah Oligarki telah lama dikenal dalam studi


politik. Istilah ini merentang dari jaman Yunani Kuno hingga era
kontemporer sekarang. Dalam International Encyclopedia of Social
Sciences, Oligarki didefinisikan sebagai “bentuk pemerintahan dimana
kekuasaan berada di tangan minoritas kecil”. Istilah tersebut diambil dari
bahasa Yunani, “Oligarchia”, yang berarti pemerintahan oleh yang sedikit,
terdiri atas kata oligoi (sedikit), dan arkhein (memerintah). Namun,
pengertian singkat tersebut sangat problematis dan tidak memadai untuk
mendefinisikan Oligarki. Hal itu karena masih menimbulkan kekaburan
makna mengenai

Oligarki itu sendiri. Apalagi bila itu disematkan hanya pada konsep
“minoritas yang menguasai mayoritas”. Bila konsep Oligarki didasarkan
pada hal demikian, maka hampir setiap kekuasaan, pengaruh, atau
pemerintahan, yang menempatkan adanya minoritas dalam memimpin,
maka dapat disebut sebagai Oligarki. Hal itu misalnya, Soviet, kardinal
Gereja, direksi perusahaan, bahkan demokrasi perwakilan itu sendiri,
karena di dalamnya hanya sedikit orang yang memerintah. Padahal, dalam
pengertiannya, yang dimaksud Oligarki tidaklah sesederhana itu. Pada titik
inilah, Jeffrey A. Winters, seorang Profesor di Northwestern University,
berusaha mengkonstruksi ulang pemahaman mengenai Oligarki.

Apa yang disebut Oligarki, menurut Winters, penting untuk


menempatkannya dalam dua dimensi. Dimensi pertama, Oligarki memiliki
dasar kekuasaan—kekayaan material—yang sangat susah untuk dipecah
dan diseimbangkan. Kedua, Oligarki memiliki jangkauan kekuasaan yang

5
luas dan sistemik, meskipun dirinya berposisi minoritas dalam suatu
komunitas Dengan demikian, suatu kekuasaan yang Oligarkis harus
didasarkan pada bentuk kekuasaan yang susah dipecahkan dan
jangkauannya yang harus sistemik.

Menurut Winters, teorisasi Oligarki dimulai dari adanya fakta


bahwa ketidaksetaraan material yang ekstrem menghasilkan
ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula. Meskipun dalam demokrasi,
kedudukan dan akses terhadap proses politik dimaknai setara, akan tetapi
kekayaan yang sangat besar di tangan minoritas kecil menciptakan
kelebihan kekuasaan yang signifikan di ranah politik pada golongan
tersebut. Klaim ini didasarkan pada distribusi sumber daya material
diantara anggota komunitas politik, demokrasi atau sistem lainnya, yang
memiliki pengaruh besar pada kekuasaan. Semakin tidak seimbang
distribusi kekayaan material, makin besar kekuasaan dan pengaruh orang
kaya dalam motif dan tujuan politiknya. Dengan demikian, ketidaksetaraan
yang besar dalam kekayaan menghasilkan ketidaksetaraan dalam
kekuasaan dan pengaruh politik.

Klaim teoritik tersebut didasarkan pada hubungan yang erat antara


uang (kekayaan) dan kekuasaan yang menyejarah dalam sistem politik
manusia. Studi mengenai Oligark dan Oligarki memusatkan perhatian
pada kuasa kekayaan dan politik yang spesifik di sekitar kuasa tersebut.
Penekanannya ada pada dampak politik kesenjangan material terhadap
“kesenjangan kondisi” yang membuat bentuk-bentuk kekuasaan dan
ekslusi minoritas oligarkis berbeda dengan yang lainnya. Untuk itu,
menurut Winters, teori Oligarki harus menjelaskan bagaimana kekayaan
yang terkonsentrasi menciptakan kapasitas, motivasi, dan masalah politik
tertentu bagi mereka yang memilikinya. Selain juga harus peka terhadap
bagaimana dan mengapa politik seputar kekayaan sebagai kekuasaan telah
berubah seiring perkembangan waktu.

6
Berdasarkan fakta demikian, Winters memulai penjelasannya
mengenai Oligarki dari apa yang dimaksud dengan Oligark. Winters
mendefinisikan Oligark sebagai “pelaku yang menguasai dan
mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa
digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi
dan posisi sosial ekslusifnya” Berdasarkan definisi itu, terdapat tiga hal
yang saling bersangkut paut, antara lain, pertama, kekayaan adalah bentuk
kekuasaan material yang berbeda dengan sumber daya kekuasaan lain
yang berpusat pada minoritas; kedua, penguasaan dan pengendalian
sumber daya itu ditujukan untuk kepentingan pribadi; dan ketiga, definisi
Oligark tetap konsisten di berbagai zaman dan kasus.

Sebelum menjelaskan Oligarki sebagai sebuah sistem, Winters


memperkenalkan konsep “pertahanan kekayaan”. Sepanjang perjalanan
sejarah, kekayaan material yang terkonsentrasi pada minoritas selalu
mengundang ancaman dari pihak luar yang ingin menguasai atau
mendistribusi ulang kekayaan tersebut. Ini dimaknai sebagai
pengambilalihan sumber daya material dari Oligark. Oleh karena itu, maka
dinamika politik para Oligark selalu berhubungan dengan ancaman
tersebut, dan bagaimana Oligark mempertahankannya. Pertahanan
kekayaan ini mencangkup dua komponen, yaitu pertahanan harta dan
pertahanan pendapatan. Winters memberikan definisi Oligarki sebagai
sebuah sistem yang merujuk pada “politik pertahanan kekayaan oleh
pelaku yang memiliki kekayaan material (Oligark).Pada konsep ini,
Winters mengetengahkan aspek penting dari Oligarki, yaitu kekayaan
menjadi sumber daya material bagi kekuasaan para Oligark dan dinamika
politik pertahanannya yang dikelola secara politis. Aspek pertahanan
kekayaan sebagai sumber daya kekuasaan ini kemudian menentukan
bagaimana Oligarki akan berdiferensiasi dalam berbagai bentuk. Cara
pertahanan ini mengacu pada beragam konteks politik dan periode sejarah.
Oleh karena itu, definisi dari Oligarki bisa tetap, akan tetapi bentuknya

7
bisa berbeda-beda. Dalam suatu masa, Oligarki bisa terlibat secara
langsung dalam politik, tapi dalam suatu masa juga tidak. Dalam satu
masa, Oligark terlibat secara aktif dalam mempertahankan kekayaan
dengan senjata, tapi dalam masa yang lain tidak bersenjata, dan
sebagainya. Perbedaan tersebut sebagai taktik yang berhubungan dengan
bagaimana pertahanan atas kekayaan dilakukan. Semakin tinggi kebutuhan
untuk mempertahankan kekayaan, maka terjadi kecenderungan bahwa
Oligark akan semakin banyak terlibat dalam kekuasaan politik. Hal
tersebut terjadi juga bila didukung oleh sistem politik yang memungkinkan
adanya gangguan atas hak milik dan kekayaan. Hal sebaliknya, bila dalam
sebuah sistem politik, hak milik dan kekayaan dilindungi secara ketat,
maka Oligark bisa saja tidak perlu terlibat secara aktif dalam perebutan
kekuasaan.

Kategori Oligark dan elit bisa saling tumpang tindih dengan


kekuasaan oligarkis yang berpotensi mengarah pada kekuasaan elit—
begitu pula sebaliknya. Namun, keduanya tidak mesti bertumpang tindih.
Banyak Oligark hanya memiliki sumber daya kekuasaan material, dan
banyak elit tidak pernah menghimpun kekayaan yang mendatangkan
kekuasaan. Dalam suatu sistem politik, Oligark selalu menjadi seorang
elit, tetapi seorang elit belum tentu menjadi seorang Oligark.

2. Tipe-Tipe Oligarki menurut Winters

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa Oligarki memiliki beragam


bentuk tergantung dengan politik pertahanan kekayaan yang
dijalankannya. Perubahan bentuk Oligarki ini didasarkan pada ancaman
kekayaan darimana ia berasal, misalnya apakah ancaman itu muncul dari
kaum tak berpunya di bawah, dari samping yaitu antar Oligark itu sendiri,
atau dari atas yang berasal dari negara/kekuatan pemerintah. Beragam

8
ancaman itu, membuat Oligark membentuk pertahanan kekayaan dengan
mengikuti konteksnya. Dalam hal ini, Winters menyatakan bahwa,

“Persamaan Oligark sepanjang sejarah adalah bahwa kekayaan


mendefinisikan, memberi kekuasaan dan mendatangkan ancaman kepada
mereka. Yang beragam dalam sejarah adalah hakikat ancaman-ancaman
itu dan cara Oligark menanggapi ancaman untuk mempertahankan harta.
Keragaman itu memunculkan tipe-tipe oligarki…”

Untuk memperjelas itu, Winters membuat tipologi ideal mengenai


Oligarki. Menurutnya, semua Oligarki bisa digolongkan menurut empat
ciri utama, yaitu kadar keterlibatan langsung Oligarki dalam pemaksaan
yang menyokong hak milik atas harta dan kekayaan; keterlibatan Oligark
dalam kekuasaan atau pemerintahan; sifat keterlibatan dalam pemaksaan
dan kekuasan itu, apakah terpecah atau kolektif; dan Oligark bersifat liar
atau jinak.Dari ciri di atas, Winters membuat empat tipe ideal dari
Oligarki, antara lain, pertama,

a) Oligarki Panglima, yaitu Oligarki yang muncul dengan kekuasaan


pemaksa (kekerasan) secara langsung ada pada dirinya. Setiap Oligark
memiliki senjata untuk mendapatan kekayaan. Ia memiliki tentara dan
berebut secara langsung sumber daya material dengan Oligark lain.
Pada dunia seperti itu, perpecahan antar Oligark berada di tingkat
tertinggi, sehingga persekutuan tidak stabil. Konflik dan ancaman
umumnya bersifat lateral antar Oligark panglima. Dapat dikatakan di
sini bahwa pengumpulan kekayaan dilakukan dengan cara penaklukan
satu panglima ke panglima lain sehingga ancaman paling dominan
terdapat pada klaim harta daripada pendapatan. Oligarki panglima ini
terjadi dari masa pra sejarah, Eropa zaman pertengahan, dan berakhir
dengan keluarga yang berseteru di Pegunungan Apalachia.

9
b) Tipe kedua adalah Oligarki penguasa kolektif. Oligark jenis ini
memiliki kekuasaan dan berkuasa secara kolektif melalui lembaga
yang memiliki norma atau aturan main. Perbedaan mendasar antara
Oligarki panglima dengan oligarki penguasan kolektif ini terletak pada
kadar kerja samanya. Dalam Oligarki penguasa kolektif ini, para
Oligark bekerja sama untuk mempertahankan kekayaannya dan
memerintah suatu komunitas. Dalam kebanyakan kasus, pemerintah
kolektif dilembagakan dalam suatu badan pemerintah yang isinya
Oligark semuanya. Secara historis, contoh dari bentuk oligarki
penguasa kolektif bisa ditemui dari komisi mafia, pemerintahan
Yunani-Roma, juga menurut Winters adalah praktek politik di
Indonesia pasca Soeharto.

c) Ketiga, bentuk Oligarki terjadi ketika monopoli sarana pemaksaannya


terletak pada satu tangan Oligark. Hubungan antara Oligark bersifat
patron-klien terhadap Oligark yang berkuasa tersebut. Oligarki jenis
ini disebut sebagai Oligarki Sultanistik. Wewenang dan kekerasan
hanya dikuasai oleh penguasa utama, sedangkan para Oligark lainnya
menggantungkan pertahanan kekayaan dan hartanya pada Oligark
tunggal tersebut. Para penguasa Oligark mengalahkan kapasitas
Oligark di bawahnya, biasanya dengan mekanisme alat kekerasan
negara atau mencampurkan dengan sarana pemaksa individu. Para
Oligark bawahan yang tidak bersenjata kemudian mempertahankan
kekayaan dengan menginvestasikan sebagian sumber daya yang
dimilikinya kepada Oligark Sultanistik. Dengan itu, oligark penguasa
berkewajiban melindungi Oligark-Oligark di bawahnya. Salah satu
contoh mengenai Oligarki Sultanistik ini pada rejim Soeharto di
Indonesia.

d) Keempat, Oligarki yang sepenuhnya tak bersenjata dan tidak berkuasa


langsung. Oligark menyerahkan kekuasaannya pada lembaga non-

10
pribadi dan terlembaga dimana hukum lebih kuat. Oligarki jenis ini
disebut dengan Oligarki Sipil. Karena hak milik dan pertahanan harta
telah disediakan oleh negara, maka fokus Oligark hanya pada
pertahanan pendapatan, yaitu upaya untuk mengelak dari jangkauan
negara untuk meredistribusi kekayaan, misal melalui pajak progresif.
Oligarki Sipil tidak selalu bersifat demokratis dan melibatkan pemilu.
Misalnya, Amerika dan India memang bersifat demokratis secara
prosedural, tetapi di Singapura dan Malaysia bersifat otoriter. Dari
beragam contoh itu, semuanya bersifat oligarki sipil.

Tipe ideal yang dibuat oleh Winters ini tidak statis, artinya dalam
suatu wilayah yang memiliki satu tipe oligarki tertentu bisa
memungkinkan berubah menjadi tipe oligarki yang lain. Hal itu terjadi
dengan mengikuti perkembangan situasi yang spesifik. Ini misalnya terjadi
di Indonesia. Oligark merupakan aktor sangat berpengaruh dalam ekonomi
politik Indonesia, mereka muncul dan memperoleh kekuasaan semasa
Orde Baru Soeharto, dan transisi menuju demokrasi bukan merupakan
gangguan signifikan atau menyusutkan kekuasaan mereka. Oligarki itu
sendiri berubah secara dramatis seiring tumbangnya rezim Soeharto—dari
sultanistik ke penguasa kolektif—dengan konsekuensi penting bagaimana
cara pertahanan kekayaan diupayakan dan dijamin di Indonesia. Namun,
Oligarki tidak lantas menghilang. Penekanan pada bagian ini adalah
bagaimana kekuasaan oligarkis terejawantah di Indonesia kontemporer.

Adanya kecenderungan perubahan bentuk Oligarki di Indonesia seperti


yang dijelaskan oleh Winters ini dikuatkan dengan penelitian lain,
walaupun tidak secara identik sama dalam hal penjelasannya. Hal ini
misalnya yang dituliskan oleh Richard Robison dan Vedi R Hadiz dalam
bukunya, “Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in
an Age of Market”[ . Dalam buku tersebut, kedua penulis beragumen
bahwa Oligarki di Indonesia pada dasarnya tidak tumbang pasca reformasi

11
atau jatuhnya Soeharto. Oligarki yang dibesarkan oleh rejim Soeharto
terus bertransformasi dengan menyesuaikan konteks politik di Indonesia
yang didorong oleh skema Neoliberalisme, misal demokratisasi,
desentralisasi, dan deregulasi. Pasca krisis ekonomi di tahun 1998,
Oligarki dengan beragam cara mampu bertahan dan kembali menjadi
pemain utama dalam dunia bisnis di Indonesia. Untuk itu, konfigurasi
tatanan yang Oligarkis sebanarnya tetap menjadi kekuatan ekonomi politik
yang dominan di Indonesia pasca Orde Baru. Hal tersebut juga kemudian
dikuatkan lagi oleh Christian Chua dalam artikelnya yang berjudul,
“Capitalist Consolidation, Consolidated Capitalist,”, yang menunjukan
bahwa perubahan institusional pasca Soeharto pada awalnya ditujukan
untuk mengakhiri rejim yang otoritarian, sentralisasi, dan praktek KKN,
ternyata dimanfaatkan oleh kekuatan lama untuk mempertahankan
kekuasaannya.

Kekuatan ekonomi di jaman Orde Baru menguasai demokratisasi dengan


terlibat dalam partai politik, bahkan menjadi petingginya. Mereka
kemudian selain menjadi pebisnis juga menjadi politisi. Hilangnya patron
politik, membuat para Oligark harus menjadi pemain dalam politik secara
langsung guna mempertahankan kekayaannya. Partai yang memerlukan
uang dalam jumlah besar untuk memenangkan kontestasi pemilu
mambawa para Oligark bisa menjadi petinggi partai. Hal ini dapat kita
lihat seperti, Alvin Lie di PAN atau Murdaya Poo di PDIP. Selain pebisnis
China, pengusaha pribumi, yang dulunya mendapat support Orde Baru
juga terlibat secara langsung dalam politik, seperti Jusuf Kalla sebagai
ketua Golkar dan Aburizal Bakrie yang kemudian menjadi ketua Golkar
berikutnya. Di tengah era kebebasan pers dan media, mereka menguasai
pers untuk mengarahkan opini publik, seperti grup Salim yang menguasai
Indosiar. Juga Tomy Winata yang menguasai Radio 911, Harian Jakarta,
Jakarta TV, juga majalah Pilar.

12
Dengan desentralisasi, kekuatan ekonomi ini berubah lokus patron-klien-
nya. Kekuatan ekonomi ini beralih pada relasi patronase yang
terdesentralisasi. Hal ini mengikuti juga dengan pola beralihnya sebagian
kekuasaan yang ke Daerah. Apalagi karena adanya Pemilukada yang
membutuhkan uang sangat banyak untuk kontestasi. Keterlibatan ini pun
bisa secara langsung maupun tidak langsung. Kemudian, dengan
deregulasi, mereka tetaplah yang paling diuntungkan karena merupakan
kekuatan ekonomi yang paling kuat sehingga saat pengaturan dibebaskan
di pasar, mereka telah menguasai pasar tersebut. Seperti pemilik grup
Salim yang tetap menjadi produsen terigu paling besar dengan
Bogasarinya, setelah ada deregulasi untuk pengusahaan terigu di
Indonesia.

Dari paparan di atas, aspek penting dari konsep Oligarki yang


diajukan Winters ini menunjukkan bahwa Oligarki tidak banyak
dipengaruhi oleh reformasi non-material atau prosedur politik. Hal ini
tentu karena konsep Oligarki-nya didasarkan pada kekuasaan sumber daya
material (kekayaan) yang membuatnya memiliki pengaruh signifikan pada
proses politik. Sehingga, demokrasi pun tidak menghilangkan Oligark, dan
juga membuat Oligarki hilang dalam kenyataan sosial di sistem politik
tersebut. Hal tersebut karena sistem demokrasi elektoral tidak memberi
pembatas yang efektif untuk membatasi bentuk kekuasaan material yang
dipegang Oligark. Dalam hal ini, lembaga politik hanya dapat mengatur,
menjinakkan, dan mengubah bentuk Oligarki, tetapi tak bisa
menghilangkannya. Karena itulah, apapun bentuk pemerintahannya,
ketidaksetaraan politik ekstrem merupakan kembaran dari ketidaksetaraan
material yang ekstrem pula. Menurut Winters, Oligark dan Oligarki akan
lenyap bukan melalui perubahan prosedur politik menjadi demokrasi,
melainkan bila distribusi sumber daya material yang sangat tidak
seimbang ditiadakan, supaya tidak memberi kekuasaan politik yang terlalu
besar kepada segelintir pelaku.

13
3. Kondisi ketimpangan yang terjadi di Indonesia

Pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya ketimpangan


Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini menduduki urutan ketiga tercepat
di antara negara-negara anggota G-20. Statistik terbaru menunjukkan
bahwa sejak 2000 hingga 2017, Produk Domestik Bruto Indonesia (PDB)
per kapita meningkat rata-rata 4 persen setiap tahun, setelah China dan
India, yang masing-masing tumbuh 9 persen dan 5,5 persen per tahun.
Namun, pertumbuhan ekonomi Indonesia memicu tingginya ketimpangan
antarpenduduk. Hal ini tecermin dalam Indeks Gini, yakni indeks untuk
mengukur ketimpangan dalam sebuah negara dari 0 (kesetaraan sempurna)
sampai 100 (ketidaksetaraan sempurna). Data dari Bank Dunia
mengungkapkan Indeks Gini Indonesia meningkat dari 30,0 pada dekade
1990-an menjadi 39,0 pada 2017. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS), ketimpangan di Indonesia mulai meningkat pada awal 1990-an.
Krisis moneter 1998 sempat menurunkan ketimpangan di Indonesia karena
krisis tersebut berdampak signifikan terhadap kalangan orang kaya pada
saat itu. Namun, kesenjangan antara si kaya dan si miskin kembali
meningkat cepat pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Indeks Gini naik dari 31,0 pada masa
kepresidenan Megawati tahun 2001 menjadi 41,0 pada tahun 2014 di
bawah pemerintahan SBY. Indeks Gini Indonesia, 1990 - 2017;

14
Sumber: BPS. Indeks Gini Indonesia, 1990 - 2017; Sumber: BPS.
(THE CONVERSATION/YENNY TJOE)

Ketimpangan didorong oleh kelas konsumen Laporan Bank Dunia


pada 2015 menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya
dinikmati oleh 20 persen kelompok terkaya. Kelompok ini diidentifikasi
sebagai kelas konsumen. Mereka adalah orang-orang yang berpendapatan
bersih per tahun di atas 3.600 dollar AS atau Rp 52,6 juta dan pengeluaran
per hari nya sekitar 10 dollar AS hingga 100 dollar AS untuk makanan,
transportasi, dan perlengkapan rumah tangga lainnya. Saat ini, setidaknya
70 juta orang di Indonesia termasuk dalam golongan kelas konsumen.
Kelompok ini diproyeksikan akan mencapai 135 juta orang pada 2030 atau
setengah dari total penduduk Indonesia. Sejak tahun 2000, kelas konsumen
Indonesia sudah muncul dan terus berkembang kuat berkat pertumbuhan
ekonomi selama dua dekade terakhir. Pendapatan mereka meningkat
dikarenakan dua hal: kualifikasi pendidikan mereka tinggi dan permintaan
pasar terhadap pekerja profesional terampil meningkat. Kelompok kelas

15
konsumen ini berperan cukup penting bagi Indonesia, yaitu meningkatkan
pendapatan pajak negara dan menuntut pelayanan publik yang lebih baik
dan transparan serta dapat dipertanggungjawabkan. Namun di sisi lain,
mereka yang berpendidikan rendah semakin sulit mengakses lapangan
kerja. Mereka terjebak dalam pekerjaan dengan gaji rendah. Banyak dari
mereka adalah petani dan nelayan di daerah pedesaan dan mereka yang
bekerja di sektor informal. Karena kenaikan upah mereka lebih lambat
dibanding gaji pekerja terampil, ketimpangan ekonomi di Indonesia
melebar. Ketimpangan ekonomi dan pembangunan manusia Tingginya
ketimpangan ekonomi mengakibatkan kelompok berpendapatan rendah
tidak mampu mengakses kebutuhan dan pelayanan dasar seperti makanan,
kesehatan dan pendidikan. Ini bisa berdampak buruk bagi masyarakat dan
memperlambat proses pembangunan manusia, yang diukur dengan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM). IPM mengukur pencapaian rata-rata suatu
negara dalam tiga dimensi: kesehatan, pendidikan, dan penghasilan
individu untuk mendukung kehidupan yang layak. Ada empat kategori
pembangunan manusia, yaitu sangat tinggi (IPM lebih dari 80), tinggi
(antara 70 dan 80), sedang (antara 60 dan 70), dan rendah (di bawah 60).
Berdasarkan data IPM dari lembaga PBB, United Nations Development
Programme (UNDP), Indonesia termasuk dalam kategori pembangunan
manusia sedang. Namun, tingginya kesenjangan antara kaya dan miskin
tampaknya telah memperlambat pembangunan manusia Indonesia.
Menurut Human Development Reports, sepanjang tahun 2000-an IPM

Indonesia meningkat rata-rata 0,92 persen per tahun dari 60,4 pada
tahun 2000 menjadi 66,2 pada 2010. Indeks Gini selama periode itu antara
31,0 dan 38,0. Dari tahun 2010 hingga 2014, IPM Indonesia tumbuh jauh
lebih lambat, 0,78 persen per tahun karena ketimpangan ekonomi saat itu
lebih tinggi.

16
Pada masa kepresidenan SBY periode kedua, Indeks Gini naik
menjadi 41,0.

15 provinsi di bawah rata-rata IPM, 2014 dan 2017; Source: BPS


dan UNDP. 15 provinsi di bawah rata-rata IPM, 2014 dan 2017; Source:
BPS dan UNDP.(THE CONVERSATION/YENNY TJOE) Menurut para
ekonom, pembangunan manusia sebuah negara tergantung pada dua
pendorong utama: pertumbuhan ekonomi dan turunnya ketimpangan
antarpenduduk. Di bawah pemerintahan Jokowi, Indonesia mengalami
pertumbuhan ekonomi sekaligus turunnya ketimpangan. Selama
pemerintahan Jokowi, Indeks Gini turun ke bawah 40,0. Angka terbaru
menunjukkan 38,9 di bulan Maret 2018. Penurunan Indeks Gini diikuti
dengan pembangunan manusia Indonesia yang lebih pesat dalam segi
kesehatan, pendidikan, dan penghasilan individu. Data terbaru
menunjukkan IPM Indonesia saat ini adalah 70,8 atau tumbuh 1,3 persen
per tahun sejak 2015. Pembangunan manusia tingkat provinsi juga
mengalami kemajuan cepat. Saat ini masih ada 15 provinsi di bawah rata-

17
rata IPM nasional, tetapi 14 di antaranya sudah termasuk dalam kategori
pembangunan manusia sedang. Provinsi daerah tertinggal juga
menunjukkan peningkatan pesat dalam hal kesehatan, pendidikan, dan
standar hidup. Di bawah pemerintahan Jokowi, Papua mencatat
pembangunan manusia tercepat, diikuti oleh Nusa Tenggara Barat dan
Sulawesi Barat. IPM mereka meningkat masing-masing 1,4 persen, 1,2
persen, dan 1,1 persen per tahun. Upaya mengatasi ketimpangan
Pemerintah berusaha mengatasi masalah ketimpangan melalui berbagai
kebijakan. Pemerintahan SBY fokus pada pengentasan kemiskinan secara
progresif. Selama SBY menjadi Presiden RI, anggaran kemiskinan
mencapai 7 persen pada 2014, meningkat dari 5,7 persen pada 2011.
Dalam menanggulangi ketimpangan, program-program SBY berupaya
memberdayakan masyarakat melalui bantuan pendidikan, kesehatan, dan
kredit mikro. Pemerintahan Jokowi memutuskan untuk melanjutkan
program SBY. Dari tahun 2015 hingga 2018, anggaran negara untuk
program pengentasan kemiskinan meningkat dari 9 persen menjadi 12,8
persen. Berbeda dengan pendekatan SBY, Jokowi tidak hanya
memprioritaskan pembangunan rakyat, tetapi juga infrastruktur dalam
mengatasi ketimpangan. Menurut saya, inilah alasan mengapa strategi
Jokowi lebih efektif daripada SBY dalam menangani ketimpangan.
Pembangunan infrastruktur bertujuan meningkatkan konektivitas serta
mengurangi biaya logistik antar daerah. Pemerintahan Jokowi menaruh
perhatian ekstra pada 30 proyek prioritas, termasuk proyek Palapa Ring,
jalur kereta api Trans Sulawesi, dan jalan Trans Papua. Untuk
memperkecil kesenjangan pendidikan, Jokowi memperkenalkan Program
Indonesia Pintar pada 2014. Program ini memberikan bantuan uang tunai
kepada siswa-siswi keluarga kurang mampu usia 6-21 tahun dengan tujuan
mereka akan menyelesaikan sekolah atau melanjutkan pendidikan minimal
12 tahun. Hingga Oktober 2017, lebih dari 17,9 juta kartu telah
didistribusikan dari target 19,7 juta. Jokowi juga merombak sistem

18
pendidikan kejuruan. Ia melibatkan pelaku industri untuk berkontribusi
dalam pengembangan kurikulum sekolah kejuruan dan teknis. Di bawah
kemitraan itu, perusahaan swasta akan menawarkan pelatihan dan peluang
magang bagi para siswa dan guru. Perombakan ini bertujuan
meningkatkan keahlian para siswa kejuruan dan semakin memperkuat
ketrampilan tenaga kerja Indonesia. Arah yang benar Ketimpangan tinggi
dapat berdampak negatif terhadap kualitas hidup manusia, kohesi sosial,
dan pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan di Indonesia erat kaitannya
dengan ketimpangan, baik dalam mengakses peluang ekonomi maupun
layanan publik. Strategi pembangunan Jokowi terbukti telah
mempertimbangkan masalah ini sehingga pemerintahannya
menggabungkan pembangunan infrastruktur bersama sumber daya
manusia. Dengan semakin lancar transportasi dan komunikasi di daerah
dan lebih banyak orang di pedesaan mendapat akses layanan publik yang
setara, ketimpangan ekonomi akan semakin menurun. Indonesia kini juga
bergerak ke arah yang benar dalam penanggulangan kesenjangan yang
lebih efektif. Mengatasi ketimpangan tetap merupakan tantangan bagi
Indonesia. Saat ini kita juga perlu menaruh perhatian pada pemerintah
daerah. Mereka sekarang berperan sangat penting, terutama dalam
memastikan dana dan program yang turun di daerah dapat ditangani secara
optimal sehingga bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional dan
menciptakan lapangan pekerjaan di desa.

19
Grafik Ketimpangan Kekayaan

Rata-rata Pertumbuhan Tahunan 2006 - 2016


45%
40% 39%
35%
30%
25%
20%
15% 23%
10%
5%
0%

6%
4%

Kekayaan 40 orangKekayaan 1 orang GDP (Perekonomian GDP Per capita


terkayaterkaya Nasional)

 Dalam 10 tahun, kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia melonjak hingga


317.1% atau 4 kali dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional
 Dalam 10 tahun, kekayaan orang terkaya di Indonesia melonjak hingga
510.7% atau 10 kali dibandingkan pertumbuhan GDP per kapita
(pendapatan setiap warga)
 Kondisi sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa pertumbuhan
kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia jauh melampaui pertumbuhan
ekonomi nasional

20
 Piketty menyatakan bahwa ketimpangan akan muncul apabila r > g
Corak ketimpangan dalam 10 tahun terakhir dalam pandangan Piketty
(2014 & 2015) dikenal sebagai patrimonial capitalism

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

a. Penjelasan konsep Oligarki oleh Winters, dan juga perbandingannya


dengan pendekatan lain di atas, tidak untuk membingungkan kita semua.
Namun sebaliknya, penjelasan tersebut berguna untuk dapat melihat
Oligarki sebagai kondisi obyektif yang nyata dalam politik Indonesia saat
ini.

b. Dengan demikian, problem-problem politik kontemporer saat ini bisa


dijejakkan dan dikaitkan dengan dinamika Oligarki yang terus menerus
berupaya mempertahankan dirinya. Penjelasan ini juga berguna sebagai
upaya untuk memikirkan kembali, bagi Gerakan Rakyat yang selalu
berupaya mencari alternatif di luar ekonomi politik Neoliberal dan
Oligarki ini, mengenai strategi ke depannya. Kita perlu ingat bahwa
‘strategi yang kongkret harus berbasis pada kondisi yang kongkret’.

21
DAFTAR PUSTAKA

Chua, Christian. “Capitalist Consolidation, Consolidated Capitalist: Indonesia’s

Conglomerates between Authoritarianism and Democracy” dalam Marco Bunte


and Andreas Ufen (ed). Democratization in Post-Soeharto Indonesia. Oxford:
Routledge. 2009

Ford, Michael dan Thomas B Pepinsky, “Melampaui Oligarki? Bahasan Kritis


Kekuasaan

Politik dan kesenjangan Ekonomi di Indonesia”. Prisma. Vol. 33 No. 1 Tahun


2014

Robison, Richard and Vedi R Hadiz. Reorganizing Power in Indonesia: The


Politics of

Oligarchy in an Age of Market. London and New York: Routledge. 2004.

______________. “Ekonomi Politik Oligarki dan Pengorganisasian Kembali

Kekuasaan di Indonesia”. Prisma, Vol. 33 No. 1 tahun 2014.

Winters, Jeffrey A. Oligarki terj., Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2011.

______________. “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia”. Prisma. Vol. 33 No. 1


Tahun 2014.

[1] Konsolidasi itu menghasilkan misalnya, Gerakan Rakyat Berdaulat (GRB)


yang dideklarasikan di FISIP UI yang mengumpulkan setidaknya 132 Organisasi
Masyarakat Sipil.

https://ekonomi.kompas.com/read/2018/08/31/100200826/seberapa-parah-
ketimpangan-ekonomi-di-indonesia-.

22

Anda mungkin juga menyukai